LANDASAN
FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MULTIKULTURAL*
Syamsul Bahri
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Nahdlatul Ulama Aceh)
Abstract: The curriculum
of education may change according times and contextuality of society.
Indonesian society is known as a multicultural society, so curriculum
development should involve multiculturalism aspect, which is called
multicultural curriculum. To strengthen the building of curriculum based on
multiculturalism, it is need to develop philosophically and psychologically.
The focus of the problem in this research is, how is the philosophical and
psychological basis development of a multicultural-based curriculum? This
research is called library research with content analysis method. The data
collected is objectively and systematically interpreted. The results of this
study indicate the basis of curriculum development based on multicultural
philosophically in the form of progressivism, recontruksionism and pancasilais.
Psychologically, the development of a multicultural-based curriculum is the
implementation of multicultural substance in accordance with the development of
students put forward by Peaget, Erikson, and Rosseau.
Keywords: curriculum development, multicultural, philosophical-psychological
Pendahuluan
Kurikulum
sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam
seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses kegitan pendidikan dan hasil
pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan di dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan
atas hasil-hasil penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembangunan sebuah
gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau
landasan pendidikan, khususnya kurikulum pendidikan yang lemah, yang akan
ambruk adalah manusianya.[1]
Kurikulum dibentuk didasarkan atas hasil penelitian, maksudnya adalah
bahwasanya kurikulum dibentuk harus berdasarkan realita fakta yang terjadi di
lapangan atau harus berdasarkan kebutuhan, karena mustahil menyusun kurikulum
kalau tidak didasarkan pada tujuan yang diharapkan. Dengan lain perkataan,
kurikulum dapat disusun setelah dilakukan kajian-kajian, penelaahan dari
berbagai literatur, dan telah memiliki perangkat-perangkat kurikulum yang akan
akan dipergunakan, seperti landasan penyusunan kurikulum.
Kurikulum dapat
diibaratkan sebagai sebuah kendaraan umum yang membawa penumpangnya ke tempat
tujuan. Otomatis kendaraan tersebut harus dipersiapkan terlebih dahulu
alat-alat ataupun kelengkapan bahan bakar, dan juga harus memenuhi standar
kepantasan untuk membawa penumpangnya. Karena jika kendaraan tersebut rusak, ataupun
di luar standar kepantasan, maka tujuan membawa penumpang akan gagal. Begitu
pula sebuah kurikulum pendidikan sifatnya dinamis, artinya bisa berubah dengan
berbagai faktornya. Perkembangan zaman yang berasal dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor yang merubah konsep
kurikulum. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, kemajuan sarana dan prasarana
pendidikan, juga dapat merubah konsep kurikulum. Dinamika kurikulum yang selalu
bergerak maju adalah suatu yang niscaya, dan perubahan-perubahan tersebut
adalah bagian langsung dari pengembangan kurikulum itu sendiri.
Salah satu
realita yang terjadi dalam kehidupan ini yang membuat kurikulum dikembangkan
adalah dinamika dan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat, sebagai sebuah entitas
aktif yang menghuni sebuah tempat, baik di desa ataupun kota saat ini sudah
banyak yang heterogen. Ada berbagai macam perbedaan dalam suatu entitas
masyarakat tersebut. Misalnya perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan dan
kedudukan sosial atau yang lazim disebut sebagai stratifikasi sosial atau
kemajemukan vertikal. Ada pula perbedaan suku, agama, budaya, bahasa, adat
istiadat atau disebut perbedaan horizontal. Kemajemukan
vertikal bisa terjadi setelah (melalui) proses. Artinya kalau ada orang kaya itu
dikarenakan ia memang bekerja sungguh-sungguh untuk mencari harta, ada orang
berpendidikan tinggi itu disebabkan ia telah melanjutkan pendidikannya, dan ada
orang memiliki kedudukan sosial itu karena ia berasal dari kalagan terpandang,
pintar dan punya pendidikan tinggi. Adapun perbedaan horizontal hadir dengan
sendirinya. Ia adalah takdir yang tidak bisa dirubah. Karena itu pula perbedaan
horizontal lebih tampil di permukaan dan sering terjadi gesekan-gesekan konflik
dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum pendidikan harus bersedia menjawab problematika sosial
kemasyakatan yang disebabkan oleh kemajemukan ini. Di sinilah pengembangan
kurikulum dilakukan, yaitu sebuah kurikulum pendidikan yang mengindahkan
tatanah sosial kemasyarakatan agar tidak terjadi gesekan-gesekan ataupun
konflik. Inilah yang disebut kurikulum berbasis multikulutural. Oleh karena itu
pula untuk melakukan pengembangan kurikulum memerlukan landasan kokoh dan kuat
agar kurikulum itu bisa diimplementasikan dan bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
Sampai saat ini belum ada penelitian secara konseptual yang membahas
landasan filosofis dan psikologis pengembangan kurikulum berbasis
multikultural. Dengan demikian penelitian ini disebut penelitian kepustakaan
atau studi pustaka dengan fokus masalah yang dimunculkan adalah, bagaimanakah
landasan filosofis dan psikologis pengembangan kurikulum berbasis
multikultural? Di sini peneliti menghimpun data informasi yang sesuai dengan
topik atau masalah yang sedang dibahas melalui teks bacaan, kemudian mengkaji
dan menganalisis data-data teks yang ada secara konseptual.
Definisi
Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Pengertian lama
(tradisional) mengenai kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran dalam arti
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau
tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga
pendidikan. Definisi kurikulum seperti ini dikemukakan oleh Kemp, Marrison dan
Ross, yaitu menekankan pada isi mata pelajaran dan ketrampilan-ketrampilan yang
termuat dalam suatu program pendidikan. Demikian pula definisi seperti ini juga
tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/1989.[2]
Pengertian kurikulum sebagai mata atau isi pelajaran disebutkan juga oleh
Robert M. Hutchin (1936), yang menyatakan; “the curriculum include grammar,
reading, teoritic and logic, and mathematic, and addition at the secondary
level introduce the great books of the werstern world.”[3]
Seiring perkembangan
zaman, kurikulum dengan makna himpunan pelajaran-pelajaran tersebut bergeser
menjadi beberapa pengertian. Hal ini dikarenakan sekolah tidak saja dituntut
untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat
berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan
bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat
menguasai berbagai macam ketrampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia
pekerjaan[4].
Tuntutan-tuntutan
baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah mengakibatkan pula pergeseran
makna kurikulum. Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU sisdiknas No.20/2003
dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidik tertentu. Demikian pula
beberapa definisi kurikulum dari para ahli, seperti Saylor dan Alexander, bahwa
kurikulum adalah segala usaha sekolah atau perguruan tinggi yang bisa
menghasilkan atau menimbulkan hasil-hasil belajar yang dikehendaki, apakah
dalam situasi-situasi sekolah ataupun diluar sekolah. Demikian pula Oliva,
sebut Muhaimin, menterjemahkan kurikulum sebagai rencana atau program yang menyangkut
semua pengalaman yang dihayati peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau
perguruan tinggi.[5] Di
sini makna kurikulum telah bergeser dari pemahaman yang hanya himpunan
pelajaran-pelajaran di sekolah, menjadi semua pengalaman yang dihasilkan dari/untuk
sekolah ataupun luar sekolah.
Demikian pula
perubahan entitas sosial kemasyarakatan pada suatu tempat juga dapat
mempengaruhi pengembangan kurikulum. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan
kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat pada suatu tempat.
Masyarakat pada suatu tempat mungkin merupakan masyarakat homogen atau
heterogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai dan
sebagainya. Begitupula keragaman kebudayaan, seperti ras, etnis dan agama. Hal
ini menuntut pula perubahan kurikulum.
Bangsa
Indonesia digolongkan sebagai bangsa yang besar didunia ini, tinggal dan hidup
dalam suatu wawasan Nusantara yang terdiri atas ribuan pulau, dengan ragam adat
istiadat, cara hidup, nilai, bahasa, dan kehidupan spiritual yang berbeda-beda.
Perbedaan atas keragaman ini menuntut pendidikan untuk menterjemahkan
pendidikan agar mengakomodir sikap-sikap dan perilaku saling toleransi, kerja
sama, dan lain sebagainya sebagai dambaan kehidupan dinamis yang damai meskipun
berbeda-beda. Inilah esensi pendidikan multikultural, yaitu pendidikan yang
mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis,
toleran, dan saling menghargai. Yakni, “ia merupakan suatu usaha yang disengaja
dan terencana untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran peserta
didik terhadap realitas multikulturalis.”[6]
Kurikulum berbasis multikultural adalah sebuah konsepsi kurikulum yang
mengakomodir kemajemukan suatu masyarakat. Adapun pendidikan multikultural
adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity),
menghendaki rasionalisasi etis, intelektual, sosial dan pragmatis secara
inter-relatif (yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan
saling menghargai semua orang), mengintegrasikan studi tentang fakta-fakta,
sejarah, kebudayaan, nilai-nilai, struktur, perspektif, dan kontribusi semua
kelompok ke dalam kurikulum sehingga dapat membangun pengetahuan yang lebih
kaya, kompleks dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di dalam dan melintasi
konteks waktu, ruang dan kebudayaan tertentu.[7]
Pendidikan
multikultural di sekolah menurut James A Banks harus dilakukan secara
komprehensif, tidak hanya penyikapan yang adil di antara siswa-siswa yang
berbeda agama, ras, etnik dan budayanya, tapi juga harus didukung dengan
kurikulum baik kurikulum tertulis maupun terselubung, evaluasi yang integratif
dan guru yang memiliki pemahaman, sikap dan tindakan yang produktif dalam
memberikan layanan pendidikan multikultural pada para siswanya.[8] Dengan
dimasukkan entitas multikulturalisme dalam pendidikan maka secara otomatis
kurikulum itu disebut kurikulum berbasis multikultural. Sehingga proses pendidikan
harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan (multikultural) tersebut.
Landasan
Filosofis Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Pandangan-pandangan
filsafat sangat dibutuhkan dalam pendidikan, terutama dalam
menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah ke
mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan memuat pernyataan-pernyataan
mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik
selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianutnya. Dengan demikian,
sistem nilai atau filsafat yang dianut oleh suatu komunitas akan memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya.
Dengan kata lain, falsafat pendidikan suatu negara tidak bisa dipungkiri akan
mempengaruhi tujuan pendidikan di negara tersebut.
Filsafat
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk dalam
masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan ini merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Ada empat
fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat
menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup
atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana anak didik
itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelalajaran yang
harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,
filsafat dapat menentukan strategi atau atau cara pencapaian tujuan. Keempat,
melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolok ukur keberhasilan
proses pendidikan.[9]
Ada beberapa
aliran filsafat pendidikan, seperti perenialisme, essensialisme,
eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan
kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga
akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan.
Dengan mengutip Ella Yulaelawati,[10]
di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat,
kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
- Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
- Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
- Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
- Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
- Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dan proses.
Dari ringkasan aliran-aliran filsafat yang disampaikan
di atas, progresivisme adalah salah satu aliran filsafat yang sangat menekankan
keaktifan dari peserta didik. Progesivisme adalah aliran filsafat yang menuntut
pengalaman sebagai landasan pengembangan belajar. Begitu pula
rekonstruktivisme, alirat ini sifatnya kritis, mempertanyakan segala sesuatu
dan memiliki orientasi kepentingan masa depan. Sebagai catatan, penjabaran aliran-aliran
filsafat tersebut dalam kurikulum yaitu, aliran filsafat perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan
Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme
memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi.
Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam Pengembangan
Model Kurikulum Interaksional.[11]
Masing-masing aliran filsafat tersebut terwujud dalam
kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti 1) sikap konservatif,
yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari essentialisme,
2) sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad
pertengahan, yaitu agama, sebagai perwujudan dari perenialism, 3) sikap
bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progresivism, 4) sikap
radikal rekonstruktif sebagai perwujudan dari reconstrucsionism, dan 5)
sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan empiris untuk
mencari pilihan dan menemukan jati dirinya sebagai perwujudan dari existensialism.[12]
Mengacu pada landasan filosofis pengembangan kurikulum
di atas, maka tampak bahwa pengembangan kurikulum itu pada hakikatnya adalah
pengembangan komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri
serta pengembangan komponen pembelajaran sebagai implementasi kurikulum.
Landasan fiosofis pengembangan kurikulum juga merupakan sistem nilai yang harus
menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan. Sistem nilai bangsa Amerika
misalnya, adalah bersifat liberalis demokratis, maka dengan demikian tujuan
pendidikan di Amerika adalah membentuk manusia liberalis-demokratis. Begitu
pula dengan sistem nilai di Tiongkok atau negara-negara Timur Tengah dan lain
sebagainya. Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila. Oleh sebab
itu membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah segala ikhtiar
berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang
disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.[13]
Falsafah Pancasila adalah landasan pengembangan kurikulum secara tersendiri
yang cukup unik karena berbeda dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya.
Tabel 1:
Overview Of
Educational Thought
Educational
Viewpoint
|
Philosopic
Base
|
Role of Teacher
|
Purpose
|
Essentialism
|
Idealism
Realisme
|
Teacher as an example of values
and ideals
|
Absortion of ideas
|
Perennialism
|
Neo-Thomism
|
Teacher as mental disciplinarian
and moral/spiritual leader
|
Absortion and mastery of facts and
information
|
Progressivism
|
Experimentalism
Pragmatism
|
Teacher as challeger and inquiry
leader
|
Problem solving and sosial
experience
|
Reconstructionism
|
Experimentalism
Pragmatism
|
Teacher as project director and
researh leader
|
Problem solving and rebuilding and
social older
|
Existensialism
|
Existensialism
|
Teacher as noninterfering sounding
board
|
Searching for self
|
Keterangan: Tabel ini di sarikan
dari Arthur K. Ellis dalam buku Muhaimin.[14]
Di atas telah disebutkan bahwa landasan filosofis
pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara fanatis hanya pada satu
aliran filsafat pendidikan, karena masing-masing aliran filsafat saling
menguatkan bangunan kurikulum. Begitu pula isi kurikulum pendidikan harus
memuat dan mencerminkan nilai-nilai pancasila. Di sini kita akan melihat bahwa
bangunan filsafat Pancasila ternyata sangat mendukung pengembangan kurikulum
berbasis keindonesiaan atau multikultural.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan
dan penelaahan dunia fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan
sistematis (teratur, tersusun rapi), sehingga hidup manusia budaya ini
mempunyai makna untuk kelestarian tata hidup yang selaras, serasi dan seimbang.
Pancasila memberi ajaran tata hidup
manusia budaya secara harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan.[15]
Esensi dari multikulturalisme adalah ajaran tentang keharmonisan hidup dalam
masyarakat yang majemuk.
Idealitas Pancasila sebagai landasan filosofis
pengembangan kurikulum pendidikan multikultural memiliki titik temu yang sangat
signifikan, baik pancasila sebagai falsafah negara, ideologis, maupun sistem
nilai. Entitas manusia Indonesia dalam mengamalkan amanah Pancasila adalah
melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, di antaranya;
1.
Nilai kemanusiaan; karena manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk
sosial. Nilai-nilai kemanusiaan memberi dasar untuk hidup bersama dengan saling
menghargai harkat dan martabat manusia sesamanya.
2.
Nilai-nilai persatuan hidup bersama; persatuan antar individu menjadi kelompok,
kelompok menjadi masyarakat, masyarakat-masyarakat bersatu menjadi negara dan
bangsa. Timbulllah persatuan Indonesia yang meliputi tanah air dan sosio-budayanya.
3.
Nilai kerakyatan atau demokrasi; yakni nilai-nilai yang dilaksanakan dan
dikembangkan oleh kelompok manusia dalam menghadapi masalah-masalah dan
mengambil keputusan dengan cara-cara musyarawah dengan mufakat. Nilai-nilai
kerakyatan juga menjadi dasar hidup bergotong royong, hidup bertenggang rasa
dan bekerja sama.
4.
Niai-nilai keadilan; sebab dalam hidup bersama memasyarakat, membangun dan
menegara, perlu adanya keadilan hak dan kewajiban sesuai dengan peran serta
warga masyarakat dalam karyanya masing-masing.[16]
Nilai nilai tersebut di atas adalah substansi dan
esensi dari multikulturalisme. Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai
pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi Indonesia, bukan hanya harus
menjiwai kurikulum, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga
sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh guru di kelas. Dalam
melaksanakan serta pengambilan berbagai keputusan guru haruslah mencerminkan
nilai-nilai itu. Itulah sebabnya, walaupun setiap guru dapat saja memiliki
norma atau sistem nilai yan dianggap baik, misalnya berasal dari agama
tertentu, akan tetapi nilai-nilai itu jangan sampai bertentangan dengan
norma-norma masyarakat, yaitu Pancasila.[17]
Dalam kurikulum yang dikembangkan peranan guru bukan
hanya berhubungan dengan mata pelajaran, melainkan ia harus menempatkan dirinya
dalam suatu interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa.
Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan pengarahan sosial, dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang
bersifat instrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
melalui imitasi, persaingan sehat, kerja sama, dan memperkuat kontrol.[18]
Dalam sekolah progresif—istilah Nana merujuk pada
pemikiran filsafat pendidikan John Dewey— kontrol sosial terletak pada sifat
kegiatannya yang berisikan kerja sama sosial. Di dalam kerja sama sosial ini,
setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan dan memikul
tanggung jawab. Sekolah dan kelas diciptakan sebagai suatu organisasi sosial.
Di dalam organisasi sosial itu setiap siswa mempunyai kesempatan untuk
memberikan sumbangan melakukan kegiatan-kegiatan, berpartisipasi, semua ini
merupakan kontrol sosial.[19]
Wujud kontrol sosial melalui organisasi sosial dalam filsafat progresivisme
adalah bentuk-bentuk kerja sama multikultural setiap siswa di sekolah. Dengan
demikian landasan filosofis pengembangan kurikulum berbasis multikultural
adalah upaya memanfaatkan kemajemukan siswa (lintas keluarga, suku, agama,
bahasa dll) sebagai satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas maka dibawah
ini dapat disebutkan landasan filosofis pengembangan kurikulum berbasis
multikultural:
Tabel 2:
Filosofi Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Filsafat Pendidikan
|
Landasan
|
Perspektif Multikultural
|
Peranan
Guru
|
Tujuan
|
Keterangan
|
Progressivism
|
Experimentalism
Pragmatisme
|
Pengalaman multikultural
|
Guru sebagai fasilitator
|
Membentuk organisasi sosial
sekolah berbasis multikulturalisme
|
Implementasi
|
Reconstructionism
|
Experimentalism
Pragmatisme
|
Kontekstualitas multikultural dan
rekonstruksi sosial
|
Guru sebagai aktor dan peneliti
|
Sistem sosial dan dan kontrol
sosial berbasis multikulturalisme
|
Implementasi
|
Pancasila
|
Pancasilais
|
Nilai-nilai multikultural
|
Guru sebagai sistem nilai
|
Internalisasi nilai multikultural
|
Implementasi
|
Secara spesifik, dengan mempertimbangkan inspirasi yang didorong
oleh Will Kymlicka, sebut Dede, maka kompetensi standar (dalam kurikulum) yang
diharapkan adalah menjadi warga negara yang mampu hidup berdampingan bersama
warga negara lainnya tanpa membedakan agama, ras, bahasa, dan budaya, dengan
menghormati hak-hak mereka, memberi peluang kepada semua kelompok untuk
mengembangkan budayanya, serta mampu mengembangkan kerjasama untuk
mengembangkan bangsa menjadi bangsa besar yang dihormati dan disegani di dunia
internasional.[20]
Landasan
Psikologis Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam
proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah
membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai
menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan
seluruh aspek kehidupannya. Hal ini mengemukakan Apa yang dididikkan dan
bagaimana cara mendidiknya, begitu pula perlu disesuaikan dengan pola-pola
perkembangan anak serta karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan,
serta pola-pola perkembangan individu. Jadi, minimal ada dua bidang psikologi
yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan
Psikologi Belajar.
1.
Psikologi Perkembangan
Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu,
yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferrensial (diferential
approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut
pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang
berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa
individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan
tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Pendekatan
yang berusaha melihat karakteristik individu inilah yang dikelompokkan sebagai
pendekatan isaptif.[21]
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi.
Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi
perkembangan, seperti gerakan fisik dan perkembagnan motorik, sosial,
intelektual, moral, emosional, religi dan lain sebagainya. Kedua,
pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek
perkembangan saja.[22] Ada empat tahap perkembangan kognitif anak
menurut piaget, yaitu: Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun. Tahap
praoperasional, usia 2-4 tahun. Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun. Tahap
Formal Operasional, usia 11-15 tahun.[23]
Adapun Rousseau membagi tahap perkembangan manusia ke dalam 4 tahap:
1. Tahap Pertama: Infancy atau Masa
Asuhan (0-2 tahun). Maka pada usia ini anak balita harus dipupuk sifat alaminya
untuk bergerak dan mencari perubahan dalam dunia sekitarnya. Anak juga
perlu dibantu untuk memanfaatkan kekuatan personal yang makin berkembang
sehingga ia semakin mampu mengendalikan kebebasannya.
2. Tahap kedua: The Age of Nature (2-12
tahun). Pada masa ini, anak perlu dilibatkan dalam sejumlah pengalaman yang
melatih kemampuan jasmaninya; mempertajam ketrampilan (skill), khususnya
yang menyokong pemenuhan kebutuhan hidupnya; mempertajam fungsi pancaindera;
dan yang membimbingnya untuk bertindak baik.
3. Tahap ketiga: Pre-adolescence atau
Pra-remaja (12-15 tahun). Anak pada masa ini perlu dilibatkan dalam
berbagai tugas belajar yang berpusat pada penggunaan peralatan (tools)
yang dipakai orang untuk mencari rejeki; perkembangan kemampuan ratio atau akal
(dimensi intelektual), serta pertimbangan tindakan dan gagasan yang menolong
anak menentukan mana yang benar dan berharga.
4. Tahap keempat: Puberty atau Pubertas
(15-20). Pada masa ini, anak (tepatnya remaja) didampingi untuk memahami dan
mengerti makna persahabatan dan cintakasih, memahami orang lain seperti diri
sendiri, mencari teman secara bijak, memeluk agama, terlibat dalam masyarakat,
dan dapat membedakan kebudayaan yang memperkaya diri ketimbang merusak
moralnya.[24]
2.
Psikologi Belajar
Menurut
Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt yang dikutip Nana, ada tiga keluarga atau
rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive
Gestalt Field.[25]
1) Menurut rumpun teori mental secara
herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan
upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
2) Menurut rumpun teori belajar
behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa potensi apa-apa
dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal
dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau berupa lingkungan manusia,
alam, budaya, religi yang membentuknya). Perkembangan anak menyangkut hal-hal
nyata yang dapat dilihat, diamati.
3) Rumpun ketiga yakni kognitif gestalt
field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan insight atau
pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu
menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan,
termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu
merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif.
Menarik untuk
diikuti delapan perkembangan psikososial seorang anak menurut Erikson, seorang
tokoh psiko-analisis pengikut Sigmund Freud.
Tabel 3:
Perkembangan
Psikososial
Tahap
|
Usia
|
Krisis
Psikososial
|
Kemampuan
|
I
|
0-1
|
Trust-mistrus
|
To
get-to give in return
|
II
|
2-3
|
Autonomy-shame,
doubt
|
To
hold on, to let go
|
III
|
3-6
|
Initiative-guilt
|
To
make-to make like (playing)
|
IV
|
7-12
|
Industry-inferiority
|
To
make thing, To make thing together
|
V
|
12-18
|
Identity
& repudation
|
To
be on self, To share being on self
|
VI
|
20-an
|
Intimacy&solidarity,
isolation
|
To
lose and find on self
|
VII
|
20-50
|
Generativity-self
absorption
|
To
make be, To take care of
|
VIII
|
50-
an ke atas
|
Integrity-dipair,
have been to
|
To
be, through face not being
|
Keterangan:
Tabel tahapan perkembangan anak, diadaptasi dari Erickson dalam buku Nana Syaodih
Sukmadinata (hal.2)
Tabel di atas menunjukkan bahwa
setiap tahapan perkembangan manusia mempunyai karakteristik tertentu yang
berbeda dengan tahap lainnya. Kemampuan sosial masa kanak-kanak berbeda dengan
masa remaja, dan begitu seterusnya. Perbedaan-perbedaan karakteristik anak
adalah sifatnya dinamis sejak anak itu lahir sampai meninggal. Kita juga
mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status
sosial-ekonomi, dan sebagainya. Pengelompokkan individu adakalanya didasarkan
atas kesamaan karakteristiknya. Ada orang yang bersifat tertutup (introvert)
adapula ekstrovert, ada orang yang agresif, pemalu, dominan, subsmisif, dan
lain-lain sebagainya yang menggambarkan karakteristik psikis seseorang. Semua
perbedaan karakteristik ini harus dipahami dalam pengembangan kurikulum
berbasis multikultural.
Dengan
memperhatikan aspek psikologis manusia, dan teori perkembangan serta psikologi
belajar, menjadi jelas bahwa kurikulum pada satu jenjang dengan jenjang yang
lainnya berbeda. Dalam landasan pengembangan kurikulum berbasis multikultural
yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum adalah aspek perkembangan
peserta didik (jenjang pendidikan), aspek wilayah suatu tempat (geografis), dan
aspek identitas suku dan agama.
Perkembangan
peserta didik dari aspek pendidikan atau jenjang sekolah, dapat dibagikan
menjadi; 1) usia sekolah playgroup (3-4 tahun), 2) usia sekolah TK (4-6 tahun),
3) usia tingkat sekolah tingkat dasar (7-12 tahun), 4) usia sekolah tingkat
pertama (13-15 tahun), 5) usia sekolah menengah (16-18 tahun), 6) usia sekolah
tinggi (19-22 an ke atas). Pada setiap jenjang pendidikan ini berbeda
karakteristik anak dan berbeda pula materi yang diberikan. Lazimnya pendidikan
di Indonesia, rentang usia 3-5 tahun biasanya yang diajarkan kepada anak adalah
upaya memperkenalkan mereka terhadap lingkungannya. Di sini aspek multikultural
yang perlu diperkenalkan adalah jenis kelamin, identitas daerah, dan percakapan
(bahasa). Mereka perlu diajarkan cara memberi dan menerima, misalnya memberi
hadiah atau menerimanya. Cara menyapa orang lain, cara meminta dan memberi
bantuan dan lain sebagainya.
Pada rentang
usia sekolah tingkat dasar biasaya anak-anak sudah membaur dengan keragaman
budaya yang berasal dari wilayah yang berbeda. Di sini, anak-anak mulai
diajarkan tata cara bergaul dengan orang lain dengan cara saling menghormati,
saling menyayangi, toleransi dan kerja sama. Kurikulum berbasis multikultural
harus diarahkan untuk memperkenalkan kebudayaan yang beragama dan bagaimana
melangsungkan kehidupan yang damai. Perlu diperkenalkan identitas kesukuan dan
agama. Misalnya anak bermata sipit adalah etnis Tiongkok, anak berwarna hitam
dan berambut keriting adalah etnis Papua dan lain sebagainya. Perlu juga anak
diperkenalkan tempat ibadah agama lain, melihat praktek ibadah mereka dan lain
sebagainya. Begitu pula seterusnya, sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Khusus
dalam kurikulum berbasis multikultral di sekolah tinggi, pengayaan kurikulum
berbasis multikultural harus diarahkan kepada pemahaman yang kritis, logis, dan
konstektual. Artinya pada usia ini setiap individu sudah masuk pada tahap
pemaknaan diri dan menciptakan dirinya tidak bertentanan dengan lingkungan
tempat tinggalnya. Seterusnya individu tersebut mampu memaknai realitas
sosio-kultural dan barangkali mampu merubahnya ke arah lebih baik.
Berdasarkan
penjelasan di atas, yaitu tentang tahapan
perkembangan anak, teori belajar, dan aspek-aspek yang harus
dikembangkan dalam kurikulum, tabel di bawah ini menyebutkan tentang kurikulum
pendidikan berbasis multikultural berdasarkan landasan psikologis sebagaimana
penjelasan tersebut:
Tabel 4:
Pemikiran
Psikologis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Berbasis Multikultural
Usia
|
Kemampuan
|
Tahapan
multikulturalisme
|
Tujuan
|
Keterangan
|
3-6
|
To
make-to make like (playing)
|
Mengenal
lingkungan
|
Mampu mengenal aspek ekstrinsik
perbedaan diri dengan orang lain, termasuk jenis kelamin, suku, bangsa
dan agama
|
Tahapan
awal
|
7-12
|
To
make thing, To make thing together
|
Belajar
hidup dalam perbedaan
Membangun
saling percaya
|
Mampu bersikap toleran, empati dan simpati.
|
Tahapan
internalisasi
|
12-18
|
To
be on self, To share being on self
|
Memelihara
saling pengertian
Menjunjung
sikap saling menghargai
|
Mampu bekerja sama.
Membedakan persamaan dan perbedaan.
Partisipan dalam kemitraan.
|
Tahapan
proses menjadi
|
20-30
|
To
lose and find on self
|
Terbuka
dalam berpikir
Apresiasi
dan interdepedensi
|
Mampu memahami realitas kemajemukan.
Mengadopsi dan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru.
Mampu menunjukkan apresiasi dan memelihara relasi
|
Tahapan
menciptakan
|
30-50an
|
To
make be, To take care of
|
Resolusi
konflik dan nirkekerasan
|
Mampu mengindektifikasi dan menunjukkan pengakuan atas
pluralitas.
Perjumpaan lintas batas
Kerja sama multikultural
Agen perubahan
|
Tahapan
perekayasa
|
Rekayasa
pengembangan kurikulum berbasis multikultural, diadaptasikan dari psikososial
Freud-Erickson, Internalisasi pendidikan berwawasan multikultural Zakiyuddin
Baidhawy
Penutup
Kurikulum
berbasis multikultural memiliki tujuan menciptakan lulusan yang terdidik cerdas
untuk melangsungkan kehidupan dalam keragaman. Untuk membuat kurikulum berbasis
multikultural maka perlu diperhatikan landasan pengembangan kurikulum secara
filosofis dan psikologis. Landasan filosofis dan psikologis
pengembangan kurikulum berbasis multukultural adalah upaya membentuk kurikulum
pendidikan berdasarkan pemikiran filsafat dan perkembangan psikis manusia.
Pengembangan kurikulum berbasis multikultural yang berlandaskan filosofi
adalah kurikulum yang dihasilkan atas pemikiran filsafat pendidikan, yang
bertolak dari beberapa aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat
pendidikan yang menonjol adalah aliran progresivisme, rekonstruktivisme dan
pancasilais. Di samping itu, landasan
filosofis pengembangan kurikulum berbasis multikultural juga berupaya
memanfaatkan kemajemukan siswa (lintas keluarga, suku, agama, bahasa dll)
sebagai satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Adapun landasan psikologis pengembangan kurikulum berbasis multikultural
yang mesti diperhatikan adalah internalisasi multikulturalisme berdasarkan
aspek perkembangan manusia, letak geografis dan perbedaan karakter berdasarkan
suku, budaya dan agama. Dalam teori perkembangan peserta didik terdapat model
perkembangan yang dikemukakan oleh Piaget, Erikson dan Rosseau. Model-model
perkembangan ini mempengaruhi implementasi kurikulum berbasis multikultural. Dengan
kata lain secara khusus substansi multikulturalisme dalam kurikulum yang dibuat
berbeda-beda sesuai dengan jenjang pendidikan atau usia perkembangan peserta
didik.
Daftar Pustaka
Rosyada, Dede (2014)
Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Pandangan Konsepsional,
dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014,
Truna, Dodi S (2010)Pendidikan
Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Telaah Kritis atau muatan Pendidikan
Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan
Tinggi Umum Indonesia, Seri Disetasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI
Yulaelawati, Ella, (2004),
Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar
Raya
Frederick Eby, (1964), The
Development of Modern Education. 2nd ed. New Delhi: Prentice - Hall of
India Pvt. Ltd.,
Banks, James
A., Educating Citizens in a Multicultural Society, Teacher
College Press, Columbia University, New York, 1997
Fudyantanta,
Ki. (2006) Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidkan Pancasila,
Wawasan Secara Sistematik, Yogyakarta: Amus,
Muhaimin, (2010), Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Cet. 4, Jakarta:
Raja GrafindoPersada,
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (1999), Pengembangan Kurikulum, Teori Dan Praktek, Cet.2
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Monteiro,
Ternan. (2005), in International
Journal of Education & The Arts; Rousseau’s concept of education download http://snphilosophers2005.tripod.com/ternan.pdf
Sanjaya, Wina.
(2008), Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana
Kymlicka, Will.
(2000), Multicultural Citizenship, A Liberal Theory of Minority
Rights, Oxford University Press, New York
Baidhawy, Zakiyuddin.
(2005), Pendidikan agama berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga
*Artikel ini
sudah dipresentasikan pada acara Annual Malang International Peace
Conference (AMIPEC), 2017 di Universitas Islam Raden Rahmat Malang. Dan
disudah dipublikasikan sebagai proceeding dengan nomor ISSS:2541-691X
[1] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori Dan Praktek, Cet.2 (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 36
[2] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Cet. 4 (Jakarta: Raja
GrafindoPersada, 2010), hal.2
[3] Wina Sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana, 2008), hal.4-5
[4] Wina Sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran ..
[5] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan ..., hal.3
[6] Dodi S.Truna, Pendidikan
Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Telaah Kritis atau muatan Pendidikan
Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan
Tinggi Umum Indonesia (Seri Disetasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI,
2010), hal.51
[7]Zakiyuddin
Baidhawy, Pendidikan agama berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga,
2005), hal. 8.
[8] Dede Rosyada, Pendidikan
Multikultural di Indonesia; Sebuah Pandangan Konsepsional, dalam Jurnal
Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014, hal.6. Baca. James A. Banks, Educating
Citizens in a Multicultural Society, Teacher College Press, Columbia
University, New York, 1997. hal. 78.
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran...
[10] Ella Yulaelawati, Kurikulum
dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi (Bandung: Pakar Raya, 2004),
hal. 53
[11] Ella Yulaelawati, Kurikulum
dan Pembelajaran,.. hal. 54. Lebih lanjut tentang model pengembangan
kurikulum baca Nana Syaodih Sukmadinata (1997/2015), Muhaimin (2010). Wina
Sanjaya (2008)
[12] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum.. hal. 79
[13] Wina Sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran... hal. 45
[14] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum.. hal. 81
[15] Ki
Fudyantanta, Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidkan Pancasila,
Wawasan Secara Sistematik (Yogyakarta: Amus, 2006), hal.170 buku ini
menjelaskan secara sistemik bangunan Pancasila sebagai filsafat yang utuh,
sistemik dan detail.
[16] Ki
Fudyantanta, Filsafat Pendidikan hal.185
[17] Wina, hal.45
[18] Nana Syaodih
Sukmadinata, 44
[19] Nana, 44
[20]
Dede Rosyada, Pendidikan Multikultural..., hal.11.baca: Will Kymlicka, Multicultural
Citizenship, A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press,
New York, 2000, hal. 153.
[21] Nana Syaodih,
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum ..
[22]
Nana Syaodih,
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum .. hal.48
[23] Nana Syaodih,
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum ..hal.48
[24] By
Ternan Monteiro (2005) in International Journal of Education
& The Arts; Rousseau’s concept of education
download http://snphilosophers2005.tripod.com/ternan.pdf di
akses pada 10 Juni 2017. Lebih lanjut lihat: (Frederick Eby, The Development of Modern Education.
2nd ed. New Delhi: Prentice - Hall of India Pvt. Ltd., 1964). Nana Syaodih,
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum. 48, dan Wina Sanjaya, Kurikulum dan
Pembelajaran.. (hal.48-54)
[25] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum .. hal. 52-56, Wina Sanjaya (54-55)