BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak
setiap manusia di dunia. Di Indonesia, hak tersebut tertulis dalam UUD 1945
pasal 31 yang berbunyi “Pendidikan adalah hak setiap warga Negara”. Peran cepat
dengan perubahan sosisal, politikdan kemajuan IPTEK. Secara teoritis pendidikan
terdiri dari komponen-komponen yang merupakan suatu kesatuan yang tida
terpisahkan, mencakup antara lain: tujuan, peserta didik, pendidik, sarana
serta lingkungan.
Pendidikan memiliki peranan
penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam
kehidupan masyarakat.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga
pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu
yang identic dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang
berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal, dan kapitalis.
Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana
pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak
pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan
ideologi tertentu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan liberal?
2. Apa tujuan ideologi pendidikan liberal?
3. Bagaimana landasan liberal?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian ideologi pendidikan liberal
2.
Untuk
mengetahui tujuan ideologi pendidikan liberal
3.
Untuk
mengetahui landasan liberal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ideologi Pendidikan Liberal
Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima
sebagai fakta atau kebenaran oleh keolmpok tertentu.Ia tersusun dari
serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat.[1]
Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua
pemikir besar: Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politik pun
tak pelak lagi sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau
organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Mannheim tentang sebuah
ideologi total (sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi
tertentu) pada intinya sama dengan Marx, dan dalam bukunya Ideologi and
Utopia (Ideologi dan Khayal)Ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa
ideologi paling bisa dipahami dalam proses kesejerahan yang terbuka[2].
Semenjak istilah ideologi pertama kali diciptakan oleh Desstutt de Tracy
tahun 1796 di Prancis. Telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga
ideologi dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompeks. Tidak ada
satu-satunya pengertian subtansi mengenai ideologi yang dibawa oleh adanya
perkembangan pemakaian istilah tersebut.[3]
Mc. Closky. Dkk menegaskan
bahwa “dalam kita mempermasalahkan ideologi, kita memasuki bidang yang penuh
dengan masalah-masalah sulit dan sampai sekarang ini belum terpecahkan, seperti
masalah hakikat dan pengukuran ideologi.”
Dalam bagian pengantar pengantar bukunya. Ricoeur (1986) menyatakan
bahwa ideologi itu merupakan istilah yang mengandung sifat dasar permulaan yang
sangat mendua, ambigu, positif dan negative, konstruktif dan destruktif,
dimensi konstruktif dan patologis. Selain itu, dinyatakan bahwa ideologi selalu
merupakan kosakata yang bersifatnya polemis. Oleh Karena itu, apabila kita
bermaksud membicarakan ideologi perlu disertai prosesi dan proporsinya yang
jelas.[4]
Dan fungsi ideologi secara konseptual mempuenyai fungsi-fungsi yang
saling berkaitan, yakni fungsi distorsi, fungsi legitimasi dan fungsi
integrasi.
Kata pendidikan
merupakan bentuk nomina dari kata dasar “didik” yang mendapat awalan ‘pe’ dan
akhiran ‘an’. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik.”
Para ahli
pendidikan cukup beragam dalam mendefinisikan pendidikan. keragaman tersebut
bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu; (1) banyaknya jenis kegiatan
yang bisa disebut sebagai kegiatan pendidikan, yakni pendidikan oleh dir
sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain terhadap
orang tertentu; (2) luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan, yaitu aspek
jasmaniah dan rohaniah (akal dan hati); (3) luasnya wilayah penyelenggaraan
pendidikan, bisa di rumah tangga, di sekolah dan di masyarakat. Dan istilah
pendidikan dapat dipahami dalam arti luas dan sempit, semua pengalaman dapat
dikatakan sebagai pendidikan.[5]
Manusia adalah
subjek pendidikan, dan sekaligus pula sebagai objek pendidikan. sebagai subjek
pendidikan, manusia (khususnya manusia dewasa) bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan pendidikan. Secara moral
berkewajiban atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, generasi
penerus. Proses pendidikan merupakan interaksi pluralitis antara manusia dengan
manusia, dengan lingkungan alamiah, sosial, dan kultural akan sangat ditentukan
oleh aspek manusianya. Kedudukan manusia sebagai subjek di dalam masyarakat dan
di alam semesta ini, memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanat
untuk membina dan mengembangkan manusia sesamnya, memelihara alam lingkungan
hidup bersama. Lebih jauh manusia bertanggung jawab atas martabat
kemanusiaannya. Jadi pendidikan adalah usaha membantu manusia untuk
merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan berusaha membantu
manusia untuk menyingkapkan dan menemukan rahasia alam, mengembangkan fitrah
manusia yang merupakan potensi untuk berkembang, mengarahkan kecenderungannya
dan membimbingnya demi kebaikan dirinya dan masyarakat.[6]
Filsafat
pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan, dan
orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal tersebut akan mewarnai
perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-usaha pendidikannya
dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan negaranya. Pemahaman akan filsafat
pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan merqaba-raba, mencoba-coba
tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. [7]
Sekali lagi, akar
dari pendidikan ini adalah liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas
jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakal pada cita-cita
Barat tentang individualism. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat
dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh
liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisis dengan meliahat
komponen-komponennya.[8]
Komponen pertama,
adalah komponen pengaruh filasafat Barat tentang model manusia universal, yaiatu
manusia yang “ nasional liberal”. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep
manusia “ rasional liberal” seperti pertama, semua manusia memiliki potensi
sama dalam intelektual; kedua, baik tatanan alam maupun normal sosial dapat
ditangkap oleh akal. Ketiga, “individualis”, yakni adanya anggapan manusia
adalah atomistik dan otonom. Menempatkan individu secara atomistik, membawa
pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap
tidak stabil karena ketertarikan anggotanya yang tidak stabil.
Keterkaitannya dengan sekolah, pendidikan liberal menganggap tujuan
sekolah menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan oleh siswa
supaya belajar sendiri secara efektif. Sekolah mengajar siswa bagaimana
menyelasaikan masalah secara praktis melalui penerapan tata-tata cara
penyelesaian masalah secara perseorangan maupun kelompok, berdasarkan
metode-metode ilmiah-rasional. Jadi, pengetahuan adalah alat yang diperlukan
untuk pemecahan masalah praktis.
Sedangkan
pengertian Liberal adalah berpandangan bebas (luas dan terbuka), liberalisme
menekankan pemikiran kritis lindividu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua
perubahan sosial yang tercerahkan.[9]
Liberalisme,
liberalisme dan Anarkisme menganggap bahwa kabaikan tertinggi adalah untuk
hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan sepenuh-penuhnya dari
kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang dipandang sebagai penerapan
praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal maupun sosial secara
ilmiah.
Liberalisme menekankan
pemikiran kritis individu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua perubahan
sosial yang tercerahkan. Seorang liberalis meragukan ideologi –ideologi sosial
yang tidak lahir dari temuan penyelidikan yang berdasarkan objektivitas ilmiah.
Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang personal (individu) di atas yang sosial
(termasuk yang politis). Sementara itu, seorang liberalisme merasa bahwa
pemikiran kritis individual itu mustahil berlangsung dalam ketiadaan sebuah
sistem politik yang mendorong dan memelihara kondisi-kondisi sosial dan
intelektual yang merupakan prasyarat bagi kecerdasan umum yang sepenuhnya
berkembang. Sebaliknya juga, seorang anarkis merasa bahwa, bisa dikaitkan semua
sistem politik dan pendidikan pasti merupakan kekuatan yang mengasingkan dan
menindas, dan berada di antara kecenderungan alamiah individu kea arah
perwujudan diri, dengan kecenderungannya yang juga sama alamiahnya untuk
menjadi terlibat secara budaya (namun tidak secara sosial) dalam semua corak
pemikiran kritis yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kehidupan sosial yang
dihidupkan oleh kecerdasan dan bekerjasama.[10]
Jadi ideologi
pendidikan liberal adalah suatu keyakinan dimana pendidikan yang terbaik adalah
yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti
bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini hal-hal tersebut
berdasarkan pengetahuan ilmiah.
B.
Tujuan Pendidikan Liberal
Ideologi
pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial
yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagimana caranya menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi
pendidikan liberal ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yangrelatif
lunak, yakni liberalism metodikyang diajukan oleh teoretisi seperti Maria
Montessorimo, ke liberalisne direktif (lebih mengarahkan) yangsaratdengan
muatan filosofi Jhon Dewey hingga ke liberalisme non direktif atau liberalisme
laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Cari Rogers
(O’Neill, 1981: 66).[11]
Para pencetus
gagasan liberalisme sesungguhnya menggagas nilai-nilai yang dianggapnya ideal
bagi watak manusia. Mereka memandang tiap orang pada dasarnya dilahirkan bebas
dan memiliki nilai-nilai moral yang berbeda. John Rawl, misalnya, mengatakan,
“Bahwa kita memiliki satu konsep mengenai kebaikan yang lebih baik daripada
konsep lain tidaklahrelevan dari sudut pandang moral”.[12]
Liberalisme
menerima tesis Weber bahwa nilai-nilai bukanlah bagian dari dunia objektif.
Dunia nilai adalah soal pilihan individu. Pandangan bahwa dunia tidak
mengandung niali-nilai objektif sering bersamaan dengan pandangan mereka
mengenai kebebasan, yaitu individu bebas untuk memilih nialinya sendiri.
Dikarenakan setiap upaya untuk menyamakan nilai adalah hal yang dianggap
berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pluralisme! Ini juga merupakan kata kunci karena kaum liberal juag
menghendaki masyarakat majemuk-masyarakat yang dicirikan dengan berbagai macam
nilai dan cara individu-individu mengejar konsep dan makna kehidupan yang oleh
dirinya sendiri dianggapnya baik.
Bagi banyak orang liberal, gagasan tentang kebaikan menyeluruh
tampaknya memang tidak sesuai dengan komitmennya pada pluralisme. Akan tetapi,
dalam arti tertentu ketidaksesuaian ini akan tergantung pada seberapa sempitnya
konsep kebaikan dispesifikasikan. Bagaimanapun, kegagalan pun, kegagalan
liberalisme untuk memberi sebuah teori keadilan memperliahtkan kebutuhan akan
beberapa batas untuk pluralisme yang didukungnya. Gagsan bahwa liberal akan
jatuh pada teori moral untuk menyatakan sesuatu yang substansif mengenai hidup
yang baik tampaknya tidak konsisten dengan kebebasan individu untuk memilih.
Berpendapat bahwa ada kebaikan objektif tidak memberikan sebuah kebenaran untuk
memaksa orang memilihnya. Masuk akallah menyarankan bahwa kebebasan memilih itu
perlu, baik itu. Tidak ada kesesuaian apapun antara teori tentang kebaikan dan
komitmen pada kebebasan.
Mendasari tekanan liberal atas kebebasan orang untuk memilih
konsep-konsep mereka sendiri tentang kebaikan adalah kegagalan liberalisme
untuk menghadapi kearbitreran kebebasan
ini, yang mana orang dikosongkan dari standar-standar untuk mengarahkan pilihan
mereka. Kenyataan yang menindas kebebasan ini adalah proses rasionalisasi,
tujuan-tujuan konsumsi, dan kekuasaan yang didesakkan secara sosial. Inilah
yang membuat Ross Paole meyakini bahwa liberalisme adalah nihilisme.
Proyek liberalsime adalah menyusun sebuah pandangan mengenai
keadilan yang mempertahankan subjektivitas yang mengarahkannya pada kebaikan.
Immanuel Kant adalah orang yang telah memberikan inspirasi utama bagi para
teoretisus liberal dewasa ini yang mempelajari tantangan ini. Prinsip keadilan
ditemukan, tidak dalam jaringan dunia lahiriah, atau juag tidak dalam isi
keinginan atau pilihan individu, tetapi dalam struktur pikiran dan tindakan
manusia. Dalam arti tertentu, ini adalah struktur subjektivitas. Akan tetapi,
jika struktur itu akan mempunyai status impersonal dan objektif yang diruntut.
Suatu peran kunci untuk menentukan isi dan kekuatan prinsip itu dinamakan oleh
konsep rasio.
Jadi, kita dianggap memahami dan memenuhi tuntutan-tuntutan
keadilan sejauh kita adalah mahluk-mahluk rasional. Bagi Kant, prinsip-prinsip
moralitas diandaikan oleh praktik-praktik moral sehari-hari. Bahwa seseorang
memiliki kemampuan untuk mengetahui dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip
ini ‘diperlukan secara transendental’ untuk kesahihan tuntutan-tuntutan ini.
Ada kekosongan yang membosankan disini pengalihan transendental dibuat hanya
untuk menjaga moralitas terus diperhatikan. Kaum liberal yang palingkontemporer
telah menolak peralihan transendental
Kant dan menolak metafisika yang menyertainya. Bagi mereka,
prinsip-prinsip moralitas tidak dapat didasarkan dengan ‘fiat’: prinsip-prinsip
itu mesti ditemukan atau diciptakan di dalam dunia riil sebagaimana dinyatakan
oleh pengalaman biasa dan ilmu sosial modern.[13]
Salah satu tujuan lain amanat reformasi adalah teraksesnya
pendidikan secara meratakepada seluruh masyarakat Indonesia, tidak peduli
apakah mereka berasal dari kalangan
atas, menengah dan bawah. Semua masyarakat mendapatkan dan menikmati dunia pendidikan
secara layak. Sehingga pemerintah dalam konteks demikian memiliki tanggung
jawab besar untuk memeberikan kemudahan terhadap seluruh masyarakat untuk
memeroleh pendidikan. Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) setiap warga
Negara berhak mendapat pendidikan, ayat (3) pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang.[14]
Dan pasal (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari anggaran pendapatan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan
belanja daerah untuk memnuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Setiap satuan pendidikan diberi kebebasan penuh untuk mencari danpendidikan
sendiri. Sehingga ketika ini terjadi, maka setiap lembaga pendidikan pun
melakukan satu kebijakan cukup elitis, yakni mematok biaya masuk berpendidikan
dengan harga sangat mahal dan melangit.
Sudah tida peduli, siapakah yang dihadapi, apakah mereka berasal dari kelas
sosial paling rendah dengan pendapatan ekonomi yang sangat pas-pasan. Dalam
pandangan setiap penyelenggara pendidikan adalah uang Tentu, mencermati awal
maka permulaan itulah yang mengawali geliat liberalisasi pendidikan di negeri
ini. Dengan kata lain, pendidikan kemudian diserahkan kepada pasar sehingga
ketika berbicara pasar, maka yang berduit saja, yang bisamembeli
pendidikan sedangkan yang miskin secara ekonomi finansial, merekapun menjadi
masyarakat terbuang dan sangat kesulitan mendapatkan akses pendidikan.[15]
Model pendidikan liberal mengalami pergeseran, yang tampaknya
menyesuaikan perkembangan historis dan ideologi berkaitan dengan perubahan
tatanan ekonomi dunia. Ada yang
menganggap pendidikan liberal di sekolah-sekolah dan kampus-kampus
Negara-negara barat. Bahkan liberalism baru pada abad 21 juga menunjukan
perbedaan dibandingkan zaman sebelumnya. Dimungkinkan hal ini sesuai dengan
munculnya tata ekonomi dunia baru (newworld order)yang mana globalisasi
tengah mengarah pada sistem ekonomi pasar (bebas). Dunia pendidikan, proses
ideologi, dan penataan kelembagaannya, juga menyesuaikan dengan tuntutan
sejarah baru ini.
Awalnya pendidikan liberal adalah pendidikan yang didasarkan pada
konsep seni liberal (liberal art) atau yang secara umum dinamakan
liberalisme yang muncul seja masa penecrahan (Age of Englightment).
Pendidikan liberal diistilahkan sebagai “filsafat pendidikan yang memberdayakan
individu dengan pengetahuan yang luas dan keterampilan yang diberikan,
menekankan secara kuat pada nilai-nilai, etika, dan kecakapan-kecakapan sipil….dicirikaan
dengan mengarahkan pada tantangan terhadap isu-isu yang penting dan lebi tepat
dipahami sebagai cara belajar daripada sebagai kegiatan mempelajari hal-hal
khusus.”
Dalam wilayah yang global dan plural, pendidikan liberal juga
termasuk kurikulum pendidikan secara umum yang menggunakan berbagai macam
disiplin dan strategi pembelajaran untuk memaksiamalkan potensi individu
(siswa) agar berhasil dalam kegiatan akademik. Pendidikan liberal pernah
dilontarkan secara serius pada abad ke-19 oeh seorang pemikir bernama John
Henry Newman. Di Amerika, model ini menjadi gerakan pada abad ke-20 yang
dikenal sebagai ‘pendidikan umum’ (general education).
Pada abad 21, banyak Universitasdan kampus dengan tradisi liberal
meninjau kembali kurikulum mereka untuk menyegarkan model pendidikan mereka
menuju pendidikan liberal. Secara nyata hal tersebut terjadi di Amerika
Serikat, Kanada, Inggris, China, Hongkong, Singapura, Australia, dan berbagai
Negara lainnya. [16]
Jika dirunut kebelakang, pendidikan liberal dipengaruhi oleh
pandangan liberalisme yang berkembang di Barat. Idealisme liberal sesungguhnya
adalah produk dari modernisasi Barat yang telah menggilas cara pandang lama
yang membuat cara berpikir manusia dikendalikan oleh sesuatu di kuar dirinya.
Ide modernism yang menonjol adalah pencerahan
(enlightment), sebuah proses kesadaran dari belenggu adat dan budaya
kegelapan yang memasung pikiran manusia selama berabad-abad.[17]
Liberalisme klasik melahirkan banyak pemikir yang memiliki
cita-cita untuk mengangkat individu menjadi pemilik dunianya secara otonom dan
membebaskan diri dari penghalang yang memasung kebebasan individu untuk
mengekspresikan diri sebagai manusia. Karenanya liberalisme dan individualisme
biasanya menjadi suatu hal yang tak terpisahkan. Keduanya membentuk suatu
ideologi dan cara pandang yang sangat penting bagi awal-awal pertumbuhan
ide-ide modern dan menjelang keruntuhan abad kegelapan Barat yang ditandai dengan
munculnya Revolusi Industri dan pemikiran modern. Hal ini seiring dengan adanya
bentuk-bentuk perubahan dari masyarakat feudal yang didukung dengan tatanan
politik kerajaan (monarki).
Kita memang harus membedakan antara perkembangan masyarakat secara
ekonomi-politik dengan perkembangan pemikiran yang lahir dari era modernitas.
Banyak yang beranggapan bahwa dalam suatu masyarakat kadang terjadi peristiwa
yang mana pemikiran lebih maju daripada perkembagan sejarah masyarakat itu
sendiri, tetapi kadang juga sebaliknya ide-ide sering tersandat da tidak sesuai
dengan kenyataan karena kekuatan material sejarahnya tidak mendukung. Akan
tetapi, kadang perkembangan material jauh lebih mau dibandingkan cara berpikir
yang ada dalam suatu masyarakat.
Akan tetapi, cara berpikir maju biasanya memang dicetuskan oleh
orang-orang yang terpilih, yang dapat berpikir lebih jauh dan lebih luas
daripada masyarakat pada umumnya. Inilah yang menuntut kita memahami bahwa
dalam suatu perubahan sejarah masyarakat, biasanya terdapat masa transisi yang
tidak jarang berisi banyak pertentangan dan pergolakan. Pertentangan terjadi
baik pada ranah pemikiran (ideologi, filsafat, dan cara pandang) dan kebudayaan
(gaya hidup, kebiaasaan, ekspresi seni, da lain-lain) maupun pada ranah yang
sangat material dalam bidangekonomis.[18]
C.
Landasan Pendidikan Liberal
Berikut landasan pendidikan liberal, diantaranya adalah:
1.
Seluruh
kegiatan belajar bersifat relative terhadap sifat-sifat da nisi pengalaman
personal.
2.
Muncul
dari proses-proses perkembangan personal yang diniatkan, dan seluruh tindakan
belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif.
3.
Seluruh
kegiatan belajar pada puncaknya mengakar
pada keterlibatan dalam pengertian-inderawi yag aktif.
4.
Seluruh
kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengujian gagasan-gagasan,
dalam situasi-situasi pemecahan masalah secara praktis.
5.
Cara
terbaik untuk mempelajari sesuatu dan sebagai implikasinya, juga cara terbaik
untuk hidup.
6.
Pengalaman
kejiwaan yang paling dini merupakan pengalaman yang dialami oleh orang yang
belajar pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk latihan-latihan emosional dan
kognitif.
7.
Tindakan
belajar dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari perilaku
personal.
8.
Karena
manusia adalah mahluk sosial yang bersandar pada orang-orang lain untuk
bertahan hidup selama masih bayi dan kanak-kanak, dan bergantung kepada
kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilkau yang berhasil baik dalam
persaingan.
9.
Penyelidikan
eksperimental, seperti juga jenis persekolahan yang tersimpul di dalam
orientasi nilai semacam itu, hanya bisa ada di bawah kondisi-kondisi sosial
yang memungkinkan dilakukannya penyelidikan eksperimental.
10.
Berdasarkan
kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas, seorang anak dengan potensi rata-rata
dapat menjadi efektif secara personal sekaligus bertanggung jawab secara
sosial, kecerdasan praktis terlatih, yang dipandang sebagai tujuan sosial,
dapat menjadi dasar bagi lingkaran sinergisme positif sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, dan karena itu kecerdasan praktis yang terlatih mengabsahkan adanya
sikap optimis sehubungan dengan kemampuan manusia untuk mengatur dirinya
sendiri secara cerdas.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ideologi
adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau
kebenaran oleh keolmpok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap
berbagai lembaga serta proses masyarakat. Dan fungsi ideologi secara konseptual
mempunyai fungsi-fungsi yang saling berkaitan, yakni fungsi distorsi, fungsi
legitimasi dan fungsi integrasi. Sedangkan pengertian Liberal adalah
berpandangan bebas (luas dan terbuka), liberalisme menekankan pemikiran kritis
lindividu sebagai asal-usul dan landasan bagi semua perubahan sosial yang
tercerahkan.
Liberalisme, liberalisme dan Anarkisme menganggap bahwa kabaikan
tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan
sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih. Secara emosional idiologi liberal
ini di pandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian
masalah personal maupun sosial secara ilmiah.Jadi ideologi pendidikan liberal
adalah suatu keyakinan dimana pendidikan
yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan
objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak untuk meyakini
hal-hal tersebut berdasarkan pengetahuan ilmiah.
2.
Ideologi
pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial
yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagimana caranya menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Mendasari
tekanan liberal atas kebebasan orang untuk memilih konsep-konsep mereka sendiri
tentang kebaikan adalah kegagalan liberalisme untuk menghadapi kearbitreran kebebasan ini, yang mana orang
dikosongkan dari standar-standar untuk mengarahkan pilihan mereka. Kenyataan
yang menindas kebebasan ini adalah proses rasionalisasi, tujuan-tujuan
konsumsi, dan kekuasaan yang didesakkan secara sosial. Inilah yang membuat Ross
Paole meyakini bahwa liberalisme adalah nihilisme.
3.
Seperti
yang mungkin telah di duga sebelumnya, prinsip-prinsip pendidikan tertentu
cenderung untuk mengalir secara logis keluar dari kedudukan-kedudukan filosofis
mendasar ini.
B.
Saran
Pembuatan
makalah ini yang utama hanya untuk menyelesaikan tugas mata kuliah, Saya selaku
manusia yang tidak luput dari salah dan dosa menginginkan sebuah kritik dan
saran dari seluruh pihak terutama kepada dosen pengampu demi sempurnanya
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufron. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Kalimedia, 2017.
Kosim. Mohammad, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Pena
salsabila, 2013.
O’neil. William,
Ideologi-ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Sadulloh. Uyoh, Filsafat Pendidikan, Bandung : Alfabeta,
2011.
Sutrisno.
Slamet, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta : CV Andi Offest,
2006.
Soyomuki. Nurani, Teori Pendidikan, Jogjakarta : Ar-Ruzz
Media, 2013.
Soeharto. Karti, Perdebatan Ideologi Pendidikan, FIP Universitas
Negeri Surabaya.
Yamin. Ideologi dan Kebijakan Pendidika, Malang : Madani,
2013.
[1]William F.
o’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 33.
[2] Ibid
[3] Ghufron,
Filsafat Pendidikan (Yogyakarta :Kalimedia, 2017), hlm. 24.
[4] Ibid
[5] Mohammad
Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya : Pena Salsabila, 2013), hlm.
23.
[6]Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung : Alfabeta, 2011), hlm. 80.
[7] ibid
[8] Nurani
Soyomuki, Teori Pendidikan (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 259.
[9] Karti Soeharto, “Perdebatan
Ideologi Pendidikan”, FIP Universitas Negeri Surabaya, hlm. 138.
[10] Slamet
Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila (Yogyakarta : CV Andi Offset,
2006), hlm. 66.
[11]Ghufron, Filsafat
Pendidikan (Yogyakarta : Kalimedia, 2017), hlm. 66.
[12] Nurani
Soyomuki, Teori Pendidikan (Jogakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 220.
[13] Ibid
[14] Yamin,
Ideologi dan Kebijakan Pendidikan (Malang : Madani, 2013), hlm. 111.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Nurani
Soyomuki, Teori Pemdidikan (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 396.
[18] Ibid
[19] William, Ideologi-Ideologi
Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.352.