Wednesday, 8 August 2018

LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MULTIKULTURAL*




LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MULTIKULTURAL*

 Syamsul Bahri
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Nahdlatul Ulama Aceh)

Abstract: The curriculum of education may change according times and contextuality of society. Indonesian society is known as a multicultural society, so curriculum development should involve multiculturalism aspect, which is called multicultural curriculum. To strengthen the building of curriculum based on multiculturalism, it is need to develop philosophically and psychologically. The focus of the problem in this research is, how is the philosophical and psychological basis development of a multicultural-based curriculum? This research is called library research with content analysis method. The data collected is objectively and systematically interpreted. The results of this study indicate the basis of curriculum development based on multicultural philosophically in the form of progressivism, recontruksionism and pancasilais. Psychologically, the development of a multicultural-based curriculum is the implementation of multicultural substance in accordance with the development of students put forward by Peaget, Erikson, and Rosseau.

Keywords: curriculum development, multicultural, philosophical-psychological


Pendahuluan
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses kegitan pendidikan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembangunan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum pendidikan yang lemah, yang akan ambruk adalah manusianya.[1] Kurikulum dibentuk didasarkan atas hasil penelitian, maksudnya adalah bahwasanya kurikulum dibentuk harus berdasarkan realita fakta yang terjadi di lapangan atau harus berdasarkan kebutuhan, karena mustahil menyusun kurikulum kalau tidak didasarkan pada tujuan yang diharapkan. Dengan lain perkataan, kurikulum dapat disusun setelah dilakukan kajian-kajian, penelaahan dari berbagai literatur, dan telah memiliki perangkat-perangkat kurikulum yang akan akan dipergunakan, seperti landasan penyusunan kurikulum.
Kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah kendaraan umum yang membawa penumpangnya ke tempat tujuan. Otomatis kendaraan tersebut harus dipersiapkan terlebih dahulu alat-alat ataupun kelengkapan bahan bakar, dan juga harus memenuhi standar kepantasan untuk membawa penumpangnya. Karena jika kendaraan tersebut rusak, ataupun di luar standar kepantasan, maka tujuan membawa penumpang akan gagal. Begitu pula sebuah kurikulum pendidikan sifatnya dinamis, artinya bisa berubah dengan berbagai faktornya. Perkembangan zaman yang berasal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor yang merubah konsep kurikulum. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, kemajuan sarana dan prasarana pendidikan, juga dapat merubah konsep kurikulum. Dinamika kurikulum yang selalu bergerak maju adalah suatu yang niscaya, dan perubahan-perubahan tersebut adalah bagian langsung dari pengembangan kurikulum itu sendiri.
Salah satu realita yang terjadi dalam kehidupan ini yang membuat kurikulum dikembangkan adalah dinamika dan perkembangan masyarakatnya. Masyarakat, sebagai sebuah entitas aktif yang menghuni sebuah tempat, baik di desa ataupun kota saat ini sudah banyak yang heterogen. Ada berbagai macam perbedaan dalam suatu entitas masyarakat tersebut. Misalnya perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan dan kedudukan sosial atau yang lazim disebut sebagai stratifikasi sosial atau kemajemukan vertikal. Ada pula perbedaan suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat atau disebut perbedaan horizontal. Kemajemukan vertikal bisa terjadi setelah (melalui) proses. Artinya kalau ada orang kaya itu dikarenakan ia memang bekerja sungguh-sungguh untuk mencari harta, ada orang berpendidikan tinggi itu disebabkan ia telah melanjutkan pendidikannya, dan ada orang memiliki kedudukan sosial itu karena ia berasal dari kalagan terpandang, pintar dan punya pendidikan tinggi. Adapun perbedaan horizontal hadir dengan sendirinya. Ia adalah takdir yang tidak bisa dirubah. Karena itu pula perbedaan horizontal lebih tampil di permukaan dan sering terjadi gesekan-gesekan konflik dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum pendidikan harus bersedia menjawab problematika sosial kemasyakatan yang disebabkan oleh kemajemukan ini. Di sinilah pengembangan kurikulum dilakukan, yaitu sebuah kurikulum pendidikan yang mengindahkan tatanah sosial kemasyarakatan agar tidak terjadi gesekan-gesekan ataupun konflik. Inilah yang disebut kurikulum berbasis multikulutural. Oleh karena itu pula untuk melakukan pengembangan kurikulum memerlukan landasan kokoh dan kuat agar kurikulum itu bisa diimplementasikan dan bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
Sampai saat ini belum ada penelitian secara konseptual yang membahas landasan filosofis dan psikologis pengembangan kurikulum berbasis multikultural. Dengan demikian penelitian ini disebut penelitian kepustakaan atau studi pustaka dengan fokus masalah yang dimunculkan adalah, bagaimanakah landasan filosofis dan psikologis pengembangan kurikulum berbasis multikultural? Di sini peneliti menghimpun data informasi yang sesuai dengan topik atau masalah yang sedang dibahas melalui teks bacaan, kemudian mengkaji dan menganalisis data-data teks yang ada secara konseptual.

Definisi Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Pengertian lama (tradisional) mengenai kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran dalam arti sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Definisi kurikulum seperti ini dikemukakan oleh Kemp, Marrison dan Ross, yaitu menekankan pada isi mata pelajaran dan ketrampilan-ketrampilan yang termuat dalam suatu program pendidikan. Demikian pula definisi seperti ini juga tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/1989.[2] Pengertian kurikulum sebagai mata atau isi pelajaran disebutkan juga oleh Robert M. Hutchin (1936), yang menyatakan; “the curriculum include grammar, reading, teoritic and logic, and mathematic, and addition at the secondary level introduce the great books of the werstern world.”[3]
Seiring perkembangan zaman, kurikulum dengan makna himpunan pelajaran-pelajaran tersebut bergeser menjadi beberapa pengertian. Hal ini dikarenakan sekolah tidak saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam ketrampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan[4].
Tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah mengakibatkan pula pergeseran makna kurikulum. Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU sisdiknas No.20/2003 dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidik tertentu. Demikian pula beberapa definisi kurikulum dari para ahli, seperti Saylor dan Alexander, bahwa kurikulum adalah segala usaha sekolah atau perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil-hasil belajar yang dikehendaki, apakah dalam situasi-situasi sekolah ataupun diluar sekolah. Demikian pula Oliva, sebut Muhaimin, menterjemahkan kurikulum sebagai rencana atau program yang menyangkut semua pengalaman yang dihayati peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau perguruan tinggi.[5] Di sini makna kurikulum telah bergeser dari pemahaman yang hanya himpunan pelajaran-pelajaran di sekolah, menjadi semua pengalaman yang dihasilkan dari/untuk sekolah ataupun luar sekolah.
Demikian pula perubahan entitas sosial kemasyarakatan pada suatu tempat juga dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat pada suatu tempat. Masyarakat pada suatu tempat mungkin merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai dan sebagainya. Begitupula keragaman kebudayaan, seperti ras, etnis dan agama. Hal ini menuntut pula perubahan kurikulum.
Bangsa Indonesia digolongkan sebagai bangsa yang besar didunia ini, tinggal dan hidup dalam suatu wawasan Nusantara yang terdiri atas ribuan pulau, dengan ragam adat istiadat, cara hidup, nilai, bahasa, dan kehidupan spiritual yang berbeda-beda. Perbedaan atas keragaman ini menuntut pendidikan untuk menterjemahkan pendidikan agar mengakomodir sikap-sikap dan perilaku saling toleransi, kerja sama, dan lain sebagainya sebagai dambaan kehidupan dinamis yang damai meskipun berbeda-beda. Inilah esensi pendidikan multikultural, yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Yakni, “ia merupakan suatu usaha yang disengaja dan terencana untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran peserta didik terhadap realitas multikulturalis.”[6]
Kurikulum berbasis multikultural adalah sebuah konsepsi kurikulum yang mengakomodir kemajemukan suatu masyarakat. Adapun pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity), menghendaki rasionalisasi etis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif (yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang), mengintegrasikan studi tentang fakta-fakta, sejarah, kebudayaan, nilai-nilai, struktur, perspektif, dan kontribusi semua kelompok ke dalam kurikulum sehingga dapat membangun pengetahuan yang lebih kaya, kompleks dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di dalam dan melintasi konteks waktu, ruang dan kebudayaan tertentu.[7]
Pendidikan multikultural di sekolah menurut James A Banks harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya penyikapan yang adil di antara siswa-siswa yang berbeda agama, ras, etnik dan budayanya, tapi juga harus didukung dengan kurikulum baik kurikulum tertulis maupun terselubung, evaluasi yang integratif dan guru yang memiliki pemahaman, sikap dan tindakan yang produktif dalam memberikan layanan pendidikan multikultural pada para siswanya.[8] Dengan dimasukkan entitas multikulturalisme dalam pendidikan maka secara otomatis kurikulum itu disebut kurikulum berbasis multikultural. Sehingga proses pendidikan harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan (multikultural) tersebut.
    
Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Pandangan-pandangan filsafat  sangat dibutuhkan dalam pendidikan,  terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah ke mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan memuat pernyataan-pernyataan mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianutnya. Dengan demikian, sistem nilai atau filsafat yang dianut oleh suatu komunitas akan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya. Dengan kata lain, falsafat pendidikan suatu negara tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi tujuan pendidikan di negara tersebut.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk dalam masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan ini merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Ada empat fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana anak didik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelalajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.[9]
Ada beberapa aliran filsafat pendidikan, seperti perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan mengutip Ella Yulaelawati,[10] di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan  bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dan proses.
Dari ringkasan aliran-aliran filsafat yang disampaikan di atas, progresivisme adalah salah satu aliran filsafat yang sangat menekankan keaktifan dari peserta didik. Progesivisme adalah aliran filsafat yang menuntut pengalaman sebagai landasan pengembangan belajar. Begitu pula rekonstruktivisme, alirat ini sifatnya kritis, mempertanyakan segala sesuatu dan memiliki orientasi kepentingan masa depan. Sebagai catatan, penjabaran aliran-aliran filsafat tersebut dalam kurikulum yaitu, aliran filsafat perenialisme, essensialisme, eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam Pengembangan Model Kurikulum Interaksional.[11]
Masing-masing aliran filsafat tersebut terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti 1) sikap konservatif, yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari essentialisme, 2) sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, yaitu agama, sebagai perwujudan dari perenialism, 3) sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progresivism, 4) sikap radikal rekonstruktif sebagai perwujudan dari reconstrucsionism, dan 5) sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan empiris untuk mencari pilihan dan menemukan jati dirinya sebagai perwujudan dari existensialism.[12]
Mengacu pada landasan filosofis pengembangan kurikulum di atas, maka tampak bahwa pengembangan kurikulum itu pada hakikatnya adalah pengembangan komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri serta pengembangan komponen pembelajaran sebagai implementasi kurikulum. Landasan fiosofis pengembangan kurikulum juga merupakan sistem nilai yang harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan. Sistem nilai bangsa Amerika misalnya, adalah bersifat liberalis demokratis, maka dengan demikian tujuan pendidikan di Amerika adalah membentuk manusia liberalis-demokratis. Begitu pula dengan sistem nilai di Tiongkok atau negara-negara Timur Tengah dan lain sebagainya. Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila. Oleh sebab itu membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.[13] Falsafah Pancasila adalah landasan pengembangan kurikulum secara tersendiri yang cukup unik karena berbeda dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya.




Tabel 1:
Overview Of Educational Thought
Educational
Viewpoint
Philosopic Base
Role of Teacher
Purpose
Essentialism
Idealism
Realisme
Teacher as an example of values and ideals
Absortion of ideas
Perennialism
Neo-Thomism
Teacher as mental disciplinarian and moral/spiritual leader
Absortion and mastery of facts and information
Progressivism
Experimentalism
Pragmatism
Teacher as challeger and inquiry leader
Problem solving and sosial experience
Reconstructionism
Experimentalism
Pragmatism
Teacher as project director and researh leader
Problem solving and rebuilding and social older
Existensialism
Existensialism
Teacher as noninterfering sounding board
Searching for self
Keterangan: Tabel ini di sarikan dari Arthur K. Ellis dalam buku Muhaimin.[14]
Di atas telah disebutkan bahwa landasan filosofis pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara fanatis hanya pada satu aliran filsafat pendidikan, karena masing-masing aliran filsafat saling menguatkan bangunan kurikulum. Begitu pula isi kurikulum pendidikan harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai pancasila. Di sini kita akan melihat bahwa bangunan filsafat Pancasila ternyata sangat mendukung pengembangan kurikulum berbasis keindonesiaan atau multikultural.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan dan penelaahan dunia fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan sistematis (teratur, tersusun rapi), sehingga hidup manusia budaya ini mempunyai makna untuk kelestarian tata hidup yang selaras, serasi dan seimbang. Pancasila  memberi ajaran tata hidup manusia budaya secara harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan.[15] Esensi dari multikulturalisme adalah ajaran tentang keharmonisan hidup dalam masyarakat yang majemuk.
Idealitas Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan kurikulum pendidikan multikultural memiliki titik temu yang sangat signifikan, baik pancasila sebagai falsafah negara, ideologis, maupun sistem nilai. Entitas manusia Indonesia dalam mengamalkan amanah Pancasila adalah melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, di antaranya;
1.      Nilai kemanusiaan; karena manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Nilai-nilai kemanusiaan memberi dasar untuk hidup bersama dengan saling menghargai harkat dan martabat manusia sesamanya.
2.      Nilai-nilai persatuan hidup bersama; persatuan antar individu menjadi kelompok, kelompok menjadi masyarakat, masyarakat-masyarakat bersatu menjadi negara dan bangsa. Timbulllah persatuan Indonesia yang meliputi tanah air dan sosio-budayanya.
3.      Nilai kerakyatan atau demokrasi; yakni nilai-nilai yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh kelompok manusia dalam menghadapi masalah-masalah dan mengambil keputusan dengan cara-cara musyarawah dengan mufakat. Nilai-nilai kerakyatan juga menjadi dasar hidup bergotong royong, hidup bertenggang rasa dan bekerja sama.
4.      Niai-nilai keadilan; sebab dalam hidup bersama memasyarakat, membangun dan menegara, perlu adanya keadilan hak dan kewajiban sesuai dengan peran serta warga masyarakat dalam karyanya masing-masing.[16]
Nilai nilai tersebut di atas adalah substansi dan esensi dari multikulturalisme. Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi Indonesia, bukan hanya harus menjiwai kurikulum, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh guru di kelas. Dalam melaksanakan serta pengambilan berbagai keputusan guru haruslah mencerminkan nilai-nilai itu. Itulah sebabnya, walaupun setiap guru dapat saja memiliki norma atau sistem nilai yan dianggap baik, misalnya berasal dari agama tertentu, akan tetapi nilai-nilai itu jangan sampai bertentangan dengan norma-norma masyarakat, yaitu Pancasila.[17]
Dalam kurikulum yang dikembangkan peranan guru bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran, melainkan ia harus menempatkan dirinya dalam suatu interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan pengarahan sosial,  dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat instrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui imitasi, persaingan sehat, kerja sama, dan memperkuat kontrol.[18]
Dalam sekolah progresif—istilah Nana merujuk pada pemikiran filsafat pendidikan John Dewey— kontrol sosial terletak pada sifat kegiatannya yang berisikan kerja sama sosial. Di dalam kerja sama sosial ini, setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan dan memikul tanggung jawab. Sekolah dan kelas diciptakan sebagai suatu organisasi sosial. Di dalam organisasi sosial itu setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan melakukan kegiatan-kegiatan, berpartisipasi, semua ini merupakan kontrol sosial.[19] Wujud kontrol sosial melalui organisasi sosial dalam filsafat progresivisme adalah bentuk-bentuk kerja sama multikultural setiap siswa di sekolah. Dengan demikian landasan filosofis pengembangan kurikulum berbasis multikultural adalah upaya memanfaatkan kemajemukan siswa (lintas keluarga, suku, agama, bahasa dll) sebagai satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas maka dibawah ini dapat disebutkan landasan filosofis pengembangan kurikulum berbasis multikultural:

Tabel 2:
Filosofi Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Filsafat Pendidikan
Landasan
Perspektif Multikultural
Peranan
Guru
Tujuan
Keterangan

Progressivism
Experimentalism
Pragmatisme
Pengalaman multikultural
Guru sebagai fasilitator
Membentuk organisasi sosial sekolah berbasis multikulturalisme
Implementasi
Reconstructionism
Experimentalism
Pragmatisme
Kontekstualitas multikultural dan rekonstruksi sosial
Guru sebagai aktor dan peneliti
Sistem sosial dan dan kontrol sosial berbasis multikulturalisme
Implementasi
Pancasila
Pancasilais
Nilai-nilai multikultural
Guru sebagai sistem nilai
Internalisasi nilai multikultural
Implementasi
Secara spesifik, dengan mempertimbangkan inspirasi yang didorong oleh Will Kymlicka, sebut Dede, maka kompetensi standar (dalam kurikulum) yang diharapkan adalah menjadi warga negara yang mampu hidup berdampingan bersama warga negara lainnya tanpa membedakan agama, ras, bahasa, dan budaya, dengan menghormati hak-hak mereka, memberi peluang kepada semua kelompok untuk mengembangkan budayanya, serta mampu mengembangkan kerjasama untuk mengembangkan bangsa menjadi bangsa besar yang dihormati dan disegani di dunia internasional.[20]

Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum Berbasis Multikultural
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Hal ini mengemukakan Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, begitu pula perlu disesuaikan dengan pola-pola perkembangan anak serta karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu. Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.

1.    Psikologi Perkembangan
Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferrensial (diferential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu inilah yang dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif.[21]
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti gerakan fisik dan perkembagnan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi dan lain sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja.[22]  Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu: Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun. Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun. Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun. Tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun.[23] Adapun Rousseau membagi tahap perkembangan manusia ke dalam 4 tahap:
1.      Tahap Pertama: Infancy atau Masa Asuhan (0-2 tahun). Maka pada usia ini anak balita harus dipupuk sifat alaminya untuk bergerak dan mencari perubahan dalam dunia sekitarnya.  Anak juga perlu dibantu untuk memanfaatkan kekuatan personal yang makin berkembang sehingga ia semakin mampu mengendalikan kebebasannya.
2.      Tahap kedua: The Age of Nature (2-12 tahun). Pada masa ini, anak perlu dilibatkan dalam sejumlah pengalaman yang melatih kemampuan jasmaninya; mempertajam ketrampilan (skill), khususnya yang menyokong pemenuhan kebutuhan hidupnya; mempertajam fungsi pancaindera; dan yang membimbingnya untuk bertindak baik.
3.      Tahap ketiga: Pre-adolescence atau Pra-remaja (12-15 tahun).  Anak pada masa ini perlu dilibatkan dalam berbagai tugas belajar yang berpusat pada penggunaan peralatan (tools) yang dipakai orang untuk mencari rejeki; perkembangan kemampuan ratio atau akal (dimensi intelektual), serta pertimbangan tindakan dan gagasan yang menolong anak menentukan mana yang benar dan berharga.
4.      Tahap keempat: Puberty atau Pubertas (15-20). Pada masa ini, anak (tepatnya remaja) didampingi untuk memahami dan mengerti makna persahabatan dan cintakasih, memahami orang lain seperti diri sendiri, mencari teman secara bijak, memeluk agama, terlibat dalam masyarakat, dan dapat membedakan kebudayaan yang memperkaya diri ketimbang merusak moralnya.[24]
2.      Psikologi Belajar
Menurut Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt yang dikutip Nana, ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[25]
1)      Menurut rumpun teori mental secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
2)      Menurut rumpun teori belajar behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau berupa lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya). Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.
3)      Rumpun ketiga yakni kognitif gestalt field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif.
Menarik untuk diikuti delapan perkembangan psikososial seorang anak menurut Erikson, seorang tokoh psiko-analisis pengikut Sigmund Freud.

Tabel 3:
Perkembangan Psikososial
Tahap
Usia
Krisis Psikososial
Kemampuan
I
0-1
Trust-mistrus
To get-to give in return
II
2-3
Autonomy-shame, doubt
To hold on, to let go
III
3-6
Initiative-guilt
To make-to make like (playing)
IV
7-12
Industry-inferiority
To make thing, To make thing together
V
12-18
Identity & repudation
To be on self, To share being on self
VI
20-an
Intimacy&solidarity, isolation
To lose and find on self
VII
20-50
Generativity-self absorption
To make be, To take care of
VIII
50- an ke atas
Integrity-dipair, have been to
To be, through face not being
Keterangan: Tabel tahapan perkembangan anak, diadaptasi dari Erickson dalam buku Nana Syaodih Sukmadinata (hal.2)
Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap tahapan perkembangan manusia mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap lainnya. Kemampuan sosial masa kanak-kanak berbeda dengan masa remaja, dan begitu seterusnya. Perbedaan-perbedaan karakteristik anak adalah sifatnya dinamis sejak anak itu lahir sampai meninggal. Kita juga mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi, dan sebagainya. Pengelompokkan individu adakalanya didasarkan atas kesamaan karakteristiknya. Ada orang yang bersifat tertutup (introvert) adapula ekstrovert, ada orang yang agresif, pemalu, dominan, subsmisif, dan lain-lain sebagainya yang menggambarkan karakteristik psikis seseorang. Semua perbedaan karakteristik ini harus dipahami dalam pengembangan kurikulum berbasis multikultural.
Dengan memperhatikan aspek psikologis manusia, dan teori perkembangan serta psikologi belajar, menjadi jelas bahwa kurikulum pada satu jenjang dengan jenjang yang lainnya berbeda. Dalam landasan pengembangan kurikulum berbasis multikultural yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum adalah aspek perkembangan peserta didik (jenjang pendidikan), aspek wilayah suatu tempat (geografis), dan aspek identitas suku dan agama.
Perkembangan peserta didik dari aspek pendidikan atau jenjang sekolah, dapat dibagikan menjadi; 1) usia sekolah playgroup (3-4 tahun), 2) usia sekolah TK (4-6 tahun), 3) usia tingkat sekolah tingkat dasar (7-12 tahun), 4) usia sekolah tingkat pertama (13-15 tahun), 5) usia sekolah menengah (16-18 tahun), 6) usia sekolah tinggi (19-22 an ke atas). Pada setiap jenjang pendidikan ini berbeda karakteristik anak dan berbeda pula materi yang diberikan. Lazimnya pendidikan di Indonesia, rentang usia 3-5 tahun biasanya yang diajarkan kepada anak adalah upaya memperkenalkan mereka terhadap lingkungannya. Di sini aspek multikultural yang perlu diperkenalkan adalah jenis kelamin, identitas daerah, dan percakapan (bahasa). Mereka perlu diajarkan cara memberi dan menerima, misalnya memberi hadiah atau menerimanya. Cara menyapa orang lain, cara meminta dan memberi bantuan dan lain sebagainya.
Pada rentang usia sekolah tingkat dasar biasaya anak-anak sudah membaur dengan keragaman budaya yang berasal dari wilayah yang berbeda. Di sini, anak-anak mulai diajarkan tata cara bergaul dengan orang lain dengan cara saling menghormati, saling menyayangi, toleransi dan kerja sama. Kurikulum berbasis multikultural harus diarahkan untuk memperkenalkan kebudayaan yang beragama dan bagaimana melangsungkan kehidupan yang damai. Perlu diperkenalkan identitas kesukuan dan agama. Misalnya anak bermata sipit adalah etnis Tiongkok, anak berwarna hitam dan berambut keriting adalah etnis Papua dan lain sebagainya. Perlu juga anak diperkenalkan tempat ibadah agama lain, melihat praktek ibadah mereka dan lain sebagainya. Begitu pula seterusnya, sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Khusus dalam kurikulum berbasis multikultral di sekolah tinggi, pengayaan kurikulum berbasis multikultural harus diarahkan kepada pemahaman yang kritis, logis, dan konstektual. Artinya pada usia ini setiap individu sudah masuk pada tahap pemaknaan diri dan menciptakan dirinya tidak bertentanan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Seterusnya individu tersebut mampu memaknai realitas sosio-kultural dan barangkali mampu merubahnya ke arah lebih baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, yaitu tentang tahapan  perkembangan anak, teori belajar, dan aspek-aspek yang harus dikembangkan dalam kurikulum, tabel di bawah ini menyebutkan tentang kurikulum pendidikan berbasis multikultural berdasarkan landasan psikologis sebagaimana penjelasan tersebut:

Tabel 4:
Pemikiran Psikologis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Berbasis Multikultural
Usia
Kemampuan
Tahapan multikulturalisme
Tujuan
Keterangan
3-6
To make-to make like (playing)
Mengenal lingkungan
Mampu mengenal aspek ekstrinsik  perbedaan diri dengan orang lain, termasuk jenis kelamin, suku, bangsa dan agama
Tahapan awal
7-12
To make thing, To make thing together
Belajar hidup dalam perbedaan
Membangun saling percaya
Mampu bersikap toleran, empati dan simpati.
Tahapan internalisasi
12-18
To be on self, To share being on self
Memelihara saling pengertian
Menjunjung sikap saling menghargai
Mampu bekerja sama.
Membedakan persamaan dan perbedaan.
Partisipan dalam kemitraan.
Tahapan proses menjadi
20-30
To lose and find on self
Terbuka dalam berpikir
Apresiasi dan interdepedensi
Mampu memahami realitas kemajemukan.
Mengadopsi dan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru.
Mampu menunjukkan apresiasi dan memelihara relasi
Tahapan menciptakan
30-50an
To make be, To take care of
Resolusi konflik dan nirkekerasan
Mampu mengindektifikasi dan menunjukkan pengakuan atas pluralitas.
Perjumpaan lintas batas
Kerja sama multikultural
Agen perubahan

Tahapan perekayasa
Rekayasa pengembangan kurikulum berbasis multikultural, diadaptasikan dari psikososial Freud-Erickson, Internalisasi pendidikan berwawasan multikultural Zakiyuddin Baidhawy

Penutup
Kurikulum berbasis multikultural memiliki tujuan menciptakan lulusan yang terdidik cerdas untuk melangsungkan kehidupan dalam keragaman. Untuk membuat kurikulum berbasis multikultural maka perlu diperhatikan landasan pengembangan kurikulum secara filosofis dan psikologis. Landasan filosofis dan psikologis pengembangan kurikulum berbasis multukultural adalah upaya membentuk kurikulum pendidikan berdasarkan pemikiran filsafat dan perkembangan psikis manusia.
Pengembangan kurikulum berbasis multikultural yang berlandaskan filosofi adalah kurikulum yang dihasilkan atas pemikiran filsafat pendidikan, yang bertolak dari beberapa aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan yang menonjol adalah aliran progresivisme, rekonstruktivisme dan pancasilais. Di samping itu, landasan filosofis pengembangan kurikulum berbasis multikultural juga berupaya memanfaatkan kemajemukan siswa (lintas keluarga, suku, agama, bahasa dll) sebagai satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
Adapun landasan psikologis pengembangan kurikulum berbasis multikultural yang mesti diperhatikan adalah internalisasi multikulturalisme berdasarkan aspek perkembangan manusia, letak geografis dan perbedaan karakter berdasarkan suku, budaya dan agama. Dalam teori perkembangan peserta didik terdapat model perkembangan yang dikemukakan oleh Piaget, Erikson dan Rosseau. Model-model perkembangan ini mempengaruhi implementasi kurikulum berbasis multikultural. Dengan kata lain secara khusus substansi multikulturalisme dalam kurikulum yang dibuat berbeda-beda sesuai dengan jenjang pendidikan atau usia perkembangan peserta didik.


Daftar Pustaka
Rosyada, Dede (2014) Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Pandangan Konsepsional, dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014,
Truna, Dodi S (2010)Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Telaah Kritis atau muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum Indonesia, Seri Disetasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI
Yulaelawati, Ella, (2004), Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya
Frederick Eby,  (1964), The Development of Modern Education. 2nd ed. New Delhi: Prentice - Hall of India Pvt. Ltd.,
Banks, James A., Educating Citizens in a Multicultural Society, Teacher College Press, Columbia University, New York, 1997
Fudyantanta, Ki. (2006) Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidkan Pancasila, Wawasan Secara Sistematik, Yogyakarta: Amus,
Muhaimin,  (2010), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Cet. 4, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
Sukmadinata, Nana Syaodih. (1999), Pengembangan Kurikulum, Teori Dan Praktek, Cet.2 Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Monteiro, Ternan. (2005),  in International Journal of Education & The Arts; Rousseau’s concept of education download http://snphilosophers2005.tripod.com/ternan.pdf
Sanjaya, Wina. (2008), Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana
Kymlicka, Will. (2000), Multicultural Citizenship, A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press, New York
Baidhawy, Zakiyuddin. (2005), Pendidikan agama berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga





*Artikel ini sudah dipresentasikan pada acara Annual Malang International Peace Conference (AMIPEC), 2017 di Universitas Islam Raden Rahmat Malang. Dan disudah dipublikasikan sebagai proceeding dengan nomor ISSS:2541-691X
[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori Dan Praktek, Cet.2 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 36
[2] Muhaimin,  Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Cet. 4 (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2010), hal.2
[3] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana, 2008), hal.4-5
[4] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran ..
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan ..., hal.3
[6] Dodi S.Truna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Telaah Kritis atau muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum Indonesia (Seri Disetasi diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, 2010), hal.51
[7]Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan agama berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 8.
[8] Dede Rosyada, Pendidikan Multikultural di Indonesia; Sebuah Pandangan Konsepsional, dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014, hal.6. Baca. James A. Banks, Educating Citizens in a Multicultural Society, Teacher College Press, Columbia University, New York, 1997. hal. 78.
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran...
[10] Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi (Bandung: Pakar Raya, 2004), hal. 53
[11] Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran,.. hal. 54. Lebih lanjut tentang model pengembangan kurikulum baca Nana Syaodih Sukmadinata (1997/2015), Muhaimin (2010). Wina Sanjaya (2008)
[12] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum.. hal. 79
[13] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran... hal. 45
[14] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum.. hal. 81
[15] Ki Fudyantanta, Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidkan Pancasila, Wawasan Secara Sistematik (Yogyakarta: Amus, 2006), hal.170 buku ini menjelaskan secara sistemik bangunan Pancasila sebagai filsafat yang utuh, sistemik dan detail.
[16] Ki Fudyantanta, Filsafat Pendidikan  hal.185
[17] Wina, hal.45
[18] Nana Syaodih Sukmadinata, 44
[19] Nana, 44
[20] Dede Rosyada, Pendidikan Multikultural..., hal.11.baca: Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press, New York, 2000, hal. 153.
[21] Nana Syaodih, Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum ..
[22] Nana Syaodih, Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum .. hal.48
[23] Nana Syaodih, Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum ..hal.48
[24] By Ternan Monteiro (2005)  in International Journal of Education & The Arts; Rousseau’s concept of education download http://snphilosophers2005.tripod.com/ternan.pdf di akses pada 10 Juni 2017. Lebih lanjut lihat: (Frederick Eby,  The Development of Modern Education. 2nd ed. New Delhi: Prentice - Hall of India Pvt. Ltd., 1964). Nana Syaodih, Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum. 48, dan Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran.. (hal.48-54)
[25] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum .. hal. 52-56, Wina Sanjaya (54-55)