BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini
pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita
sadari pula kita melakukan yang namanya Sewa-Menyewa dan Upah (Ijarah). Sewa-menyewa dan upah
kita lakukan baik itu barang
ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan
di masyarakat dikarenakan sewa-menyewa dan upah. Dan tidak heran kalau
hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal
ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang
dipinjamkan.
Berbicara mengenai sewa-menyewa dan upah (Ijarah), penulis berminat
untuk membahas tuntas mengenai
Sewa-Menyewa dan Upah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun,
macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenai sewa-menyewa dan upah (Ijarah)
agar tidak ada kesalah pahaman mengenai pinjam meminjam ini.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana Pengertian Ijarah?
- Bagaimana Dasar Hukum Ijarah?
- Bagaimana Rukun dan Syarat Ijarah?
- Bagaimana Upah Dalam Pekerjaan Ibadah?
- Bagaimana Hukum Menyewakan Barang Sewaan?
- Bagaimana Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah?
7.
Bagaimana Pengembalian Sewaan?
C.
Tujuan
Penulisan
- Menjelaskan Bagaimana Pengertian Ijarah.
- Menjelasakan Bagaimana Dasar Hukum Ijarah
- Menjelaskan Bagaimana Rukun dan Syarat Ijarah..
- Menjelaskan Bagaimana Upah Dalam Pekerjaan Ibadah.
- Menjelaskan Bagaimana Menyewakan Barang Sewaan.
- Menjelaskan Bagaimana Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah.
- Menjelaskan Bagaimana Pengembalian Sewaan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah berasal
dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang
arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah,
para ulama’ berbeda-beda mendifinisikan ijarah, antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Menurut Hanafiyah bahwa Ijarah ialah:
عَقْدٌ يُفِيْدُ
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ الْعَيْنِ الْمُسْتَأْجِرَةِ
بِعَوْضٍ
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang
diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
2. Menurut Malikiyah bahwa Ijarah ialah:
تَسْمِيَةُ التَّعَاقَدِ عَلَى مَنْفَعَةِ الْادَمِىِّ وَبَعْضِ الْمَنْقُوْلَانِ
“Nama bagi
akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang
dapat dipindahkan”.
3. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah
adalah:
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالْإِبَاحَةِ
بِعِوَضِ وَضْعًا
“Akad atas
manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan
imbalan yang diketahui ketika itu”.
4. Menurut Muhammad al-Sarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah
adalah:
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ
بِعِوَضٍ بِشُرُوْطٍ
“Pemilikan
manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat”.
5. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
6. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:
عَقْدٌ مَوْضُوْعَةٌ الْمُبَادَلَةِ عَلَى مَنْفَعَةِ الشَّئْ بِمُدَّةِ مَحْدُوْدَةٍ
اَىْ تَمْلِكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْعُ الْمَنَافِعِ
“Akad yang objeknya adalah penukaran manfaat
untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan
menjual manfaat”.[1]
7. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain
dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.[2]
8. Ulama As-Syafi’iyah
“Akad atau suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu”.
Jumhur ulama’ fiqh berpendapat bahwa ijarah
menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya, oleh
karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk
diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain. Sebab semua itu
bukan manfaatnya tetapi bendanya.
Ada yang menerjemahkan bahwa kata ijarah berarti “balasan
atau jasa”. Artinya imbalan yang diberikan sebagai upah suatu perbaikan
mengenai pemakaian dan pemungutan hasil dari manusia, benda, atau binatang. Dan
dapat dipahami bahwa ijarah adalah tukar menukar sesuatu dengan imbalannya,
dengan kata lain sewa menyewa adalah menjual manfaat dan upah-mengupah adalah
menjual tenaga atau kekuatan.[3]
B.
Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah
al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’.
Dasar hukum ijarah dalam al-Qur’an adalah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ
(الطلاق: 6)
“jika mereka telah menyusukan
anakmu, maka berilah upah mereka” (At-thalaq:6).
Dasar hukum ijarah dalam al-Hadis adalah:
أُعْطُوْا الْآَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَّجِفَ
عُرُقُهُ
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum
keringatnya kering”. (Riwayat Ibnu Majah).
Landasan ijma’nya ialah semua umat bersepakat,
tidak ada seorang ulama’pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini,
sekalipun ada beberapa orang yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak
dianggap.[4]
Dari ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut sudah
jelas bahwa akad ijarah diperbolehkan dalam Islam, karena hal seperti ini juga
dibutuhkan dalam masyarakat. Tujuan disyariatkannya ijarah adalah untuk
memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang
tetapi tidak dapat bekerja, dan dilain pihak ada yang mempunyai tenaga dan
membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling mendapat keuntungan. [5]
C.
Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ijarah adalah
ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah,
al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama’ rukun
ijarah ada empat, yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang akad).
2. Shigat akad
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat. [6]
Adapun Syarat-syarat ijarah ialah:
1. Mengetahui manfaatnya, seperti mendiami rumah atau menjahit pakaian. Karena
keberadaan ijarah itu seperti jual beli, sedang dalam jual beli disyaratkan
harus mengetahui barang yang dijual.
2. Manfaat yang dimaksud berhukum mubah. Karena itu, tidak diperbolehkan
menyewa seorang budak perempuan untuk digauli, dan menyewa tanah untuk
mendirikan gereja atau pabrik minuman keras misalnya.
3. Mengetahui upahnya, berdasarkan keterangan didalam Hadist yang diriwayatkan
Abu Sa’id,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ
اسْتِئْجَارِ الْلأَجِيْرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ اَجْرُهُ
“Rasulullah telah melarang menyewa (memperkerjakan)
seorang pekerja, sehingga dijelaskan kepadanya mengenai upahnya”.[7]
D.
Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan), seperti shalat,
puasa, haji dan membaca al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para
ulama’, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam
perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau
membaca al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti
kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, iqamat, dan menjadi imam, haram
hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena Rasulullah SAW.
bersabda:
اِقْرَؤُا الْقُرْاَنَ وَلَاتَاْكُلُوْا بِهِ
“Bacalah olehmu al-Qur’an dan
jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
وَإِنِ اتَّخَذْتَ مُؤَذِّنًا فَلَاتَاْخُذْ مِنَ
الْاَذَانِ اَجْرًا
“Jika kamu mengangkat seorang
menjadi mu’adzin, maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji,
puasa, membaca al-Qur’an, dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada
Allah SWT. karenanya tidak boleh mengambil untuk pekerjaan itu selain dari
Allah.
Pekerjaan seperti ini batal meneurut hukum
Islam karena yang membaca al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka
tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun
pembaca al-Qur’an niat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat al-Qur’an untuk
dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, karena Allah
berfirman:
Mereka mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan” (al-Baqarah: 282).
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengambilan
upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadis, membangun
masjid, menggali kuburan, memandikan mayyit, dan membangun madrasah adalah
boleh.[8] Rasulullah SAW.
bersabda:
اِنَّ مُوْسَى اَجَرَ نَفْسَهُ ثَمَانِيَ حِجَجٍ
اَوْ عَشْرًا عَلَى عِفَّةِ فَرْجِهِ وَطَعَامِ بَطْنِهِ
“sesungguhnya musa telah mnyewakan dirinya
sendiri selama 8 tahun atau 10 tahun untuk kepentingan menutupi auratnya dan
mengenyagi perutnya”.(H.R. Ash-hab Al-Maghazid dan Al-sair, juga Muhammad bin
Ishaq).
E.
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir diperbolehkan menyewa lagi barang sewaan
kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan
yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad
dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak disawah, kemudian kerbau
tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itupun
harus digunakan untuk membajak pula.[9]
Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja,
dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang. Bila ada kerusakan
pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir)
dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’ji .
Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka
yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, misalnya menyewa
mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang
layak.
F.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah
jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak dibolehkan adanya fasakh pada salah
satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, karena kecuali bila
didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan
menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa;
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan;
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
dan selesainya pekerjaan;
5. Menurut hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak,
seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri,
maka ia dibolehkan menfasakhkan sewaan itu.
G.
Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia
wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah
benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika
barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah
telah berakhir, penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerah
terimakasihkannya, seperti barang titipan.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut
bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti
dan upah. Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda-beda mendifinisikan ijarah.
Jumhur ulama’
fiqh berpendapat bahwa ijarah menjual manfaat dan yang boleh sewakan adalah
manfaatnya bukan bendanya.
Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah
al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’. Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ijarah
adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah,
al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama’ rukun
ijarah ada empat, yaitu: 1‘Aqid (orang yang akad). 2. Shigat akad. 3. Ujrah
(upah). 4. Manfaat.
Adapun Syarat-syarat ijarah ialah: 1. Mengetahui
manfaatnya. 2. Manfaat yang dimaksud berhukum mubah. 3. Mengetahui upahnya.
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan), seperti shalat,
puasa, haji dan membaca al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para
ulama’, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Musta’jir diperbolehkan menyewa lagi barang sewaan
kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan
yang dijanjikan ketika akad. Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami
miliki, maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis
lebih-lebih terhadap Bapak Imam Hanafi,
S.Pd.I, M.HI selaku pemegang atau yang memberikan tugas makalah ini atas. Itu
semua demi untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami yang selama
ini terpendam. Dan menjadi bahan acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian
hari atau esok hari.
DAFTAR PUSTAKA
Jabir, Abu Bakar, Minhajul Muslim, Jakarta:
Darul Haq, 2016.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta:
Amzah, 2010.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2017.
Syafe’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
Sakinah, Fiqh Muamalah, Surabaya: Pena
Salsabila, 2013.
.