JARIMAH QISHAS DAN DIYAT
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah
yang Diampu Oleh Bapak Tri Subakti, M.H
Oleh :
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
nikmatnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan dari
penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Jinayah yang
berjudul JARIMAH QISHAS DAN DIYAT.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak pihak yang
telah berjasa. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak
Tri Subakti yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada penulis serta Orang
tua dan teman-teman yang telah memberi motivasi serta bantuan dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun, agar penulisan makalah ini lebih baik lagi dimasa yang akan
datang. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu bagi
generasi penerus khususnya tentang jarimah qishas dan diyat.
Pamekasan,
22 April 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL..................................................................................... i
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II :
PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Pengertian Qishas............................................................................ 2
B. Bentuk-bentuk
Pembunuhan dan Sanksinya................................... 5
C. Cara
Pembuktian Pembunuhan……………………..……………8
D. Pengertian
Diyat dan Kadarnya……………...………………….11
BAB III
: PENUTUP........................................................................................ 14
A. Kesimpulan...................................................................................... 14
B. Saran................................................................................................ 14
DAFTAR
RUJUKAN...................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Yang
dimaksud dengan Jinayah meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang,
melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilangkan manfaat badan, misalnya
menghilangkan salah satu pancaindera. Membunuh merupakan perbuatan dosa besar
selain dari ingkar. Karena kejinya perbuatan tersebut, juga untuk menjaga
keselamatan dan ketentraman umum, Allah memberikan balasan yang setimpal dengan
kesalahan besar itu, yaitu hukuman berat di dunia atau dimasukkan ke dalam
neraka di akhirat.
Bagi
yang membunuh tergantung 3 hak, yaitu hak Allah, hak ahli waris dan hak yang
dibunuh. Apabila ia bertobat dan menyerahkan diri kepada ahli waris (keluarga
yang dibunuh), dia terlepas dari hak Allah dan ahli waris, baik mereka
melakukan qishas atau mereka mengampuninya, dengan membayar diyat (denda) atau
tidak. Sesudah itu, tinggal hak yang dibunuh, yang nanti akan diganti oleh
Allah di akhirat dengan kebaikan.[1]
Dalam makalah ini,
penulis memaparkan tentang Qishas dan Diyat. Hal ini perlu dibahas agar pelajar
bisa lebih memahami bagaimana penerapan qishas, dapat mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan pembunuhan dan bagaimana pengertian serta kadar diyat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Qishas?
2.
Bagaimana
Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya?
3.
Bagaimana
Cara Pembuktian Pembunuhan?
4.
Bagaimana
Pengertian Diyat dan Kadarnya?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan Pengertian Qishas.
2.
Untuk
menjelaskan Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya.
3.
Untuk
menjelaskan Cara Pembuktian Pembunuhan.
4.
Untuk
menjelaskan Pengertian Diyat dan Kadarnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qishas
Qishas
secara bahasa berarti sama rata, sepadan. Kata ini diambil dari kata qhash yang
artinya pemotongan. Atau dari kata iqtishas al-atsar (mengikuti jejak). Kata
qishas dalam hadits disebut dengan kata qawad, yang berarti semisal,
seumpama (al-mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah
kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku pidana yang melakukan pembunuhan
atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain, qishas adalah pelaku
akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Abdul Audah
mendefinisikan qishas sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap pelaku
tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah di perbuatnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 178, sebagai
berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
178.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih[111].
[111]
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan,
bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan
baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh
yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka
terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang
pedih.
Hukuman
ini dianggap sebagai hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan. Pelaku
mendapat imbalan yang setimpal dengan perbuatan yang di lakukan terhadap orang
lain. Hukuman ini akan menjadikan pelaku berpikir dua kali untuk melakukan hal
yang serupa ketika dia mengingat akibat yang sama yang akan ditimpakan
kepadanya.
Qishas
merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa antar
anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai,
menghilangkan anggot badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja.
Pembunuhan
sengaja adalah pembunahan yang dilakukan secara kesengajaan dengan sasaran jiwa
korban dan mengakibatkan kematian. Dalam hal ini, ada dua unsur pokok, yaitu kesengajaan
berbuat atau perbuatan itu diniati, bahkan merupakan bagian skenario pelaku.
Dikategorikan membunuh sengaja misalnya membakar, menenggelamkan korban ke dalam
air, mendorong korban dari ketinggian, dan sebagainya. Adapun penganiayaan
sengaja adalah bentuk perbuatan yang di lakukan secara sengaja dengan sasaran
anggota badan yang mengakibatkan luka, hilangnya anggota badan, atau hilangnya
fungsi anggota badan.
Perbedaannya
dengan pembunuhan sengaja terletak pada hasilnya. Pada pembunuhan sengaja,
hasil yang di kehendaki adalah kematian, sedangkan pada penganiyaan sengaja,
hasilnya adalah luka, cacat korban, atau hilangnya fungsi anggota badan korban.[2]
Hukuman
qishas tidak dikenakan pada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya
syarat-syarat berikut:
1.
Korban
adalah orang yang haram dibunuh , artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang
tidak terlindungi darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang murtad,
kafir harbi, dan lain-lain. Walaupun sebagai tindakan preventif, hakim dapat
menjatuhkan hukuman lain pada pelaku, berupa hukaman ta’zir. Hal ini
karena membiarkan pembunuh melakukan aksinya meskipun korban bukan yang
dilindungi darahnya, akan menciptakan suasana menghakimi sendiri yang menjurus
pada saling membunuh secara berantai dan menjadi anarkis.
2.
Pelaku
pembunuhan orang mukallaf, akil baligh, tidak hilang ingatan atau gila sebab
mereka dikenai pembebanan.
3.
Pelaku
pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan. Artinya, dia melakukan
perbuatan tersebut tanpa tekanan dan paksan dari pihak manapun.
4.
Pelaku
pembunuhan bukan orang tua korban.[3]
Dalam
pelaksanaan hukuman baik dalam pembunuhan sengaja atau penganiyaan sengaja,
pelaku menerima hukuman sesuai dengan yang diterima korban, tidak boleh
melebihi yang dilakukan pelaku terhadap korban. Karena hal itu dianggap sebagai
perbuatan yang melampaui batas ketentuan dan tidak dikehendaki syariat. Sesuai
dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
45.
dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
B.
Bentuk-bentuk Pembunuhan dan Sanksinya
Pembunuhan
adalah perampasan atau hilangnya nyawa seseorang oleh orang lain yang
mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh fungsi vital anggota tubuh karena
berpisahnya roh dengan jasad korban.
Tidak
semua tindakan kejam terhadap jiwa seseorang membawa konsekuensi hukum qishas.
Sebab, diantara kejahatan itu ada yang disengaja, ada yang menyerupai
kesengajaan, ada kalanya sebuah kesalahan dan ada kalanya diluar itu semua. Para
fuqaha’ membagi pembunuhan dengan pembagian berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang masing-masing. Ulama Malikiyah membagi menjadi dua macam, yaitu
pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak disengaja. Jumhur ulama’ membagi pembunuhan
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Pembunuhan
disengaja (qatlul amdi)
Yaitu
perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain
dengan menggunakan alat yang dipandang layak untu membunuh. Sedangkan
unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang dibunuh adalah manusia
hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut menghendaki
adanya kematian korban.
Dalam
hukum Islam pembunuhan sengaja termasuk dosa yang paling besar dan tindak
pidana paling jahat. Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja, keluarga korban
memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman, yaitu qishas, diyat, atau
pihak keluarga memaafkannya dengan atau tanpa syarat. Selain itu, pembunuhan
sengaja akan membawa akibat selain tiga hukuman tersebut, yaitu dosa dan terhalang
dari dari hak waris dan wasiat.
2.
Pembunuhan
semi sengaja (qatlu syighul amdi)
Yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak ada niat
membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat pembunuhan ini, adanya
perbuatan pelaku yang menyebabkan kematian, kematian adalah akibat perbuatan si
pelaku, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, dimana perbuatan tersebut
mungkin sekedar memberi pelajaran bagi korban, tidak ada niat untuk
menghilangkan nyawanya.
Hukum
pembunuhan ini tidak wajib qisas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang
berat. Denda ini wajib atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang
membunuh. Mereka membayarnya berangsur selama tiga tahun. Tiap-tiap akhir tahun
keluarga wajib membayar sepertiganya.
3.
Pembunuhan
tidak sengaja (qatlu khata’)
Yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak adanya unsur kesengajaan
yang mengakibatkan orang lain meninggal. Misalnya seseorang melempar suatu
barang yang tidak disangka akan kena pada orang lain sehingga menyebabkan orang
itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang
ditimpanya meninggal.
Hukum
pembunuhan ini tidak wajib qisas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang
ringan. Denda ini wajib atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang
membunuh. Mereka membayarnya berangsur selama tiga tahun.[4]
Khusus
pembunuhan tidak disengaja, Al-Qur’an mengharuskan pelaku memerdekakan seorang
hamba sahaya mukmin sebagai kafarat. Apabila tidak didapati, dia harus berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai hukuman pengganti. Kasus pembunuhan di atas diterangkan
dalam QS. An-Nisa’ ayat 92-93, sebagai berikut:
$tBur c%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t $·ZÏB÷sãB wÎ) $\«sÜyz 4 `tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4 bÎ*sù c%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ãÌóstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur c%2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ãÌøtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉft ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 c%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ6ym ÇÒËÈ `tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
92.
dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) [334], dan Barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat [335] yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah [336]. jika
ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa
yang tidak memperolehnya [337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
93.
dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Secara
zahir ayat tersebut, kafarat diharuskan pada pembunuhan karena khilaf. Menurut
riwayat, jenis hukuman ini juga berlaku pada pembunuhan semi sengaja karena
bentuknya menyerupai kekhilafan. As-Syafi’I mewajibkan kafarat untuk pembunuhan
sengaja. Ia beralasan jika kafarat diwajibkan pada pembunuhan tidak disengaja
yang pada hakikatnya tidak berdosa, apalagi pada pembunuhan sengaja dan semi
sengaja yang jelas tampak berat dosanya, dan ini lebih utama. Sedangkan menurut
Abu hanifah, semua hukuman sudah ada bagiannya masing-masing. Qishas bagi
pembunuhan disengaja, sedangkan kafarat bagi pembunuhan karena khilaf.[5]
Dalam
Undang-undang Hukum Pidana Nasional, dijelaskan mengenai kejahatan terhadap
nyawa. Pada pasal 338 menjelaskan, “barang siapa yang sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.” Dalam pasal 340, juga dijelaskan barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam pasal 346, juga dijelaskan
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”
Mengenai
penganiayaan, juga dijelaskan dalam pasal 351, yaitu penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus ribu rupiah. Jika mengakibatkan luka-luka berat, maka
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Dan jika menyebabkan kematian,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Namun, dalam pasal 353,
menjelaskan jika penganiayaan tersebut sudah direncanakan, maka diancam pidana
penjara paling lama empat tahun. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka
berat, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan jika
perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, maka pelaku dikenakan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.[6]
C.
Cara Pembuktian Pembunuhan
Para
ulama berbeda pendapat mengenai mengenai cara pembuktian jarimah Qishash atau
pembunuhan. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai
berikut. Menurut jumhur ulama, untuk pembuktian jarimah Qishash dan diyat dapat
digunakan tiga cara (alat) pembuktian, yaitu:
1.
Pengakuan
Pengakuan
menurut bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’, pengakuan adalah
suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui
kebenaran tersebut. Dasar hukum tentang
iqrar (pengakuan) yaitu Surah al-nisa’ ayat 35.
2.
Persaksian
Pengertian
persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah persaksian
adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu
kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan. Penggunaan saksi sebagai
alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum.
Karenanya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam
mengungkap suatu jarimah. Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti
terdapat dalam Al Qur’an yaitu: Surah Al-Baqarah ayat 282, Surah Ath-Thalaaq
ayat 2.
3.
Al-qasamah
Qasamah
dalam arti bahasa adalah bagus dan indah. Sedangkan menurut arti istilah,
qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.
Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT
karena adanya sebab tertentu, dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu
yaitu si terdakwa dan menurut cara tertentu. Qasamah merupakan salah satu cara
pembuktian yang berlaku pada zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, Nabi mengakui
dan menetapkannya (qasamah) sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk tindak
pidana pembunuhan. Hal ini dijelaskan dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Abi Salamah, yang artinya: Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn
Yasar dari seorang laki-laki sahabat Nabi SAW kelompok Anshar, bahwa
sesungguhnya Nabi SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang
berlaku di zaman jahiliah. (Hadis riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
Qasamah
disyariatkan dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun
pembunuhan itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan, dan ditetapkan hukumannya.
Dengan demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu
kasus pembunuhan, di mana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan.
Kedua,
menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali, untuk
pembuktian jarimah qishash dan diyat digunakan empat cara (alat) pembuktian:
1.
Pengakuan
2.
Persaksian
3.
Al-qasamah
4.
Qarinah,
Yang
dimaksud qarinah adalah alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain
seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Pengertian qarinah menurut Wahbah
Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda ((petunjuk) yang
jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan
kepadanya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu
qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a.
Terdapat
suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan
pegangan.
b.
Terdapat
hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir)
dan yang samar (khafi).
Dalam
jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath (kehati-hatian)
guna menyelesaikan kasus pembunuhan, dengan berpegang kepada adanya korban di
tempat tersangka menurut Hanafiyah, atau dengan berpegang kepada adanya lauts
(petunjuk) menurut jumhur ulama. Diperselisihkannya qarinah sebagai alat bukti,
sebabnya adalah dalam banyak hal qarinah ini bukan petunjuk yang pasti melainkan
masih meragukan, karena banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dalam
contoh kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami sebagai qarinah
(pertanda) bahwa ia melakukan zina, belum bisa diterima sebagai petunjuk yang
pasti karena masih ada beberapa kemungkinan misalnya ia (perempuan) diperkosa.
Oleh karena itu, jumhur fuqaha membatasi penggunaan qarinah ini dalam
kasus-kasus yang ada nasnya, seperti qasamah.[7]
D.
Pengertian Diyat dan Kadarnya
Diyat
secara bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi. Dalam arti jarimah
adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota
badan, baik perbuatannya mengakibatkan kematian, hanya mengakibatkan luka,
maupun tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja
atau semi sengaja. Adapun diyat dalam arti hukuman yaitu hukuman pokok bagi
jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semi
sengaja. Disamping itu diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok
(qishas) yang dimaafkan, atau karna sebab tertentu yang tidak dapat
dilaksanakan. Diyat merupakan hukuman pokok bagi pembunuhan tidak di sengaja
dan pembunuhan semi sengaja.
Diyat
terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1.
Diyat
mughallazhah (denda berat) berupa seratus unta, tiga puluh ekor unta hiqqah (usia
empat tahun), tiga puluh ekor unta jaz’ah (usia lima tahun), dan
empat puluh ekor unta khalifah
(yang mengandung dalam perutnya). Imam Tirmidzi mriwayatkan dari ‘Amr bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah bersabda, “barang siapa
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, wali terbunuh berhak memilih dua
perkara. Jika mau, mereka boleh menjatuhkan hukuman mati, jika mau, mereka
boleh meminta diyat, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor
unta jaz’ah, dan empat puluh ekor unta khalifah. Sesuatu yang
mereka sepakati dalam diyat itu menjadi hak para wali, sebagai bentuk hukuman
untuk memberatkan diyat.”
2.
Diyat
mukhaffafah (denda ringan) berupa seratus unta, yang terdiri atas dua puluh
unta hiqqah, dua puluh unta jaz’ah, dua puluh unta bintu labun,
dua puluh ekor ibnu labun, dan dua puluh unta bintu makhad.
Inilah yang dimaksud denga diyat ringan yang terdiri atas lima macam unta yang
berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu
Mas’ud yang menjelaskan bahwa pada pembunuhan tidak disengaja dikenai diyat
sebesar dua puluh ekor unta jaz’ah, dua puluh ekor unta hiqqah, dua
puluh ekor bintu labun, dua puluh ekor ibnu labun, dan dua puluh
ekor bintu makhad.
Apabila
tidak ditemukan unta seperti yang disebut, bisa diganti dengan sejumlah uang
yang sama nilainya. Ada yang berpendapat sebesar seratus dinar atau dua belas
ribu dirham. Jika ingin diperberat lagi, bisa ditambah sebesar sepertiga dari
ketentuan. Dalam hal ini, Imam Syafii dalam qaul qadim
berpendapat demikian. Sementara dalam qaul jadid ia mengatakan,
harus diganti dengan nilai setiap unta yang tidak ditemukan, berapapun
harganya, dan pendapat inilah yang lebih diakui karena dasar dari diyat adalah
unta, yang harus menjadi patokan adalah nilai dari unta ketika unta tidak ada.
Diyat
pembunuhan tidak disengaja bisa menjadi diyat mughallazhah (berat)
apabila dilakukan dengan salah satu kondisi berikut:
1.
Pembunuhan
terjadi di tanah haram (Mekah)
2.
Pembunuhan
terjadi di bulan haram ( Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab)
3.
Pembunuhan
dilakukan terhadap keluarga yang masih mahram
Diyat
seorang wanita separuh diyat laki-laki. Dalilnya adalah hadits riwayat Umar,
Utsman Ali, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain, mereka berkata, ”diyat seorang wanita
separuh diyat laki-laki.” Tidak ada seorangpun sahabat yang mengingkarinya. Hal
ini sudah menjadi ijma’. Masalah ini tidak mungkin ditetapkan berdasarkan
pendapat para sahabat. Oleh karena itu hukumnya marfu’ (para sahabat
mengetahuinya dari ajaran Rasulullah).[8]
Diyat
dalam memotong setiap tangan atau kaki, memotong atau mencukil salah satu
telinga, mencabut salah satu mata, menghilangkan salah satu bibir adalah wajib 50 unta (setengah diyat),
sedangkan jika memotong dua-duanya dendanya 100 unta (diyat penuh). Ketika
berhasil mencabut kedua telinga, maka wajib membayar tambahan. Diyat
disempurnakan dalam hal memotong hidung, yakni memotong bagian hidung yang
lemas, yaitu ujung hidung. Wajib dalam hal memotong setiap bagian kanan-kiri
hidung dan tengahnya, yaitu sepertiga diyat. Dalam menghilangkan anggota badan
yang tidak bermanfaat, maka wajib membayar ongkos pengobatan.[9]
Setiap
anggota badan meskipun tidak memiliki manfaat, terdapat hukum ganti rugi.
Misalnya tangan yang lumpuh, jari yang tumbuh melebihi kebiasaan, begitu juga
luka yang tidak dalam dan tidak sampai batasan hukum diyat, semuanya dituntut
ganti rugi dengan syarat lebih rendah dari diyat yang telah ditentukan.
Di
antara luka yang yang mewajibkan membayar diyat adalah:
1.
Menembus
ke dalam tubuh, baik leher, dada, maupun perut sehingga diyatnya sepertiga
diyat penuh.
2.
Merobek
kulit kepala hingga tulang tengkorak kepala, diyatnya sepertiga diyat penuh.
3.
Menggeser
posisi tulang dan mematahkannya, diyatnya tiga perduapuluh diyat penuh.
Ke-3
hal tersebut berdasarkan hadits Amr bin Hin Hazm bahwa Rasulullah SAW,
bersabda, “diyat luka yang menembus ke dalam tubuh adalah 1/3, diyat yang
merobek kulit kepala adalah 1/3, dan diyat yang bisa menggeser posisi tulang
adalah 15 ekor unta.
4.
Memecahkan
tulang, diyatnya 1/10 diyat penuh. Dalilnya, Imam Baihaki dari Zaid bin Tsabit
berkata: “diyat yang dapat memacahkan tulang 10 ekor unta.”
Diyat
membunuh hamba sahaya adalah senilai harganya dan janin yang masih di dalam
kandungan adalah seorang hamba laki-laki atau perempuan.
Diyat
seorang hamba sahaya adalah sebesar 1/10 harga ibunya. Hal ini diqiyaskan
kepada janin orang yang merdeka karena harga janin diperkirakan 1/10 diyat
ibunya.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qishas
adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku pidana yang melakukan pembunuhan
atau penganiayaan terhadap korban. Qishas merupakan hukuman pokok bagi
perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa antar anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja.
Para
fuqaha’ membagi pembunuhan dengan pembagian berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang masing-masing. Ulama Malikiyah membagi menjadi dua macam, yaitu
pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak disengaja. Jumhur ulama’ membagi
pembunuhan menjadi tiga macam, pembunuhan sengaja, pembunuhan tidak disengaja
dan pembunuhan semi sengaja.
Menurut
jumhur ulama, untuk pembuktian jarimah Qishash dan diyat dapat digunakan tiga
cara (alat) pembuktian, yaitu Pengakuan, Persaksian, dan Al-qasamah. Menurut
sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hambali, untuk pembuktian
jarimah qishash dan diyat digunakan empat cara (alat) pembuktian: Pengakuan, Persaksian,
Al-qasamah dan Qarinah.
Diyat
merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qishas) yang dimaafkan, atau karna
sebab tertentu yang tidak dapat dilaksanakan. Diyat merupakan hukuman pokok
bagi pembunuhan tidak di sengaja dan pembunuhan semi sengaja. Diyat dibagi
menjadi dua, yaitu diyat berat dan diyat ringan.
B.
Saran
Pembaca perlu melakukan
kajian lebih lanjut secara mendalam sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam penyusunan makalah khususnya tentang jarimah qhisas dan
diyat.
Sedangkan bagi penulis
lanjutan diharapkan mampu mengembangkan makalah ini, dan menjadi bahan acuan
untuk memperbanyak informasi serta dapat
membaca buku lain dalam rangka menambah pengetahuan tentang Jarimah
Qishas dan diyat.
Daftar
Rujukan
AL-Ghazy, Syekh
Muhammad bin Qosim. Terjemah Fathul Qorib jilid 2. Surabaya: Al-hidayah,
1992.
Hasan, Mustafa.
Saebani, Beni Ahmad. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka
Setia, 2013.
Muslich, Ahmad
Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2013.
[1] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 429.
[2] Mustafa Hasan,
Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka
Setia, 2013), hlm. 577-578.
[3] Ibid., 579
[4] Rasjid, Fiqh
Islam, hlm. 430-431.
[5] Hasan, Saebani,
Hukum Pidana Islam, hlm. 584-585.
[6] Hasan, Saebani,
Hukum Pidana Islam, hlm. 524-527
[7] Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.
227-245.
[8] Hasan,
Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 282-284.
[9] Syekh Muhammad
bin Qosim AL-Ghazy, Terjemah Fathul Qorib jilid 2, (Surabaya : Al-Hidayah,
1992), hlm. 137-139.
[10] Hasan,
Saebani, Hukum Pidana Islam, hlm. 284-285.