Thursday, 17 May 2018

MAKALAH KEBIJAKAN MONETER


MAKALAH
KEBIJAKAN MONETER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Ekonomi Moniter
Dosen Pengampu : Riskiyatul Khasanah M.E

 










Disusun Oleh :


JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
FAKULTAS PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018
 Kebijakan Moneter
Kelompok 7
Dosen pengampu : Ibu Rizkiyatul Hasanah, M.E

Abstrak


Sebagaimana di ketahui bahwa Negara Indonesia sedang dilanda kirsis ekonomiyang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini di indikasikan dengan laju inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan keluar negeri, serta terhambatnta pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa di biarkan untuk terus berlanjutr dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah kesistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran makroeekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja,stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran.
Kata Kunci :  Sasaran Tingkat Bunga dan  Uang Beredar,Uang  yang di Kendalikan, Kepastian dan jarak waktu, Harapan Nasional, Efektifitas kebijakan ekonomi dan Fiskal.

A.    Sasaran Tingkat Bunga dan Uang Beredar
Sasaran akhir jangka pendek dari baik kebijaksanaan moneter maupun fiscal adalah menjaga keseimbangan makro dari perekonomian, yaitu agar tercapai laju inflasi yang rendah, tingkat kegiatan ekonomi (produksi) yang tinggi serta neraca pembayaran yang seimbang ini adalah tujuan akhir yang “ideal” dari kebijaksanaan ekonomi makro. Tentu tidak semua aspek dari sasaran ini akan bisa dicapai secara penuh dan sekaligus dalam kenyataan. Biasanya perlu “kompromi” antara ketiga aspek tersebutdan juga perlu kompromi antara sasaran dengan realita yang benar-benar di hadapi. Dalam usaha mencapai sasaran akhir, kebijakan moneter, di samping kebijaksanaan fiscal, memang peran penting. Kebanyakan ekonomi berpendapat bahwa jarak waktu (lag) antara tindakan kebijaksanaan moneter dengan pengaruhnya pada ketiga aspek sasaran akhir tersebut adalah panjang, sehingga akan sangat terlambat seandainya terjadi kesalahan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan hanya dapat di ubah setelah hasil akhir tersebut telah terjadi atau telah bisa diamati. Oleh sebab itu perlu sasaran-antara,yang secara lebih cepat bisa di monitor perkembangannya sebagai indicator awal dari pengaruh suatu kebijaksanaan,sehingga apabila kebijaksanaan perlu di koreksi segera bisa dilakukan.
Untuk tujuan tersebut sasaran-antara tersebut harus memenuhi 2 syarat, yaitu :[1]
a)      Ia harus secara cukup akurat dan cukup andal (realible) sebagai indicator awal dari hasil akhir kebijaksanaan tersebut. Artinya apa yang di harapkan akan terjadi pada sasaran-akhir sudah bisatercermin dengan baik pada sasaran-antara tersebut.
b)      Ia harus segera bisa diamati dan di monitor, sehingga segara bisadi tentukan apakah secara umum kebijaksanaan yang di jalankansudah benar atau belum.

Tingkat bunga yang “stabil” menunjukan bahwa pasar uang adalah tenang dan bahwa ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran.ini selanjutnya bisa diartikan,bahwa apabila situasi di luar sektor moneteradala normal, sasaran-akhir (harga,output dan neraca pembayaran) juga akan berada pada posisi “kestabilan”atau keseimbangannya. Anggapan dasarnya adalah apabila keadaan di luar sector moneter tidak normal, maka keadaan tersebut seyogyanya diatasi atau diobati dengan langkah-langkah kebijaksanaan non-moneter (seperti kebijakan fiskal). Oleh sebab itu memelihara “kestabilan” tingkat bunga yang berlaku di pasar uangbisa djadikan sasaran antara dalam kebijaksanaan moneter.
Dalam praktek, yang dimaksud dengan memelihara “kestabilan”tingkat bunga bukanlah berarti  mempertahankan tingkat bunga pada tingkat tertentu (katakan, 8% pertahun atau tingkat lain) selama-lamanya. Tetapi yang dimaksud disini adalah pengendalian agar tingkat bunga di pasar berada dalam batas-batas (tingkat bungaminimum maksimum dan maksimum) yang di inginkan atau di targekan oleh otoritas moneter. Cara mengendalikan tingkat bunga dilakukan dengan mengendalikan jumlah uang beredar. Otoritas Moneter perlu menambahkan MI atau M2 apabila tingkat bunga di anggap terlalu tinggi dan mengurangi kedua variable tersebut apabila tingkat bunga di nilai terlalu rendah.
Sasaran-antara yang lai adalah jumlah uang beredar itu sendiri (M1 atau M2). Asumsi yang melandasi pendapat ini adalah bahwa jumlah uang beredar mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengeluarannya atau p pembelanjaannya untuk barang dan jasa (permintaan agregat). Selanjutnya naik turunnya pengeluaran masyarakat menentukan perkembangan harga dan ouput (GDP). Menurut “klasik”  dari asumsi ini, bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar oleh sebab itu apabila masyarakat menjumpai bahwa mereka memegang uang “terlalu banyak” (dibandingkan dengan jumlah dari mereka inginkan), maka mereka akan membelanjakan kelebihan tersebut untuk mebeli barang dan jasa. Sedangkat menuru”keneys”, menekankan bahwa pengaruh lansung dari tambahan jumlah uang beredar adalah pada tingkat bunga, dan baru kemudian tingkat bunga (bersama kurva Efficincy  of capital) menentukan investasi, dan ini selanjutnya menentukan permintaan agregat dan akhirnya menetukan tingkat harga dan ouput (GDP).
Apabila kita ingin menstabilkan tingkat bunga berarti kita perlu menambah kita perlu menambah uang beredar apabila permintaan akan uang meningkat, dan sebaliknya mengurangi uang beredar apabila permintaan akan uang turun. Dengan demikian kita sebenarnya telah mengisolir sumber ketidak stabilan GDP,sehingga tidak “menjalar” ke sector-sektor di luar pasar uang.[2]
B.     “Uang” Mana Yang Dikendalikan
            Apabila tingkat bunga dan uang beredar kita putuskan untuk dijadikan sasaran-antara, pertanyaan selanjutnya adalah : tingkat bunga yang mana dan uang beredar yang mana? Dalam kenyataan ada berbagai macam tingkat bunga dan ada berbagai konsep uang beredar.
Kita akan menggunakan bagian ini untuk membahas mengenai konsep uang beredar yang mana yang relevan bagi kebijakan moneter. Ada dua hal utamayang harus dipertimbangkan dalam pemilihan besaran atau konsep uang beredar yang cocok, yaitu:
a.         Berapa jauhkah otoritas moneter mempengaruhi besaran tersebut? Semakin mudah dikembalikan tentu semakin baik.
b.         Bagaimana keandalan dari besaran tersebut dalam mencerminkan apa yang terjadi dalam sasaran akhir? Semakin andal atau semakin akurat atau semakin dekat korelasi antara besaran yang dipilih dengan sasaran akhir semakin baik.

Atas dasar pertimbangan (a) maka yang paling baik ialah uang inti karena uang inti secara langsung bisa dikendalikan oleh ototritas moneter. Kita ingat bahwa uang inti adalah hutang moneter dari otoritas moneter kepada masyarakat dan lembaga keuangan. Sebenarnya tidak sseluruh dariuang inti bisa ditentukan oleh otoritas moneter. Uang inti yang berasal dari pencetakan uang baru atau dari kredit bank central kepada masyarakat dan lembaga keuangan memang pada asasnya bisa dikendalikan oleh otoritas moneter. Tapi uang inti yang berasal dari neraca pembayan mungkin tidak begitu saja dikendalikan. Bagi negara yang mempunyai perekonomian terbuka penciptaan uang inti bersumber dari sektor luar negeri ini sangat penting, dan sering kali diluar kekuasaan otoritas moneter untuk mengendalikannya.jika dipandang secara relatif, uang inti langsung bisa dipengaruhi oleh otoritas moneter.dari segi ini maka uang inti merupakan sasaran yang lebih baik daripada konsep-konsep yang lain. Konsep-konsep yang semakin jauh dari uang inti semakin banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhinya selain tindakan otoritas moneter itu sendiri. Semakin banyak variabel yang lain masuk dalam koefisien pelipatnya, yang merupoakan hasil dari pelaku-pelaku lain dalam pasar uang. Pengaruh otoritas moneter semakin tidak langsung, semakin kita menjauhi dari konsep uang inti.
Bagaimana dengan pertimbangan (b) ?
Dalam hal ini hal yang harus ditentukan adalah berapa dekat hubungan antara sasaran-antara tersebut dengan sasaran akhir. Ini adalah masalah empiris yang hanya bisa di jawab dengan mengujinya secara empiris. Banyak studi empiris yang telah dilakukan para ahli ekonomi mengenai hal ini. Mengenai pertimbangan (b), uang inti mempunyai hubungan yang relatif lebih jauh dengan harga dan output, dibandingkan dengan M1, M2 dan M. Harga dan output lebih langsung dipengaruhi oleh pengeluaran masyarakat untuk barang dan jasa. Secara teoritis maupun empiris permintaan barang dan jasa lebih ditentukan oleh besarnya daya beli masyarakat, dan untuk ukuran daya beli ini M1, M2 dan M3 lebih cocok dari pada uang inti. Dari segi ini uang inti kurang baik sebagai sasaran.
Tapi kita harus ingat ada sasaran akhir, yaitu harga, output, dan neraca pembayaran. Inilah yang tidak jarang merupakan problem yang mendesak bagi suatu negara.
Bagaimana hubungan antara uang inti dengan sasaran akhir yaitu neraca pembayaran? Jawabannya ialah. Ingat persamaan yang menunjukkan sumber-sumber terciptanya uang inti :
          B = DC + NFA
Persamaan ini kita tulis sebagai :
          NFA = B – DC
Atau dalam perubahan
          ∆NFA = ∆B - ∆DC
Sekarang ingat pula makna dari NFA (Neet Foreign Assets), yaitu jumlah cadangan devisa yang dipegang oleh otoritas moneter. ∆NFA adalah besarnya defisit (-) atau surplus (+) yang terjadi dalam neraca pembayaran. Hubungan antara sasaran akhir neraca pembayaran dan uang inti adalah sangat dekat apabila kita juga mempunyai informasi mengenai perkembangan unsur DC (Domestic Kredit) dalam uang inti. Dengan mengambil uang inti dan DC sebagai sasaran maka kita ssedang mengendalikan sasaran akhir NFA secara tepat dan andal.
Hubungan antara uang inti dan NFA diatas merupakan pendekatan The Monetery approach To The Balance Of Payments. Yang banyak dikaitakn dengan  Internasional Monetery Finance. Pendekatan ini mengatakan bahwa surplus atau defisit dalam neraca pembayaran adalah gejala moneter. Artinya surplus dan defisit tersebut adalah pencermina dari ketimpangan antara permintaan dan penawaran uang inti. Kelebihan permintaan menimbulkan surplus, sedangkan kelebihan penawaran mengakibatkan defisit. Untuk menghilangkan defisit neraca pembayaran, uang inti harus dikurangi dengan mengurangi DC sebesar yang sama dengan besarnya defist tersebut. Selama permintaan dan penawaran uang belum seimbang, selama itu pula difisti neraca pembayaran akan tetap timbul.
Bagaimanakah dengan Total Quidity? Ini merupakan calon sasaran antara yang paling lemah landasan empirisnya karena konsep ini biasanya sulit untuk dituangkan dalam angka, terutama bagi negara-negara sedang berkembanga yang memiliki statistik moneter yang lengkap karena itu konsep itu jarang dipakai dalam praktek.
Dalam praktek uang inti, M1 dan M2 adalah sasaran yang sering dipakai dan ketiganya digunakan secara bersama-sama. Apabila koefisien peliput uang stabil maka ketiganya akan bergerak sejalan satu sama lain, sehingga salah satu bisa mewakili yang lain. Penggunaan ketiga sasaran tersebut secara bersama-sama bisa memberikan informasi mengena perubahan perilaku tersebut hingga kemudian bisa dimabil langkah kebijaksanaan yang tepat.[3]
C.    Ketidak Pastian (LAG)
            Berbeda dengan ilmu-ilmu eksakta, ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia, dihadapkan kepada ketidakpastian atau uncertainty baik mengenai dalil-dalilnya itu sendiri maupun mengenai nilai-nilai koifisien yang relefan apabila dalil-dalil tersebut diterapkan untuk memecahkan masalahnyata. Mengenai ketidak pastian dalil-dalil dalam moneter kita telah melihat bagaimana misalnya kelompok Keynes berbeda dengan kelompok klasik dalam berbagai konsep penting, seperti permintaan akan uang, penentuan tingakt bunga dan sebagainya. Bahkan seandainyapun kita sudah setuju dengan dalil atau teori yang akan dipakai untuk memecahkan masalah tertentu, dalam praktek kita msaih harus mengsis dalil-daliltersebut misalnya saja koefisien pelipat uang dengan angka-angka yang kita perkirakan berlaku bagi pereok=nomiaan kita saat itu, dan baru setelah itu kita bisa merumuskan langkah kebijaksanaan yang komplit. Tergantung pada ketersedianya data dan tenaga, cara mengsii dalil tersebut bisa berkisar dari cara yang paling sederhana seperti perkiraan pasar atas dasar perasaan si ekonom sampai pada penaksiran dengan prosedur statistic yang formal dan rumit. Namun yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa si perumus kebijaksanaan selalu dihadapkan pada informasi yang mengandung ketidak pastian. Dengan demikian iapun selalu diadakan pada ketidak pastian mengenai akibat dari langkah-langkah kebijaksanaan yang dirumuskannya.
   Unsure ketidak pastian ini selalu ada dalam setiap usaha dalam merumuskan dan melaksanakan suatu kebijaksanaan moneter, dan kebijaksanaan ekonomi pada umumnya. Apabila kita membaca kepustakaan mengenai kebijaksanaan ekonomi, maka pesan yang sering kali kita dapatkan dari banyak penulis adalah bahwa dalam keadaan ketidak sempurnaan informasi tersebut para perumus kebijaksaan syogyanya jangan suka mengambil kebijaksaan yang terlalu berani, dalam arti bahwa mereka harus selalu menghindari diambilnya reaksi yang berlebihan atau over reaction terhadap suatu permasalahan stabilisasi yang timbul. Tindakan yang reaktif dihindarkan sebab dalam suasana infoermasi yang tidak sempurna atau tidak pasti tersebut kesalahan langkah sama mungkinnya terjadi dengan ketepatran langkah. Sekarangpun tidak sedikit ekonom yang berpendapat bahwa perekonomian mempunyai kemampuan untuk mengkoreksi sendiri ketimpangan-ketimpangan kecil. Hanya ketimpangan-ketimpangan besar  memerlukan tindakan aktif dari pemerintah.
      Masalah kebijaksanaa lain, yang masih berkaitan denganketidak pastian ini adalah masalaha jarak waktu atau lag dari kebijaksanaan. Ada dua macam lag yang dikebnal dalam kepustakaan kebijaksanaan ekonomi, yaitu yang disebut a. inside lag dan b. outside lag. Yang dimaksud inside lag adalah jarak waktu dari timbulnya permasalahan didalam perekonomian sampai dengan dimulainya tindakan kebijaksanaan untuk mengatasinya. Inside lag ini sebenarnya terdiri dari tiga macam lag yang berurutan. Pertama adalah jarak waktu mulai dari timbulnya masalah sampai dengan saat para pembuat kebijaksanaan menyadari bahwa memang ada masalah. Ini disebut rekognistion lag. Yang kedua adalah jarak waktu antara disaat disadarinya bahwaa ada masalah dan saat diputuskannya suatu tindakan. Suatu tindakan ini disebut decision lag. Yang ketiga adalah jarak dan waktu antara saat keputusan kebijaksanaan diambil dan saat keputusan tersebut mulai dilaksanakan. Ini disebut action lag. Inside lag sangat tergantung pada kecepatan kerja atau efisien dari lembaga pembuatan kebijaksanaan.
      Outsid lag adalah jarak waktu antara saat me mulai dilaksanakannyia langkah kebijakandan saat timbulnya akibat pada perekonomian. Biasanya suatu tindakan kebijaksanaan mempunyai akibat yang “tersebar” dalam jangka waktu yang panjang. Berapa lama outside lag ini dan bagai mana “pola” akibatnya tersebut dalam jangka waktu terentu tergantung pada macam tindakan kebijaksanaan, struktur perekonomian dan reaksi dari para pelaku di dalamnya. Inin sangat tergantung pada situasi masing-masing Negara. Tetapi kebanyakan ekonom sekarang berpendapat bahwa outside lag dari kebijakan moneter adalah panjang,pengaruhnya datang lambat dan bisa menyebar sampai beberapa tahun. Sebaliknya kebijaksanaan fiskal biasanya mempunyai outside lag yang lebih pendek, karena tindakan ini langsung mempengaruhi pengeluaryan massyarakat. Namun dilain pihak, karena straktur administrasinya, kebijaksanaan fiscal biasanya mempunyai inside lag yang panjang, sedang kebijaksanaan moneter mempunyai inside lag yang lebih pendek, jadi apabila dilihat dari total lag (inside lag plus outside lag) maka kebijaksanaan moneter belum tentu lbih lambat pengaruhnya daripada kebijaksanaan fiscal.
            Kembali ke masalaha kebijakan moneter itu sendiri, meskipun banyak yang setuju bahwa outside lag nya panjang, namun penelitian sampai sekarang belum bisa memberikan jawaban berapa pandangannya, penelitiuan empiris dari friedman dengan data amerika serikat menunjukan bahwa lag tersebut bisa berkisar selama 6 bulan sampai 2 tahun, dan yang perlu dicatat pula adalah bahwa lag tersebut bervariasi  dari masa kemasa. Dalam hal lag ini pun ada ketidakpastian. Adanya unsure ketidak pastian yang umu bagi setiap kebijaksanaan ekonomi serta adanya ketidak pastian mengenai kapan pengaruhnya mulai terasa dalam perekonomian, menimbulkan kemunghkinan nyata bahwa apa yang dimaksud sebagai tindakan stabilisasi justru bisa menimbulkan akibat destabilisasi (menimbulkan ketidakstabilan) dalam perekonomian. Ini bisa terjadi apabila misalnya apabi;la keadaan ekonomi sudah sangat berubah pada saat tindakan stabilisasi yang diambil beberapa waktu yang lalu (katakana setahun yang lalu) mulai menunjukan pengaruhnya. Penurunan laju pertumbuhan uang beredar tahun lalu, misalnya mengatasi inflasi pada waktu itu justru bisa memperparah keadaan resise sekarang. Atas dasar pertimbangan seperti itu, maka beberapa ekonom, seperti Milton frieman, J.W. angell dan Edward shaw, berpendapat bahwa tindakan-tindakan kebijakan moneter yang secara efektif ditujukan untuk mengatasi fluktuasi ekonomi (disebut discretionary policies) tidak efektif dan justru berbahaya. Oleh sebab itu mereka berpandangan bahwa yang lebih baik dan lebih aman adalah melaksanakan monetary rules, misalnya saja dengan mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar secara konstan secara waktu ke waktu sesuai dengan perkiraan perkembangan kebutuhan masyarakat akan uang (katakana 4 atau 5% setahun). Tegasnya, ikuti saja “aturan umum” atau rules semacam itu dan jangan suka mengubah sasaran pertumbuhan laju tersebut hanya karena kita ingin bereaksi terhadap fluktuasi ekonomi jangka pendek. Pendapat seperti in menarik karena memberikan peringtan kepada kita untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan (over reaction) terhadap gejolak ekonomi jangka pendek sehingga kehilangan perspektif janka panjang.
Kesimpulan umumnya adalah bahwa discretionary policies masih perlu, tetapi perlu dihindari reaksi yang berlebihan (over reaction) karena bagi gangguan-gangguan kecil atau gangguan-gangguan yang bersifat sementara, perekonomian itu sendiri mempunyai kemampuan untuk mengobati dirinya. Monetary rules yang diterapkan secara fleksibel berguna agar kita tidak kehilangan perspektif jangka panjang.

D. Harapan Rasional (Rational Expectations)
Ekspektasi rasional adalah upaya meramal secara esensial masa depan variabel-variabel ekonomi untuk membuat kebijakan secara tepat. Dalam memprediksi, variabel-variabel yang relevan, namun penuh dengan ketidakpastian, harus diperhitungkan secara cermat.
Asumsi dasar bagi bekerjanya model ekspektasi rasional ini adalah :
Ekspektasi ini didasarkan kepada informasi yang lengkap yang dimiliki oleh semua pelaku ekonomi, baik tiu konsumen, produsen (simetris). Informasi yang lengkap ini bukan hanya meliputi informasi masa lalu, atau yang baru dialami tetapi juga informasi tentang masa yang akan datang.
Berdasarkan informasi-informasi tersebut, pelaku ekonomi akan melakukan tindakan yang rasional. Tindakan rasional yang dimaksudkan disini adalah : produsen cenderung untuk memaksimumkan profit dengan kondela faktor-faktor produksi, sedangkan konsumen cenderung memaksimalkan utility dengan kendala income. Pelaku ekonomi yang rasional akan senantiasa berpegang pada prinsip tersebut terutama dalam menghadapi berbagai perubahan yang timbul dari aspek makroekonomi, seperti inflasi dan pengangguran.
Pelaku-pelaku ekonomi mengetahui dengan baik implikasi-inplikasi dari berbagai kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah. Pengetahuan seperti itu terutama didapat dari pengalaman-pengalaman di masa lalu.
Teori ekspektasi rasional menganggap bahwa pada umumnya masyarakat mengetahui dampak yang akan ditimbul sebagai akibat kebijakan-kebijakan pemerintah seperti melakukan anggaran belanja defisit dan dampaknya terhadap perekonomian. Kemampuan untuk memprediksi (to expect and to anticipate) dampak dari tindakan pemerintah seperti itu, memungkinkan pelaku-pelaku ekonomi melakukan tindakan untuk melindungi diri dari dampak buruk kebijakan pemerintah tersebut di masa depan. Untuk memahami secara jelas tentang mekanisme dari Ekspektasi rasional, perhatikan gambar berikut:

 (a) Terantisipasi                                                                     (b) Tak Terantisipasi
Description: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/prabawa_e_s_files/image001.gif 
Pada kondisi Gambar 1 (a), keseimbangan ekonomi mula-mula berada di titik E0.  Perekonomian berada   pada   tingkat     kesempatan   kerja  penuh dan tingkat harga adalah P0. Misalkan pemerintah ingin meningkatkan lagi kegiatan ekonomi sehingga pengangguran dapat diturunkan ke tingkat yang lebih rendah lagi. Untuk tujuan ini pemerintah melakukan ekspansi moneter dan mengharapkan keseimbangan ekonomi bergerak ke E1 yang akan menyebabkan kenaikan kegiatan ekonomi,  kenaikan pendapatan nasional riil dan pengurangan tingkat pengangguran. Menurut golongan ratex, perubahan tersebut tidak akan terjadi. Pelaku-pelaku kegiatan ekonomi telah dapat mengantisipasi efek dari kebijakan tersebut dan secepatnya menuntut kenaikan upah untuk mempertahankan pendapatan riil mereka. Tindakan ini akan menyebabkan kurva penawaran agregat jangka pendek bergerak dari SRAS0 menjadi SRAS1. Dengan demikian pada dasarnya kebijakan pemerintah dan antisipasi pelaku kegiatan ekonomi tersebut akan secara serentak menggerakkan kurva AD ke kanan (dari AD0 ke AD1) dan kurva SRAS ke kiri (SRAS0 menjadi SRAS1). Sebagai akibatnya perubahan keseimbangan akan begerak sepanjang kurva LRAS dan akan mencapai keseimbangan kembali di titik E2. Keadan yang terjadi ini berarti kebijakan pemerintah tersebut hanya menyebabkan kenaikan harga dan kenaikan upah nominal, akan tetapi tingkat kesempatan kerja tidak mengalami perubahan.
Berdasarkan Gambar 1 (b) menunjukkan perubahan yang tidak diramalkan atau diantisipasi masyarakat. Misalkan negara yang dicontohkan ini adalah pengekspor bahan-bahan mentah dan misalkan dipasaran dunia harganya meningkat tinggi sekali. Terhadap negara tersebut efeknya adalah : pendapatan dari ekspor mengalami peningkatan yang besar dan akan menggeser kurva AD0 menjadi AD1. Perubahan ini akan menggeser keseimbangan ekonomi dari titik E0 ke E1 yang berarti pendapatan nasional riil meningkat dari YF menjadi Y1 dan pertambahan tersebut akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja yang berarti pengangguran akan berkurang. Walau bagaimana pun, menurut pandangan golongan ratex, keseimbangan baru ini akan berlaku dalam jangka pendek. Kenaikan harga yang berlaku sebagai akibat perubahan tersebut, yaitu dari P0 menjadi P1 akan mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah untuk memperoleh pendapatan riil yang asalnya. Kenaikan upah tersebut akan menggeser kurva SRAS0 menjadi SRAS1 sehingga AD1 dan SRAS1 berpotongan pada kurva LRAS, yaitu pada saat pendapatan riil tenaga kerja telah kembali ke tingkatnya yang asal. Berarti dalam jangka panjang pendapatan nasional riil, upah riil dan kesempatan kerja akan kembali ke tingkat yang berlaku sebelum adanya kenaikan ekspor tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi yang diantisipasi tidak menimbulkan efek kepada kesempatan kerja dan pendapatan nasional riil. Sedangkan perubahan kegiatan ekonomi yang tidak diantisipasi dapat menimbulkan perubahan terhadap kegiatan perekonomian, kesempatan kerja, dan pendapatan nasional riil. Akan tetapi perubahan tersebut hanya berlaku dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang kegiatan perekonomian, pendapatan nasional riil, kesempatan kerja dan upah riil akan kembali mencapai keseimbangan awal.[4]
E. Efektivitas Kebijakan Fiskal dan Moneter
Yang dimaksud dengan efektifitas kebijakan moneter adalah, sejauh mana kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah (apapun bentuknya), memberi dampak positif bagi perekonomian dan masyarakat, dalam arti :
a. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b. dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. dapat meningkatkan kesempatan kerja
d. dapat meningkatkan penerimaan devisa negara
e. serta memberi pengaruh pada kebijakan makro lainnya
Teori yang membicarakan mengenai efektifitas kebijakan moneter ini diantaranya adalah :
1. Teori Natural Rate Hypothesis, yang percaya bahwa kebijakan hanya akan efektif dan memberi dampak dalam jangka pendek saja, namun tidak akan efektif untuk jangka panjang
2. Teori Rational Expectation Hypothesis, yang percaya bahwa baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, kebijakan moneter tidak akan efektif.
Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkannya pada 3 daerah yaitu daerah klasik, intermediate range dan daerah Keynes. Jika digambarkan, maka bentuk kurva LM menjadi seperti berikut ini.[5]
Description: Screenshot_2018-05-16-22-45-17.png
 












Gambar 12.3. Kurva LM
Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah inilah yang disebut daerah liquidity trap. Sementara itu daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa dalam teori permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Menurut paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Daerah intermediate range adalah daerhah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Untuk melihat keefektifan kebijakan ekonomi dapat kita lihat pada gaDescription: Screenshot_2018-05-16-22-45-22.pngmbar berikut:










Gambar 12.4. Efektivitas Kebijakan Fiskal
Gambar di atas menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah Keynesian dan efektif pada daerah intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan nasional di daerah Keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.
Description: Screenshot_2018-05-16-22-45-27.png
 










Gambar 12.5. Efektivitas Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang espansif ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah Keynesian
Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal
Para ekonom telah lama memperdebatkan apakah kebijakan moneter atau fiskal yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan agregat. Menurut model IS-LM jawaban atas pertanyaan ini tergantung parameter dari kurva IS dan LM.
Efektivitas Kebijakan fiscal dilihat dari kurva IS Persamaan diatas menunjukan kurva IS secara aljabar. Persamaan ini menyatakan tingkat pendapatan (Y) pada tingkat bunga (R) serta kebijakan fiskal (G) dan (T) berapa pun. Dengan mempertahankan kebijakan fiscal tetap, semakin tinggi tingkat bunga, semakin rendah tingkat pendapatan. Kurva IS menggambarkan persamaan ini untuk nilai-nilai yang berbeda dari (Y) dan (R) berdasarkan nilai tetap dari (G) dan (T). Gambar (12.4) menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada daerah intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah. Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM dari LM 0 Ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif didaerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.


DAFTAR PUSTAKA

Budiono, Ekonomi Moneter Yogyakarta, 2017.
Adi ningsih, Sri.2000. “perkembangan Moneter Perbankan Indonesia”. Pt. Gramedia,Jakarta.
Fredic s. miskin, Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan,(Jakarta :Salemba Empat, 2009), hlm:373




[1] Budiono,Ekonomi Moneter,BPFE Yogyakarta 2017, Hlm:138-139
[2] Ibid, Hlm:145.
[3]
[4] Fredic s. miskin, Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan,(Jakarta :Salemba Empat, 2009), hlm:373
[5] Adi ningsih, Sri.2000. “perkembangan Moneter Perbankan Indonesia”. Pt. Gramedia,Jakarta.  Hlm.145