BAB II
FAKTOR – FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERILAKU KEKERASAN DARI PESERTA DIDIK KEPADA TENAGA PENDIDIK
A.
Faktor – faktor munculnya kekerasan
terhadap tenaga pendidik
Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas pendidiknya. Tanpa
figur pendidik, tidak mustahil bangsa besar seperti Indonesia kesulitan
menikmati hasil jerih payah putra-putri nusantara. Interaksi yang terjadi
antara pendidik dan anak didik tidak dapat dipungkiri berdampak cukup
signifikan bagi proses perkembangan anak didik. Namun berkaca pada realita yang
terjadi saat ini, banyak terjadi kesalahpahaman antara pendidik dan anak didik,
yang malangnya berdampak sangat fatal. Membicarakan perubahan dalam masyarakat
dan pencapaian tujuan hukum berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam
masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaian
tujuannya.[14]
Setiap individu memiliki ciri
dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity)
dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karak-teristik
bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang
menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu
keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan (heredity)
dan lingkungan; merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor terpisah,
masingmasing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan
lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa
apa yang dipikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang disarankan oleh
seorang anak, remaja atau dewasa, merupakan hasil dari perpaduan antara apa
yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh
lingkungan.[15]
Anak memperhalus ekpresi-ekpresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia
beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang
bersifat umum ke emsinya sendiri yang bersifat indifidual ini dan memperhalus
perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan
serta pengendalian terhadap perilaku emosional. Mendekati berakhirnya usia
remaja, seseorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai
mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surat
kehidupannya, ia juga telah belajar dalam senni menyembunyikan
perasaan-perasaannya. Hal ini berartikan jika ingin memahami remaja, kita tidak
hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu
berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin
merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti contohnya seseorang
merasa ketakutan tetapi menunjukkan kemarahan, dan seseoarng sebenarnya hatinya
terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang. Remaja diberitahu
secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukkan
perasaan-perasaannya. Sebagai seseorang anak ia tidak boleh menangis, sehingga
waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang menangis walaupun kondisinya
sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin menangis andaikata ada kberanian unyuk
menunjukkan perasaan-perasaannya.[16]
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi penbdidikan
(transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah
pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan
tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena itulah di
setiap sekolah lanjutan di tunjukan wali-wali kelas yaitu guru-guru yang akan
membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya
dan guru-guru membimbing dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang
mempunyai masalah pribadi, dan masalah penyesuaian dari baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap tuntutan sekolah.[17]
Karena besarnya tanggung jawab seorang guru terhadap anak didiknya,
hujan dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir di
tengah-tengah anak didiknya. Guru tidak pernah memusuhi anak didiknya meskipun
suatu ketika anak didiknya yang berbuat kurang sopan pada orang lain. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru
memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain.
Karena profesinya sebagai guru adalah berdasarkan panggilan jiwa, maka bila
guru melihat anak didiknya senang berkelahi, meminum-minuman keras, menghisap
ganja, datang ke rumah –ru bordil, dan sebagainya, guru merasa sakit hati.
Siang atau malam selalu memikirkan bagaimana caranya anak didiknya itu dapat
dicegah dari perbuatan yang kurang baik, asusila, dan amoral.[18]
Faktor lingkungan atau teman sebaya yang kurang baik juga ikut memicu
timbulnya perilaku yang tidak baik pada diri remaja. Sekolah yang kurang
menerapkan aturan yang ketat juga membuat remaja menjadi semakin rentan terkena
efek pergaulan yang tidak baik.
“Guru yang kurang sensitif terhadap hal ini juga bisa membuat remaja
menjadi semakin sulit diperbaiki perilakunya. Demikian juga dengan guru yang
terlalu keras dalam menghadapi remaja yang bermasalah. Bisa jadi, bukannya ikut
meredam kenakalan mereka, malah membuat kenakalan mereka semakin menjadi,”[19]
Faktor yang menjadi penyebab seorang siswa berani
dan tega bertindak brutal menganiaya gurunya sendiri, sudah barang tentu
bermacam-macam. Di luar kasus yang terjadi di Sampang ini, kasus siswa yang
berani melawan dan melakukantindak kekerasan kepada gurunya sendiri tidak
sekali-dua kali terjadi. Secara garis besar,
1.
Faktor pertama yang menyebabkan siswa melakukan aksi
kekerasan kepada gurunya sendiri itu bersifat psikologis. Yang bersangkutan
cenderung berkepribadian impulsif dan acap kali kesulitan mengendalikan emosi.
Kondisi psikis ini melengkapi faktor sosialisasi dan subkultur kekerasan yang
berkembang di habitat sosialnya. Harga diri yang terlalu tinggi dan ditambah
kepribadian yang kurang matang, sering menyebabkan seseorang tiba-tiba terpicu
untuk melakukan aksi brutal dengan menganiaya figur guru yang seharusnya
dihormatinya, meski karena hal sepele. Berbeda dengan siswa lain yang
kebanyakan segan berbuat nakal dan tidak berani melawan gurunya, siswa yang
memiliki kepribadian keras dan terbiasa tumbuh dalam lingkungan sosial yang
familiar dengan kekerasan lebih berpeluang untuk melakukan tindak kekerasan dan
menganiaya orang lain.
2.
Faktor kedua, berkaitan dengan arah perkembangan iklim
pembelajaran yang belakangan ini cenderung makin kompetitif, impersonal, dan
kurang membuka kesadaran siswa tentang arti penting kohesi sosial, solidaritas,
dan toleransi. Pendidikan karakter--pelajaran tentang budi pekerti--sering kali
tidak dikembangkan dengan serius. Hal ini terjadi karena banyak sekolah yang
lebih mementingkan siswa sukses menempuh ujian nasional, kemudian dapat
diterima di PTN terkenal sebagai representasi reputasi sekolah.
Kasus bullying
di beberapa sekolah yang dilakukan sejumlah siswa sempat menjadi viral di media
sosial. Antara siswa satu dan siswa lain, yang seharusnya mengembangkan
kegiatan bersama dan membangun keakraban, ternyata justru tega memplonco dan
mengaiaya gara-gara hal sepele. Tidak sedikit pula siswa yang tega memalak
temannya sendiri hanya karena ingin mendemonstrasikan bahwa ia lebih jagoan dan
lebih berkuasa daripada teman-temannya yang lain.
3.
Faktor ketiga adalah kurang dikembangkannya proses
pembelajaran yang mampu menarik minat dan antusiasme siswa untuk terlibat aktif
selama pelajaran berlangsung di kelas. Proses pembelajaran yang idealnya
bersifat joyfull learning, sering
malah berjalan menjemukan, dan bahkan menyubordinasi siswa. Akibatnya siswa
kehilangan gairah terlibat dalam proses pembelajaran di kelas.
Kehadiran guru-guru yang
tidak mampu berkreasi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menyenangkan
bagi siswa, pada akhirnya menyebabkan aktivitas belajar di kelas menjadi kering
dan tidak menarik bagi siswa. Di titik ini, jangan heran jika ada sebagian
siswa yang membunuh kejenuhannya di kelasdengan berulah yang macam-macam--yang
terkadang keluar dari batas-batas etika.[20]
B.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Guru
Masyarakat juga tahu dahulu jika siswa mengadu ke orang tuanya karena
dihukum guru maka orang tua akan menambah hukumannya. Berbeda dengan saat ini,
di mana orang tua justru membela anaknya bahkan memenjarakan guru anaknya. Para
guru pun menuntut adanya undang-undang perlindungan guru yang mampu melindungi
guru dalam melaksanakan tugasnya. Sebenarnya Undang-Undang guru dan Peraturan Pamerintah
74 sudah cukup memberikan perlindungan terhadap guru namun implementasinya baru
dimaknai seputar kesejahteraan guru yang berupa TPG, akibatnya perlindungan
terhadap guru selain kesejahteraan materi menjadi terabaikan bahkan pada
birokrasi pendidikan sendiri, para guru sering mendapat perlakuan tidak adil .
Perlindungan terhadap guru tersebut meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan, serta hak
akan kekayaan intelektual.
1.
Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat
tindakan dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi
atau pihak lain, berupa: tindak kekerasan, ancaman, baik fisik maupun
psikologis, perlakuan diskriminatif intimida si, dan perlakuan tidak adil.[21]
2.
Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hukubungan
kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian
imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan
terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru
dalam bekerja.
3.
Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan
terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu
kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau resiko lain. termasuk
rasa aman bagi guru dalam bertugas.[22]
4.
Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual
Perlindungan HAKI dapat mencakup hak cipta atas penulisan buku,
makalah,karangan ilmiah,hasil penelitian,hasil penciptaan dan hasil karya seni
maupun penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta sejenisnya,
dan hak paten atas hasil karya teknologi
Lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan
bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan harus dapat mmemperkuat payung hukum yang
ada,dan harus gencar disosialisasikan kepada masyarakat luas. Di lain pihak
guru pun harus merubah paradigma mendidik disesuaikan dengan perkembangan zaman
pada era digital dan menyesuaikan situasi dan kondisi agar tidak berbenturan
dengan UUKPA. Perlu implementasi yang konsisten dari kebijakan mendikbud
tersebut serta kemendikbud harus bisa mengayomi para guru agar guru merasa aman
dan nyaman dalam mendidik siswanya tidak dihantui rasa takut dipidana karena memberikan
sanksi kepada siswanya. Pada akhirnya para gurupun dapat mendidik siswanya
sesuai amanat undang-undang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ada empat bentuk
perlindungan bagi guru menurut Undang-Undang
NOMOR 14
TAHUN 2005 PASAL 39 ayat 2, yaitu: (1) meliputi perlindurrgan hukum, (2)
perlindungan profesi, (3) perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan (4)
pengakuan atas kekayaan intelektual. Berkenaan dengan perlindungan profesi,
terdiri dari: pertama, Perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; kedua, pemberian imbalan yang
tidak wajar; ketiga, pembatasan dalam menyampaikan pandangan; keempat,
pelecehan terhadap profesi; dan kelima, pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat
guru dalam melaksanakan tugas.
Berkenaan dengan perlindungan yang pertama, di antaranya adalah:
Penugasan guru pada satuan pendidikan harus sesuai dengan bidang keahlian,
minat, dan bakatnya, Penempatan dan penugasan guru didasari atas perjanjian
kerja atau kesepakatan kerja bersama, dan Pemberian sanksi pemutusan hubungan
kerja bagi guru harus mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Berkenaan dengan yang kedua, di antaranya adalah: Penyelenggara atau kepala
satuan pendidikan formal wajib melindungi guru dari praktik pembayaran imbalan
yang tidak wajar. Berkenaan dengan yang ketiga, di antaranya adalah: Setiap
guru memiliki kebebasan akademik untuk menyampaikan pandangan, Setiap guru
memiliki kebebasan untuk: mengungkapkan ekspresi, mengembangkan kreatifitas,
dan melakukan inovasi baru yang memiliki nilai
tambah tinggi dalam proses pendidikan dan pembelajaran, Kebebasan dalam
memberikan penilaian kepada peserta didik: substansi, prosedur, instrumen
penilaian, dan keputusan akhir dalam penilaian, dan ikut menentukan kelulusan
peserta didik: penetapan taraf penguasaan kompetensi, standar kelulusan mata
pelajaran atau mata pelatihan, dan
menentukan kelulusan ujian keterampilan atau kecakapan khusus.
Berkenaan dengan yang keempat, diantaranya adalah: Setiap guru harus
terbebas dari tindakan pelecehan atas profesinya dari peserta didik, orang tua
peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain; Kebebasan untuk
berserikat dalam organisasi/asosiasi profesi: mengeluarkan pendapat
secaralisan/tulisan atas dasar keyakinan akademik, memilih dan dipilih sebagai
pengurus organisasi/asosiasi profesi guru, bersikap kritis dan obyektif
terhadap organisasi profesi. Dan berkenaan dengan yang kelima, diantaranya
adalah: Setiap guru yang bertugas di daerah konflik harus terbebas dari
berbagai ancaman, tekanan, dan rasa tidak aman; Kesempatan untuk berperan dalam
penentuan kebijakan pendidikan formal:
akses terhadap sumber informasi kebijakan, partisipasi dalam pengambilan
kebijakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan formal, dan memberikan
masukan dalam penentuan kebijakan pada tingkat yang lebih tinggi atas dasar
pengalaman yang terpetik dari lapangan.[23]
Perlindungan terhadap profesi guru sebenarnya sudah ada payung hukumnya
sejak tahun 2005,pertama lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) dan Pasal 39. Perlindungan terhadap guru
tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan
keselamatan kerja dan kesehatan serta hak atas kekayaan intelektual .Kedua
lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, Tentang Guru, pada pasal 40
ditegaskan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas
dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah
daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat. Dalam
usaha mencerdaskan anak bangsa guru harus memiliki kebebasan akademik untuk
melakukan pendekatan, metode,dan strategi mengajarnya bahkan metode untuk
mendisiplinkan peserta didiknya, berupa penghargaan maupun punishmen.
Tapi mengapa akhir akhir ini banyak terjadi pelecehan dan pengkerdilan
terhadap profesi guru? Banyak guru dijebak dalam perkara hukum,diadukan ke
aparat kepolisian dengan dalih melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan
HAM. Karena mendisiplinkan peserta didiknya menyebabkan para guru tersebut
mendekam dalam penjara. Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) dan HAM, yang
dimaknai secara berlebihan pasca arus reformasi digunakan sebagai senjata. Contohnya
pada kasus yang terjadi pada ibu guru di Kabupaten Bantaeng ,mei 2016. Tidak
lama kemudian terjadi pada bapak guru Dasrul dari Sulsel dan guru dari Sukabumi
yang dikeroyok oleh orang tua siswanya. Melalui medsos ramai reaksi keras
terhadap kasus ini,diantaranya dengan membandingkan pendidikan masa kini dan
masa lalu.Apakah metode mendidik masa lalu berbeda dengan masa kini, apakah
kepercayaan orang tua terhadap guru sudah makin terkikis.[24]
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008. Dalam Peraturan Pamerintah tersebut, Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih menilai, dan mengaevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.[25]
Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 disebutkan : Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi
kepada peserta didiknya yang melanggar norma agaman, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru,
peraturan satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses
pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Dalam ayat (2) disebutkan :
Sanksi tersebut dapat berupa teguran
dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat
mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 40 Peraturan Pamerintah Nomor
74 Tahun 2008 disebutkan : Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan
tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah,
pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau
masyarakat sesuai kewenangan masing-masing. Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh
guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
Lebih lanjut dalam Pasal 41 Peraturan Pamerintah Nomor 74 tahun 2008 disebutkan
: Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekerasan, ancaman,
perlakuan diskriminatif, itimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak
peserta didik, lorang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak
lain.[26]
Dengan demikian pemberian sanksi yang besifat mendidik, tidak dapat
dijadikan alasan untuk memenjarakan seorang guru apalagi melakukan main hakim sendiri
dengan melakukan kekerasan terhadap guru. Persoalannya adalah hingga
saat ini masih ada kriminalisasi terhadap guru yaitu dengan melaporkan guru
yang telah melakukan pendisiplinan terhadap siswanya . Akibatnya, ketika
dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi guru seringkali menjadi lemah.
Dalam kasusl-kasus tertentu, guru selain diadukan sebagai pelaku kekerasan
terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai korban
kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan menghambat pencapaian tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Langkah maju telah dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusannya yang memutuskan bahwa guru tidak dapat dipidana ketika menjalankan
profesinya dan melakukan usaha pendisiplinan kepada siswa, hal ini bisa kita
lihat dalam mengadili perkara guru ang berasal dari Majalengka, Jawa Barat yang
bernama Aop Saupudin. Dasar pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah Agung RI
dalam putusannya adalah adanya alasan pengecualian pidana atau dasar
penghapusan pidana. Alasan pengecualian pidana ditetapkan oleh hakim bahwa
sifat melawan hukum perbuatannya hapus atau kesalahan pelaku hapus karena
adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatannya atau
memaafkan perbuatannya.[27]
Mengacu pada kasus di atas, terlihat bahwa posisi seorang guru sebagai
tenaga pendidik seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan
profesi dan perlakuan masyarakat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk untuk
mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun di sisi
lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan kedisiplinan, mereka dihadang
oleh Undang-undang Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI). Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal
mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, sebagai pendidik
guru acapkali dituding menjadi biangnya atas kegagalan tersebut. Persoalan yang
paling krusial dihadapi guru adalah tatkala mereka harus memberikan hukuman kepada
peserta didik yang melanggar atat tertib dan aturan sekolah dalam rangka
menegakkan kedisiplinan, acapkali orang tua dan masyarakat menilainya sebagai
tindakan melanggar hak asasi manusia atau melanggar Undang-undang Perlindungan
Anak. Mereka dengan mudahnya melaporkan tindakan guru tersebut kepada penegak
hukum. Akibatnya, dalam menjalankan profesinya guru seringkali berada pada
posisi dilematis dan bahkan rentan untuk dikriminalisasi.
Maka dapat disimpulkan, bahwa guru (baik guru sekolah atau mengaji)
mempunyai hak didik, sehingga mencubit, memukul, menjewer (dalam batas
kewajaran), tidak dimaksudkan untuk menyakiti, akan tetapi agar anak menjadi
disiplin, meskipun anak itu merasa sakit, masih dapat diterima dan ditoleransi
sebagai bagian dari pendidikan. Batas kewajaran ini harus dinilai obyektif,
dapat diterima oleh masyarakat umum. Jika perbuatan guru tersebut dapat
diterima oleh masyarakat umum sebagai bagian dari pendidikan, maka “Sifat
Melawan Hukum” dapat dikecualikan, meskipun perbuatan guru tersebut secara
formil bertentangan dengan undang-undang atau memenuhi unsur tindak pidana.
Demikian juga guru harus berhati-hati dalam melakukan penghukuman disiplin
terhadap anak, apalagi dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002.
Untuk itu pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan yang
mengecualikan pemberlakuan terhadap Undang-undang Perlindungan Anak bagi profesi
guru yang melakukan tindakan pendisiplinan atau memberikan sanksi disiplin
terhadap anak didik/siswa/murid dilingkup sekolah formal dan non formal, dengan
harapan ada aturan dan dasar yang jelas bagi penegak hukum apabila menghadapi
kasus seperti di atas.[28]
[19] https://parokihkytegal.wordpress.com/2011/11/28/penyebab-kenakalan-remaja-dan-cara-mengatasinya, diakses tanggal 5
agustus 2018 jam 21.00 WIB
[21] https://malesturu.wordpress.com.2016/11/26/perlindungan-hukum-terhadap-profesi-guru-dikaitkan-dengan-uu-perlindungan-anak/, diakses tanggal 5 september
2018
[24]http://enizaetuniah.gurusiana.id/article/artikel-tentang-perlindungan-profesi-guru-4884682, diakses 5 september
2018 jam 22.00 WIB
[27] https://www.qureta.com/post/perlindungan-profesi-guru-uu-guru-dan-dosen-vs-uu-perlindungan-anak, diakses 5 september 2018, jam
23.00 WIB