Saturday 15 September 2018

Dimaksud Pengertian Jarimah Riddah




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Fiqh jinayah ialah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kriminalitas. Dalam istilah yang lebih populer, fiqh jinayah disebut hukum pidana Islam. Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qishash, hudud, dan ta’zir.
Qishash ialah penjatuhan sanksi yang sama persis terhadap pelaku jarimah sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap korban. Hudud ialah sanksi atas sejumlah jarimah yang ketentuannya telah dijelaskan secara terperinci di dalam Alquran dan hadis. Sementara itu, ta’zir ialah sanksi yang tidak secara tegas dijelaskan baik di dalam Alquran maupun hadis dan merupakan sanksi yang didasarkan atas kebijakan pemerintah.
Makalah membahas ketiga macam kategori hukum pidana Islam di atas secara detail dan komprehensif. Di samping itu, juga terdapat komparasi antara sesama mazhab fiqh.
B.            Rumusan Masalah
1.    Apa Yang Dimaksud Pengertian Jarimah Riddah?
2.    Apa Saja Unsur-unsur Jarimah Riddah?
3.    Aapa Saja Dasar Hukum dan Saksi Hukumannya?
C.            Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Pengertian Jarimah Riddah.
2.    UntukMengetahui Unsur-unsur Jarimah Riddah.
3.    Untuk Mengetahui Dasar Hukum dan Saksi Hukumannya.








BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Jarimah Riddah
1.             Pengertian Jarimah
Dalam Fiqih Jinayah jarimah disebut juga dengan tindak pidana. Pengertian jinayah secara bahasa adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh sara’, baik berupa perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Ada beberapa macam pengertian jarimah (tindak pidana). Menurut bahasa Jarimah adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena pertentangan dengan keadilan, kebenaran dan jalan yang lurus (agama). Pengertian secara umum jarimah adalah pelanggaran terhadap perintah dan larangan agama, baik pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.[1]
Riddah dalam arti bahasa adalah ِهِﺮْﻴَﻏَﻰﻟِاِءْﻰَّﺸﻟا ِﻦَﻋَعْﻮُﺟُّﺮﻟا , yang artinya kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain.
Pengertian menurut Wahbah Zuhaili adalah, Riddah menurut syara’ kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.
Riddah secara harfiah yaitu, kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untul memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan. Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih agam yang bebeda dengan agama orang tuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila.
B.            Unsur- unsur Jarimah Riddah
Unsur- unsur jarimah riddah ada dua macam yaitu:
1.           Kembali (keluar)m dari Islam.
Unsur yang pertama dari jarimah riddah adalah keluar dari Islam. Pengertian ke luar dari Islam itu adalah meninggalkan agama Islam setelah tadinya mempercayai dan menyakininya.
Keluar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara yaitu:
a.       Dengan perbuatan atau menolak perbuatan
Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah keengganan seseorang untuk melakukan perbuatan untuk yang dilakukan oleh agama (Islam), dengan diiringi keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak wajib.[2]
Contoh: seperti enggan melaksanakan sholat, zakat, puasa atau haji, karena merasa semuanya tidak wajib.
b.      Dengan ucapan (perkataan).[3]
Ke luar dari Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan dari mulut seseorang yang berisi kekafiran.
Contoh: seperti pernyataannya bahwa Allah punya anak, mengaku menjadi nabi, mempercayai pengakuan seseorang sebagai nabi, mengingkari nabi, malaikat. Di samping itu keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan Iktikad atau keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah Islam
Contoh: seperti seseorang yang meyakini langgengnya alam, atau keyakinan bahwa Allah itu makhluk, atau keyakinan bahwa manusia menyatu dengan Allah, atau keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah, atau bahwa nabi Muhammad itu bohong, Ali sebagai nabi, atau bahkan menganggapnya sebagai tuhan, dan lain-lain yang bertentangan dengan Al-Qur’a dan Sunnah Rasul.
c.       Dengan iktikad atau keyakinan.
Di samping itu keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan Iktikad atau keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah Islam
Contoh: seperti seseorang yang meyakini langgengnya alam, atau keyakinan bahwa Allah itu makhluk, atau keyakinan bahwa manusia menyatu dengan Allah, atau keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah, atau bahwa nabi Muhammad itu bohong, Ali sebagai nabi, atau bahkan menganggapnya sebagai tuhan, dan lain-lain yang bertentangan dengan Al-Qur’a dan Sunnah Rasul.[4]
2.            Adanya nmiat yang melawan hukum (kesengajaan).
Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapannya itu berisi kekafiran.
Imam Syafi’i mensyaratkan untuk terjadinya jarimah riddah, pelaku perbuatan tersebut harus berniat melakukan kekufuran, dan tidak cukup dengan perbuatan atau ucapan yang mengandung kekufuran semata. Alasannya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Alqamah ia berkata:
م ص َﻲِّﺒَﻨﻟا ُﺖْﻌِﻤَﺳَﻗَلاُﺐُﻄْﺨَﻳُﻪْﻨَﻋُﷲ َﻰِﺿَرِبﺎَّﻄَﺨْﻟاَﻦْﺑَﺮَﻤُﻋُﺖْﻌِﻤَﺳ

...ىَﻮَﻧﺎَﻣٍئِﺮْﻣا ِّﻞُﻜِﻟﺎَﻤَّﻧِاَوِﺔَّﻴِّﻨﻟﺎِﺑُلﺎَﻤْﻋَﻷاْﺎَﻤَّﻧِاُسﺎَّﻨﻟا ﺎَﻬُّﻳَﺂﻳ: ُلْﻮَﻘَﻳ
Saya mendengar Umar bin Al-Khattab ra. berpidato, ia berkata: saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya perbuatan itu harus disertai dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang diniatkannya…
C.            Dasar Hukum dan Saksi Hukumannya
Sedangkan menurut istilah tindak pidana adalah semua peristiwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. Sedangkan menurut penulis tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana disertai dengan ancaman (sanksi) bagi yang melanggar larangan tersebut. Dalam Fiqih Jinayah suatu perbuatan baru bisa dikatakan suatu tindak pidana, apabila sudah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Unsur formal yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b.       Unsur material yaitu adanya tingkah        laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.        Unsur moral adalah orang yang cakap (muallaf), yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang.
Dasar Hukum Tindak Pidana
Sedangkan dasar hukum dari tindak pidana adalah bersumber dari ayat-ayat atau nash al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an Surah Al- Hujuraat ayat
ﻰَﻠﻋﺎَﻤُﻬﻧَﺪْﺣِاْﺖَﻐَﺑۢنِۖﺎَﻓ ﺎَﻤُﻬَﻨْﻴَﺑاْﻮُﺤِﻠْﺻ َﺄﻓاْﻮُﻠَﺘَﺘْﻗاَﻦْﻴِﻨﻣْﺆُﻤْﻟاَﻦِﻣِنﺎَﺘَﻔِﺋﺂَﻃنِاَو ﺎَﻤُﻬَﻨْﻴَﺑاُﺤِﻠْﺻ ْﺄَﻓْتَءﺂَﻓْنِﺎَﻓۚ ﷲ ِﺮْﻣَاﻰَﻟِاَءﻰﻔَﺗﻰَّﺘَﺣﻰِﻐْﺒَﺗﻰَﺘَّﻟااﻮُﻠِﺘَﻘَﻓى َُْاْ
.َﻦْﻴِﻄِﺴْﻘُﻤْﻟاُّﺐِﺤُﻳَﷲ َّنِاۖ اﻮُﻄِﺴْﻗَأوِلْﺪَﻌْﻠِﺑ
Artinya: Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah anatara keduannya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golonga itu kembali, (kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduannya dengan dalil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Pengertian dari kaedah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat, dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Kaedah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua perbuatan dan sikap tidak berbuat diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama belum ada nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut.
Sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya. Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja melainkan juga harus dinyatakan maupun sesudahnya.


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Dalam Fiqih Jinayah jarimah disebut juga dengan tindak pidana. Pengertian jinayah secara bahasa adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh sara’, baik berupa perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Ada beberapa macam pengertian jarimah (tindak pidana). Sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.
B.            Kritik dan Saran
Berdasarkan penulisan makalah ini, penulis memiliki gagasan saran dan kritik :
1.             Kepada para dosen untuk senantiasa membimbing para peserta didiknya dalam proses belajar mengajar terutama dalam penulisan makalah ini.
2.             Kepada teman-teman mahasiswa dan mahasiswi untuk selalu memberi dukungan dan saran serta kritikan yang membangun atas pembuatan makalah ini supaya senantiasa dapat membantu penulis dikemudian hari.


DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Topo, Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Fiqih Jinayah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah)


[1] Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Fiqih Jinayah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah)
[2] Topo, Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 33
[3] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafik, 2005), hlm.119
[4] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 121