Friday 21 September 2018

Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan liberal




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Indonesia, hak tersebut tertulis dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi “Pendidikan adalah hak setiap warga Negara”. Peran cepat dengan perubahan sosisal, politikdan kemajuan IPTEK. Secara teoritis pendidikan terdiri dari komponen-komponen yang merupakan suatu kesatuan yang tida terpisahkan, mencakup antara lain: tujuan, peserta didik, pendidik, sarana serta lingkungan.
  Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identic dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal, dan kapitalis.
Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan liberal?
2.      Apa tujuan ideologi pendidikan liberal?
3.      Bagaimana landasan liberal?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian ideologi pendidikan liberal
2.      Untuk mengetahui tujuan ideologi pendidikan liberal
3.      Untuk mengetahui landasan liberal
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ideologi Pendidikan Liberal
Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh keolmpok tertentu.Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat.[1]
Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua pemikir besar: Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politik pun tak pelak lagi sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Mannheim tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu) pada intinya sama dengan Marx, dan dalam bukunya Ideologi and Utopia (Ideologi dan Khayal)Ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa ideologi paling bisa dipahami dalam proses kesejerahan yang terbuka[2].
Semenjak istilah ideologi pertama kali diciptakan oleh Desstutt de Tracy tahun 1796 di Prancis. Telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga ideologi dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompeks. Tidak ada satu-satunya pengertian subtansi mengenai ideologi yang dibawa oleh adanya perkembangan pemakaian istilah tersebut.[3]
Mc. Closky. Dkk  menegaskan bahwa “dalam kita mempermasalahkan ideologi, kita memasuki bidang yang penuh dengan masalah-masalah sulit dan sampai sekarang ini belum terpecahkan, seperti masalah hakikat dan pengukuran ideologi.”
Dalam bagian pengantar pengantar bukunya. Ricoeur (1986) menyatakan bahwa ideologi itu merupakan istilah yang mengandung sifat dasar permulaan yang sangat mendua, ambigu, positif dan negative, konstruktif dan destruktif, dimensi konstruktif dan patologis. Selain itu, dinyatakan bahwa ideologi selalu merupakan kosakata yang bersifatnya polemis. Oleh Karena itu, apabila kita bermaksud membicarakan ideologi perlu disertai prosesi dan proporsinya yang jelas.[4]
Dan fungsi ideologi secara konseptual mempuenyai fungsi-fungsi yang saling berkaitan, yakni fungsi distorsi, fungsi legitimasi dan fungsi integrasi.
            Kata pendidikan merupakan bentuk nomina dari kata dasar “didik” yang mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.”
            Para ahli pendidikan cukup beragam dalam mendefinisikan pendidikan. keragaman tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu; (1) banyaknya jenis kegiatan yang bisa disebut sebagai kegiatan pendidikan, yakni pendidikan oleh dir sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain terhadap orang tertentu; (2) luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniah (akal dan hati); (3) luasnya wilayah penyelenggaraan pendidikan, bisa di rumah tangga, di sekolah dan di masyarakat. Dan istilah pendidikan dapat dipahami dalam arti luas dan sempit, semua pengalaman dapat dikatakan sebagai pendidikan.[5]
            Manusia adalah subjek pendidikan, dan sekaligus pula sebagai objek pendidikan. sebagai subjek pendidikan, manusia (khususnya manusia dewasa) bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan. Secara moral  berkewajiban atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, generasi penerus. Proses pendidikan merupakan interaksi pluralitis antara manusia dengan manusia, dengan lingkungan alamiah, sosial, dan kultural akan sangat ditentukan oleh aspek manusianya. Kedudukan manusia sebagai subjek di dalam masyarakat dan di alam semesta ini, memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanat untuk membina dan mengembangkan manusia sesamnya, memelihara alam lingkungan hidup bersama. Lebih jauh manusia bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannya. Jadi pendidikan adalah usaha membantu manusia untuk merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan berusaha membantu manusia untuk menyingkapkan dan menemukan rahasia alam, mengembangkan fitrah manusia yang merupakan potensi untuk berkembang, mengarahkan kecenderungannya dan membimbingnya demi kebaikan dirinya dan masyarakat.[6]
            Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-usaha pendidikannya dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan negaranya. Pemahaman akan filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan merqaba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. [7]
            Sekali lagi, akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakal pada cita-cita Barat tentang individualism. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisis dengan meliahat komponen-komponennya.[8]
            Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filasafat Barat tentang model manusia universal, yaiatu manusia yang “ nasional liberal”. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia “ rasional liberal” seperti pertama, semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; kedua, baik tatanan alam maupun normal sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga, “individualis”, yakni adanya anggapan manusia adalah atomistik dan otonom. Menempatkan individu secara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena ketertarikan anggotanya yang tidak stabil.
Keterkaitannya dengan sekolah, pendidikan liberal menganggap tujuan sekolah menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan oleh siswa supaya belajar sendiri secara efektif. Sekolah mengajar siswa bagaimana menyelasaikan masalah secara praktis melalui penerapan tata-tata cara penyelesaian masalah secara perseorangan maupun kelompok, berdasarkan metode-metode ilmiah-rasional. Jadi, pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk pemecahan masalah praktis.
            Sedangkan pengertian Liberal adalah berpandangan bebas (luas dan terbuka), liberalisme menekankan pemikiran kritis lindividu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua perubahan sosial yang tercerahkan.[9]
            Liberalisme, liberalisme dan Anarkisme menganggap bahwa kabaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang dipandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal maupun sosial secara ilmiah.
            Liberalisme menekankan pemikiran kritis individu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua perubahan sosial yang tercerahkan. Seorang liberalis meragukan ideologi –ideologi sosial yang tidak lahir dari temuan penyelidikan yang berdasarkan objektivitas ilmiah. Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang personal (individu) di atas yang sosial (termasuk yang politis). Sementara itu, seorang liberalisme merasa bahwa pemikiran kritis individual itu mustahil berlangsung dalam ketiadaan sebuah sistem politik yang mendorong dan memelihara kondisi-kondisi sosial dan intelektual yang merupakan prasyarat bagi kecerdasan umum yang sepenuhnya berkembang. Sebaliknya juga, seorang anarkis merasa bahwa, bisa dikaitkan semua sistem politik dan pendidikan pasti merupakan kekuatan yang mengasingkan dan menindas, dan berada di antara kecenderungan alamiah individu kea arah perwujudan diri, dengan kecenderungannya yang juga sama alamiahnya untuk menjadi terlibat secara budaya (namun tidak secara sosial) dalam semua corak pemikiran kritis yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kehidupan sosial yang dihidupkan oleh kecerdasan dan bekerjasama.[10]
            Jadi ideologi pendidikan liberal adalah suatu keyakinan dimana pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini hal-hal tersebut berdasarkan pengetahuan ilmiah.
B.     Tujuan Pendidikan Liberal
            Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberal ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yangrelatif lunak, yakni liberalism metodikyang diajukan oleh teoretisi seperti Maria Montessorimo, ke liberalisne direktif (lebih mengarahkan) yangsaratdengan muatan filosofi Jhon Dewey hingga ke liberalisme non direktif atau liberalisme laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Cari Rogers (O’Neill, 1981: 66).[11]
            Para pencetus gagasan liberalisme sesungguhnya menggagas nilai-nilai yang dianggapnya ideal bagi watak manusia. Mereka memandang tiap orang pada dasarnya dilahirkan bebas dan memiliki nilai-nilai moral yang berbeda. John Rawl, misalnya, mengatakan, “Bahwa kita memiliki satu konsep mengenai kebaikan yang lebih baik daripada konsep lain tidaklahrelevan dari sudut pandang moral”.[12]
            Liberalisme menerima tesis Weber bahwa nilai-nilai bukanlah bagian dari dunia objektif. Dunia nilai adalah soal pilihan individu. Pandangan bahwa dunia tidak mengandung niali-nilai objektif sering bersamaan dengan pandangan mereka mengenai kebebasan, yaitu individu bebas untuk memilih nialinya sendiri. Dikarenakan setiap upaya untuk menyamakan nilai adalah hal yang dianggap berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pluralisme! Ini juga merupakan kata kunci karena kaum liberal juag menghendaki masyarakat majemuk-masyarakat yang dicirikan dengan berbagai macam nilai dan cara individu-individu mengejar konsep dan makna kehidupan yang oleh dirinya sendiri dianggapnya baik.
Bagi banyak orang liberal, gagasan tentang kebaikan menyeluruh tampaknya memang tidak sesuai dengan komitmennya pada pluralisme. Akan tetapi, dalam arti tertentu ketidaksesuaian ini akan tergantung pada seberapa sempitnya konsep kebaikan dispesifikasikan. Bagaimanapun, kegagalan pun, kegagalan liberalisme untuk memberi sebuah teori keadilan memperliahtkan kebutuhan akan beberapa batas untuk pluralisme yang didukungnya. Gagsan bahwa liberal akan jatuh pada teori moral untuk menyatakan sesuatu yang substansif mengenai hidup yang baik tampaknya tidak konsisten dengan kebebasan individu untuk memilih. Berpendapat bahwa ada kebaikan objektif tidak memberikan sebuah kebenaran untuk memaksa orang memilihnya. Masuk akallah menyarankan bahwa kebebasan memilih itu perlu, baik itu. Tidak ada kesesuaian apapun antara teori tentang kebaikan dan komitmen pada kebebasan.
Mendasari tekanan liberal atas kebebasan orang untuk memilih konsep-konsep mereka sendiri tentang kebaikan adalah kegagalan liberalisme untuk menghadapi  kearbitreran kebebasan ini, yang mana orang dikosongkan dari standar-standar untuk mengarahkan pilihan mereka. Kenyataan yang menindas kebebasan ini adalah proses rasionalisasi, tujuan-tujuan konsumsi, dan kekuasaan yang didesakkan secara sosial. Inilah yang membuat Ross Paole meyakini bahwa liberalisme adalah nihilisme.
Proyek liberalsime adalah menyusun sebuah pandangan mengenai keadilan yang mempertahankan subjektivitas yang mengarahkannya pada kebaikan. Immanuel Kant adalah orang yang telah memberikan inspirasi utama bagi para teoretisus liberal dewasa ini yang mempelajari tantangan ini. Prinsip keadilan ditemukan, tidak dalam jaringan dunia lahiriah, atau juag tidak dalam isi keinginan atau pilihan individu, tetapi dalam struktur pikiran dan tindakan manusia. Dalam arti tertentu, ini adalah struktur subjektivitas. Akan tetapi, jika struktur itu akan mempunyai status impersonal dan objektif yang diruntut. Suatu peran kunci untuk menentukan isi dan kekuatan prinsip itu dinamakan oleh konsep rasio.
Jadi, kita dianggap memahami dan memenuhi tuntutan-tuntutan keadilan sejauh kita adalah mahluk-mahluk rasional. Bagi Kant, prinsip-prinsip moralitas diandaikan oleh praktik-praktik moral sehari-hari. Bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip ini ‘diperlukan secara transendental’ untuk kesahihan tuntutan-tuntutan ini. Ada kekosongan yang membosankan disini pengalihan transendental dibuat hanya untuk menjaga moralitas terus diperhatikan. Kaum liberal yang palingkontemporer telah menolak peralihan transendental  Kant dan menolak metafisika yang menyertainya. Bagi mereka, prinsip-prinsip moralitas tidak dapat didasarkan dengan ‘fiat’: prinsip-prinsip itu mesti ditemukan atau diciptakan di dalam dunia riil sebagaimana dinyatakan oleh pengalaman biasa dan ilmu sosial modern.[13]
Salah satu tujuan lain amanat reformasi adalah teraksesnya pendidikan secara meratakepada seluruh masyarakat Indonesia, tidak peduli apakah mereka berasal  dari kalangan atas, menengah dan bawah. Semua masyarakat mendapatkan dan menikmati dunia pendidikan secara layak. Sehingga pemerintah dalam konteks demikian memiliki tanggung jawab besar untuk memeberikan kemudahan terhadap seluruh masyarakat untuk memeroleh pendidikan. Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan, ayat (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.[14]
Dan pasal (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memnuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Setiap satuan pendidikan diberi kebebasan penuh untuk mencari danpendidikan sendiri. Sehingga ketika ini terjadi, maka setiap lembaga pendidikan pun melakukan satu kebijakan cukup elitis, yakni mematok biaya masuk berpendidikan dengan harga sangat mahal  dan melangit. Sudah tida peduli, siapakah yang dihadapi, apakah mereka berasal dari kelas sosial paling rendah dengan pendapatan ekonomi yang sangat pas-pasan. Dalam pandangan setiap penyelenggara pendidikan adalah uang Tentu, mencermati awal maka permulaan itulah yang mengawali geliat liberalisasi pendidikan di negeri ini. Dengan kata lain, pendidikan kemudian diserahkan kepada pasar sehingga ketika berbicara pasar, maka yang berduit saja, yang bisamembeli pendidikan sedangkan yang miskin secara ekonomi finansial, merekapun menjadi masyarakat terbuang dan sangat kesulitan mendapatkan akses pendidikan.[15]
Model pendidikan liberal mengalami pergeseran, yang tampaknya menyesuaikan perkembangan historis dan ideologi berkaitan dengan perubahan tatanan ekonomi dunia.  Ada yang menganggap pendidikan liberal di sekolah-sekolah dan kampus-kampus Negara-negara barat. Bahkan liberalism baru pada abad 21 juga menunjukan perbedaan dibandingkan zaman sebelumnya. Dimungkinkan hal ini sesuai dengan munculnya tata ekonomi dunia baru (newworld order)yang mana globalisasi tengah mengarah pada sistem ekonomi pasar (bebas). Dunia pendidikan, proses ideologi, dan penataan kelembagaannya, juga menyesuaikan dengan tuntutan sejarah baru ini.
Awalnya pendidikan liberal adalah pendidikan yang didasarkan pada konsep seni liberal (liberal art) atau yang secara umum dinamakan liberalisme yang muncul seja masa penecrahan (Age of Englightment). Pendidikan liberal diistilahkan sebagai “filsafat pendidikan yang memberdayakan individu dengan pengetahuan yang luas dan keterampilan yang diberikan, menekankan secara kuat pada nilai-nilai, etika, dan kecakapan-kecakapan sipil….dicirikaan dengan mengarahkan pada tantangan terhadap isu-isu yang penting dan lebi tepat dipahami sebagai cara belajar daripada sebagai kegiatan mempelajari hal-hal khusus.”
Dalam wilayah yang global dan plural, pendidikan liberal juga termasuk kurikulum pendidikan secara umum yang menggunakan berbagai macam disiplin dan strategi pembelajaran untuk memaksiamalkan potensi individu (siswa) agar berhasil dalam kegiatan akademik. Pendidikan liberal pernah dilontarkan secara serius pada abad ke-19 oeh seorang pemikir bernama John Henry Newman. Di Amerika, model ini menjadi gerakan pada abad ke-20 yang dikenal sebagai ‘pendidikan umum’ (general education).
Pada abad 21, banyak Universitasdan kampus dengan tradisi liberal meninjau kembali kurikulum mereka untuk menyegarkan model pendidikan mereka menuju pendidikan liberal. Secara nyata hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, China, Hongkong, Singapura, Australia, dan berbagai Negara lainnya. [16]
Jika dirunut kebelakang, pendidikan liberal dipengaruhi oleh pandangan liberalisme yang berkembang di Barat. Idealisme liberal sesungguhnya adalah produk dari modernisasi Barat yang telah menggilas cara pandang lama yang membuat cara berpikir manusia dikendalikan oleh sesuatu di kuar dirinya. Ide  modernism yang menonjol adalah pencerahan (enlightment), sebuah proses kesadaran dari belenggu adat dan budaya kegelapan yang memasung pikiran manusia selama berabad-abad.[17]
Liberalisme klasik melahirkan banyak pemikir yang memiliki cita-cita untuk mengangkat individu menjadi pemilik dunianya secara otonom dan membebaskan diri dari penghalang yang memasung kebebasan individu untuk mengekspresikan diri sebagai manusia. Karenanya liberalisme dan individualisme biasanya menjadi suatu hal yang tak terpisahkan. Keduanya membentuk suatu ideologi dan cara pandang yang sangat penting bagi awal-awal pertumbuhan ide-ide modern dan menjelang keruntuhan abad kegelapan Barat yang ditandai dengan munculnya Revolusi Industri dan pemikiran modern. Hal ini seiring dengan adanya bentuk-bentuk perubahan dari masyarakat feudal yang didukung dengan tatanan politik kerajaan (monarki).
Kita memang harus membedakan antara perkembangan masyarakat secara ekonomi-politik dengan perkembangan pemikiran yang lahir dari era modernitas. Banyak yang beranggapan bahwa dalam suatu masyarakat kadang terjadi peristiwa yang mana pemikiran lebih maju daripada perkembagan sejarah masyarakat itu sendiri, tetapi kadang juga sebaliknya ide-ide sering tersandat da tidak sesuai dengan kenyataan karena kekuatan material sejarahnya tidak mendukung. Akan tetapi, kadang perkembangan material jauh lebih mau dibandingkan cara berpikir yang ada dalam suatu masyarakat.
Akan tetapi, cara berpikir maju biasanya memang dicetuskan oleh orang-orang yang terpilih, yang dapat berpikir lebih jauh dan lebih luas daripada masyarakat pada umumnya. Inilah yang menuntut kita memahami bahwa dalam suatu perubahan sejarah masyarakat, biasanya terdapat masa transisi yang tidak jarang berisi banyak pertentangan dan pergolakan. Pertentangan terjadi baik pada ranah pemikiran (ideologi, filsafat, dan cara pandang) dan kebudayaan (gaya hidup, kebiaasaan, ekspresi seni, da lain-lain) maupun pada ranah yang sangat material dalam bidangekonomis.[18]
C.    Landasan Pendidikan Liberal
Berikut landasan pendidikan liberal, diantaranya adalah:
1.      Seluruh kegiatan belajar bersifat relative terhadap sifat-sifat da nisi pengalaman personal.
2.      Muncul dari proses-proses perkembangan personal yang diniatkan, dan seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif.
3.      Seluruh kegiatan belajar pada puncaknya mengakar  pada keterlibatan dalam pengertian-inderawi yag aktif.
4.      Seluruh kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengujian gagasan-gagasan, dalam situasi-situasi pemecahan masalah secara praktis.
5.      Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu dan sebagai implikasinya, juga cara terbaik untuk hidup.
6.      Pengalaman kejiwaan yang paling dini merupakan pengalaman yang dialami oleh orang yang belajar pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk latihan-latihan emosional dan kognitif.
7.      Tindakan belajar dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari perilaku personal.
8.      Karena manusia adalah mahluk sosial yang bersandar pada orang-orang lain untuk bertahan hidup selama masih bayi dan kanak-kanak, dan bergantung kepada kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilkau yang berhasil baik dalam persaingan.
9.      Penyelidikan eksperimental, seperti juga jenis persekolahan yang tersimpul di dalam orientasi nilai semacam itu, hanya bisa ada di bawah kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan dilakukannya penyelidikan eksperimental.
10.  Berdasarkan kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas, seorang anak dengan potensi rata-rata dapat menjadi efektif secara personal sekaligus bertanggung jawab secara sosial, kecerdasan praktis terlatih, yang dipandang sebagai tujuan sosial, dapat menjadi dasar bagi lingkaran sinergisme positif sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dan karena itu kecerdasan praktis yang terlatih mengabsahkan adanya sikap optimis sehubungan dengan kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri secara cerdas.[19]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh keolmpok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Dan fungsi ideologi secara konseptual mempunyai fungsi-fungsi yang saling berkaitan, yakni fungsi distorsi, fungsi legitimasi dan fungsi integrasi. Sedangkan pengertian Liberal adalah berpandangan bebas (luas dan terbuka), liberalisme menekankan pemikiran kritis lindividu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua perubahan sosial yang tercerahkan.
Liberalisme, liberalisme dan Anarkisme menganggap bahwa kabaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih. Secara emosional idiologi liberal ini di pandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal maupun sosial secara ilmiah.Jadi ideologi pendidikan liberal adalah  suatu keyakinan dimana pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini hal-hal tersebut berdasarkan pengetahuan ilmiah.
2.      Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Mendasari tekanan liberal atas kebebasan orang untuk memilih konsep-konsep mereka sendiri tentang kebaikan adalah kegagalan liberalisme untuk menghadapi  kearbitreran kebebasan ini, yang mana orang dikosongkan dari standar-standar untuk mengarahkan pilihan mereka. Kenyataan yang menindas kebebasan ini adalah proses rasionalisasi, tujuan-tujuan konsumsi, dan kekuasaan yang didesakkan secara sosial. Inilah yang membuat Ross Paole meyakini bahwa liberalisme adalah nihilisme.
3.      Seperti yang mungkin telah di duga sebelumnya, prinsip-prinsip pendidikan tertentu cenderung untuk mengalir secara logis keluar dari kedudukan-kedudukan filosofis mendasar ini.
B.     Saran
Pembuatan makalah ini yang utama hanya untuk menyelesaikan tugas mata kuliah, Saya selaku manusia yang tidak luput dari salah dan dosa menginginkan sebuah kritik dan saran dari seluruh pihak terutama kepada dosen pengampu demi sempurnanya makalah ini.




















DAFTAR PUSTAKA
Ghufron. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Kalimedia, 2017.
Kosim. Mohammad, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Pena salsabila, 2013.
O’neil. William, Ideologi-ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Sadulloh. Uyoh, Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2011.
Sutrisno. Slamet, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta : CV Andi Offest, 2006.
Soyomuki. Nurani, Teori Pendidikan, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013.
Soeharto. Karti, Perdebatan Ideologi Pendidikan, FIP Universitas Negeri Surabaya.
Yamin. Ideologi dan Kebijakan Pendidika, Malang : Madani, 2013.



[1]William F. o’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 33.
[2] Ibid
[3] Ghufron, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta :Kalimedia, 2017), hlm. 24.
[4] Ibid
[5] Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya : Pena Salsabila, 2013), hlm. 23.
[6]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Alfabeta, 2011), hlm. 80.
[7] ibid
[8] Nurani Soyomuki, Teori Pendidikan (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 259.
[9] Karti Soeharto, “Perdebatan Ideologi Pendidikan”, FIP Universitas Negeri Surabaya, hlm. 138.
[10] Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila (Yogyakarta : CV Andi Offset, 2006), hlm. 66.
[11]Ghufron, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta : Kalimedia, 2017), hlm. 66.
[12] Nurani Soyomuki, Teori Pendidikan (Jogakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 220.
[13] Ibid
[14] Yamin, Ideologi dan Kebijakan Pendidikan (Malang : Madani, 2013), hlm. 111.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Nurani Soyomuki, Teori Pemdidikan (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 396.
[18] Ibid
[19] William, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.352.