Sunday 24 June 2018

الحدث الكلامي و الفعل الكلامي و البراجمتية




الحدث الكلامي
و الفعل الكلامي و البراجمتية
قدمت لإستيفاء وظيفة تدريس علم اللغة الإجتماعية
تحت إشراف الأستاذة نور ديانا عارفة,الماجستير


إعداد :








قسم تعليم اللغة العربية في كلية التربية
الجامعة الإسلامية الحكومية باميكاسان


A.  Peristiwa Tutur (الحدث الكلامي / Speech Event)
Speech Event atau yang kita kenal dengan peristiwa tutur adalah terjadinya ataupun berlangsungnya interalsi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur, ataupun ketika seorang dokter yang bertanya mengenai gejala pada pasien yang sedang dipriksa dan pasien tersebu menanggapi apa yang ditanyakan dengan menyatakan semua gejala yang dirasakan melalu bahasa verbal (lisan). Begitu pula, perisiwa serupa yang ita dapati pada kehidupan sehari-hari seperti pada saat diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan lain sebagainya, itu semua merupakan الحدث الكلامي.
(علم اللغة الإجتماعي  : malang : 35) Seorang ahli bahasa Ahmad Muhtar Umar berpendapat, bahwasanya peristiwa tutur membutuhkan kepada beberapa pehatian, diantaranya :
1.      Ulasan dari aspek bunyi yang memenauhi terhadap makna sepeti menempatkan bunyi pada tempat yang lain, dan sepeti intonasi dan tekanan, sebagaimana yang terdapat dala firman allah : قالوا فما جزاؤه ان كنتم كاذبين. قالوا جزاؤه من وجد في رحله فهو جزاؤه,   dan tidak diragukan bahwa intonasi kalimat “      "جزاؤه قالوا meupakan intonasi istifham (pertanyaan), sedangkan kalimat “من وجد في رحله فهو جزاؤه"  . aspek yang mempengaruhi perubahan makna kata dalam level suara pada kata yang sama secara huruf adalah terletak pada aspek intonasi suara, permainan intonas suara dalam pengucapan mempunyai peran penting dalam perubahan makna kata.
2.      Struktur morfologi kata
Adalah tingkatan perubahan kata sesuai dengan wazan dan sighoh kata (bentuk kata). Sesungguhnya fungsi perubahan kata dalam lekskal untuk menyingkap makna dari suau kata aspek dari perubahan kata sesuai dengan wazan dan bentuk katanya sangat dperlukan. Kata dalam bahasa arab tersusun dari akar dan wazan setiap wazan, mempnyai makna yang khusus, contoh  استغفر , dimana lafadz tersebut memiliki akar غفر akan tetapi secara makna itu berbeda dan wazan dari kdua kata tersebut berbeda dimana dalam shorof mempunyai arti atau makna yang berbeda-beda.
3.      Level tata bahasa (sintaksis)
Level tata bahasa / sintaksis adalah tingkatan auan atau tata bahasa kata dalam suatu kalimat. Level ini sangat diperlukan dalam menyingkap suatu makna kata dalam suatu kalimat atau ungkapan. Contoh:  طارد الكلب القط dan طارد القط الكلب
4.      Level makna
Level makna adalah tingkatan mana suatu kata, level makna paling tinggi keduudkannya diantara empat level, kaena level ini sebagai pembatas dari ke empat level, karena setiap level, baik suara, shorfiyah, dan sintaksis pembatas dari semuanya adalah makna. Dari ke empat level diatas bisa dikategorikan untuk level fonologi (suara) adalah tujuan dari kajian semantik, level tata bahasa (sintakis) dan level shorfiyah (leksikal) sebaga puncak dai kajian semantik.sedangkan level makna merupakan sarana atau media dari bahasa untuk memahami suatu makna kata atau ungkapan.
5.      Mempelajari ungkapan-ungkapan yang belum terungkap maknanya, dengan menafsikan setiap kata dari beberapa kata. Dan itu tidak mungkin untuk menejemahkannya secaa harfiyah dari bahasa satu ke bahasa yang lain. Contoh: الكتاب الابيض. الكتاب الاسود
(introduction to linguistics:1972: 48) Seorang pakar sosiolinguistik terkenal Dell Hymes menyatakan bahwa peistiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang mana apabila setiap huru awalnya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponrn itu adalah :
S = Setting and Scene
P = Paticipants
E = Ends: Purpose and Goal
A = Act Sequences
K = Key: Tone or Spirit of act
I = Instrumentalities
N = Norms of Interaction and Interpretation
G = Genres
Setting and scene. Disisni setting and scene berkenaan dengan waktu dan tempt tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang bebeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang bebeda. Bebicara dilapangan sepakbola pada waktu ada pertandingan sepakbola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, akan tetapi di perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participans adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara ataupun pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak bisa bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya, jika dibandingkan saat ia berbicara terhadap teman-teman sebayanya.
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan penuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksdu untuk menyelasikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa tedakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kuliah linguistik, ibu dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya, namun barangkali di antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandangi wajah ibu dosen yang cantik itu.
Act sequences, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikaitkan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register.
Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penasiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Dari apa yang telah dikemukakan Dell Hymes diatas kita mengetahui betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak terlalu berbeda dengan yang diungkapkan oleh Fishman sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu “who speak, what language, to whom, when and what end”

B.  Tindak Tutur (الفعل الكلامي / Speech Act)
Setelah membahas tentang adanya peristiwa tutur, dapat kita simpukan bahwasanya, peristiwa yang dimaksudkan diatas adalah peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang betutur dalam situasi dan tmpat tetentu. Peristiwa tutur ini  pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (Speech Art) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. apabila peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut diatas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dan jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat kepada aspek makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
            Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L Austin, seorang guru besar di Harvard University, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul “How to do Thing with Word” tetapi teori tersebut bau menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menebitkan buku berjudul “Speech Act and Essay in The Philosophy of Language”.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional, mereka membagi tiga jenis kalimat tersebut antara lain, kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif.
1.        Kalimat deklaratif
       Austin membedakan kalimat deklaratif berdasarkn maknanya menjadi kalimat konstatf dan kalimat performatif. Yang dimaksdu dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka. Contoh : Ibu dosen kami cantik sekali. Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang beisi perlakuan. Artinya, apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Kalimat perfomatif mempunyai pola dan norma tertentu. Kalimat itu biasanya dimulai dengan frase “Dengan ini.....” atau “Dengan mengucapkan bismillah...”. kalimat performatif harus memenuhi persyaratan, yang antara lain:
a.    Ucapannya harus dilakukan oleh orang tetentu yang ditunjuk, biasanya orang yang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi dari para hadirin lainnya.
b.    Urutan peristiwanya sudah baku.
c.    Yang hadir dalam upacara atau acara tersebut harus turut serta dan tidak dibenarkan melakukan hal-hal lain.
d.   Upacara atau acara tersebut harus dilakukan secara lengkap, tidak dibenarkan ada kegiatan dari acara tersebut yang ditinggalkan.
Persyaratan diatas merupakan kalimat performatif resmi, arinya ada pula kalimat performatif yang tidak memerlukan persyaratan diatas, yang mana kalimat tersebut bisa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, dengan menghadirkan kata-kata seperti saya atu kami, contoh : Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya.
     Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan sebagai peristiwa tindakan yang berkangsung sekaligus, yaitu :
a.       Tindak tutur lokusi (الفعل الصوتي / locutionary act)
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”  atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar membantunya”. Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi  ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (Prepositional Act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
b.      Tindak tutur perlokusi ( أثر الفعل الصوتي علي السامع  / perlocutionary act)
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain shubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain tersebut. Misalnya, Karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit jantng koroner” maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan dokter itu adalah tindak tutur perlokusi.
c.       Tindak tutur ilokusi ( الفعل المقصود من القول / ilocutionary act)
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutu yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokasi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar saya berangkat” Dan tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi bekaitan dnegan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
Jika dilihat dari konteks situasinya, ada dua macam tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah dipahami oleh si pendengar karena ujarannya berupa kalimat-kalimat dengan makna lugas. Tindak tutur yang tidak langsung hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks situasional, contoh :
Tindak tutur langsung
Tempat               : Ruang kelas ketika pelajaran berlangsung
Guru                  : Ketua kelas, tolong ambilkan kapur tulis lagi!
Ketua kelas        : Baik pak, segera saya ambilkan.
Tindak tutur tidak langsung
Tempat               : Ruang kelas ketika pelajaran berlangsung
Guru                  : Kapur tulisnya habis, ya?
Ketua kelas        : Baik pak, segera saya ambilkan!

C.  Pragmatik (البراجمتية / Pragmatics)
             (sosilinguistik perkenalan awal: 2004:56)       Tindak tutur sebenarnya, merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah prgamatik. Fenomena lainnya di dalam kajian pagmatik adalah deiksis, presuposisi (pressupotition) dan implikatur percakapan (conversation alimticatre). Penerapan pragmatig dilaksanakan untuk masalah-masalah pembelajaan bahasa asing atau bahaa kedua, maka linguistik terapan itu merupakan potensi yang mana terdapat perbedaan yang memiliki maksud bukan hanyadalam struktur-struktur  bahasa. Tetapi juga dalam penggunaannya dan hingga pada keadaan-keadaan tertentu.
a.    Deiksis
Yang dimaksud dengan deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tdak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Kata-kata yang referensnya deiksis ini, anatara lain adalah kata-kata yang berkenaaan dengan pesona, tempat, dan waktu,(pragmatik dan pengajaan bahasa: 1990:15)  contoh :
A dan B sedang becakap-cakap, bagian akhir dari pecakapan itu berupa:
A: Saya belum bayar SPP: tidak punya uang.
B: Sama, saya juga.
Jelas, kata saya pada percakapan tersebut pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka, kata saya utu disebut bersifat deiktis.
b.    Presuposisi
       Dalam tindak tutur makna atau informasi “tambahan”  yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Jadi, di dalam ujaran tersebut selain mendapat makna “asal” yang tersiat dalam ujaran itu, terdapat pula makna lain yang hanya bisa dipahami secara tersirat. Memahami makna yang tersirat ini sangat penting utuk dapat memhami keseluruhan makna yang ada dalam suatu tindak tutur.
       Preposisi terdapat pula dalam kalimat deklaratif dan kalimat itrogatif. Misalnya dalam kalimat “Yang belum lulus ujian linguistik umum tidak boleh mengikuti kuliah sosiolinguistik”. Mempunyai preposisi ‘ada yang belum lulus ujian linguistik umum’.
c.    Impilkatur Percakapan
       Adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini, tidak tampak secara literal, teta hanya dipahami secara tersirat. Perhatikan contoh berikut :
A : Wah panas sekali ya sore ini! Kamu kok tidak berkeringat, apa nggak kegerahan?
B : Nggak! Aku sudah mandi tadi!
       Kalimat jawaban si B, “aku sudah mandi tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut dengan kalimat pertanyaan si A. Tetapi yang tersirat dari kalimat jawaban percakapan tersebut, yakni bahwa ‘Si A merasa panas karena belum mandi’ dapat dipakai sebagai pengait bagi kelancaran atau “pemasukakalan” dialog tersebut.

Pragmatik dan Hubungannya dengan Bidang-Bidang tertentu
1.      Linguistik Terapan
2.      Interaksi yang Menggunakan alat (telepon, telegram, dsb)
3.      Komunikasi face to face
4.      Komunikasi jarak jauh.



DAFTAR PUSTAKA

Adriana iswah, ilmullughah al-Ijtima’I sosiolinguistik arab
pamekassan: stain pamekasan pess 2009.
Aslinda dkk pengantar sosiolinguistik, bandung: pt refika ditama. 2007
Agustina leonie chair abdul sosiolinguistik perkenalan awal (rineka cipta,Jakarta: 2004)
Chair abdul linguistik umum jakata, ineka cipta:2003, cetakan 2

محمد عفيف الدين مدخل إلى علم اللغة الإجتماعي لسان مالنج  طبعة الأولى