Sunday 24 June 2018

JARIMAH QISHAS DAN DIYAT



 JARIMAH QISHAS DAN DIYAT


MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah
yang Diampu Oleh Bapak Tri Subakti, M.H

Oleh :






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan nikmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Jinayah yang berjudul JARIMAH QISHAS DAN DIYAT.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah berjasa. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Tri Subakti yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada penulis serta Orang tua dan teman-teman yang telah memberi motivasi serta bantuan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar penulisan makalah ini lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu bagi generasi penerus khususnya tentang jarimah qishas dan diyat.


Pamekasan, 22 April 2018

Penulis








DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii    
BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1    
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Pengertian Qishas............................................................................ 2
B. Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya................................... 5
C. Cara Pembuktian Pembunuhan……………………..……………8
D. Pengertian Diyat dan Kadarnya……………...………………….11
BAB III : PENUTUP........................................................................................ 14
A. Kesimpulan...................................................................................... 14
B. Saran................................................................................................ 14
DAFTAR RUJUKAN...................................................................................... 15


 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Yang dimaksud dengan Jinayah meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilangkan manfaat badan, misalnya menghilangkan salah satu pancaindera. Membunuh merupakan perbuatan dosa besar selain dari ingkar. Karena kejinya perbuatan tersebut, juga untuk menjaga keselamatan dan ketentraman umum, Allah memberikan balasan yang setimpal dengan kesalahan besar itu, yaitu hukuman berat di dunia atau dimasukkan ke dalam neraka di akhirat.
Bagi yang membunuh tergantung 3 hak, yaitu hak Allah, hak ahli waris dan hak yang dibunuh. Apabila ia bertobat dan menyerahkan diri kepada ahli waris (keluarga yang dibunuh), dia terlepas dari hak Allah dan ahli waris, baik mereka melakukan qishas atau mereka mengampuninya, dengan membayar diyat (denda) atau tidak. Sesudah itu, tinggal hak yang dibunuh, yang nanti akan diganti oleh Allah di akhirat dengan kebaikan.[1]
Dalam makalah ini, penulis memaparkan tentang Qishas dan Diyat. Hal ini perlu dibahas agar pelajar bisa lebih memahami bagaimana penerapan qishas, dapat mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pembunuhan dan bagaimana pengertian serta kadar diyat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Qishas?
2.      Bagaimana Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya?
3.      Bagaimana Cara Pembuktian Pembunuhan?
4.      Bagaimana Pengertian Diyat dan Kadarnya?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan Pengertian Qishas.
2.      Untuk menjelaskan Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya.
3.      Untuk menjelaskan Cara Pembuktian Pembunuhan.
4.      Untuk menjelaskan Pengertian Diyat dan Kadarnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qishas
Qishas secara bahasa berarti sama rata, sepadan. Kata ini diambil dari kata qhash yang artinya pemotongan. Atau dari kata iqtishas al-atsar (mengikuti jejak). Kata qishas dalam hadits disebut dengan kata qawad, yang berarti semisal, seumpama (al-mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain, qishas adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Abdul Audah mendefinisikan qishas sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah di perbuatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 178, sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ  
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih[111].
[111] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
Hukuman ini dianggap sebagai hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan. Pelaku mendapat imbalan yang setimpal dengan perbuatan yang di lakukan terhadap orang lain. Hukuman ini akan menjadikan pelaku berpikir dua kali untuk melakukan hal yang serupa ketika dia mengingat akibat yang sama yang akan ditimpakan kepadanya.
Qishas merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa antar anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggot badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk  jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
Pembunuhan sengaja adalah pembunahan yang dilakukan secara kesengajaan dengan sasaran jiwa korban dan mengakibatkan kematian. Dalam hal ini, ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan berbuat atau perbuatan itu diniati, bahkan merupakan bagian skenario pelaku. Dikategorikan membunuh sengaja misalnya membakar, menenggelamkan korban ke dalam air, mendorong korban dari ketinggian, dan sebagainya. Adapun penganiayaan sengaja adalah bentuk perbuatan yang di lakukan secara sengaja dengan sasaran anggota badan yang mengakibatkan luka, hilangnya anggota badan, atau hilangnya fungsi anggota badan.
Perbedaannya dengan pembunuhan sengaja terletak pada hasilnya. Pada pembunuhan sengaja, hasil yang di kehendaki adalah kematian, sedangkan pada penganiyaan sengaja, hasilnya adalah luka, cacat korban, atau hilangnya fungsi anggota badan korban.[2]
Hukuman qishas tidak dikenakan pada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya syarat-syarat berikut:
1.      Korban adalah orang yang haram dibunuh , artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang tidak terlindungi darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang murtad, kafir harbi, dan lain-lain. Walaupun sebagai tindakan preventif, hakim dapat menjatuhkan hukuman lain pada pelaku, berupa hukaman ta’zir. Hal ini karena membiarkan pembunuh melakukan aksinya meskipun korban bukan yang dilindungi darahnya, akan menciptakan suasana menghakimi sendiri yang menjurus pada saling membunuh secara berantai dan menjadi anarkis.
2.      Pelaku pembunuhan orang mukallaf, akil baligh, tidak hilang ingatan atau gila sebab mereka dikenai pembebanan.
3.      Pelaku pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan. Artinya, dia melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan dan paksan dari pihak manapun.
4.      Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban.[3]
Dalam pelaksanaan hukuman baik dalam pembunuhan sengaja atau penganiyaan sengaja, pelaku menerima hukuman sesuai dengan yang diterima korban, tidak boleh melebihi yang dilakukan pelaku terhadap korban. Karena hal itu dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas ketentuan dan tidak dikehendaki syariat. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
45. dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
B.     Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya
Pembunuhan adalah perampasan atau hilangnya nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh fungsi vital anggota tubuh karena berpisahnya roh dengan jasad korban.
Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa seseorang membawa konsekuensi hukum qishas. Sebab, diantara kejahatan itu ada yang disengaja, ada yang menyerupai kesengajaan, ada kalanya sebuah kesalahan dan ada kalanya diluar itu semua. Para fuqaha’ membagi pembunuhan dengan pembagian berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Ulama Malikiyah membagi menjadi dua macam, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak disengaja. Jumhur ulama’ membagi pembunuhan menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Pembunuhan disengaja (qatlul amdi)
Yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untu membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang dibunuh adalah manusia hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut menghendaki adanya kematian korban.
Dalam hukum Islam pembunuhan sengaja termasuk dosa yang paling besar dan tindak pidana paling jahat. Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja, keluarga korban memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman, yaitu qishas, diyat, atau pihak keluarga memaafkannya dengan atau tanpa syarat. Selain itu, pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain tiga hukuman tersebut, yaitu dosa dan terhalang dari dari hak waris dan wasiat.
2.      Pembunuhan semi sengaja (qatlu syighul amdi)
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak ada niat membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat pembunuhan ini, adanya perbuatan pelaku yang menyebabkan kematian, kematian adalah akibat perbuatan si pelaku, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, dimana perbuatan tersebut mungkin sekedar memberi pelajaran bagi korban, tidak ada niat untuk menghilangkan nyawanya.
Hukum pembunuhan ini tidak wajib qisas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang berat. Denda ini wajib atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang membunuh. Mereka membayarnya berangsur selama tiga tahun. Tiap-tiap akhir tahun keluarga wajib membayar sepertiganya.
3.      Pembunuhan tidak sengaja (qatlu khata’)
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak adanya unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal. Misalnya seseorang melempar suatu barang yang tidak disangka akan kena pada orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya meninggal.
Hukum pembunuhan ini tidak wajib qisas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang ringan. Denda ini wajib atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang membunuh. Mereka membayarnya berangsur selama tiga tahun.[4]
Khusus pembunuhan tidak disengaja, Al-Qur’an mengharuskan pelaku memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin sebagai kafarat. Apabila tidak didapati, dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai hukuman pengganti. Kasus pembunuhan di atas diterangkan dalam QS. An-Nisa’ ayat 92-93, sebagai berikut:
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur šc%Ÿ2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptƒÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ㍃̍øtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉftƒ ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 šc%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ6ym ÇÒËÈ   `tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  
92. dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) [334], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat [335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah [336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya [337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
93. dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Secara zahir ayat tersebut, kafarat diharuskan pada pembunuhan karena khilaf. Menurut riwayat, jenis hukuman ini juga berlaku pada pembunuhan semi sengaja karena bentuknya menyerupai kekhilafan. As-Syafi’I mewajibkan kafarat untuk pembunuhan sengaja. Ia beralasan jika kafarat diwajibkan pada pembunuhan tidak disengaja yang pada hakikatnya tidak berdosa, apalagi pada pembunuhan sengaja dan semi sengaja yang jelas tampak berat dosanya, dan ini lebih utama. Sedangkan menurut Abu hanifah, semua hukuman sudah ada bagiannya masing-masing. Qishas bagi pembunuhan disengaja, sedangkan kafarat bagi pembunuhan karena khilaf.[5]
Dalam Undang-undang Hukum Pidana Nasional, dijelaskan mengenai kejahatan terhadap nyawa. Pada pasal 338 menjelaskan, “barang siapa yang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dalam pasal 340, juga dijelaskan barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam pasal 346, juga dijelaskan “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Mengenai penganiayaan, juga dijelaskan dalam pasal 351, yaitu penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah. Jika mengakibatkan luka-luka berat, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Dan jika menyebabkan kematian, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Namun, dalam pasal 353, menjelaskan jika penganiayaan tersebut sudah direncanakan, maka diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, maka pelaku dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.[6]
C.     Cara Pembuktian Pembunuhan
Para ulama berbeda pendapat mengenai mengenai cara pembuktian jarimah Qishash atau pembunuhan. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai berikut. Menurut jumhur ulama, untuk pembuktian jarimah Qishash dan diyat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian, yaitu:
1.      Pengakuan
Pengakuan menurut bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’, pengakuan adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) yaitu Surah al-nisa’ ayat 35.
2.      Persaksian
Pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan. Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karenanya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkap suatu jarimah. Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti terdapat dalam Al Qur’an yaitu: Surah Al-Baqarah ayat 282, Surah Ath-Thalaaq ayat 2.
3.      Al-qasamah
Qasamah dalam arti bahasa adalah bagus dan indah. Sedangkan menurut arti istilah, qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu, dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut cara tertentu. Qasamah merupakan salah satu cara pembuktian yang berlaku pada zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, Nabi mengakui dan menetapkannya (qasamah) sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk tindak pidana pembunuhan. Hal ini dijelaskan dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Salamah, yang artinya: Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-laki sahabat Nabi SAW kelompok Anshar, bahwa sesungguhnya Nabi SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di zaman jahiliah. (Hadis riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
Qasamah disyariatkan dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan, dan ditetapkan hukumannya. Dengan demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu kasus pembunuhan, di mana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan.
Kedua, menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali, untuk pembuktian jarimah qishash dan diyat digunakan empat cara (alat) pembuktian:
1.      Pengakuan
2.      Persaksian
3.      Al-qasamah
4.      Qarinah,
Yang dimaksud qarinah adalah alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda ((petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a.       Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan.
b.      Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi).
Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath (kehati-hatian) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, dengan berpegang kepada adanya korban di tempat tersangka menurut Hanafiyah, atau dengan berpegang kepada adanya lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama. Diperselisihkannya qarinah sebagai alat bukti, sebabnya adalah dalam banyak hal qarinah ini bukan petunjuk yang pasti melainkan masih meragukan, karena banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dalam contoh kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami sebagai qarinah (pertanda) bahwa ia melakukan zina, belum bisa diterima sebagai petunjuk yang pasti karena masih ada beberapa kemungkinan misalnya ia (perempuan) diperkosa. Oleh karena itu, jumhur fuqaha membatasi penggunaan qarinah ini dalam kasus-kasus yang ada nasnya, seperti qasamah.[7]

D.    Pengertian Diyat dan Kadarnya
Diyat secara bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi. Dalam arti jarimah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka, maupun tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi sengaja. Adapun diyat dalam arti hukuman yaitu hukuman pokok bagi jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semi sengaja. Disamping itu diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qishas) yang dimaafkan, atau karna sebab tertentu yang tidak dapat dilaksanakan. Diyat merupakan hukuman pokok bagi pembunuhan tidak di sengaja dan pembunuhan semi sengaja.
Diyat terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1.      Diyat mughallazhah (denda berat) berupa seratus unta, tiga puluh ekor unta hiqqah (usia empat tahun), tiga puluh ekor unta jaz’ah (usia lima tahun), dan empat puluh ekor unta  khalifah (yang mengandung dalam perutnya). Imam Tirmidzi mriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda, “barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, wali terbunuh berhak memilih dua perkara. Jika mau, mereka boleh menjatuhkan hukuman mati, jika mau, mereka boleh meminta diyat, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor unta jaz’ah, dan empat puluh ekor unta khalifah. Sesuatu yang mereka sepakati dalam diyat itu menjadi hak para wali, sebagai bentuk hukuman untuk memberatkan diyat.”
2.      Diyat mukhaffafah (denda ringan) berupa seratus unta, yang terdiri atas dua puluh unta hiqqah, dua puluh unta jaz’ah, dua puluh unta bintu labun, dua puluh ekor ibnu labun, dan dua puluh unta bintu makhad. Inilah yang dimaksud denga diyat ringan yang terdiri atas lima macam unta yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa pada pembunuhan tidak disengaja dikenai diyat sebesar dua puluh ekor unta jaz’ah, dua puluh ekor unta hiqqah, dua puluh ekor bintu labun, dua puluh ekor ibnu labun, dan dua puluh ekor bintu makhad.
Apabila tidak ditemukan unta seperti yang disebut, bisa diganti dengan sejumlah uang yang sama nilainya. Ada yang berpendapat sebesar seratus dinar atau dua belas ribu dirham. Jika ingin diperberat lagi, bisa ditambah sebesar sepertiga dari ketentuan. Dalam hal ini, Imam Syafii dalam qaul qadim berpendapat demikian. Sementara dalam qaul jadid ia mengatakan, harus diganti dengan nilai setiap unta yang tidak ditemukan, berapapun harganya, dan pendapat inilah yang lebih diakui karena dasar dari diyat adalah unta, yang harus menjadi patokan adalah nilai dari unta ketika unta tidak ada.
Diyat pembunuhan tidak disengaja bisa menjadi diyat mughallazhah (berat) apabila dilakukan dengan salah satu kondisi berikut:
1.      Pembunuhan terjadi di tanah haram (Mekah)
2.      Pembunuhan terjadi di bulan haram ( Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab)
3.      Pembunuhan dilakukan terhadap keluarga yang masih mahram
Diyat seorang wanita separuh diyat laki-laki. Dalilnya adalah hadits riwayat Umar, Utsman Ali, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain, mereka berkata, ”diyat seorang wanita separuh diyat laki-laki.” Tidak ada seorangpun sahabat yang mengingkarinya. Hal ini sudah menjadi ijma’. Masalah ini tidak mungkin ditetapkan berdasarkan pendapat para sahabat. Oleh karena itu hukumnya marfu’ (para sahabat mengetahuinya dari ajaran Rasulullah).[8]
Diyat dalam memotong setiap tangan atau kaki, memotong atau mencukil salah satu telinga, mencabut salah satu mata, menghilangkan salah satu bibir  adalah wajib 50 unta (setengah diyat), sedangkan jika memotong dua-duanya dendanya 100 unta (diyat penuh). Ketika berhasil mencabut kedua telinga, maka wajib membayar tambahan. Diyat disempurnakan dalam hal memotong hidung, yakni memotong bagian hidung yang lemas, yaitu ujung hidung. Wajib dalam hal memotong setiap bagian kanan-kiri hidung dan tengahnya, yaitu sepertiga diyat. Dalam menghilangkan anggota badan yang tidak bermanfaat, maka wajib membayar ongkos pengobatan.[9]
Setiap anggota badan meskipun tidak memiliki manfaat, terdapat hukum ganti rugi. Misalnya tangan yang lumpuh, jari yang tumbuh melebihi kebiasaan, begitu juga luka yang tidak dalam dan tidak sampai batasan hukum diyat, semuanya dituntut ganti rugi dengan syarat lebih rendah dari diyat yang telah ditentukan.
Di antara luka yang yang mewajibkan membayar diyat adalah:
1.      Menembus ke dalam tubuh, baik leher, dada, maupun perut sehingga diyatnya sepertiga diyat penuh.
2.      Merobek kulit kepala hingga tulang tengkorak kepala, diyatnya sepertiga diyat penuh.
3.      Menggeser posisi tulang dan mematahkannya, diyatnya tiga perduapuluh diyat penuh.
Ke-3 hal tersebut berdasarkan hadits Amr bin Hin Hazm bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “diyat luka yang menembus ke dalam tubuh adalah 1/3, diyat yang merobek kulit kepala adalah 1/3, dan diyat yang bisa menggeser posisi tulang adalah 15 ekor unta.
4.      Memecahkan tulang, diyatnya 1/10 diyat penuh. Dalilnya, Imam Baihaki dari Zaid bin Tsabit berkata: “diyat yang dapat memacahkan tulang 10 ekor unta.”
Diyat membunuh hamba sahaya adalah senilai harganya dan janin yang masih di dalam kandungan adalah seorang hamba laki-laki atau perempuan.
Diyat seorang hamba sahaya adalah sebesar 1/10 harga ibunya. Hal ini diqiyaskan kepada janin orang yang merdeka karena harga janin diperkirakan 1/10 diyat ibunya.[10]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qishas adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Qishas merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa antar anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja.
Para fuqaha’ membagi pembunuhan dengan pembagian berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Ulama Malikiyah membagi menjadi dua macam, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak disengaja. Jumhur ulama’ membagi pembunuhan menjadi tiga macam, pembunuhan sengaja, pembunuhan tidak disengaja dan pembunuhan semi sengaja.
Menurut jumhur ulama, untuk pembuktian jarimah Qishash dan diyat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian, yaitu Pengakuan, Persaksian, dan Al-qasamah. Menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hambali, untuk pembuktian jarimah qishash dan diyat digunakan empat cara (alat) pembuktian: Pengakuan, Persaksian, Al-qasamah dan Qarinah.
Diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qishas) yang dimaafkan, atau karna sebab tertentu yang tidak dapat dilaksanakan. Diyat merupakan hukuman pokok bagi pembunuhan tidak di sengaja dan pembunuhan semi sengaja. Diyat dibagi menjadi dua, yaitu diyat berat dan diyat ringan.
B.     Saran
Pembaca perlu melakukan kajian lebih lanjut secara mendalam sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam penyusunan makalah khususnya tentang jarimah qhisas dan diyat.
Sedangkan bagi penulis lanjutan diharapkan mampu mengembangkan makalah ini, dan menjadi bahan acuan untuk memperbanyak informasi serta dapat  membaca buku lain dalam rangka menambah pengetahuan tentang Jarimah Qishas dan diyat.


Daftar Rujukan
AL-Ghazy, Syekh Muhammad bin Qosim. Terjemah Fathul Qorib jilid 2. Surabaya: Al-hidayah, 1992.
Hasan, Mustafa. Saebani, Beni Ahmad. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013.


[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 429.
[2] Mustafa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 577-578.
[3] Ibid., 579
[4] Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 430-431.
[5] Hasan, Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 584-585.
[6] Hasan, Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 524-527
[7] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 227-245.
[8] Hasan, Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 282-284.
[9] Syekh Muhammad bin Qosim AL-Ghazy, Terjemah Fathul Qorib jilid 2, (Surabaya : Al-Hidayah, 1992), hlm. 137-139.
[10] Hasan, Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 284-285.