MAKALAH
KEBIJAKAN
MONETER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Ekonomi Moniter
Dosen Pengampu : Riskiyatul Khasanah M.E
Disusun Oleh :
JURUSAN EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
FAKULTAS PERBANKAN
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA
2018
Kebijakan
Moneter
Kelompok
7
Dosen pengampu
: Ibu Rizkiyatul Hasanah, M.E
Abstrak
Sebagaimana di ketahui bahwa Negara
Indonesia sedang dilanda kirsis ekonomiyang berlangsung sejak beberapa tahun
yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini di indikasikan
dengan laju inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi,
semakin banyak modal yang dilarikan keluar negeri, serta terhambatnta
pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa di biarkan untuk terus
berlanjutr dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam
mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan
target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah kesistem pasar.
Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke
arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai
sasaran-sasaran makroeekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan
lapangan kerja,stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran.
Kata Kunci : Sasaran Tingkat
Bunga dan Uang Beredar,Uang yang di Kendalikan, Kepastian dan jarak
waktu, Harapan Nasional, Efektifitas kebijakan ekonomi dan Fiskal.
A.
Sasaran Tingkat
Bunga dan Uang Beredar
Sasaran akhir jangka pendek dari baik kebijaksanaan moneter maupun
fiscal adalah menjaga keseimbangan makro dari perekonomian, yaitu agar tercapai
laju inflasi yang rendah, tingkat kegiatan ekonomi (produksi) yang tinggi serta
neraca pembayaran yang seimbang ini adalah tujuan akhir yang “ideal” dari
kebijaksanaan ekonomi makro. Tentu tidak semua aspek dari sasaran ini akan bisa
dicapai secara penuh dan sekaligus dalam kenyataan. Biasanya perlu “kompromi”
antara ketiga aspek tersebutdan juga perlu kompromi antara sasaran dengan
realita yang benar-benar di hadapi. Dalam usaha mencapai sasaran akhir,
kebijakan moneter, di samping kebijaksanaan fiscal, memang peran penting.
Kebanyakan ekonomi berpendapat bahwa jarak waktu (lag) antara tindakan
kebijaksanaan moneter dengan pengaruhnya pada ketiga aspek sasaran akhir
tersebut adalah panjang, sehingga akan sangat terlambat seandainya terjadi
kesalahan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan hanya dapat di ubah setelah hasil
akhir tersebut telah terjadi atau telah bisa diamati. Oleh sebab itu perlu
sasaran-antara,yang secara lebih cepat bisa di monitor perkembangannya sebagai
indicator awal dari pengaruh suatu kebijaksanaan,sehingga apabila kebijaksanaan
perlu di koreksi segera bisa dilakukan.
Untuk tujuan tersebut sasaran-antara tersebut harus memenuhi 2
syarat, yaitu :[1]
a)
Ia harus secara
cukup akurat dan cukup andal (realible) sebagai indicator awal dari
hasil akhir kebijaksanaan tersebut. Artinya apa yang di harapkan akan terjadi
pada sasaran-akhir sudah bisatercermin dengan baik pada sasaran-antara
tersebut.
b)
Ia harus segera
bisa diamati dan di monitor, sehingga segara bisadi tentukan apakah secara umum
kebijaksanaan yang di jalankansudah benar atau belum.
Tingkat bunga yang “stabil”
menunjukan bahwa pasar uang adalah tenang dan bahwa ada keseimbangan antara
permintaan dan penawaran.ini selanjutnya bisa diartikan,bahwa apabila situasi
di luar sektor moneteradala normal, sasaran-akhir (harga,output dan neraca
pembayaran) juga akan berada pada posisi “kestabilan”atau keseimbangannya.
Anggapan dasarnya adalah apabila keadaan di luar sector moneter tidak normal,
maka keadaan tersebut seyogyanya diatasi atau diobati dengan langkah-langkah
kebijaksanaan non-moneter (seperti kebijakan fiskal). Oleh sebab itu memelihara
“kestabilan” tingkat bunga yang berlaku di pasar uangbisa djadikan sasaran
antara dalam kebijaksanaan moneter.
Dalam praktek, yang dimaksud dengan
memelihara “kestabilan”tingkat bunga bukanlah berarti mempertahankan tingkat bunga pada tingkat
tertentu (katakan, 8% pertahun atau tingkat lain) selama-lamanya. Tetapi yang
dimaksud disini adalah pengendalian agar tingkat bunga di pasar berada dalam
batas-batas (tingkat bungaminimum maksimum dan maksimum) yang di inginkan atau
di targekan oleh otoritas moneter. Cara mengendalikan tingkat bunga dilakukan
dengan mengendalikan jumlah uang beredar. Otoritas Moneter perlu menambahkan MI
atau M2 apabila tingkat bunga di anggap terlalu tinggi dan mengurangi kedua
variable tersebut apabila tingkat bunga di nilai terlalu rendah.
Sasaran-antara yang lai adalah
jumlah uang beredar itu sendiri (M1 atau M2). Asumsi yang melandasi pendapat
ini adalah bahwa jumlah uang beredar mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengeluarannya
atau p pembelanjaannya untuk barang dan jasa (permintaan agregat). Selanjutnya
naik turunnya pengeluaran masyarakat menentukan perkembangan harga dan ouput
(GDP). Menurut “klasik” dari asumsi ini,
bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar oleh sebab itu apabila masyarakat
menjumpai bahwa mereka memegang uang “terlalu banyak” (dibandingkan dengan
jumlah dari mereka inginkan), maka mereka akan membelanjakan kelebihan tersebut
untuk mebeli barang dan jasa. Sedangkat menuru”keneys”, menekankan bahwa
pengaruh lansung dari tambahan jumlah uang beredar adalah pada tingkat bunga,
dan baru kemudian tingkat bunga (bersama kurva Efficincy of capital) menentukan investasi, dan ini
selanjutnya menentukan permintaan agregat dan akhirnya menetukan tingkat harga
dan ouput (GDP).
Apabila kita ingin menstabilkan
tingkat bunga berarti kita perlu menambah kita perlu menambah uang beredar
apabila permintaan akan uang meningkat, dan sebaliknya mengurangi uang beredar
apabila permintaan akan uang turun. Dengan demikian kita sebenarnya telah
mengisolir sumber ketidak stabilan GDP,sehingga tidak “menjalar” ke
sector-sektor di luar pasar uang.[2]
B.
“Uang”
Mana Yang Dikendalikan
Apabila tingkat
bunga dan uang beredar kita putuskan untuk dijadikan sasaran-antara, pertanyaan
selanjutnya adalah : tingkat bunga yang mana dan uang beredar yang mana? Dalam
kenyataan ada berbagai macam tingkat bunga dan ada berbagai konsep uang
beredar.
Kita akan menggunakan bagian ini untuk
membahas mengenai konsep uang beredar yang mana yang relevan bagi kebijakan
moneter. Ada dua hal utamayang harus dipertimbangkan dalam pemilihan besaran
atau konsep uang beredar yang cocok, yaitu:
a.
Berapa jauhkah otoritas moneter
mempengaruhi besaran tersebut? Semakin mudah dikembalikan tentu semakin baik.
b.
Bagaimana keandalan dari besaran
tersebut dalam mencerminkan apa yang terjadi dalam sasaran akhir? Semakin andal
atau semakin akurat atau semakin dekat korelasi antara besaran yang dipilih
dengan sasaran akhir semakin baik.
Atas
dasar pertimbangan (a) maka yang paling baik ialah uang inti karena uang inti
secara langsung bisa dikendalikan oleh ototritas moneter. Kita ingat bahwa uang
inti adalah hutang moneter dari otoritas moneter kepada masyarakat dan lembaga
keuangan. Sebenarnya tidak sseluruh dariuang inti bisa ditentukan oleh otoritas
moneter. Uang inti yang berasal dari pencetakan uang baru atau dari kredit bank
central kepada masyarakat dan lembaga keuangan memang pada asasnya bisa
dikendalikan oleh otoritas moneter. Tapi uang inti yang berasal dari neraca
pembayan mungkin tidak begitu saja dikendalikan. Bagi negara yang mempunyai
perekonomian terbuka penciptaan uang inti bersumber dari sektor luar negeri ini
sangat penting, dan sering kali diluar kekuasaan otoritas moneter untuk
mengendalikannya.jika dipandang secara relatif, uang inti langsung bisa
dipengaruhi oleh otoritas moneter.dari segi ini maka uang inti merupakan
sasaran yang lebih baik daripada konsep-konsep yang lain. Konsep-konsep yang
semakin jauh dari uang inti semakin banyak faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya selain tindakan otoritas moneter itu sendiri. Semakin banyak
variabel yang lain masuk dalam koefisien pelipatnya, yang merupoakan hasil dari
pelaku-pelaku lain dalam pasar uang. Pengaruh otoritas moneter semakin tidak
langsung, semakin kita menjauhi dari konsep uang inti.
Bagaimana
dengan pertimbangan (b) ?
Dalam
hal ini hal yang harus ditentukan adalah berapa dekat hubungan antara
sasaran-antara tersebut dengan sasaran akhir. Ini adalah masalah empiris yang
hanya bisa di jawab dengan mengujinya secara empiris. Banyak studi empiris yang
telah dilakukan para ahli ekonomi mengenai hal ini. Mengenai pertimbangan (b),
uang inti mempunyai hubungan yang relatif lebih jauh dengan harga dan output,
dibandingkan dengan M1, M2 dan M. Harga dan output lebih langsung dipengaruhi
oleh pengeluaran masyarakat untuk barang dan jasa. Secara teoritis maupun
empiris permintaan barang dan jasa lebih ditentukan oleh besarnya daya beli
masyarakat, dan untuk ukuran daya beli ini M1, M2 dan M3 lebih cocok dari pada
uang inti. Dari segi ini uang inti kurang baik sebagai sasaran.
Tapi
kita harus ingat ada sasaran akhir, yaitu harga, output, dan neraca pembayaran.
Inilah yang tidak jarang merupakan problem yang mendesak bagi suatu negara.
Bagaimana
hubungan antara uang inti dengan sasaran akhir yaitu neraca pembayaran?
Jawabannya ialah. Ingat persamaan yang menunjukkan sumber-sumber terciptanya
uang inti :
B = DC + NFA
Persamaan
ini kita tulis sebagai :
NFA = B – DC
Atau
dalam perubahan
∆NFA = ∆B - ∆DC
Sekarang
ingat pula makna dari NFA (Neet Foreign Assets), yaitu jumlah cadangan devisa
yang dipegang oleh otoritas moneter. ∆NFA adalah besarnya defisit (-) atau
surplus (+) yang terjadi dalam neraca pembayaran. Hubungan antara sasaran akhir
neraca pembayaran dan uang inti adalah sangat dekat apabila kita juga mempunyai
informasi mengenai perkembangan unsur DC (Domestic Kredit) dalam uang inti.
Dengan mengambil uang inti dan DC sebagai sasaran maka kita ssedang
mengendalikan sasaran akhir NFA secara tepat dan andal.
Hubungan
antara uang inti dan NFA diatas merupakan pendekatan The Monetery approach To
The Balance Of Payments. Yang banyak dikaitakn dengan Internasional Monetery Finance. Pendekatan
ini mengatakan bahwa surplus atau defisit dalam neraca pembayaran adalah gejala
moneter. Artinya surplus dan defisit tersebut adalah pencermina dari
ketimpangan antara permintaan dan penawaran uang inti. Kelebihan permintaan
menimbulkan surplus, sedangkan kelebihan penawaran mengakibatkan defisit. Untuk
menghilangkan defisit neraca pembayaran, uang inti harus dikurangi dengan
mengurangi DC sebesar yang sama dengan besarnya defist tersebut. Selama
permintaan dan penawaran uang belum seimbang, selama itu pula difisti neraca
pembayaran akan tetap timbul.
Bagaimanakah
dengan Total Quidity? Ini merupakan calon sasaran antara yang paling lemah
landasan empirisnya karena konsep ini biasanya sulit untuk dituangkan dalam
angka, terutama bagi negara-negara sedang berkembanga yang memiliki statistik
moneter yang lengkap karena itu konsep itu jarang dipakai dalam praktek.
Dalam
praktek uang inti, M1 dan M2 adalah sasaran yang sering dipakai dan ketiganya
digunakan secara bersama-sama. Apabila koefisien peliput uang stabil maka
ketiganya akan bergerak sejalan satu sama lain, sehingga salah satu bisa
mewakili yang lain. Penggunaan ketiga sasaran tersebut secara bersama-sama bisa
memberikan informasi mengena perubahan perilaku tersebut hingga kemudian bisa
dimabil langkah kebijaksanaan yang tepat.[3]
C. Ketidak
Pastian (LAG)
Berbeda dengan ilmu-ilmu eksakta,
ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia, dihadapkan kepada
ketidakpastian atau uncertainty baik mengenai dalil-dalilnya itu sendiri
maupun mengenai nilai-nilai koifisien yang relefan apabila dalil-dalil tersebut
diterapkan untuk memecahkan masalahnyata. Mengenai ketidak pastian dalil-dalil
dalam moneter kita telah melihat bagaimana misalnya kelompok Keynes berbeda
dengan kelompok klasik dalam berbagai konsep penting, seperti permintaan akan
uang, penentuan tingakt bunga dan sebagainya. Bahkan seandainyapun kita sudah
setuju dengan dalil atau teori yang akan dipakai untuk memecahkan masalah
tertentu, dalam praktek kita msaih harus mengsis dalil-daliltersebut misalnya
saja koefisien pelipat uang dengan angka-angka yang kita perkirakan berlaku
bagi pereok=nomiaan kita saat itu, dan baru setelah itu kita bisa merumuskan
langkah kebijaksanaan yang komplit. Tergantung pada ketersedianya data dan
tenaga, cara mengsii dalil tersebut bisa berkisar dari cara yang paling
sederhana seperti perkiraan pasar atas dasar perasaan si ekonom sampai pada
penaksiran dengan prosedur statistic yang formal dan rumit. Namun yang perlu
kita garis bawahi adalah bahwa si perumus kebijaksanaan selalu dihadapkan pada
informasi yang mengandung ketidak pastian. Dengan demikian iapun selalu
diadakan pada ketidak pastian mengenai akibat dari langkah-langkah
kebijaksanaan yang dirumuskannya.
Unsure ketidak pastian ini selalu ada dalam
setiap usaha dalam merumuskan dan melaksanakan suatu kebijaksanaan moneter, dan
kebijaksanaan ekonomi pada umumnya. Apabila kita membaca kepustakaan mengenai
kebijaksanaan ekonomi, maka pesan yang sering kali kita dapatkan dari banyak
penulis adalah bahwa dalam keadaan ketidak sempurnaan informasi tersebut para
perumus kebijaksaan syogyanya jangan suka mengambil kebijaksaan yang terlalu
berani, dalam arti bahwa mereka harus selalu menghindari diambilnya reaksi yang
berlebihan atau over reaction terhadap suatu permasalahan stabilisasi yang
timbul. Tindakan yang reaktif dihindarkan sebab dalam suasana infoermasi yang
tidak sempurna atau tidak pasti tersebut kesalahan langkah sama mungkinnya
terjadi dengan ketepatran langkah. Sekarangpun tidak sedikit ekonom yang
berpendapat bahwa perekonomian mempunyai kemampuan untuk mengkoreksi sendiri
ketimpangan-ketimpangan kecil. Hanya ketimpangan-ketimpangan besar memerlukan tindakan aktif dari pemerintah.
Masalah kebijaksanaa lain, yang masih
berkaitan denganketidak pastian ini adalah masalaha jarak waktu atau lag dari
kebijaksanaan. Ada dua macam lag yang dikebnal dalam kepustakaan kebijaksanaan
ekonomi, yaitu yang disebut a. inside lag dan b. outside lag. Yang dimaksud
inside lag adalah jarak waktu dari timbulnya permasalahan didalam perekonomian
sampai dengan dimulainya tindakan kebijaksanaan untuk mengatasinya. Inside lag
ini sebenarnya terdiri dari tiga macam lag yang berurutan. Pertama adalah jarak
waktu mulai dari timbulnya masalah sampai dengan saat para pembuat
kebijaksanaan menyadari bahwa memang ada masalah. Ini disebut rekognistion lag.
Yang kedua adalah jarak waktu antara disaat disadarinya bahwaa ada masalah dan
saat diputuskannya suatu tindakan. Suatu tindakan ini disebut decision lag.
Yang ketiga adalah jarak dan waktu antara saat keputusan kebijaksanaan diambil
dan saat keputusan tersebut mulai dilaksanakan. Ini disebut action lag. Inside
lag sangat tergantung pada kecepatan kerja atau efisien dari lembaga pembuatan
kebijaksanaan.
Outsid lag adalah jarak waktu antara saat
me mulai dilaksanakannyia langkah kebijakandan saat timbulnya akibat pada
perekonomian. Biasanya suatu tindakan kebijaksanaan mempunyai akibat yang
“tersebar” dalam jangka waktu yang panjang. Berapa lama outside lag ini dan
bagai mana “pola” akibatnya tersebut dalam jangka waktu terentu tergantung pada
macam tindakan kebijaksanaan, struktur perekonomian dan reaksi dari para pelaku
di dalamnya. Inin sangat tergantung pada situasi masing-masing Negara. Tetapi
kebanyakan ekonom sekarang berpendapat bahwa outside lag dari kebijakan moneter
adalah panjang,pengaruhnya datang lambat dan bisa menyebar sampai beberapa
tahun. Sebaliknya kebijaksanaan fiskal biasanya mempunyai outside lag yang
lebih pendek, karena tindakan ini langsung mempengaruhi pengeluaryan
massyarakat. Namun dilain pihak, karena straktur administrasinya, kebijaksanaan
fiscal biasanya mempunyai inside lag yang panjang, sedang kebijaksanaan moneter
mempunyai inside lag yang lebih pendek, jadi apabila dilihat dari total lag
(inside lag plus outside lag) maka kebijaksanaan moneter belum tentu lbih
lambat pengaruhnya daripada kebijaksanaan fiscal.
Kembali ke masalaha kebijakan
moneter itu sendiri, meskipun banyak yang setuju bahwa outside lag nya panjang,
namun penelitian sampai sekarang belum bisa memberikan jawaban berapa
pandangannya, penelitiuan empiris dari friedman dengan data amerika serikat
menunjukan bahwa lag tersebut bisa berkisar selama 6 bulan sampai 2 tahun, dan
yang perlu dicatat pula adalah bahwa lag tersebut bervariasi dari masa kemasa. Dalam hal lag ini pun ada
ketidakpastian. Adanya unsure ketidak pastian yang umu bagi setiap
kebijaksanaan ekonomi serta adanya ketidak pastian mengenai kapan pengaruhnya
mulai terasa dalam perekonomian, menimbulkan kemunghkinan nyata bahwa apa yang
dimaksud sebagai tindakan stabilisasi justru bisa menimbulkan akibat
destabilisasi (menimbulkan ketidakstabilan) dalam perekonomian. Ini bisa
terjadi apabila misalnya apabi;la keadaan ekonomi sudah sangat berubah pada
saat tindakan stabilisasi yang diambil beberapa waktu yang lalu (katakana
setahun yang lalu) mulai menunjukan pengaruhnya. Penurunan laju pertumbuhan
uang beredar tahun lalu, misalnya mengatasi inflasi pada waktu itu justru bisa
memperparah keadaan resise sekarang. Atas dasar pertimbangan seperti itu, maka
beberapa ekonom, seperti Milton frieman, J.W. angell dan Edward shaw,
berpendapat bahwa tindakan-tindakan kebijakan moneter yang secara efektif
ditujukan untuk mengatasi fluktuasi ekonomi (disebut discretionary policies)
tidak efektif dan justru berbahaya. Oleh sebab itu mereka berpandangan bahwa yang
lebih baik dan lebih aman adalah melaksanakan monetary rules, misalnya saja
dengan mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar secara konstan secara
waktu ke waktu sesuai dengan perkiraan perkembangan kebutuhan masyarakat akan
uang (katakana 4 atau 5% setahun). Tegasnya, ikuti saja “aturan umum” atau
rules semacam itu dan jangan suka mengubah sasaran pertumbuhan laju tersebut
hanya karena kita ingin bereaksi terhadap fluktuasi ekonomi jangka pendek.
Pendapat seperti in menarik karena memberikan peringtan kepada kita untuk tidak
memberikan reaksi yang berlebihan (over reaction) terhadap gejolak ekonomi
jangka pendek sehingga kehilangan perspektif janka panjang.
Kesimpulan umumnya adalah bahwa discretionary policies masih perlu,
tetapi perlu dihindari reaksi yang berlebihan (over reaction) karena bagi gangguan-gangguan kecil atau
gangguan-gangguan yang bersifat sementara, perekonomian itu sendiri mempunyai
kemampuan untuk mengobati dirinya. Monetary
rules yang diterapkan secara fleksibel berguna agar kita tidak kehilangan
perspektif jangka panjang.
D. Harapan Rasional (Rational Expectations)
Ekspektasi rasional adalah upaya meramal secara
esensial masa depan variabel-variabel ekonomi untuk membuat kebijakan secara
tepat. Dalam memprediksi, variabel-variabel yang relevan, namun penuh dengan
ketidakpastian, harus diperhitungkan secara cermat.
Asumsi dasar
bagi bekerjanya model ekspektasi rasional ini adalah :
Ekspektasi ini didasarkan kepada informasi yang
lengkap yang dimiliki oleh semua pelaku ekonomi, baik tiu konsumen, produsen
(simetris). Informasi yang lengkap ini bukan hanya meliputi informasi masa
lalu, atau yang baru dialami tetapi juga informasi tentang masa yang akan
datang.
Berdasarkan informasi-informasi tersebut, pelaku
ekonomi akan melakukan tindakan yang rasional. Tindakan rasional yang
dimaksudkan disini adalah : produsen cenderung untuk memaksimumkan profit
dengan kondela faktor-faktor produksi, sedangkan konsumen cenderung memaksimalkan
utility dengan kendala income. Pelaku ekonomi yang rasional akan senantiasa
berpegang pada prinsip tersebut terutama dalam menghadapi berbagai perubahan
yang timbul dari aspek makroekonomi, seperti inflasi dan pengangguran.
Pelaku-pelaku ekonomi mengetahui dengan baik
implikasi-inplikasi dari berbagai kebijakan yang akan dijalankan oleh
pemerintah. Pengetahuan seperti itu terutama didapat dari pengalaman-pengalaman
di masa lalu.
Teori
ekspektasi rasional menganggap bahwa pada umumnya masyarakat mengetahui dampak
yang akan ditimbul sebagai akibat kebijakan-kebijakan pemerintah seperti
melakukan anggaran belanja defisit dan dampaknya terhadap perekonomian.
Kemampuan untuk memprediksi (to expect and to anticipate) dampak dari tindakan
pemerintah seperti itu, memungkinkan pelaku-pelaku ekonomi melakukan tindakan
untuk melindungi diri dari dampak buruk kebijakan pemerintah tersebut di masa
depan. Untuk memahami
secara jelas tentang mekanisme dari Ekspektasi rasional, perhatikan gambar
berikut:
(a) Terantisipasi (b) Tak Terantisipasi
Pada kondisi
Gambar 1 (a), keseimbangan ekonomi mula-mula berada di titik E0. Perekonomian berada pada
tingkat kesempatan kerja
penuh dan tingkat harga adalah P0. Misalkan pemerintah ingin
meningkatkan lagi kegiatan ekonomi sehingga pengangguran dapat diturunkan ke
tingkat yang lebih rendah lagi. Untuk tujuan ini pemerintah melakukan ekspansi
moneter dan mengharapkan keseimbangan ekonomi bergerak ke E1 yang akan menyebabkan kenaikan kegiatan ekonomi, kenaikan pendapatan nasional riil dan
pengurangan tingkat pengangguran. Menurut golongan ratex, perubahan tersebut
tidak akan terjadi. Pelaku-pelaku kegiatan ekonomi telah dapat mengantisipasi
efek dari kebijakan tersebut dan secepatnya menuntut kenaikan upah untuk
mempertahankan pendapatan riil mereka. Tindakan ini akan menyebabkan kurva
penawaran agregat jangka pendek bergerak dari SRAS0 menjadi SRAS1.
Dengan demikian pada dasarnya kebijakan pemerintah dan antisipasi pelaku
kegiatan ekonomi tersebut akan secara serentak menggerakkan kurva AD ke kanan (dari AD0 ke AD1)
dan kurva SRAS ke kiri (SRAS0 menjadi SRAS1). Sebagai akibatnya
perubahan keseimbangan akan begerak sepanjang kurva LRAS dan akan mencapai keseimbangan kembali di titik E2. Keadan yang terjadi ini berarti
kebijakan pemerintah tersebut hanya menyebabkan kenaikan harga dan kenaikan
upah nominal, akan tetapi tingkat kesempatan kerja tidak mengalami perubahan.
Berdasarkan
Gambar 1 (b) menunjukkan perubahan yang tidak diramalkan atau diantisipasi
masyarakat. Misalkan negara yang dicontohkan ini adalah pengekspor bahan-bahan
mentah dan misalkan dipasaran dunia harganya meningkat tinggi sekali. Terhadap
negara tersebut efeknya adalah : pendapatan dari ekspor mengalami peningkatan
yang besar dan akan menggeser kurva AD0
menjadi AD1. Perubahan ini
akan menggeser keseimbangan ekonomi dari titik E0 ke E1
yang berarti pendapatan nasional riil meningkat dari YF menjadi Y1
dan pertambahan tersebut akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja yang berarti
pengangguran akan berkurang. Walau bagaimana pun, menurut pandangan golongan
ratex, keseimbangan baru ini akan berlaku dalam jangka pendek. Kenaikan harga
yang berlaku sebagai akibat perubahan tersebut, yaitu dari P0 menjadi P1
akan mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah untuk memperoleh pendapatan
riil yang asalnya. Kenaikan upah tersebut akan menggeser kurva SRAS0 menjadi SRAS1 sehingga AD1 dan SRAS1 berpotongan pada kurva LRAS, yaitu pada saat pendapatan riil tenaga kerja telah kembali ke
tingkatnya yang asal. Berarti dalam jangka panjang pendapatan nasional riil,
upah riil dan kesempatan kerja akan kembali ke tingkat yang berlaku sebelum
adanya kenaikan ekspor tersebut.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi yang diantisipasi tidak
menimbulkan efek kepada kesempatan kerja dan pendapatan nasional riil.
Sedangkan perubahan kegiatan ekonomi yang tidak diantisipasi dapat menimbulkan
perubahan terhadap kegiatan perekonomian, kesempatan kerja, dan pendapatan
nasional riil. Akan tetapi perubahan tersebut hanya berlaku dalam jangka
pendek. Dalam jangka panjang kegiatan perekonomian, pendapatan nasional riil,
kesempatan kerja dan upah riil akan kembali mencapai keseimbangan awal.[4]
E.
Efektivitas Kebijakan Fiskal dan Moneter
Yang
dimaksud dengan efektifitas kebijakan moneter adalah, sejauh mana kebijakan
moneter yang ditempuh pemerintah (apapun bentuknya), memberi dampak positif
bagi perekonomian dan masyarakat, dalam arti :
a.
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b.
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c.
dapat meningkatkan kesempatan kerja
d.
dapat meningkatkan penerimaan devisa negara
e.
serta memberi pengaruh pada kebijakan makro lainnya
Teori yang membicarakan
mengenai efektifitas kebijakan moneter ini diantaranya adalah :
1. Teori Natural Rate
Hypothesis, yang percaya bahwa kebijakan hanya akan efektif dan memberi dampak
dalam jangka pendek saja, namun tidak akan efektif untuk jangka panjang
2. Teori Rational
Expectation Hypothesis, yang percaya bahwa baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang, kebijakan moneter tidak akan efektif.
Dalam
melihat efektivitas kebijakan kita membandingkannya pada 3 daerah yaitu daerah
klasik, intermediate range dan daerah Keynes. Jika digambarkan, maka bentuk
kurva LM menjadi seperti berikut ini.[5]
Gambar
12.3. Kurva LM
Daerah
liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh
Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat
bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah inilah yang
disebut daerah liquidity trap. Sementara itu daerah klasik memiliki kurva LM
yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa dalam teori
permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Menurut
paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada
hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Daerah
intermediate range adalah daerhah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh
suku bunga. Untuk melihat keefektifan kebijakan ekonomi dapat kita lihat pada
gambar
berikut:
Gambar
12.4. Efektivitas Kebijakan Fiskal
Gambar
di atas menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal
ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal
sangat efektif pada daerah Keynesian dan efektif pada daerah intermediate
range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan
nasional di daerah Keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak
efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan
pendapatan nasional tidak berubah.
Gambar
12.5. Efektivitas Kebijakan Moneter
Kebijakan
moneter yang espansif ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1.
Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif
di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,
kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah Keynesian
Efektivitas
Kebijakan Moneter dan Fiskal
Para ekonom telah lama memperdebatkan apakah
kebijakan moneter atau fiskal yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap
permintaan agregat. Menurut model IS-LM jawaban atas pertanyaan ini tergantung
parameter dari kurva IS dan LM.
Efektivitas Kebijakan fiscal dilihat dari kurva IS
Persamaan diatas menunjukan kurva IS secara aljabar. Persamaan ini menyatakan
tingkat pendapatan (Y) pada tingkat bunga (R) serta kebijakan fiskal (G) dan
(T) berapa pun. Dengan mempertahankan kebijakan fiscal tetap, semakin tinggi
tingkat bunga, semakin rendah tingkat pendapatan. Kurva IS menggambarkan
persamaan ini untuk nilai-nilai yang berbeda dari (Y) dan (R) berdasarkan nilai
tetap dari (G) dan (T). Gambar (12.4) menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke
kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing
daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada
daerah intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan
keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan
fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan
fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah. Kebijakan moneter yang
ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM dari LM 0 Ke LM1. Apabila
dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif didaerah
klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter
sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Ekonomi Moneter Yogyakarta, 2017.
Adi ningsih, Sri.2000. “perkembangan Moneter Perbankan Indonesia”.
Pt. Gramedia,Jakarta.
Fredic s. miskin, Ekonomi Uang, Perbankan,
dan Pasar Keuangan,(Jakarta :Salemba Empat, 2009), hlm:373