FENOMENA
KEBEBASAN PRES ORDE BARU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Jurnalistik
Yang dibina oleh Bapak Moh. Zuhdi
Oleh :
KelompokX
PROGRAM STUDI TADRIS
BAHASA INDONESIA (TBIN)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
TAHUN 2016KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, karena berkat taufik serta Hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas
Makalah Jurnalistik
tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru. Serta tak lupa sholawat salam selalu mengalir
pada sang Revolusioner akbar Muhammad Ibni Abdillah yang telah membawa kita dari
hedonis kapitalis menuju revolusi harmonis, seperti yang dapat kita rasakan saat ini.
Disini penulis menyadari dalam penyelesaian
tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak yang mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan masalah tugas ini, oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terimaksih Kepada:
1.
Bapak, Moh. Zuhdi
2. Teman-teman
penulis makalah ini yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun selalu kami harapkan dengan tangan terbuka untuk menuju pada
kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Semoga tugas makalah
tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru ini memberi manfaat
sebagaimana yang di harapkan bersama
Amin.
Waalaikumussalam wr.wb.
Pamekasan, 2 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang ......................................................................................... 1
- Rumusan Masalah .................................................................................... 4
C.
Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................... 5
A. Pengertian
Pers ......................................................................................... 5
B. Fungsi
Pers Orde Baru.............................................................................. 7
C. Kebebasan
orde Baru ............................................................................... 9
BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 12
- Kesimpulan ............................................................................................... 12
- Saran-Saran .............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pers merupakan media
komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi
dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah
secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian,
persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat
terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input
dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan
kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan
masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar
dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu
benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada banyak peranan
yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi.
Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi
maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara
professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan
negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga
menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang
paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara
untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh
pejabat negara.
Bagi suatu
pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan
membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto
jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat.
Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat
yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini
tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara
besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Terkucilnya prospek
kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi.
Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini.
Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang
ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23) Di negara dimana sistem persnya mengikuti
sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai
“balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini
bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia
mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya
sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang
khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti
sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers
tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu
terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan
kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada
umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik
nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya,
rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi
dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang
baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian
dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus
dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak
pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa
diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta
seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional
tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya
sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde
Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni
stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling
berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Oleh karena pemerintah
menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi
akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena
sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan
acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi
termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali
ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers diawal-awal
orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang
bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara,
wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Meskipun pers bukanlah
pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang
dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan
gencar media di Indonesia seperti pers. Kekuasaan presiden Soeharto yang
mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi
semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang
menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian
opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.
Menurut hemat penulis
upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah
rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan
kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu pers merupakan
lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan
kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk semua orang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, makalah ini akan membahas tentang fenomena kebebasan pers orde baru,
dengan berpijak pada sub pokok masalah sebagai berikut:
1. apa itu tentang pengertian pers
2. Fungsi-fungsi pers
3. apa itu tentang pengertian pers orde baru
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu; Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Memahami
pengertian tentang pers.
2. Memahami
fungsi-fungsi pers.
3. Memahami
pers pada masa orde baru.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pers
Kebebasan
pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang
berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar
luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam
material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari
pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4
didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak
bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal
28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kebebasan
pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara kebebasan berekspresi memang
mempunyai makna yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pemerintahan
maupun kecerdasan masyarakatnya sendiri. Dengan kebebasan pers, pemerintah dan
rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas yang sedang terjadi,
maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acap kali saling bertentangan.
Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada pejabat,
instansi pemerintah, maupun institusi masyarakat sendiri dijamin oleh negara,
tanpa takut ditindak. Memang kritikan acap kali dirasa tidak menyenangkan bagi
penerima kritik. Kebebasan pers juga menjamin semakin terpenuhinya hak
masyarakat untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang
terjadi (theoharis, 1998:160 ). Pada hakikatnya hak
masyarakat untuk tahu merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh media
massa. Asumsinya, media massa ataupun pers merupakan institusi sosial yang
dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat penggunanya, karena itu sudah jamaknya
jika media harus berorientasi memenuhi hak rakyat yang menghidupinya itu. Dalam
hal ini media massa menjadi sarana manusia untuk memahami realitas. Dan
gambaran tentang realitas ( virtual reality ) yang berasal
dari informasi inilah yang nantinya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka.
Kalau informasi media yang diungkap media tidak utuh karena tidak adanya
kebebasan pers, maka gambaran tentang realitas itupun akan bias, dan akhirnya
sikap dan perilaku masyarakat pun akan keliru. Inilah yang kemudian memunculkan
tuntutan adanya hak masyarakat untuk tahu, yang syaratnya adalah kebebasan pers
tadi. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, inforasi yang muncul di media
massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta fakta
itu menjadi tidak lengkap ( premateur facts ).
Kebebasan
pers juga berarti dibolehkannya mengungkapkan berbagai kritik terhadap
institusi kekuasaan. Melalui kebebasan pers pemerintah senantiasa diawasi dan
dikontrol, sehingga pemerintah pun menjadi semakin cerdas dan bijaksana. Kritik
kritik itu menjadi masukan dan peringatan yang sangat fungsional bagi kekuasaan
yang demokratis, sehingga diktum, power tends to corrupts, dapat
dihindarkan dengan kontrok dan kritik yang terjadi karena kebebasan pers.
Alhasil, kebebasan pers merupakan prasarat mutlak agar negri ini menjadi lebih
baik, lebih demokratis, rakyatnya menjadi cerdas, dan pemerintahannya pun
menjadi lebih arif dan bijaksana.
Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas
dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua
media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi
memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan
seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah
jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian
sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah
bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Hilangnya
Departemen Penerangan dari peredaran dan percaturan pemerintahan Republik
Indonesia ternyata telah memberi dampak yang sangat signifikan bagi dunia pers.
Dampak yang paling nyata dan sangat dini’mati oleh banyak kalangan adalah
kebebasan. Kebebasan dgn segala definisi dan penafsirannya juga segala
keuntungan dan kerugiaannya. Hal mana kebebasan ini sangat sulit didapatkan
pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengharapkannya pada masa itu ibarat mimpi
dan angan-angan. Maka tidaklah heran jika banyak jatuh korban akibat mencari
kebebasan yang mereka inginkan. Namun kalau kita mau jujur sebenarnya ada
beberapa keuntungan dan kebaikan dalam membatasi kebebasan pers pada masa lalu.
B. FUNGSI PERS
Fungsi
lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah kegunaan atau
manfaat dari pers itu sendiri.
Peranan
lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam masyarakat,
dimana pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses pembentukan budaya
manusia
Fungsi :
Fungsi :
1. Sebagai
media komunikasi
2. Memberikan
informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita
3. Sebagai
media pendidikan
4. Pemberitaan
mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik
5. Sebagai
media hiburan
6. Lebih
bersifat sebagai sarana hiburan
7. Sebagai
lembaga ekonomi
8. Mendatangkan
keuntungan financial
Peranan
:
1. Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan
nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta
menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4. Melakukan
pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum
5. Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran[1]
C. Kebebasan Pers Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri
bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers,
tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya
maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa
diremehkan. Konsepsi Riswandha, mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara
persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers
berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap
kebijakan.
Diawal kekuasaannya,
rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi
dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang
baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian
dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus
dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam
ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi
bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan
serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan
nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya
yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang
saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Sehingga dapat
digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan,
mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers
sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah
juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang
ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan
rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat
ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring
bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah,
PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau
menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru
mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara
nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa
pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya
baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita
yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki
daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis
atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah
melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi
ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang
khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti
sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers
tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu
terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan
kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada
umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik
nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk
lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah
munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian
ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana
kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media
massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak
dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers
mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara
pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti
apa yang disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak
berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang
demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini
merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru
khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi,
sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di
Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999,
dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya
untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a. Melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga
masyarakat
b. Melakukan
pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
c. Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalis
d. Memberikan
pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers
e. Mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
f. Memfasilitasi
organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi wartawan
g.
Mendata persuahaan pers
Namun sangat
disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya dengan
efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis.
Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers
dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan
pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan
pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas
formalitas.[2]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pada
masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara.
Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan
berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal_awal kekuasaan orde baru. Pers
tidak bias melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali.
Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya
pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat
melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah.
B. SARAN
Semoga
makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi wacana bagi para pembaca, walau kami
menyadari bahwa banyak sekali kekurangan baik dari segi susunan kata, kalimat
dan kurangnya refrensi, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari para pembaca sebagai bahan evaluasi kedepannya untuk
kami.
DAFTAR PUSTAKA
Romli asep syamsul, “Jurnalistik Praktis Untuk Pemula”, (PT.remaja
rasdakarya, 2009).
Kusuma Ningrat Hikmat, “Jurnalistik Teori Dan Praktik”, ( PT.
Remaja Rosda karya, 2012).
[1]
asep syamsul m, romli, Jurnalistik Praktis, ( PT.remaja rasdakarya,2009), hlm 100-101.
[2]
Hikmat Kusuma Ningrat, Jurnalistik Teori
dan Praktik, ( PT. Remaja Rosda Karya), hlm 41-42.
FENOMENA KEBEBASAN PRES ORDE BARU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Jurnalistik
Yang dibina oleh Bapak Moh. Zuhdi
Oleh :
KelompokX
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA (TBIN)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
TAHUN 2016KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat taufik serta Hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Jurnalistik tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru. Serta tak lupa sholawat salam selalu mengalir pada sang Revolusioner akbar Muhammad Ibni Abdillah yang telah membawa kita dari hedonis kapitalis menuju revolusi harmonis, seperti yang dapat kita rasakan saat ini.
Disini penulis menyadari dalam penyelesaian tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masalah tugas ini, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimaksih Kepada:
1. Bapak, Moh. Zuhdi
2. Teman-teman penulis makalah ini yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan dengan tangan terbuka untuk menuju pada kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Semoga tugas makalah tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru ini memberi manfaat sebagaimana yang di harapkan bersama Amin.
Waalaikumussalam wr.wb.
Pamekasan, 2 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
- Rumusan Masalah .................................................................................... 4
C. Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................... 5
A. Pengertian Pers ......................................................................................... 5
B. Fungsi Pers Orde Baru.............................................................................. 7
C. Kebebasan orde Baru ............................................................................... 9
BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 12
- Kesimpulan ............................................................................................... 12
- Saran-Saran .............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23) Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers. Kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.
Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk semua orang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, makalah ini akan membahas tentang fenomena kebebasan pers orde baru, dengan berpijak pada sub pokok masalah sebagai berikut:
1. apa itu tentang pengertian pers
2. Fungsi-fungsi pers
3. apa itu tentang pengertian pers orde baru
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu; Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Memahami pengertian tentang pers.
2. Memahami fungsi-fungsi pers.
3. Memahami pers pada masa orde baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pers
Kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara kebebasan berekspresi memang mempunyai makna yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pemerintahan maupun kecerdasan masyarakatnya sendiri. Dengan kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acap kali saling bertentangan. Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada pejabat, instansi pemerintah, maupun institusi masyarakat sendiri dijamin oleh negara, tanpa takut ditindak. Memang kritikan acap kali dirasa tidak menyenangkan bagi penerima kritik. Kebebasan pers juga menjamin semakin terpenuhinya hak masyarakat untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang terjadi (theoharis, 1998:160 ). Pada hakikatnya hak masyarakat untuk tahu merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh media massa. Asumsinya, media massa ataupun pers merupakan institusi sosial yang dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat penggunanya, karena itu sudah jamaknya jika media harus berorientasi memenuhi hak rakyat yang menghidupinya itu. Dalam hal ini media massa menjadi sarana manusia untuk memahami realitas. Dan gambaran tentang realitas ( virtual reality ) yang berasal dari informasi inilah yang nantinya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Kalau informasi media yang diungkap media tidak utuh karena tidak adanya kebebasan pers, maka gambaran tentang realitas itupun akan bias, dan akhirnya sikap dan perilaku masyarakat pun akan keliru. Inilah yang kemudian memunculkan tuntutan adanya hak masyarakat untuk tahu, yang syaratnya adalah kebebasan pers tadi. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, inforasi yang muncul di media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta fakta itu menjadi tidak lengkap ( premateur facts ).
Kebebasan pers juga berarti dibolehkannya mengungkapkan berbagai kritik terhadap institusi kekuasaan. Melalui kebebasan pers pemerintah senantiasa diawasi dan dikontrol, sehingga pemerintah pun menjadi semakin cerdas dan bijaksana. Kritik kritik itu menjadi masukan dan peringatan yang sangat fungsional bagi kekuasaan yang demokratis, sehingga diktum, power tends to corrupts, dapat dihindarkan dengan kontrok dan kritik yang terjadi karena kebebasan pers. Alhasil, kebebasan pers merupakan prasarat mutlak agar negri ini menjadi lebih baik, lebih demokratis, rakyatnya menjadi cerdas, dan pemerintahannya pun menjadi lebih arif dan bijaksana.
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Hilangnya Departemen Penerangan dari peredaran dan percaturan pemerintahan Republik Indonesia ternyata telah memberi dampak yang sangat signifikan bagi dunia pers. Dampak yang paling nyata dan sangat dini’mati oleh banyak kalangan adalah kebebasan. Kebebasan dgn segala definisi dan penafsirannya juga segala keuntungan dan kerugiaannya. Hal mana kebebasan ini sangat sulit didapatkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengharapkannya pada masa itu ibarat mimpi dan angan-angan. Maka tidaklah heran jika banyak jatuh korban akibat mencari kebebasan yang mereka inginkan. Namun kalau kita mau jujur sebenarnya ada beberapa keuntungan dan kebaikan dalam membatasi kebebasan pers pada masa lalu.
B. FUNGSI PERS
Fungsi lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah kegunaan atau manfaat dari pers itu sendiri.
Peranan lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam masyarakat, dimana pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses pembentukan budaya manusia
Fungsi :
Fungsi :
1. Sebagai media komunikasi
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita
3. Sebagai media pendidikan
4. Pemberitaan mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik
5. Sebagai media hiburan
6. Lebih bersifat sebagai sarana hiburan
7. Sebagai lembaga ekonomi
8. Mendatangkan keuntungan financial
Peranan :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4. Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran[1]
C. Kebebasan Pers Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha, mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalis
d. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
f. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
g. Mendata persuahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.[2]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal_awal kekuasaan orde baru. Pers tidak bias melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah.
B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi wacana bagi para pembaca, walau kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan baik dari segi susunan kata, kalimat dan kurangnya refrensi, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sebagai bahan evaluasi kedepannya untuk kami.
DAFTAR PUSTAKA
Romli asep syamsul, “Jurnalistik Praktis Untuk Pemula”, (PT.remaja rasdakarya, 2009).
Kusuma Ningrat Hikmat, “Jurnalistik Teori Dan Praktik”, ( PT. Remaja Rosda karya, 2012).
[1] asep syamsul m, romli, Jurnalistik Praktis, ( PT.remaja rasdakarya,2009), hlm 100-101.
[2] Hikmat Kusuma Ningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, ( PT. Remaja Rosda Karya), hlm 41-42.
FENOMENA KEBEBASAN PRES ORDE BARU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Jurnalistik
Yang dibina oleh Bapak Moh. Zuhdi
Oleh :
KelompokX
PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA (TBIN)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
TAHUN 2016KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.wr.wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat taufik serta Hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Jurnalistik tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru. Serta tak lupa sholawat salam selalu mengalir pada sang Revolusioner akbar Muhammad Ibni Abdillah yang telah membawa kita dari hedonis kapitalis menuju revolusi harmonis, seperti yang dapat kita rasakan saat ini.
Disini penulis menyadari dalam penyelesaian tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masalah tugas ini, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimaksih Kepada:
1. Bapak, Moh. Zuhdi
2. Teman-teman penulis makalah ini yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan dengan tangan terbuka untuk menuju pada kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Semoga tugas makalah tentang Fenomena Kebebasan Pres Orde Baru ini memberi manfaat sebagaimana yang di harapkan bersama Amin.
Waalaikumussalam wr.wb.
Pamekasan, 2 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
- Rumusan Masalah .................................................................................... 4
C. Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................... 5
A. Pengertian Pers ......................................................................................... 5
B. Fungsi Pers Orde Baru.............................................................................. 7
C. Kebebasan orde Baru ............................................................................... 9
BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 12
- Kesimpulan ............................................................................................... 12
- Saran-Saran .............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23) Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers. Kekuasaan presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan kebijakan publik.
Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk semua orang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, makalah ini akan membahas tentang fenomena kebebasan pers orde baru, dengan berpijak pada sub pokok masalah sebagai berikut:
1. apa itu tentang pengertian pers
2. Fungsi-fungsi pers
3. apa itu tentang pengertian pers orde baru
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu; Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Memahami pengertian tentang pers.
2. Memahami fungsi-fungsi pers.
3. Memahami pers pada masa orde baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pers
Kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara kebebasan berekspresi memang mempunyai makna yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pemerintahan maupun kecerdasan masyarakatnya sendiri. Dengan kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acap kali saling bertentangan. Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada pejabat, instansi pemerintah, maupun institusi masyarakat sendiri dijamin oleh negara, tanpa takut ditindak. Memang kritikan acap kali dirasa tidak menyenangkan bagi penerima kritik. Kebebasan pers juga menjamin semakin terpenuhinya hak masyarakat untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang terjadi (theoharis, 1998:160 ). Pada hakikatnya hak masyarakat untuk tahu merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh media massa. Asumsinya, media massa ataupun pers merupakan institusi sosial yang dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat penggunanya, karena itu sudah jamaknya jika media harus berorientasi memenuhi hak rakyat yang menghidupinya itu. Dalam hal ini media massa menjadi sarana manusia untuk memahami realitas. Dan gambaran tentang realitas ( virtual reality ) yang berasal dari informasi inilah yang nantinya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Kalau informasi media yang diungkap media tidak utuh karena tidak adanya kebebasan pers, maka gambaran tentang realitas itupun akan bias, dan akhirnya sikap dan perilaku masyarakat pun akan keliru. Inilah yang kemudian memunculkan tuntutan adanya hak masyarakat untuk tahu, yang syaratnya adalah kebebasan pers tadi. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, inforasi yang muncul di media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta fakta itu menjadi tidak lengkap ( premateur facts ).
Kebebasan pers juga berarti dibolehkannya mengungkapkan berbagai kritik terhadap institusi kekuasaan. Melalui kebebasan pers pemerintah senantiasa diawasi dan dikontrol, sehingga pemerintah pun menjadi semakin cerdas dan bijaksana. Kritik kritik itu menjadi masukan dan peringatan yang sangat fungsional bagi kekuasaan yang demokratis, sehingga diktum, power tends to corrupts, dapat dihindarkan dengan kontrok dan kritik yang terjadi karena kebebasan pers. Alhasil, kebebasan pers merupakan prasarat mutlak agar negri ini menjadi lebih baik, lebih demokratis, rakyatnya menjadi cerdas, dan pemerintahannya pun menjadi lebih arif dan bijaksana.
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Hilangnya Departemen Penerangan dari peredaran dan percaturan pemerintahan Republik Indonesia ternyata telah memberi dampak yang sangat signifikan bagi dunia pers. Dampak yang paling nyata dan sangat dini’mati oleh banyak kalangan adalah kebebasan. Kebebasan dgn segala definisi dan penafsirannya juga segala keuntungan dan kerugiaannya. Hal mana kebebasan ini sangat sulit didapatkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengharapkannya pada masa itu ibarat mimpi dan angan-angan. Maka tidaklah heran jika banyak jatuh korban akibat mencari kebebasan yang mereka inginkan. Namun kalau kita mau jujur sebenarnya ada beberapa keuntungan dan kebaikan dalam membatasi kebebasan pers pada masa lalu.
B. FUNGSI PERS
Fungsi lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah kegunaan atau manfaat dari pers itu sendiri.
Peranan lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam masyarakat, dimana pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses pembentukan budaya manusia
Fungsi :
Fungsi :
1. Sebagai media komunikasi
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita
3. Sebagai media pendidikan
4. Pemberitaan mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik
5. Sebagai media hiburan
6. Lebih bersifat sebagai sarana hiburan
7. Sebagai lembaga ekonomi
8. Mendatangkan keuntungan financial
Peranan :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4. Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran[1]
C. Kebebasan Pers Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha, mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalis
d. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
f. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
g. Mendata persuahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.[2]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal_awal kekuasaan orde baru. Pers tidak bias melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah.
B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi wacana bagi para pembaca, walau kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan baik dari segi susunan kata, kalimat dan kurangnya refrensi, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sebagai bahan evaluasi kedepannya untuk kami.
DAFTAR PUSTAKA
Romli asep syamsul, “Jurnalistik Praktis Untuk Pemula”, (PT.remaja rasdakarya, 2009).
Kusuma Ningrat Hikmat, “Jurnalistik Teori Dan Praktik”, ( PT. Remaja Rosda karya, 2012).