PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Ahmad Mahmudi, SH.
Ketua Dewan Direktur Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan Surakarta
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat
Universitas Sebelas Maret
Masa Perkuliahan I
Januari 2002
Daftar Isi
1. Pendahuluan
2. Model
Pembangunan Ortodok
3.
Strategi
Dominari Negara Kaya atas Negara Miskin
4. Paradigma
Alternatif
5. Pengertian
dan Hakekat Pemberdayaan Masyarakat
6. Partisipasi Sebagai Dasar Pemberdayaan
Masyarakat
7. Strategi
Pemberdayaan Masyarakat
8.
Peran
Komunitas Riset dan Pemberdayaan Masyarakat
1. Pendahuluan
“Without a global revolution in the
sphere of human consciousness, nothing will change for the better. . . and the
catastrophe toward which this world is headed, whether it be ecological,
social, demographic or a general breakdown of civilization, will be
unavoidable.’ – Václav Havel
Kurang lebih empat dekade pembangunan sebagaimana
terus dipraktekkan hingga sekarang tidak menunjukkan keberhasilannya dalam
meningkatkan pendapatan maupun standart hidup rakyat miskin di dunia. Angka
kemiskinan didunia menunjukkan kondisi yang konstan bahkan cenderung meningkat,
demikian pula kualitas hidup penduduk miskin. (Laporan UNDP dalam “konsultasi
Genewa” Nopember 1991).
Model pembangunan ortodox tidak mampu mengikis
kondisi-kondisi buruk kehidupan rakyat miskin seperti kekurangan gizi,
keterbatasan pendidikan, serangan penyakit, dampak kerusakan lingkungan hidup,
dampak konflik politik dan peperangan. Model pembangunan ortodox bahkan ikut
andil dalam semakin memburuknya kondisi penduduk miskin didunia.
2.
Model Pembangunan Ortodok
Apakah
model pembangunan ortodok itu?
Yaitu
suatu formula dan kebijakan yang disusun dan didesakkan oleh korporasi
internasional dari negara-negara industri untuk dilaksanakan oleh negara-negara
miskin melalui apa yang diesebut “menghapuskan kemiskinan” melalui “pembangunan ekonomi” dengan strategi “pertumbuhan' ekonomi”. Yang mereka anggap sebagai kemiskinan dan keterbelakangan
adalah “rendahnya pendapatan perkapita”. Jika pendapatan perkapita dapat
ditingkatkan, menurut mereka masalah kemiskinan dan keterbelakangan akan
terpecahkan. Menurut formula tersebut, pertumbuhan ekonomi diramu dengan
beberapa komponen inti yakni: industrialisasi, peningkatan produktivitas pertanian
melalui revolusi hijau, investasi modal lebih besar, kenaikan GNP, dan 'trickle down
effect'. Begitulah rumus Kuznets.
Setelah tiga dasawarsa terlampaui, ternyata, pertumbuhan
ekonomi tidak disertai
turunnya kemiskinan dan keterbelakangan, melainkan yang terjadi adalah
sebaliknya. Bahkan kemiskinan massal selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari
pola pertumbuhan itu sendiri. Memang para elit tersebut acapkali berbicara
tentang situasi “ketidakmerataan” namun menurut
Ibrahim Samater : (Dari Pertumbuhan ke Basic Need, Sebuah
Evolusi Teori Pertumbuhan), hal tersebut hanyalah merupakan bagian dari
upaya ‘menipu rakyat’ karena yang terjadi sesungguhnya adalah mereka hanya
bicara: ‘strategi-strategi pembangunan pertumbuhan’ saja.
Formula ‘pertumbuhan’ telah mengalami evolusi sebagai
akibat dari kritik yang kuat terhadap situasi ‘ketidakmerataan’. Berbagai
kritik tersebut menumbuhkan keyakinan pada lembag-lembaga internasional dan
para elit politik dan ekonomi negara ketiga yaitu bahwa model pembangunan
ortodok yang mempercayakan pada pertumbuhan GNP tidak akan memberi keuntungan
kepada kaum miskin dinegara berkembang, dan juga tidak memberi keuntungan
segera pada mereka. Oleh karena itu ‘pertumbuhan haruslah dibarengi dengan pemerataan.
Setidak-tidaknya, selama tiga dasawarsa ini, model
pembangunan di negara-negara ketiga (termasuk Indonesia) sangat dipengaruhi
oleh 7 formula “pertumbuhan dan pemerataan” sebagai berikut:
a.
Emplyoment generation (penyerapan
tenaga kerja/padat karya);
b.
Redirecting Investment (pengerahan
kembali Investasi secara besar-besaran);
c.
Meeting basic Needs (pemenuhan
kebutuhan dasar);
d.
Human Resource Development
(pembangunan sumber daya manusia);
e.
Agricultural first Developement
(pembangunan dengan mengutamakan pertanian);
f.
Integrated Rural development
(pembanggunan pedesaan terpadu);
g.
The New International Economic
Order (tata ekonomi dunia baru).
James
Weaver, K.P. Jameson dan Richard N.Blue ( Analisa Kritik
Terhadap Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan) menyatakan bahwa meskipun tujuh
formula “pertumbuhan dan pemerataan” memperluas perhatiannya pada upaya-upaya
pemerataan, namun semuanya tetap saja masih belum mampu keluar dari pijakan
dasar ‘pertumbuhan’ yakni tetap berusaha menjawab kebutuhan-kebutuhan
material. Sebaliknya ketujuh formula tersebut sama sekali atau bahkan
menghindari untuk menjawab dua kebutuhan lain yang sangat fundamental dalam
kehidupan rakyat yaitu: pertama
kebutuhan yang bersifat non material seperti: Hak asasi untuk kebebasan;
keamanan; partisipasi, dan demokrasi. Pada masalah-masalah tersebut mereka
tetap tidak peduli dan bahkan memberikan andil yang sangat besar terhadap
terciptanya sistem sosial yang represif, menindas dan dominatif. Kedua,
Mereka tidak saja menghindari untuk memikirkan struktur kekuasaan, tapi juga
tidak menyangkutpautkan masalah dunia ketiga dengan negara kaya. Memang
pernah terjadi kesepakatan internasional dimana 7 persen GNP negara kaya
dituntut untuk disedekahkan pada negara miskin disamping adanya kesepakatan
pengaturan untuk mengurangi kecurangan perdagangan internasional; tetapi
struktur ekonomi dunia tetap saja tak berubah dimana dominasi negara-negara
industri kaya tetap kuat atas netgara-negara miskin.
3. Strategi Dominasi Negara Kaya Atas Negara Miskin
Untuk mempertanjam kerangka analisa terhadap masalah dominasi tersebut
berikut ini akan dikemukakan suatu teori dominasi yang disebut teori “discourse
and Power” (ilmu pengetahuan dan kekuasaan).
Arturo Escobar,
Profesor Antropologi Pembangunan pada Smith College Northampton, USA,
merumuskan bahwa penciptaan discourse (wacana) negara-negara industri (negara
dominan) untuk mendominasi negara-negara miskin dilakukan melalui apa yang
disebut “deployment of development” yang dilakukan melalui tiga tahapan
penting yaitu: “abnormalities’, profesionalization of development atau
tecnification of development dan Institutionalization of development”.
“Abnormalities” menunjuk pada suatu situasi dan
kondisi yang tidak normal karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan
dikehendaki oleh pihak yang merasa normal. Abnormalities
dilakukan dengan penciptaan isu mengenai negara-negara ketiga seperti
terbelakang, primitif, tradisional, miskin, underdevelopment, kurang gizi, buta
huruf, krisis, dan yang terakhir barangkali terorisme. Kondisi ini disebut
kondisi ‘sakit’ yang perlu disembuhkan oleh dokter. Isu ini merasuk sampai pada
level komunitas yang paling bawah, bahkan rumah tangga dan individu sekalipun. Tahap ini disebut juga “the progressive incoorporation of problem”
dimana berbagai anggapan tentang masalah dikumpulkan dan disatukan.
Cara pertama ini dimaksudkan untuk melahirkan apa yang
disebut “a field of intervention of power”
dimana kebutuhan untuk memecahkan situasi yang tidak normal tersebut dirasakan
karena itu ruang-ruang interrvensi kekuasaan mulai terbuka.
“Profesionalization
of development” atau tecnification of development”, menunjuk pada suatu pengertian dimana situasi problem tersebut harus
dipandang sebagai sesuatu yang spesifik dan karena itu harus dipecahkan secara
spesifik pula oleh orang/kelompok orang yang ahli.
Dalam tahap ini berbagai konsep dikembangkan
sebagai resep-sesep untuk menormalkan negara-negara ketiga. Para ahli dari negara industri bekerjasama
memisahkan urusan development (pembangunan) dengan masalah politik (dalam arti
luas) melalui pendirian pusat-pusat studi pembangunan, yang menjadi alat untuk
mengekspor gagasan-gagasan pembangunan ke negara-negara ketiga.
Cara ini dimaksudkan untuk melahirkan apa yang disebut “a field of kwoledge control” yaitu dimana ilmu pengetahuan akan diperankan
untuk mengontrol proses-proses sosial, ekonomi dan politik. Tujuan utamanya
adalah bagaimana ekonomi mampu mengendalikan pembangunan secara efisien.
“Institutionalization of development” menunjuk pada pengertian penciptaan
instrument-instrument pembangunan yang akan berfungsi sebagai aliran proses
dominasi sosial, ekonomi dan politik. Institusionalisasi pembangunan itu
diciptakan disemua level. seperti dibentuknya badan-badan/organisasi
internasional (seperti UN, Wold Bank, IMF, IGGI, CGI, Paris Club, WTO),
national (seperti Bappenas, Bapeda, LKMD, PKK, dan pusat-pusat penelitian serta
lembaga-lembaga pembangunaan lainnya) sebagai aparat pembangunan.
Dengan tiga tahapan strategi “deployment of development“ tersebut negara-negara
industri maju telah mampu melakukan penetrasi, integrasi, pengelolaan, kontrol
terhadap negara-negara ketiga dan penduduknya secara mendetail terutama sejak
selesainya perang dunia kedua.
Wacana dan strategi “development dan underdevelopment” itu
selanjutnya mendapat tempat yang sangat penting dinegara-negara ketiga bukan
saja menjadi pengetahuan baru, tetapi juga kekuasaan baru dan keimanan baru,
sehingga telah terjadi perubahan yang luar biasa yakni dari kepentingan
dominasi Barat dan Amerika terhadap negara ketiga, berubah menjadi suatu teori
yang memperoleh legitimasi filosofis dan berubah menjadi “isme’ baru (developmentalism).
4. Paradigma Alternatif
Apa yang diperlukan sekarang ini adalah adanya model
pembangunan yang sama sekali berbeda dari model ortodox. Model alternatif ini
disebut “transformasi struktural”. Model pembangunan transformasi
struktural meletakkan prioritas pada kebutuhan-kebutuhan internal dari
negara-negara berkembang itu sendiri untuk menjamin keberlangsungan
pembangunannya baik secara ekonomi maupun lingkungan, yang menjamin perbaikan
kondisi penduduk miskin.
Pendekatan pembangunan harus
didasarkan atas “partisipasi” dari rakyat negara-negara miskin itu
sendiri dan tidak diatur serta dikontrol oleh kekuatan-kekuatan eksternal lain,
baik pembangunan yang berskala lokal, regional maupun nasional. The UN
Economic Commission for Africa dalam
“alternative framework”nya menyebut model pembangunan alternatif ini sebagai “fundamental
transformation of social, economic and political structure” (perubahan
fundamental dalam struktur sosial, ekonomi dan politik).
Pendekatan pembangunan yang baru ini menekankan
pada prinsip “equity (keadilan), participation (partisipasi), dan
sustainability (keberlanjutan). Komisi Selatan yang dipimpin oleh Julius
Nyerere menyimpulkan bahwa “pembangunan yang benar harus menempatkan manusia
sebagai pusatnya, dan di rancang untuk menjamin kepentingan sosial dan ekonomi
rakyat itu sendiri.
Dinamika model pembangunan ortodox yang bertumpu
pada “pertumbuhan ekonomi dan modernisasi” di utara tidaklah layak dan cukup
menjadi penggerak untuk meningkatnya pertumbuhan secara bekelanjutan di
selatan. Berdasarkan pengalaman koalisi NGO regional di utara maupun diselatan
dengan proyek-proyek mereka yang disebut dengan “local development inisiative”
merumuskan, bahwa keberhasilan pembangunan yang berhasil harus mendasarkan atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
o
Partisipasi rakyat dalam menentukan/memutuskan setiap kebijakan pembangunan;
o
Menghormati ilmu pengetahuan lokal, pengalaman praktis mereka dan budaya
setempat;
o
Mengangkat keswadayaan rakyat melalui produksi-produksi konsumsi lokal;
o
Mengikuti keragaman sistem ekologi dan mengadaptasikan
alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah ekonomi dan lingkunan.
o
Pendektan-pendekatan yang fleksible, terpadu, dan multidimensi;
Model pembangunan yang berpusat pada manusia (“people-oriented model of
development”) selama ini telah didesakkan sebagai pengganti/alternatif dari
model ortodok yang ber-orientasi pada pertumbuhan (“grouth oriented”) tersebut
sehingga model ortodok tidak menjadi resep tunggal yang diterapkan dalam segala keadaan. Model
alternatif ini menjamin fleksibilitas, tepat-guna secara lokal, dimana rakyat
mendapatkan kesempatan baik untuk merumuskan masalah maupun menciptakan
pemecahannya.
Mungkinkah model pendekatan tersebut diterapkan?.
Pengalaman kerja-kerja NGO pada tingkat komunitas baik di utara maupun
selatan telah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan dan dapat
memperkuat posisi masyarakat. Sudah seharusnya lembaga-lembaga pembangunan
internasional, lembaga-lembaga donor internasional, dan pemerintah baik di
utara maupun selatan mengambil pelajaran dari keberhasilan-keberhasilan tersebut.
Sampai saat ini kerjasama-kerjasama NGO internasional dan masyarakat sipil
terus bergerak melakukan advokasi dan mendesakkan perubahan kebijakan
pembangunan alternatif di semua level.
Salah satu faktor yang
sangat penting dalam implementasi model pembangunan alternatif adalah adanya
kesadaran baru akan pentingnya agenda dan cara-cara baru dalam riset dan
pemberdayaan rakyat. Jika dalam model
ortodok lebih menggunakan prinsip “esentialism” dan “economic determinism”,
maka dalam model alternatif lebih cenderung mendasarkan pendekatan
“multidisipliner” dan “overdeterminism” (Resnick dan Wolf). Kesadaran ini harus
dibangun bersama dengan berbagai kekuatan dimana rakyat harus benar-benar
menjadi pelaku aktif dari setiap perubahan melalui pendidikan yang membebaskan
( freire) dan untuk ini mereka harus diorganisir untuk membangun kekuatan
mereka sendiri (community organizing) ( Alinsky). Pengorganisasian dan
Pendidikan ini harus dilakukan oleh kelompok-kelompok progresif yang memiliki
ikatan historis terhadap situasi dan
kondisi yang dihadapi oleh rakyat atau disebut intelectual organic oleh
Gramsci. Rakyat harus secara terus menerus menentukan dan memrumuskan
masalahnya, menentukan apa yang paling tepat untuk mengatasinya, serta menilai
hasilnya yang oleh Lewin disebut action research.
5. Pengertian dan Hakikat Pemberdayaan
Masyarakat
Istilah pemberdayaan (empowerment)
bukanlah istilah baru di kalangan LSM, akademisi, organisasi sosial
kemasyarakatan, bahkan pemerintah seklipun. Ia muncul hampir bersamaan dengan
adanya kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu mestinya mampu merangsang proses
pemandirian masyarakat (self sustaining process). Dan ada hipotesis
bahwa tanpa partisipasi masyarakat niscaya tidak akan diperoleh kemajuan yang
berarti dalam proses pemandirian tersebut.
Adanya gagasan bahwa
partisipasi masyarakat itu seyogyanya merefleksikan pemandirian bukanlah tanpa
alasan. Diasumsikan tanpa adanya pemandirian maka suatu bentuk partisipasi
masyarakat itu tidak lain adalah proses mobilisasi belaka.
Dalam tataran konseptual
istilah pemberdayaan itu nampaknya tidak ada persoalan untuk dapat dicerna. Ia
berkait erat dengan proses transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Per definisi, pemberdayaan ialah proses penumbuhan kekuasaan dan
kemampuan diri dari kelompok masyarakat yang miskin/lemah, terpinggirkan, dan
tertindas. Melalui proses pemberdayaan diasumsikan bahwa kelompok
masyarakat dari strata sosial terendah sekali pun bisa saja terangkat dan
muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah dan atas. Ini akan
terjadi bila mereka bukan saja diberi kesempatan akan tetapi mendapatkan
bantuan atau terfasilitasi pihak lain yang memiliki komitmen untuk itu.
Kelompok miskin di pedesaan misalnya, niscaya tidak akan mampu melakukan proses
pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau fasilitasi pihak lain. Harus ada
sekelompok orang atau suatu institusi yang bertindak sebagai pemicu keberdayaan
(enabler) bagi mereka.
Pemberdayaan Masyarakat dengan demikian sama sekali berbeda dengan apa yang
biasa disebut dengan pendekatan karitatif (memberi bantuan dengan dasar
belas kasihan) dan pengembangan masyarakat (community development) yang
biasanya berisi pembinaan, penyuluhan, bantuan teknis dan menejemen serta
mendorong keswadayaan. Dua pendekatan ini biasanya berupa intervensi dari orang
luar yang mengambil inisiatif, memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya
sendiri. Masyarakat 'diikutkan' sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan
sebagai pembina, penyuluh, pembimbing dan pemberi bantuan.
Pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana
masyarakat didampingi/difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif
sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf
hidupnya. Masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai
fasilitator.
Memahami konsep pemberdayaan masyarakat
secara mendasar berarti
menempatkan rakyat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pemberdayaan masyarakat sebenarnya bukan
saja berupa tuntutan atas pembagian secara adil aset
ekonomi tetapi juga merupakan keniscayaan ideologis dengan semangat
meruntuhkan dominasi-dominasi birokrasi
dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat.
Pemberdayaan
masyarakat dimasa sekarang mempunyai kendala yang sangat komplek karena “rejim
pertumbuhan” ala orde baru telah banyak menyisakan rancang bangun yang tidak ramah terhadap rakyat banyak
disamping menimbulkan kerusakan yang dahsyat terhadap sumberdaya alam. Kesukaran lain yang juga akan dihadapi adalah menyangkut kesiapan teknis dari berbagai pihak terutama birokrasi/pemerintah dan legislatif
karena mau atau tidak mau gagasan pemberdayaan rakyat harus dibarengi dengan
perubahan kultural ditingkat perilaku
politik terutama perilaku birokrasi dan legislatif. (Adi Sasono, 1998).
Berangkat dari
pengertian diatas, dapatlah dimengerti bahwa hakikat pemberdeayaan adalah upaya
melepaskan berbagai bentuk dominasi budaya, tekanan politik, eksploitasi
ekonomi, yang menghalangi upaya masyarakat menentukan masalahnya sendiri serta
upaya-upaya mengatasinya.
6.
Partisipasi Sebagai Dasar Pemberdayaan Masyarakat
Elemen dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah: partispasi dan mobilisasi
sosial (social mobilisation). Disebabkan lemahnya pendidikan, ekonomi dan
segala kekurangan yang dimiliki, penduduk miskin secara umum tidak dapat
diharapkan dapat mengorganisir diri mereka
tanpa bantuan dari luar. Hal yang sangat esensial dari partisipasi dan
mobilisasi sosial ini adalah membangun kesadaran akan pentingnya mereka menjadi
agen perubahan sosial.
Partisipasi telah banyak ditafsirkan orang. Berbagai penafsiran itu antara lain
sebagai beriut:
1. 'Dalam kaitannya
dengan pembangunan pedesaan,. . . partisipasi berarti melibatkan rakyat dalam
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian manfaat dan
keterlibatan mereka dalam upaya evaluasi program.' (Cohen dan Uphoff,
1977)
2. "Partisipasi
adalah dikaitkan dengan upaya terorganisir untuk meningkatkan kontrol terhadap
sumberdaya dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan.' (Pearse dan Stifel,
1979)
3. 'Partisipasi
masyarakat adalah proses aktif yang dilakukan untuk mempengaruhi corak dan pelakanaan
proyek-proyek pembangunan oleh masyarakat atas dasar pandangan yang
menguntungkan bagi perbaikan kehidupan mereka, peningkatan pendapatan,
perkembangan individu, dan keswadayaan atau nilai-nilai lain yang mereka
hargai.' (Paul, 1987)
4. 'Partisipasi
dapat diartikan sebagai proses pemberdayaan kelompok masyarakat yang tertinggal
dan terpinggirkan. Pandangan ini didasarkan pada pengakuan atas
perbedaan-perbedaan dalam kekuatan ekonomi dan politik diantara
kelompok-kelompok dan klas sosial yang berbeda. Partisipasi dalam
hal ini merupakan kreasi dari organisasi-organisasi kelompok miskin yang
demokratis, independen dan mandiri.' (Ghai,
1990)
5.
'Pembangunan yang partisipatif mencirikan kerjasama
(partnership) yang didasarkan atas dialog diantara para pelaku, dimana semua
agenda disusun bersama, dan pandangan lokal serta pangalaman-pengalaman asli
dihormati dan di perjuangkan. Ini lebih merupakan negosiasi dari sekedar dominasi dari
kekuatan eksternal yang menyusun agenda
proyek. Sehingga rakyat menjadi pelaku dan tidak sekedar penerima manfaat.'
(OECD, 1994)
6. 'Partisipasi adalah sebuah proses dimana stakeholders
mempengaruhi dan mengontrol inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan dan
sumberdaya yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.' (World Bank, 1994)
Dari
penafsiran atas partisipasi tersebut, dapatlah di simpulkan bahwa situasi
partisipatif akan dapat terjadi bila:
o
Manipulasi dapat
dihindari dengan menjauhkan proses indoktrinasi dari yang kuat kepada yang
lemah.
o Stakeholders
menginformasikan hak-haknya, tanggungjawabnya serta pandangan-pandangannya.
o Ada komunikasi timbal balik dimana
stakehoilder mempunyai kesempatan untuk menyatakan perhatian dan pikirannya
sungguhpun tidak mesti pikiran mereka akan digunakan
o Stakeholder
berinteraksi untuk saling memahami untuk membangun konsensus melalui proses
negosiasi.
o Pengambilan
keputusan dilakukan secara kolektif.
o Adanya pemahaman
dan pembagian resiko diantara stakeholders.
o Adanya kerjasama
(Partnership) untuk mencapai tujuan bersama.
o Pengelolaan
bersama (Self-management) diantara stakeholders.
(diadopsi dari UNCDF, 1996)
7. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Uraian diatas memberikan penjelasan bahwa peristiwa
pembangunan tidaklah cukup dipahami sebagai peristiwa ekonomi ansih. Setiap
peristiwa pembangunan selalu memiliki dimensi ekonomi, politik, dan budaya.
Oleh karena itu dapat dipahami mengapa berbagai upaya yang hanya berdimensi
ekonomi selalu menemui kekagagalan dan tidak membawa perubahan yang cukup
berarti.
Upaya
pemberdayaan masyarakat merupakan jalan yang panjang dan penuh tantangan baik
internal maupun eksternal. Hanya dengan komitmen yang kuat dan keberpihakan
terhadap rakyat yang tulus serta upaya yang sungguh-sungguh pemberdayaan
masyarakat dapat dikembangkan.
Pemberdayaan masyarakat
membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, legislatif, para pelaku
ekonomi, rakyat, lembaga-lembaga pendidikan serta organisasi-organisasi non
pemerintah. Cara kerja yang langsung
berhubungan dengan masyarakat dilapis bawah memberikan peluang yang luas untuk
menggerakkan dan melancarkan proses belajar masyarakat dalam membangun
kehidupannya melalui kerja-kerja konkrit dan melalui uji coba-uji coba dalam
skala mikro, kecil dan menengah. Dalam
kaitan ini fasilitator pemberdayaan masayarakat memiliki peran penting dan
strategis. Fasilitator bukanlah pekerja ansih yang bekerja dengan model
“tukang” tetapi mereka adalah aktivis yang bekerja penuh komitmen dan
kreativitas serta memiliki semangat tinggi membantu masyarakat belajar
membebasakan dirinya dari segala bentuk dominasi yang memiskinan dan dan
membodohkan.
Tugas utama
fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan pembelajaran bagi
masyarakat lokal untuk membangun tingkat kemandirian dalam menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi. Bersamaan dengan itu, membangun kesadaran kritis
masyarakat terhadap berbagai format ekonomi-politik yang berlangsung secara
mapan dibarengi dengan memperkuat kemampuan masyarakat untuk berdialog sehingga mempunyai kapasitas transaksional
dan diharapkan bisa mengambil posisi tawar yang kuat dengan kekuatan lain. Upaya-upaya itu harus disertai
dengan menggalang kemampuan untuk membetuk aliansi strategis dengan
kekuatan-kekuatan lain agar mampu mempengaruhi perubahan-perubahan kebijakan
yang lebih menguntungkan bagi kehidupan mereka.
Berdasar uraian
tersebut, maka upaya pemberdayaan masyarakat haruslah melibatkan beberapa
pendekatan dan strategi sebagai berikut:
a. Memulai dengan tindakan mikro. Proses
pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks
makro dan global. Dialog mikro – makro harus terus menerus menjadi bagian
pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy
input dan policy reform sebagai unsur
utama pemberdayaan sehingga memiliki dampak yang lebih luas.
b. Membangun kembali kelembagaan rakyat.
Peranserta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan
masyarakat. Peran serta masyarakat secara teknis membutuhkan munculnya
kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh
masyarakat sendiri.
c. Pengembangan kesadaran rakyat. Karena
peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal politik
ekonomi, maka tindakan yang hanya ber-orientasi memberikan bantuan teknis jelas
tidak memadai. Yang diperlukan adalah tindakan politik yang berasis pada
kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi
dan politik yang menghambat proses demokratisasi ekonomi. Pendidikan alternatif
dan kritis merupakan pendekatan yang sangat penting sebagai upaya membangun
kesadaran rakyat.
d. Redistribusi sumberdaya ekonomi merupakan syarat pokok pemberdayaan rakyat.
Redistribusi aset bukanlah sejenis
hibah. Tapi merupakan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dalam
pengelolaan sumberdaya ekonomi nasional serta pendayagunaannya dengan segala
resiko dan keuntungan yang akan dihadapi.
e.
Menerapkan model pembangunan
berkelanjutan. Sudah tidak jamannya lagi mempertentangkan pendekatan
ekonomi dan lingkungan. Memperpanjang perdebatan masalah ini akan memperpanjang
deretan kerusakan sumberdaya lingkungan yang mengancam terhadap proses
pembangunan itu sendiri. Yang harus diwujudkan adalah setiap peristiwa
pembangunan harus mampu secara terus menerus
mengkonservasi daya dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat
dipertahankan untuk mendukung pembangunan.
f.
Kontrol kebijakan dan advokasi. Upaya
menciptakan sistem ekonomi modern dan
meninggalkan sistem ekonomi primitif (primitive capitalisme) haruslah didukung oleh berbagai kebijakan
politik yang memadai oleh pemerintah. Agar kebijakan pemerintah benar-benar
mendukung terhadap upaya pemberdayaan rakyat maka kekuasaan pemerintahan harus
dikontrol. Setiap kebijakan yang bertentangan dengan upaya pemberdayaan rakyat
haruslah diadvokasi. Untuk
ini sangatlah penting munculnya kelompok penekan yang melakukan peran kontrol
terhadap kebijakan.
g. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan
kondisi lokal (daerah). Ini merupakan
upaya untuk menggeret gerbong ekonomi agar ekonomi rakyat kembali bergerak.
Yang dimaksud produk strategis (unggulan) di sini tidak hanya produksi yang ada
di masyarakat laku di pasaran, tetapi
juga unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki
keterkaitan sektoral yang tinggi.
h. Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan
pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas
kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah
pendekatan birokrasi/kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan
pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu.
Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masayarakat
dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan
antara kawasan satu dengan lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya
kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.
i.
Mengembangkan
penguasaan pengetahuan taknis. Perlu dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah
menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan
rakyat pada imput luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius.
Pendidikan alternatif yang mampu mengembalikan kepercayaan diri rakyat serta
dapat menggerakkan proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan mereka sangat penting untuk dikembangkan.
j.
Membangun
jaringan ekonomi strategis. Jaringan ekonomi strategis akan berfungsi untuk
mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran,
teknologi dan permodalan. Disamping itu jaringan strategis juga akan berfungsi
sebagai media pembelajaran rakyat dalam berbagai aspek dan advokasi.
8. Peran Komunitas Riset dan Pemberdayaan Masyarakat
Beberapa isu strategis berikut mungkin
penting untuk diperhatikan oleh komunitas riset dan pemberdayaan masyarakat:
o
Membangun wacana publik bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Hal ini
penting mengingat dalam perubahan-perubahan kedepan situasi konflik akan terus
mewarnai proses perubahan masyarakat dan hal ini tidak mungkin dihindari
sebagai proses yang wajar menuju demokrasi;
o
Mengembangkan model pembangunan yang
benar-benar berbasis pada sumberdaya lokal dan keilmuan lokal;
o
Membangun basis-basis pengembangan
keilmuan yang benar-benar relevan bagi kebutuhan masyarakat disatu sisi dan
dalam rangka merespon perubahan global
yang sangat dinamis disisi lain.
o
Mengembangkan pusat-pusat belajar masyarakat (community
learning center). Hal ini sangat penting kaitannya dengan penyiapan sumberdaya
manusia.
o
Membantu pengembangan studi-studi kebijakan baik tingkat
lokal, nasional maupun internasional dalam rangka policy reform.
Untuk dapat menggarap isyu-isyu strategis tersebut sangat
diperlukan perubahan pandangan yang lebih terbuka dari komunitas riset dan
pemberdayaan masyarakat untuk membangun kerjasama-kerjasama strategis dengan
kekuatan-kekuatan lain seperti pemerintah, legislatif, pengusaha,
organisasi-organisasi sosial, LSM baik pada level lokal, nasional maupun
internasional.
Dalam kaitan dengan pengembangan
partisipasi rakyat, komunitas riset dan pemberdayaan masayrakat harus
benar-benar memahami konsep Participatory
Research (PR), yang dikembangkan dari pengalaman “Popular Education”
dan “Grass-roots Activism” yang telah terbukti benar-benar bermanfaat.
Dasar pemikiran PR adalah membangun kekuasaan rakyat (“popular power”) yakni
mekanisme investigasi untuk membangun perlawanan terhadap kekuasaan
(“counter-power”) dan perlawanan dominasi (“counter domination”) untuk
menciptakan transformasi sosial dalam hubungannya dengan pencitaan ilmu
pengetahuan rakyat (“production of people knowledge”). Gerakan pendidikan kritis ini lebih diarahkan untuk
meningkatkan 'popular-power' sebagai jalan keluar masyarakat untuk membangun
diri mereka sendiri (Faqih, 1993).
Dari pengalaman dalam program-program popular education, terutama yang
banyak dilakukan oleh NGO di Asia dan Amerika Latin, dan Afrika, dapatlah
dikemukakan disini bahwa proses-proses kegiatan-kegiatan tersebut antara lain
meliputi:
1. Memulai dengan
kegiatan kecil yang dianggap penting dan dapat dilakukan oleh rakyat;
2. Melalui kegiatan
terebut membangun kesadaran kritis dan pemberdayaan proses-proses belajar
rakyat;
3.
Membangun
organisasi lokal dan memunculkan pemimpin-pemimpin lokal;
4.
Mengatasi
masalah-masalah ketidakadilan dan ketimpangn internal;
5.
Mendorong
kelompok-kelompok sosial untuk menentukan tujuan-tujuan dan rencana-rencana
lebih jauh dan lebih besar,
6.
Mengembangkan
aksi-aksi penelitian kritis lebih luas,
7.
Membangun
kerjasama-kerjasama antar kelompok-kelompok lokal;
8. Membangun
ketrampilan komunikasi yang lebih luas;
9.
Membangun
jaringan dengan intelektual dan politik yang kritis dan memiliki kepedulian;
10. Meningkatkan kemampuan dalam mengontrol manipulasi dan
penyimpangan-penyimpangan politik oleh penguasa; dan
11. Mengembangkan
strategi-strategi politik;
12. Mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan.
Tahapan terebut tidak senantiasa berjalan linier dan
sistematis. Implementasinya sangat ditentukan oleh proses-proses yang
diciptakan oleh masyarakat sendiri. Melalui tahapan tersebut, berdasarkan
pengalaman telah mampu membuka ruang partisipasi dan demokratisasi lebih luas.
Daftar Pustaka
Alinsky, Saul D., 1971, Rules for Radical: A
Practical Primer for Realistic Radicals, New York , Random House Inc.
Cahyono, Edy, 1999, Indeonesia:
Demokratisasi di Era Globalisasi, Konferensi INFID ke 11, Jakarta, INFID.
Clark, Kenneth B and Hopkins Jeannette, 1969, A
Relevant War Against Poverty, A study of Community Action Program and
Observable Social Change, New
York , Harper and Row Publisher.
Freire, Paulo, 1985, The Politic of Education:
Cultute, Power and Liberation, London, Macmillan Publisher Ltd.
Gorman, Robert F., 1984, Privat Voluntary
Organization of Development, Boulde and London , Westview Press.
------------------------, 1999, Masyarakat Sipil,
Wacana, Edisi I, Volume I, Yogyakarta , Insist.
Hancock, Graham, 1989, Lord of Poverty: The
Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business, New York , The Atlantic
Monthly Press.
Kanter, Rosabeth Moss, 1972, Commitment and
Community: Communes and Utopias in Sociological Perspective , USA , Harvard University
Press.
Faqih,
Mansour, 1993, Paradigma ORNOP Indonesia: Studi Kasus Gerakan Sosial di
Indonesia, Laporan Study, Jakarta ,
P3M.
Nef Jorge, 1999, Human Security and Mutual
Vulnerability, The Global Economy of Development and Underdevelopment (2nd
edition), IDRC, Ottawa
Canada ,
October.
Norton, Theodore Mills and Ollman Bertell, 1978, Studies
in Socialist Pedagogy, New York
and London ,
Monthly Review Press.
Putra, Fadillah,
1999, Devolusi, Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan
Politik Negara-Rakyat, Yogyakarta , Pustaka
Pelajar.
Richard Pierre Claude, 2000, Popular Education
for Human Right, HREA, Amsterdam ,
Netherlands ,.
, Empowering
People: A Guide to Participation, UNDP, New York , Nopember 1999.
Smith
Gordon and Moises Naim, 2000, Altered State – Globalization, Sovereignty,
and Governance, IDRC, Ottawa
Canada .
, NGO
Perspectives on Poverty, Environment and Development, UNDP, New York , Nopember 1991.
Resnick, Stephen A. and Wolf, Richard D., 1987, Knowledge
and Class, A Marxian Critique of Political Economy, Chicago , Chicago Press. Ltd.