الحدث
الكلامي
و
الفعل الكلامي و البراجمتية
قدمت لإستيفاء وظيفة تدريس علم اللغة الإجتماعية
تحت إشراف الأستاذة نور ديانا
عارفة,الماجستير
إعداد :
قسم تعليم اللغة العربية في كلية التربية
الجامعة الإسلامية الحكومية باميكاسان
A. Peristiwa Tutur (الحدث الكلامي / Speech Event)
Speech Event atau yang
kita kenal dengan peristiwa tutur adalah terjadinya ataupun berlangsungnya
interalsi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua
pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu,
tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang
pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur, ataupun ketika
seorang dokter yang bertanya mengenai gejala pada pasien yang sedang dipriksa
dan pasien tersebu menanggapi apa yang ditanyakan dengan menyatakan semua
gejala yang dirasakan melalu bahasa verbal (lisan). Begitu pula, perisiwa
serupa yang ita dapati pada kehidupan sehari-hari seperti pada saat diskusi di
ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan lain sebagainya,
itu semua merupakan الحدث الكلامي.
(علم اللغة الإجتماعي : malang : 35) Seorang ahli bahasa
Ahmad Muhtar Umar berpendapat, bahwasanya peristiwa tutur membutuhkan kepada
beberapa pehatian, diantaranya :
1.
Ulasan dari aspek
bunyi yang memenauhi terhadap makna sepeti menempatkan bunyi pada tempat yang
lain, dan sepeti intonasi dan tekanan, sebagaimana yang terdapat dala firman
allah : قالوا فما جزاؤه ان كنتم كاذبين. قالوا جزاؤه من وجد
في رحله فهو جزاؤه, dan tidak diragukan bahwa intonasi kalimat
“ "جزاؤه قالوا meupakan
intonasi istifham (pertanyaan), sedangkan kalimat “من وجد في رحله فهو
جزاؤه" . aspek yang mempengaruhi
perubahan makna kata dalam level suara pada kata yang sama secara huruf adalah
terletak pada aspek intonasi suara, permainan intonas suara dalam pengucapan
mempunyai peran penting dalam perubahan makna kata.
2.
Struktur morfologi
kata
Adalah tingkatan
perubahan kata sesuai dengan wazan dan sighoh kata (bentuk kata). Sesungguhnya
fungsi perubahan kata dalam lekskal untuk menyingkap makna dari suau kata aspek
dari perubahan kata sesuai dengan wazan dan bentuk katanya sangat dperlukan. Kata
dalam bahasa arab tersusun dari akar dan wazan setiap wazan, mempnyai makna
yang khusus, contoh استغفر , dimana lafadz tersebut memiliki akar غفر akan tetapi secara makna itu berbeda dan wazan dari kdua kata
tersebut berbeda dimana dalam shorof mempunyai arti atau makna yang
berbeda-beda.
3.
Level tata bahasa
(sintaksis)
Level tata bahasa /
sintaksis adalah tingkatan auan atau tata bahasa kata dalam suatu kalimat.
Level ini sangat diperlukan dalam menyingkap suatu makna kata dalam suatu
kalimat atau ungkapan. Contoh: طارد الكلب القط dan طارد القط الكلب
4.
Level makna
Level makna adalah
tingkatan mana suatu kata, level makna paling tinggi keduudkannya diantara
empat level, kaena level ini sebagai pembatas dari ke empat level, karena
setiap level, baik suara, shorfiyah, dan sintaksis pembatas dari semuanya
adalah makna. Dari ke empat level diatas bisa dikategorikan untuk level
fonologi (suara) adalah tujuan dari kajian semantik, level tata bahasa
(sintakis) dan level shorfiyah (leksikal) sebaga puncak dai kajian
semantik.sedangkan level makna merupakan sarana atau media dari bahasa untuk
memahami suatu makna kata atau ungkapan.
5. Mempelajari ungkapan-ungkapan yang belum terungkap
maknanya, dengan menafsikan setiap kata dari beberapa kata. Dan itu tidak
mungkin untuk menejemahkannya secaa harfiyah dari bahasa satu ke bahasa yang
lain. Contoh: الكتاب الابيض. الكتاب الاسود
(introduction to linguistics:1972: 48) Seorang pakar
sosiolinguistik terkenal Dell Hymes menyatakan bahwa peistiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen, yang mana apabila setiap huru awalnya dirangkai
menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponrn itu adalah :
S = Setting and Scene
P = Paticipants
E = Ends: Purpose and Goal
A = Act Sequences
K = Key: Tone or Spirit of act
I = Instrumentalities
N = Norms of Interaction and
Interpretation
G = Genres
Setting and scene. Disisni setting and
scene berkenaan dengan waktu dan tempt tutur berlangsung, sedangkan scene
mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang bebeda dapat menyebabkan penggunaan
variasi bahasa yang bebeda. Bebicara dilapangan sepakbola pada waktu ada
pertandingan sepakbola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan
pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam
keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, akan
tetapi di perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participans adalah pihak-pihak
yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan
pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat
berganti peran sebagai pembicara ataupun pendengar, tetapi dalam khotbah di
masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak bisa
bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang
digunakan. Misalnya seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa
berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya, jika dibandingkan saat
ia berbicara terhadap teman-teman sebayanya.
Ends, merujuk pada maksud
dan tujuan penuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksdu
untuk menyelasikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam
peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan
kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa tedakwa tidak
bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam
peristiwa tutur di ruang kuliah linguistik, ibu dosen yang cantik itu berusaha
menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya, namun barangkali di
antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandangi wajah ibu
dosen yang cantik itu.
Act sequences, mengacu pada bentuk
ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang
digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikaitkan
dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan
biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada,
cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan
serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur
bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau
telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang
digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register.
Norm of Interaction
and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi,
bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penasiran terhadap ujaran
dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis
bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Dari apa yang telah dikemukakan
Dell Hymes diatas kita mengetahui betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur
yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.
Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak terlalu berbeda dengan yang
diungkapkan oleh Fishman sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu “who
speak, what language, to whom, when and what end”
B. Tindak Tutur (الفعل الكلامي / Speech Act)
Setelah membahas
tentang adanya peristiwa tutur, dapat kita simpukan bahwasanya, peristiwa yang
dimaksudkan diatas adalah peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang
betutur dalam situasi dan tmpat tetentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari
sejumlah tindak tutur (Speech Art) yang terorganisasikan untuk mencapai
suatu tujuan. apabila peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut
diatas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu. Dan jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan
peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat kepada aspek makna atau
arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua
gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Istilah dan teori mengenai tindak
tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L Austin, seorang guru besar di Harvard
University, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu
kemudian dibukukan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul “How to do Thing with
Word” tetapi teori tersebut bau menjadi terkenal dalam studi linguistik
setelah Searle (1969) menebitkan buku berjudul “Speech Act and Essay in The
Philosophy of Language”.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur,
ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu pembagian jenis kalimat yang
dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional, mereka membagi tiga jenis
kalimat tersebut antara lain, kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat
imperatif.
1.
Kalimat deklaratif
Austin membedakan kalimat deklaratif
berdasarkn maknanya menjadi kalimat konstatf dan kalimat performatif. Yang
dimaksdu dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka.
Contoh : Ibu dosen kami cantik sekali. Sedangkan kalimat performatif adalah
kalimat yang beisi perlakuan. Artinya, apa yang diucapkan oleh si pengujar
berisi apa yang dilakukannya. Kalimat perfomatif mempunyai pola dan norma
tertentu. Kalimat itu biasanya dimulai dengan frase “Dengan ini.....” atau
“Dengan mengucapkan bismillah...”. kalimat performatif harus memenuhi
persyaratan, yang antara lain:
a. Ucapannya harus dilakukan oleh orang tetentu yang
ditunjuk, biasanya orang yang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi dari para
hadirin lainnya.
b. Urutan peristiwanya sudah baku.
c. Yang hadir dalam upacara atau acara tersebut harus
turut serta dan tidak dibenarkan melakukan hal-hal lain.
d. Upacara atau acara tersebut harus dilakukan secara
lengkap, tidak dibenarkan ada kegiatan dari acara tersebut yang ditinggalkan.
Persyaratan diatas merupakan kalimat performatif
resmi, arinya ada pula kalimat performatif yang tidak memerlukan persyaratan
diatas, yang mana kalimat tersebut bisa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu
secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, dengan menghadirkan kata-kata
seperti saya atu kami, contoh : Saya berjanji akan mengirimkan uang itu
secepatnya.
Tindak
tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan
sebagai peristiwa tindakan yang berkangsung sekaligus, yaitu :
a. Tindak tutur lokusi (الفعل الصوتي / locutionary act)
Tindak tutur lokusi
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami. Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar membantunya”.
Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi
ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (Prepositional Act) karena
tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
b. Tindak tutur perlokusi ( أثر الفعل الصوتي علي
السامع / perlocutionary act)
Tindak tutur perlokusi
adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain shubungan
dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain tersebut. Misalnya,
Karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit
jantng koroner” maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan dokter itu adalah
tindak tutur perlokusi.
c. Tindak tutur ilokusi ( الفعل
المقصود من القول / ilocutionary act)
Tindak tutur ilokusi
adalah tindak tutu yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif
yang eksplisit. Tindak tutur ilokasi ini biasanya berkenaan dengan pemberian
izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya,
“Ibu guru menyuruh saya agar saya berangkat” Dan tindak tutur ini hanya
berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi bekaitan dnegan nilai,
yang dibawakan oleh preposisinya.
Jika dilihat dari
konteks situasinya, ada dua macam tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan
tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung mudah dipahami oleh si
pendengar karena ujarannya berupa kalimat-kalimat dengan makna lugas. Tindak
tutur yang tidak langsung hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah
cukup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks
situasional, contoh :
Tindak tutur langsung
Tempat : Ruang kelas ketika pelajaran
berlangsung
Guru : Ketua kelas, tolong ambilkan
kapur tulis lagi!
Ketua kelas : Baik pak, segera saya ambilkan.
Tindak tutur tidak langsung
Tempat : Ruang kelas ketika pelajaran
berlangsung
Guru : Kapur tulisnya habis, ya?
Ketua kelas : Baik pak, segera saya ambilkan!
C. Pragmatik (البراجمتية / Pragmatics)
(sosilinguistik perkenalan awal: 2004:56) Tindak tutur sebenarnya, merupakan salah
satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah
prgamatik. Fenomena lainnya di dalam kajian pagmatik adalah deiksis,
presuposisi (pressupotition) dan implikatur percakapan (conversation
alimticatre). Penerapan pragmatig dilaksanakan untuk masalah-masalah
pembelajaan bahasa asing atau bahaa kedua, maka linguistik terapan itu
merupakan potensi yang mana terdapat perbedaan yang memiliki maksud bukan
hanyadalam struktur-struktur bahasa.
Tetapi juga dalam penggunaannya dan hingga pada keadaan-keadaan tertentu.
a. Deiksis
Yang dimaksud dengan
deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan dalam tindak tutur dengan
referen kata itu yang tdak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Kata-kata
yang referensnya deiksis ini, anatara lain adalah kata-kata yang berkenaaan
dengan pesona, tempat, dan waktu,(pragmatik dan pengajaan
bahasa: 1990:15) contoh :
A dan B sedang
becakap-cakap, bagian akhir dari pecakapan itu berupa:
A: Saya belum bayar
SPP: tidak punya uang.
B: Sama, saya juga.
Jelas, kata saya pada
percakapan tersebut pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka, kata
saya utu disebut bersifat deiktis.
b. Presuposisi
Dalam tindak tutur makna atau informasi
“tambahan” yang terdapat dalam ujaran
yang digunakan secara tersirat. Jadi, di dalam ujaran tersebut selain mendapat
makna “asal” yang tersiat dalam ujaran itu, terdapat pula makna lain yang hanya
bisa dipahami secara tersirat. Memahami makna yang tersirat ini sangat penting
utuk dapat memhami keseluruhan makna yang ada dalam suatu tindak tutur.
Preposisi terdapat pula dalam kalimat
deklaratif dan kalimat itrogatif. Misalnya dalam kalimat “Yang belum lulus
ujian linguistik umum tidak boleh mengikuti kuliah sosiolinguistik”. Mempunyai
preposisi ‘ada yang belum lulus ujian linguistik umum’.
c. Impilkatur Percakapan
Adalah adanya keterkaitan antara
ujaran-ujaran yang diucapkan dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan
ini, tidak tampak secara literal, teta hanya dipahami secara tersirat.
Perhatikan contoh berikut :
A : Wah panas sekali ya sore ini! Kamu kok tidak
berkeringat, apa nggak kegerahan?
B : Nggak! Aku sudah
mandi tadi!
Kalimat jawaban si B, “aku sudah mandi
tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut dengan kalimat pertanyaan si
A. Tetapi yang tersirat dari kalimat jawaban percakapan tersebut, yakni bahwa
‘Si A merasa panas karena belum mandi’ dapat dipakai sebagai pengait bagi
kelancaran atau “pemasukakalan” dialog tersebut.
Pragmatik dan
Hubungannya dengan Bidang-Bidang tertentu
1. Linguistik Terapan
2. Interaksi yang Menggunakan alat (telepon, telegram,
dsb)
3. Komunikasi face to face
4. Komunikasi jarak jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana iswah, ilmullughah al-Ijtima’I
sosiolinguistik arab
pamekassan: stain pamekasan pess 2009.
Aslinda dkk pengantar sosiolinguistik,
bandung: pt refika ditama. 2007
Agustina leonie chair abdul sosiolinguistik
perkenalan awal (rineka cipta,Jakarta: 2004)
Chair abdul linguistik umum jakata, ineka
cipta:2003, cetakan 2
محمد عفيف الدين مدخل
إلى علم اللغة الإجتماعي لسان مالنج طبعة
الأولى