Friday, 3 November 2017

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT





  
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT






Ahmad Mahmudi, SH.
Ketua Dewan Direktur  Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Surakarta







Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat
Universitas Sebelas Maret
Surakarta


Masa Perkuliahan I
Januari 2002

Daftar Isi
1.      Pendahuluan
2.      Model Pembangunan Ortodok
3.      Strategi Dominari Negara Kaya atas Negara Miskin
4.      Paradigma Alternatif
5.      Pengertian dan Hakekat Pemberdayaan Masyarakat
6.      Partisipasi Sebagai Dasar Pemberdayaan Masyarakat
7.      Strategi Pemberdayaan Masyarakat
8.      Peran Komunitas Riset dan Pemberdayaan Masyarakat

1. Pendahuluan

“Without a global revolution in the sphere of human consciousness, nothing will change for the better. . . and the catastrophe toward which this world is headed, whether it be ecological, social, demographic or a general breakdown of civilization, will be unavoidable.’ – Václav Havel
Kurang lebih empat dekade pembangunan sebagaimana terus dipraktekkan hingga sekarang tidak menunjukkan keberhasilannya dalam meningkatkan pendapatan maupun standart hidup rakyat miskin di dunia. Angka kemiskinan didunia menunjukkan kondisi yang konstan bahkan cenderung meningkat, demikian pula kualitas hidup penduduk miskin. (Laporan UNDP dalam “konsultasi Genewa” Nopember 1991).
Model pembangunan ortodox tidak mampu mengikis kondisi-kondisi buruk kehidupan rakyat miskin seperti kekurangan gizi, keterbatasan pendidikan, serangan penyakit, dampak kerusakan lingkungan hidup, dampak konflik politik dan peperangan. Model pembangunan ortodox bahkan ikut andil dalam semakin memburuknya kondisi penduduk miskin didunia.

2.    Model Pembangunan Ortodok

Apakah model pembangunan ortodok itu?
Yaitu suatu formula dan kebijakan yang disusun dan didesakkan oleh korporasi internasional dari negara-negara industri untuk dilaksanakan oleh negara-negara miskin melalui apa yang diesebut “menghapuskan kemiskinan”  melalui “pembangunan ekonomi” dengan   strategi “pertumbuhan' ekonomi”.  Yang mereka anggap sebagai kemiskinan dan keterbelakangan adalah “rendahnya pendapatan perkapita”. Jika pendapatan perkapita dapat ditingkatkan, menurut mereka masalah kemiskinan dan keterbelakangan akan terpecahkan. Menurut formula tersebut, pertumbuhan ekonomi diramu dengan beberapa komponen inti yakni: industrialisasi, peningkatan produktivitas pertanian melalui revolusi hijau, investasi modal lebih besar,   kenaikan GNP, dan 'trickle down effect'. Begitulah rumus Kuznets.
Setelah tiga dasawarsa terlampaui, ternyata, pertumbuhan ekonomi  tidak   disertai   turunnya kemiskinan dan keterbelakangan, melainkan yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan kemiskinan massal selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari pola pertumbuhan itu sendiri. Memang para elit tersebut acapkali berbicara tentang situasi “ketidakmerataan” namun menurut  Ibrahim Samater  : (Dari Pertumbuhan ke Basic Need, Sebuah Evolusi Teori Pertumbuhan), hal tersebut hanyalah merupakan bagian dari upaya ‘menipu rakyat’ karena yang terjadi sesungguhnya adalah mereka hanya bicara: ‘strategi-strategi pembangunan pertumbuhan’ saja.
Formula ‘pertumbuhan’ telah mengalami evolusi sebagai akibat dari kritik yang kuat terhadap situasi ‘ketidakmerataan’. Berbagai kritik tersebut menumbuhkan keyakinan pada lembag-lembaga internasional dan para elit politik dan ekonomi negara ketiga yaitu bahwa model pembangunan ortodok yang mempercayakan pada pertumbuhan GNP tidak akan memberi keuntungan kepada kaum miskin dinegara berkembang, dan juga tidak memberi keuntungan segera pada mereka. Oleh karena itu ‘pertumbuhan haruslah dibarengi dengan pemerataan.
Setidak-tidaknya, selama tiga dasawarsa ini, model pembangunan di negara-negara ketiga (termasuk Indonesia) sangat dipengaruhi oleh 7 formula “pertumbuhan dan pemerataan” sebagai berikut:
a.       Emplyoment generation (penyerapan tenaga kerja/padat karya);
b.      Redirecting Investment (pengerahan kembali Investasi secara besar-besaran);
c.       Meeting basic Needs (pemenuhan kebutuhan dasar);
d.      Human Resource Development (pembangunan sumber daya manusia);
e.       Agricultural first Developement (pembangunan dengan mengutamakan pertanian);
f.       Integrated Rural development (pembanggunan pedesaan terpadu);
g.      The New International Economic Order (tata ekonomi dunia baru).
James Weaver, K.P. Jameson dan Richard N.Blue ( Analisa Kritik Terhadap Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan) menyatakan bahwa meskipun tujuh formula “pertumbuhan dan pemerataan” memperluas perhatiannya pada upaya-upaya pemerataan, namun semuanya tetap saja masih belum mampu keluar dari pijakan dasar ‘pertumbuhan’ yakni tetap berusaha menjawab kebutuhan-kebutuhan material. Sebaliknya ketujuh formula tersebut sama sekali atau bahkan menghindari untuk menjawab dua kebutuhan lain yang sangat fundamental dalam kehidupan rakyat yaitu: pertama kebutuhan yang bersifat non material seperti: Hak asasi untuk kebebasan; keamanan; partisipasi, dan demokrasi. Pada masalah-masalah tersebut mereka tetap tidak peduli dan bahkan memberikan andil yang sangat besar terhadap terciptanya sistem sosial yang represif, menindas dan dominatif.  Kedua, Mereka tidak saja menghindari untuk memikirkan struktur kekuasaan, tapi juga tidak menyangkutpautkan masalah dunia ketiga dengan negara kaya.  Memang   pernah terjadi kesepakatan internasional dimana 7 persen GNP negara kaya dituntut untuk disedekahkan pada negara miskin disamping adanya kesepakatan pengaturan untuk mengurangi kecurangan perdagangan internasional; tetapi struktur ekonomi dunia tetap saja tak berubah dimana dominasi negara-negara industri kaya tetap kuat atas netgara-negara miskin.

3. Strategi Dominasi Negara Kaya Atas Negara Miskin

Untuk mempertanjam kerangka analisa terhadap masalah dominasi tersebut berikut ini akan dikemukakan suatu teori dominasi yang disebut teori “discourse and Power” (ilmu pengetahuan dan kekuasaan).
Arturo Escobar, Profesor Antropologi Pembangunan pada Smith College Northampton, USA, merumuskan bahwa penciptaan discourse (wacana) negara-negara industri (negara dominan) untuk mendominasi negara-negara miskin dilakukan melalui apa yang disebut “deployment of development” yang dilakukan melalui tiga tahapan penting yaitu: “abnormalities’, profesionalization of development atau tecnification of development dan Institutionalization of development”.
“Abnormalities menunjuk pada suatu situasi dan kondisi yang tidak normal karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan dikehendaki oleh pihak yang merasa normal. Abnormalities dilakukan dengan penciptaan isu mengenai negara-negara ketiga seperti terbelakang, primitif, tradisional, miskin, underdevelopment, kurang gizi, buta huruf, krisis, dan yang terakhir barangkali terorisme. Kondisi ini disebut kondisi ‘sakit’ yang perlu disembuhkan oleh dokter. Isu ini merasuk sampai pada level komunitas yang paling bawah, bahkan rumah tangga dan individu sekalipun. Tahap ini disebut juga “the progressive incoorporation of problem” dimana berbagai anggapan tentang masalah dikumpulkan dan disatukan.
Cara pertama ini dimaksudkan untuk melahirkan apa yang disebut “a field of intervention of power” dimana kebutuhan untuk memecahkan situasi yang tidak normal tersebut dirasakan karena itu ruang-ruang interrvensi kekuasaan mulai terbuka.
“Profesionalization of development” atau tecnification of development”, menunjuk pada suatu pengertian dimana situasi problem tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang spesifik dan karena itu harus dipecahkan secara spesifik pula oleh orang/kelompok orang yang ahli. Dalam tahap ini berbagai konsep dikembangkan sebagai resep-sesep untuk menormalkan negara-negara ketiga. Para ahli dari negara industri bekerjasama memisahkan urusan development (pembangunan) dengan masalah politik (dalam arti luas) melalui pendirian pusat-pusat studi pembangunan, yang menjadi alat untuk mengekspor gagasan-gagasan pembangunan ke negara-negara ketiga.
Cara ini dimaksudkan untuk melahirkan apa yang disebut “a field of kwoledge control yaitu dimana ilmu pengetahuan akan diperankan untuk mengontrol proses-proses sosial, ekonomi dan politik. Tujuan utamanya adalah bagaimana ekonomi mampu mengendalikan pembangunan secara efisien.  
“Institutionalization of development” menunjuk pada pengertian penciptaan instrument-instrument pembangunan yang akan berfungsi sebagai aliran proses dominasi sosial, ekonomi dan politik. Institusionalisasi pembangunan itu diciptakan disemua level. seperti dibentuknya badan-badan/organisasi internasional (seperti UN, Wold Bank, IMF, IGGI, CGI, Paris Club, WTO), national (seperti Bappenas, Bapeda, LKMD, PKK, dan pusat-pusat penelitian serta lembaga-lembaga pembangunaan lainnya) sebagai aparat pembangunan.
Dengan tiga tahapan strategi “deployment of development tersebut negara-negara industri maju telah mampu melakukan penetrasi, integrasi, pengelolaan, kontrol terhadap negara-negara ketiga dan penduduknya secara mendetail terutama sejak selesainya perang dunia kedua.
Wacana dan strategi “development dan underdevelopment” itu selanjutnya mendapat tempat yang sangat penting dinegara-negara ketiga bukan saja menjadi pengetahuan baru, tetapi juga kekuasaan baru dan keimanan baru, sehingga telah terjadi perubahan yang luar biasa yakni dari kepentingan dominasi Barat dan Amerika terhadap negara ketiga, berubah menjadi suatu teori yang memperoleh legitimasi filosofis dan berubah menjadi “isme’ baru (developmentalism).

4. Paradigma Alternatif

Apa yang  diperlukan sekarang ini adalah adanya model pembangunan yang sama sekali berbeda dari model ortodox. Model alternatif ini disebut “transformasi struktural”. Model pembangunan transformasi struktural meletakkan prioritas pada kebutuhan-kebutuhan internal dari negara-negara berkembang itu sendiri untuk menjamin keberlangsungan pembangunannya baik secara ekonomi maupun lingkungan, yang menjamin perbaikan kondisi penduduk miskin.
Pendekatan pembangunan harus didasarkan atas “partisipasi” dari rakyat negara-negara miskin itu sendiri dan tidak diatur serta dikontrol oleh kekuatan-kekuatan eksternal lain, baik pembangunan yang berskala lokal, regional maupun nasional. The UN Economic Commission for Africa  dalam “alternative framework”nya menyebut model pembangunan alternatif ini sebagai “fundamental transformation of social, economic and political structure” (perubahan fundamental dalam struktur sosial, ekonomi dan politik).
Pendekatan pembangunan yang baru ini menekankan pada prinsip “equity (keadilan), participation (partisipasi), dan sustainability (keberlanjutan). Komisi Selatan yang dipimpin oleh Julius Nyerere menyimpulkan bahwa “pembangunan yang benar harus menempatkan manusia sebagai pusatnya, dan di rancang untuk menjamin kepentingan sosial dan ekonomi rakyat itu sendiri.
Dinamika model pembangunan ortodox yang bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi dan modernisasi” di utara tidaklah layak dan cukup menjadi penggerak untuk meningkatnya pertumbuhan secara bekelanjutan di selatan. Berdasarkan pengalaman koalisi NGO regional di utara maupun diselatan dengan proyek-proyek mereka yang disebut dengan “local development inisiative” merumuskan, bahwa keberhasilan pembangunan yang berhasil harus mendasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
o   Partisipasi rakyat dalam menentukan/memutuskan setiap kebijakan pembangunan;
o   Menghormati ilmu pengetahuan lokal, pengalaman praktis mereka dan budaya setempat;
o   Mengangkat keswadayaan rakyat melalui produksi-produksi konsumsi lokal;
o   Mengikuti keragaman sistem ekologi dan mengadaptasikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah ekonomi dan lingkunan.
o   Pendektan-pendekatan yang fleksible, terpadu, dan multidimensi;
Model pembangunan yang berpusat pada manusia (“people-oriented model of development”) selama ini telah didesakkan sebagai pengganti/alternatif dari model ortodok yang ber-orientasi pada pertumbuhan (“grouth oriented”) tersebut sehingga model ortodok tidak menjadi resep tunggal  yang diterapkan dalam segala keadaan. Model alternatif ini menjamin fleksibilitas, tepat-guna secara lokal, dimana rakyat mendapatkan kesempatan baik untuk merumuskan masalah maupun menciptakan pemecahannya.
Mungkinkah model pendekatan tersebut diterapkan?. 
Pengalaman kerja-kerja NGO pada tingkat komunitas baik di utara maupun selatan telah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan dan dapat memperkuat posisi masyarakat. Sudah seharusnya lembaga-lembaga pembangunan internasional, lembaga-lembaga donor internasional, dan pemerintah baik di utara maupun selatan mengambil pelajaran dari keberhasilan-keberhasilan tersebut. Sampai saat ini kerjasama-kerjasama NGO internasional dan masyarakat sipil terus bergerak melakukan advokasi dan mendesakkan perubahan kebijakan pembangunan alternatif di semua level.
            Salah satu faktor yang sangat penting dalam implementasi model pembangunan alternatif adalah adanya kesadaran baru akan pentingnya agenda dan cara-cara baru dalam riset dan pemberdayaan rakyat.  Jika dalam model ortodok lebih menggunakan prinsip “esentialism” dan “economic determinism”, maka dalam model alternatif lebih cenderung mendasarkan pendekatan “multidisipliner” dan “overdeterminism” (Resnick dan Wolf). Kesadaran ini harus dibangun bersama dengan berbagai kekuatan dimana rakyat harus benar-benar menjadi pelaku aktif dari setiap perubahan melalui pendidikan yang membebaskan ( freire) dan untuk ini mereka harus diorganisir untuk membangun kekuatan mereka sendiri (community organizing) ( Alinsky). Pengorganisasian dan Pendidikan  ini harus dilakukan oleh  kelompok-kelompok progresif yang memiliki ikatan  historis terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi oleh rakyat atau disebut intelectual organic oleh Gramsci. Rakyat harus secara terus menerus menentukan dan memrumuskan masalahnya, menentukan apa yang paling tepat untuk mengatasinya, serta menilai hasilnya yang oleh Lewin disebut action research.

5.
  Pengertian dan Hakikat Pemberdayaan Masyarakat

Istilah pemberdayaan (empowerment) bukanlah istilah baru di kalangan LSM, akademisi, organisasi sosial kemasyarakatan, bahkan pemerintah seklipun. Ia muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu mestinya mampu merangsang proses pemandirian masyarakat (self sustaining process). Dan ada hipotesis bahwa tanpa partisipasi masyarakat niscaya tidak akan diperoleh kemajuan yang berarti dalam proses pemandirian tersebut.
Adanya gagasan bahwa partisipasi masyarakat itu seyogyanya merefleksikan pemandirian bukanlah tanpa alasan. Diasumsikan tanpa adanya pemandirian maka suatu bentuk partisipasi masyarakat itu tidak lain adalah proses mobilisasi belaka.
Dalam tataran konseptual istilah pemberdayaan itu nampaknya tidak ada persoalan untuk dapat dicerna. Ia berkait erat dengan proses transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Per definisi, pemberdayaan ialah proses penumbuhan kekuasaan dan kemampuan diri dari kelompok masyarakat yang miskin/lemah, terpinggirkan, dan tertindas. Melalui proses pemberdayaan diasumsikan bahwa kelompok masyarakat dari strata sosial terendah sekali pun bisa saja terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah dan atas. Ini akan terjadi bila mereka bukan saja diberi kesempatan akan tetapi mendapatkan bantuan atau terfasilitasi pihak lain yang memiliki komitmen untuk itu. Kelompok miskin di pedesaan misalnya, niscaya tidak akan mampu melakukan proses pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau fasilitasi pihak lain. Harus ada sekelompok orang atau suatu institusi yang bertindak sebagai pemicu keberdayaan (enabler) bagi mereka.
Pemberdayaan Masyarakat dengan demikian sama sekali berbeda dengan apa yang biasa disebut dengan pendekatan karitatif (memberi bantuan dengan dasar belas kasihan) dan pengembangan masyarakat (community development) yang biasanya berisi pembinaan, penyuluhan, bantuan teknis dan menejemen serta mendorong keswadayaan. Dua pendekatan ini biasanya berupa intervensi dari orang luar yang mengambil inisiatif, memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya sendiri. Masyarakat 'diikutkan' sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai pembina, penyuluh, pembimbing dan pemberi bantuan.
Pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana masyarakat didampingi/difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai fasilitator.
Memahami konsep pemberdayaan masyarakat  secara mendasar  berarti menempatkan rakyat beserta institusi-institusinya  sebagai kekuatan dasar bagi pembangunan  ekonomi, politik, sosial, dan budaya.  Pemberdayaan masyarakat sebenarnya bukan saja  berupa  tuntutan atas pembagian secara adil aset ekonomi tetapi juga merupakan keniscayaan ideologis dengan semangat meruntuhkan  dominasi-dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat.
Pemberdayaan masyarakat dimasa sekarang mempunyai kendala yang sangat komplek karena “rejim pertumbuhan” ala orde baru telah banyak menyisakan  rancang bangun  yang tidak ramah terhadap rakyat banyak disamping menimbulkan kerusakan yang dahsyat terhadap sumberdaya alam.   Kesukaran lain yang juga akan  dihadapi adalah menyangkut   kesiapan teknis dari berbagai pihak  terutama birokrasi/pemerintah dan legislatif karena mau atau tidak mau gagasan pemberdayaan rakyat harus dibarengi dengan perubahan kultural ditingkat  perilaku politik terutama perilaku birokrasi dan legislatif. (Adi Sasono, 1998).
Berangkat dari pengertian diatas, dapatlah dimengerti bahwa hakikat pemberdeayaan adalah upaya melepaskan berbagai bentuk dominasi budaya, tekanan politik, eksploitasi ekonomi, yang menghalangi upaya masyarakat menentukan masalahnya sendiri serta upaya-upaya mengatasinya.

6. Partisipasi Sebagai Dasar Pemberdayaan Masyarakat

Elemen dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah: partispasi dan mobilisasi sosial (social mobilisation). Disebabkan lemahnya pendidikan, ekonomi dan segala kekurangan yang dimiliki, penduduk miskin secara umum tidak dapat diharapkan dapat mengorganisir diri mereka  tanpa bantuan dari luar. Hal yang sangat esensial dari partisipasi dan mobilisasi sosial ini adalah membangun kesadaran akan pentingnya mereka menjadi agen perubahan sosial.
Partisipasi telah banyak ditafsirkan orang. Berbagai penafsiran itu antara lain sebagai beriut:
1.      'Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan,. . . partisipasi berarti melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian manfaat dan keterlibatan mereka dalam upaya evaluasi program.' (Cohen dan Uphoff, 1977) 
2.      "Partisipasi adalah dikaitkan dengan upaya terorganisir untuk meningkatkan kontrol terhadap sumberdaya dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan.' (Pearse dan Stifel, 1979)  
3.      'Partisipasi masyarakat adalah proses aktif yang dilakukan untuk mempengaruhi corak dan pelakanaan proyek-proyek pembangunan oleh masyarakat atas dasar pandangan yang menguntungkan bagi perbaikan kehidupan mereka, peningkatan pendapatan, perkembangan individu, dan keswadayaan atau nilai-nilai lain yang mereka hargai.' (Paul, 1987)  
4.      'Partisipasi dapat diartikan sebagai proses pemberdayaan kelompok masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan. Pandangan ini didasarkan pada pengakuan atas perbedaan-perbedaan dalam kekuatan ekonomi dan politik diantara kelompok-kelompok dan klas sosial yang berbeda. Partisipasi dalam hal ini merupakan kreasi dari organisasi-organisasi kelompok miskin yang demokratis, independen dan mandiri.' (Ghai, 1990)  
5.      'Pembangunan yang partisipatif mencirikan kerjasama (partnership) yang didasarkan atas dialog diantara para pelaku, dimana semua agenda disusun bersama, dan pandangan lokal serta pangalaman-pengalaman asli dihormati dan di perjuangkan. Ini lebih merupakan negosiasi dari sekedar dominasi dari kekuatan eksternal  yang menyusun agenda proyek. Sehingga rakyat menjadi pelaku dan tidak sekedar penerima manfaat.' (OECD, 1994) 
6.      'Partisipasi adalah sebuah proses dimana stakeholders mempengaruhi dan mengontrol inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan dan sumberdaya yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.' (World Bank, 1994) 
Dari penafsiran atas partisipasi tersebut, dapatlah di simpulkan bahwa situasi partisipatif akan dapat terjadi bila:
o   Manipulasi dapat dihindari dengan menjauhkan proses indoktrinasi dari yang kuat kepada yang lemah.   
o   Stakeholders menginformasikan hak-haknya, tanggungjawabnya serta pandangan-pandangannya.
o   Ada komunikasi timbal balik dimana stakehoilder mempunyai kesempatan untuk menyatakan perhatian dan pikirannya sungguhpun tidak mesti pikiran mereka akan digunakan
o   Stakeholder berinteraksi untuk saling memahami untuk membangun konsensus melalui proses negosiasi.
o   Pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif.
o   Adanya pemahaman dan pembagian resiko diantara stakeholders.
o   Adanya kerjasama (Partnership) untuk mencapai tujuan bersama.
o   Pengelolaan bersama (Self-management) diantara stakeholders.
(diadopsi dari UNCDF, 1996) 




7. Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Uraian diatas memberikan penjelasan bahwa peristiwa pembangunan tidaklah cukup dipahami sebagai peristiwa ekonomi ansih. Setiap peristiwa pembangunan selalu memiliki dimensi ekonomi, politik, dan budaya. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa berbagai upaya yang hanya berdimensi ekonomi selalu menemui kekagagalan dan tidak membawa perubahan yang cukup berarti.
Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan jalan yang panjang dan penuh tantangan baik internal maupun eksternal. Hanya dengan komitmen yang kuat dan keberpihakan terhadap rakyat yang tulus serta upaya yang sungguh-sungguh pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan.
Pemberdayaan masyarakat membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, legislatif, para pelaku ekonomi, rakyat, lembaga-lembaga pendidikan serta organisasi-organisasi non pemerintah.  Cara kerja yang langsung berhubungan dengan masyarakat dilapis bawah memberikan peluang yang luas untuk menggerakkan dan melancarkan proses belajar masyarakat dalam membangun kehidupannya melalui kerja-kerja konkrit dan melalui uji coba-uji coba dalam skala mikro, kecil dan menengah.  Dalam kaitan ini fasilitator pemberdayaan masayarakat memiliki peran penting dan strategis. Fasilitator bukanlah pekerja ansih yang bekerja dengan model “tukang” tetapi mereka adalah aktivis yang bekerja penuh komitmen dan kreativitas serta memiliki semangat tinggi membantu masyarakat belajar membebasakan dirinya dari segala bentuk dominasi yang memiskinan dan dan membodohkan.
Tugas utama fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan pembelajaran bagi masyarakat lokal untuk membangun tingkat kemandirian dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Bersamaan dengan itu, membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap berbagai format ekonomi-politik yang berlangsung secara mapan dibarengi dengan memperkuat kemampuan masyarakat untuk berdialog  sehingga mempunyai kapasitas transaksional dan diharapkan bisa mengambil posisi tawar yang kuat dengan  kekuatan lain. Upaya-upaya itu harus disertai dengan menggalang kemampuan untuk membetuk aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan lain agar mampu mempengaruhi perubahan-perubahan kebijakan yang lebih menguntungkan bagi kehidupan mereka.
Berdasar uraian tersebut, maka upaya pemberdayaan masyarakat haruslah melibatkan beberapa pendekatan dan strategi sebagai berikut:
a.       Memulai dengan tindakan mikro. Proses pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog mikro – makro harus terus menerus menjadi bagian pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy input dan policy reform sebagai unsur  utama pemberdayaan sehingga memiliki dampak yang lebih luas.
b.      Membangun kembali kelembagaan rakyat. Peranserta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat. Peran serta masyarakat secara teknis membutuhkan munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri.
c.       Pengembangan kesadaran rakyat. Karena peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal politik ekonomi, maka tindakan yang hanya ber-orientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Yang diperlukan adalah tindakan politik yang berasis pada kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses demokratisasi ekonomi. Pendidikan alternatif dan kritis merupakan pendekatan yang sangat penting sebagai upaya membangun kesadaran rakyat.
d.      Redistribusi sumberdaya ekonomi  merupakan syarat pokok pemberdayaan rakyat. Redistribusi aset  bukanlah sejenis hibah. Tapi merupakan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi nasional serta pendayagunaannya dengan segala resiko dan keuntungan yang akan dihadapi.
e.       Menerapkan model pembangunan berkelanjutan. Sudah tidak jamannya lagi mempertentangkan pendekatan ekonomi dan lingkungan. Memperpanjang perdebatan masalah ini akan memperpanjang deretan kerusakan sumberdaya lingkungan yang mengancam terhadap proses pembangunan itu sendiri. Yang harus diwujudkan adalah setiap peristiwa pembangunan harus mampu secara terus menerus  mengkonservasi daya dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan.
f.       Kontrol kebijakan dan advokasi. Upaya menciptakan  sistem ekonomi modern dan meninggalkan   sistem ekonomi primitif (primitive capitalisme) haruslah didukung oleh berbagai kebijakan politik yang memadai oleh pemerintah. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung terhadap upaya pemberdayaan rakyat maka kekuasaan pemerintahan harus dikontrol. Setiap kebijakan yang bertentangan dengan upaya pemberdayaan rakyat haruslah diadvokasi. Untuk ini sangatlah penting munculnya kelompok penekan yang melakukan peran kontrol terhadap kebijakan.
g.      Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal (daerah).   Ini merupakan upaya untuk menggeret gerbong ekonomi agar ekonomi rakyat kembali bergerak. Yang dimaksud produk strategis (unggulan) di sini tidak hanya produksi yang ada di masyarakat laku di pasaran,  tetapi juga unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi.
h.      Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi/kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masayarakat dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan antara kawasan satu dengan lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.
i.        Mengembangkan penguasaan pengetahuan taknis. Perlu dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan rakyat pada imput luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius. Pendidikan alternatif yang mampu mengembalikan kepercayaan diri rakyat serta dapat menggerakkan proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka sangat penting untuk dikembangkan.
j.        Membangun jaringan ekonomi strategis. Jaringan ekonomi strategis akan berfungsi untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu jaringan strategis juga akan berfungsi sebagai media pembelajaran rakyat dalam berbagai aspek dan advokasi.
 
8. Peran Komunitas Riset dan Pemberdayaan Masyarakat

Beberapa isu strategis berikut mungkin penting untuk diperhatikan oleh komunitas riset dan pemberdayaan masyarakat:
o   Membangun wacana publik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Hal ini penting mengingat dalam perubahan-perubahan kedepan situasi konflik akan terus mewarnai proses perubahan masyarakat dan hal ini tidak mungkin dihindari sebagai proses yang wajar menuju demokrasi;
o   Mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada sumberdaya lokal dan keilmuan lokal;
o   Membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan bagi kebutuhan masyarakat disatu sisi dan dalam rangka merespon  perubahan global yang sangat dinamis disisi lain.
o   Mengembangkan pusat-pusat belajar masyarakat (community learning center). Hal ini sangat penting kaitannya dengan penyiapan sumberdaya manusia.
o   Membantu pengembangan studi-studi kebijakan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional dalam rangka policy reform.
Untuk dapat menggarap isyu-isyu strategis tersebut sangat diperlukan perubahan pandangan yang lebih terbuka dari komunitas riset dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun kerjasama-kerjasama strategis dengan kekuatan-kekuatan lain seperti pemerintah, legislatif, pengusaha, organisasi-organisasi sosial, LSM baik pada level lokal, nasional maupun internasional.
Dalam kaitan dengan pengembangan partisipasi rakyat, komunitas riset dan pemberdayaan masayrakat harus benar-benar memahami konsep Participatory   Research (PR), yang dikembangkan dari pengalaman “Popular Education” dan “Grass-roots Activism” yang telah terbukti benar-benar bermanfaat. Dasar pemikiran PR adalah membangun kekuasaan rakyat (“popular power”) yakni mekanisme investigasi untuk membangun perlawanan terhadap kekuasaan (“counter-power”) dan perlawanan dominasi (“counter domination”) untuk menciptakan transformasi sosial dalam hubungannya dengan pencitaan ilmu pengetahuan rakyat (“production of people knowledge”).  Gerakan pendidikan kritis ini lebih diarahkan untuk meningkatkan 'popular-power' sebagai jalan keluar masyarakat untuk membangun diri mereka sendiri (Faqih, 1993).
Dari pengalaman dalam program-program popular education, terutama yang banyak dilakukan oleh NGO di Asia dan Amerika Latin, dan Afrika, dapatlah dikemukakan disini bahwa proses-proses kegiatan-kegiatan tersebut antara lain meliputi:
1.      Memulai dengan kegiatan kecil yang dianggap penting dan dapat dilakukan oleh rakyat;
2.      Melalui kegiatan terebut membangun kesadaran kritis dan pemberdayaan proses-proses belajar rakyat;
3.      Membangun organisasi lokal dan memunculkan pemimpin-pemimpin lokal;
4.      Mengatasi masalah-masalah ketidakadilan dan ketimpangn internal;
5.      Mendorong kelompok-kelompok sosial untuk menentukan tujuan-tujuan dan rencana-rencana lebih jauh dan lebih besar,
6.      Mengembangkan aksi-aksi penelitian kritis lebih luas,
7.      Membangun kerjasama-kerjasama antar kelompok-kelompok lokal;
8.      Membangun ketrampilan komunikasi yang lebih luas;
9.      Membangun jaringan dengan intelektual dan politik yang kritis dan memiliki kepedulian;
10.  Meningkatkan kemampuan dalam mengontrol manipulasi dan penyimpangan-penyimpangan politik oleh penguasa; dan
11.  Mengembangkan strategi-strategi politik;
12.  Mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan.
Tahapan terebut tidak senantiasa berjalan linier dan sistematis. Implementasinya sangat ditentukan oleh proses-proses yang diciptakan oleh masyarakat sendiri. Melalui tahapan tersebut, berdasarkan pengalaman telah mampu membuka ruang partisipasi dan demokratisasi lebih luas.


Daftar Pustaka

Alinsky, Saul D., 1971, Rules for Radical: A Practical Primer for Realistic Radicals, New York, Random House Inc.
Cahyono, Edy, 1999, Indeonesia: Demokratisasi di Era Globalisasi, Konferensi INFID ke 11, Jakarta, INFID.
Clark, Kenneth B and Hopkins Jeannette, 1969, A Relevant War Against Poverty, A study of Community Action Program and Observable Social Change, New York, Harper and Row Publisher.
Freire, Paulo, 1985, The Politic of Education: Cultute, Power and Liberation, London, Macmillan Publisher Ltd.
Gorman, Robert F., 1984, Privat Voluntary Organization of Development, Boulde and London, Westview Press.
------------------------, 1999, Masyarakat Sipil, Wacana, Edisi I, Volume I, Yogyakarta, Insist.
Hancock, Graham, 1989, Lord of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business, New York, The Atlantic Monthly Press.
Kanter, Rosabeth Moss, 1972, Commitment and Community: Communes and Utopias in Sociological Perspective, USA, Harvard University Press.
Faqih, Mansour, 1993, Paradigma ORNOP Indonesia: Studi Kasus Gerakan Sosial di Indonesia, Laporan Study, Jakarta, P3M.
  Nef Jorge, 1999, Human Security and Mutual Vulnerability, The Global Economy of Development and Underdevelopment (2nd edition), IDRC, Ottawa Canada, October.
Norton, Theodore Mills and Ollman Bertell, 1978, Studies in Socialist Pedagogy, New York and London, Monthly Review Press.
Putra, Fadillah, 1999, Devolusi, Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Richard Pierre Claude, 2000, Popular Education for Human Right, HREA, Amsterdam, Netherlands,.
                          , Empowering People: A Guide to Participation, UNDP, New York, Nopember 1999.
Smith Gordon and Moises Naim, 2000, Altered State – Globalization, Sovereignty, and Governance, IDRC, Ottawa Canada.
                          , NGO Perspectives on Poverty, Environment and Development, UNDP, New York, Nopember 1991.
Resnick, Stephen A. and Wolf, Richard D., 1987, Knowledge and Class, A Marxian Critique of Political Economy, Chicago, Chicago Press. Ltd.