Monday 24 September 2018

Apakah pengertian hadits dhaif




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui Bersama, bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah kitab Al-Quran. Hadits merupakan perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad selama beliau menjadi Nabi dan Rasul. Karena itu selain kita harus menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum utama, kitapun harus mempelajari dan menjadikan hadits sebagai pedoman dan penguat dari hukum Al-Quran.
Dan dalam hadits sendiri terdapat tingkatan-tingkatan hadits dari hadits yang shohih sampai hadits maudhu’. Dan dalam menjadikannya (hadits) sebagai hujjah atau sebagai sumber hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu tingkatan-tingkatan hadits yang boleh dijadikan hujjah. Banyak pula perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, dalam makalah ini kita akan membahas lebih dalam lagi tentang hadits dhaif serta mengklasifikasi pendapat muhaddisin terhadap hadits dhoif. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1.      Apakah pengertian hadits dhaif ?
2.      Bagaimana klasifikasi hadits dhaif menurut muhaddisin?
3.      Bagaimana pandangan ulama dalam pengamalan hadits dhaif?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian hadits dhaif
2.      Untuk mengetahui klasifikasi hadits dhaif menurut para muhaddisin
3.      Untuk mengetahui pandangan ulama dalam pengamalan hadits dhaif.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Dhaif
Secara Bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy, yang berarti “lemah”, maka sebutan hadits dhaif dari segi Bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara istilah diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dan mendefinisikan hadits ini. Akan tetapi pada dasarnya, maksudnya adalah sama. Beberapa definisi di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikan hadits dhaif sebagai berikut.
ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولا شروط الحسن
Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat hadits hasan.
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dhaif ialah:
كل حديث لم يجتمع فيه صفا ت القبول
Hadits yang di dalamnya tidak terkumpulsifat-sifat maqbul.
Menurut Nur Ad-Din ‘Atr, definisi hadits dhaif yang paling baik ialah:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang), berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dhaif. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat , seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dhaif yang sangat lemah.[1]
Adapaun dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).adapun menurut muhaditsin:
هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول. وقال أكثرالعلماء هو ما لم يجمع صفة الصحيح والحسن.
Hadits dhaif adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang diterima, dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadits dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadits shahih dan hasan.[2]
B.     Klasifikasi Hadits Dhaif Menurut Muhaddisin
Dari segi diterima atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah, maka hadits ahad itu pada prinsipnya terbagi pada 2 bagian, yaitu hadits Maqbul dan hadits Mardud, yang termasuk hadits maqbul ialah hadits shahih dan hasan, dan yang termasuk hadits mardud ialah hadits dhaif dengan segala macamnya. Untuk mengetahui syarat-syarat suatu hadits itu dapat di terima (maqbul), tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan tentang sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.
Para Muhaddisin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
A.    Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian:
Pertama: “terwujudnya cacat-cacat pada rawynya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya”.
Kedua: “ketidak bersambung-sambungnya sanad” dikarenakan adanya seorang rawy atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
1.      Cacat-cacat pada keadilan dan kedla’bitan rawy itu ada 10 macam
2.      Dusta. Hadits dhaif yang karena rawynya dusta, disebut hadits maudhu’
3.      Fasiq
4.      Banyak salah
5.      Lengah dalam menghafal. Hadits dhaif yang karena rawynya fasiq, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6.      Banyak waham (purbasangka). Hadits dhaif yang karena rawynya waham, disebut hadits mu’allal.
7.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat kepercayaan tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan, haditsnya disebut hadits mudraj;
Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan memutar balikkan haditsnya , maka disebut hadits maqlub;kalua menyalahi riwayat tsiqah tersebut dengan menukar-nukar rawy, haditsnya disebut haditsmudltharib;kalua menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan perubahan syakal-huruf, haditsnya disebut hadits muharraf, dan kalua perubahan itu tentang titik-titik kata, haditsnya disebut hadits mushahhaf.
8.      Tidak diketahui identitasnya (jahalah); hadits dhaif yang karena jahalah ini disebut hadits mubham.
9.      Penganut bid’ah; hadits dhaif yang karena rawynya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10.  Tidak baik hafalannya; hadits dhaif yang karena ini, disebut hadits syadz dan mukhtalith.
II. Sebab-sebab tertolaknya hadits karena sanadnya digugurkan (tak bersambung).
1.      Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu’allaq.
2.      Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat), disebut hadits mursal.
3.      Kalau yang digugurkan itu dua orang rawy atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal, dan
4.      Jika tidak berturut-turut, disebut dengan hadits munqathi’
B.     Dari jurusan matan.
Hadits dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah:
a.      Hadits mauquf,
b.      Hadits maqthu’.[3]

C.     Pandangan Ulama Dalam Pengamalan Hadits Dhaif
Pada dasarnya ulama hadits menolak penggunaan hadits dhaif sebagai hujjah, hadits dhaif baru dapat dijadikan hujjah oleh ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat. Penolakan penggunaan hadits dhaif itu didasarkan pada keyakinan bahwa hadits itu sangat sulit dipertanggung jawabkan berasal dari nabi, baik dari sisi sanad atau matannya. Karena bermuara dari perbedaan persepsi dalam penilaian suatu hadits, maka muncul perbedaan ulama dalam pengalaman hadits dhaif itu.
Muhammad Ajjaj Al-Khatib menyebut ada tiga kelompok dalam menyikapi hadits dhaif, yaitu:
1.      Tidak memakai hadits dhaif secara mutlak, baik untuk fadhail al-a’mal ataupun dalam bidang hukum, yang dipelopori oleh ibn Sayid Al-Nas, Abu Bakar ibn Al-‘Arabi, Bukhari Muslim, dan Ibn Hazm.
2.      Mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, dengan alasan hadits dhaif itu masih lebih baik bila disbanding dengan pendapat manusia, yang dipelopori oleh Abu Daud dan Mubarak.
3.      Mengamalkan hadits dhaif untuk fadhail al-a’mal dan nasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu seperti yang diungkapkan Ibn Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:
a.       Status haditsnya tidak terlalu dhaif
b.      Hadits itu menerangkan keutamaan suatu amalan yang telah ditetapkan dalam hadits shahih, misalnya tentang keutamaan sholat duha.
c.       Tidak disandarkan secara pasti kepada Nabi.
Mayoritas ulama yang mengamalkan hadits dhaif baik yang menerima secara mutlak maupun yang menetukan berbagai syarat untuk fadhail al-a’mal (keutamaan suatu amaliah), targhib (kabar gembira) dan tarhib (suatu ancaman) umumnya berdasarkan pada suatu pendapat dari Ahamad Bin Hanbal; bila kami meriwayatkan tentang haram dan halal maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat untuk fadhail dan yang sejenisnya maka akan kami peringan.

Selain itu mereka juga berpendapat, bagaimana dhaifnya suatu hadits dalam masalah tertentu, maka itulah yang terkuat selama tidak ada hadits shahih lainnya yang mengingkari dalam masalah itu, juga bagaimanapun lemahnya suatu hadits (selain hadits palsu) akan dapat kemungkinannya dinisbatkan kepada Nabi, lain halnya dengan hasil ijtihad (pemikiran) seseorang yang tidak akan dapat dinisbatkan kepada nabi.
Sementara itu bagi ulama yang menolak mengamalkan hadits dhaif berpendapat, bahwa hadits dhaif yang dimaksud ibn Hanbal itu adalah hadits yang berstatus hasan. Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyin menafsirkan ucapan Ahamd Ibn Hanbal tentang pengalaman hadits dhaif itu maksudnya adalah hadits hasan seperti klasifikasi hadits menurut Imam tirmuzi.
Inti dari perbedaan pendapat itu adalah sikap kehati-hatian (ikhtiat) dalam pengamalan ibadah, apakah benar-benar bersumber dari Rasulullah ataukah tidak. Jalan pemecahnnya hendaknya kita berusaha mengamalkan hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, meskipun statusnya dhaif. Karena menurut Yusuf Qardawi menolak pengalaman hadits shahih (tentunya hadits yang benar-benar dari nabi) sama halnya dengan pengamalan hadits palsu.
Menerima hadits-hadits yang palsu, demikian Yusuf Qardawi, sama halnya dengan memasukan sesuatu yang bukan agama kedalam urusan agama, sebaliknya menolak hadits-hadits yang shahih sama halnya dengan mengeluarkan sesuatu urusan agama dari persoalan agama.
Meski perinterpretasian hadits shahih menurut Yusuf Qardawi itu kedalam tataran hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, bukan berarti memasukan hadits-hadits dhaif yang sangat diragukan berasal dari Nabi, lebih-lebih lagi hadits yang diyakini bukan berasal dari Nabi.[4]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ø  Secara Bahasa, kata dhaif +-  adalah lawan dari al-qowiy, yang berarti “lemah”, maka sebutan hadits dhaif dari segi Bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara istilah diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dan mendefinisikan hadits ini. Akan tetapi pada dasarnya, maksudnya adalah sama. Beberapa definisi di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikan hadits dhaif adalah Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat hadits hasan.
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dhaif ialah: Hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.
Menurut Nur Ad-Din ‘Atr, definisi hadits dhaif yang paling baik ialah Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).
Ø  Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian:
Pertama: “terwujudnya cacat-cacat pada rawynya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya”.
Kedua: “ketidak bersambung-sambungnya sanad” dikarenakan adanya seorang rawy atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Dari jurusan matan.
Hadits dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah:
c.       Hadits mauquf,
d.      Hadits maqthu’.
Ø  Mayoritas ulama yang mengamalkan hadits dhaif baik yang menerima secara mutlak maupun yang menetukan berbagai syarat untuk fadhail al-a’mal (keutamaan suatu amaliah), targhib (kabar gembira) dan tarhib (suatu ancaman) umumnya berdasarkan pada suatu pendapat dari Ahamad Bin Hanbal; bila kami meriwayatkan tentang haram dan halal maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat untuk fadhail dan yang sejenisnya maka akan kami peringan.








[1]Sohari sahrani, “ Ilmu Hadits” Ghalia Indonesia, (Bogor, juni 2010), hlm 118-119
[2]Agus Solahudin & Agus Suryadi, “Ulumul Hadits”, CV Pustaka Setia, (Bandung, Mei 2009), hlm 148
[3]Rahman dan Fatchur, “Ikhtisar Mushthalahul Hadits” PT Alma’arif Bandung, ( Bandung 1985) Hlm 141-142
[4]M.Alfatih Suryadilaga, “Ulumul Hadits” Kalimedia, (Yogyakarta 2015) Hlm 280-282