Monday, 10 September 2018

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KEKERASAN DARI PESERTA DIDIK KEPADA TENAGA PENDIDIK


BAB II
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KEKERASAN DARI PESERTA DIDIK KEPADA TENAGA PENDIDIK

A.    Faktor – faktor munculnya kekerasan terhadap tenaga pendidik
Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas pendidiknya. Tanpa figur pendidik, tidak mustahil bangsa besar seperti Indonesia kesulitan menikmati hasil jerih payah putra-putri nusantara. Interaksi yang terjadi antara pendidik dan anak didik tidak dapat dipungkiri berdampak cukup signifikan bagi proses perkembangan anak didik. Namun berkaca pada realita yang terjadi saat ini, banyak terjadi kesalahpahaman antara pendidik dan anak didik, yang malangnya berdampak sangat fatal. Membicarakan perubahan dalam masyarakat dan pencapaian tujuan hukum berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaian tujuannya.[14]
 Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karak-teristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan; merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor terpisah, masingmasing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Namun kemudian makin disadari bahwa apa yang dipikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang disarankan oleh seorang anak, remaja atau dewasa, merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan.[15]
Anak memperhalus ekpresi-ekpresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emsinya sendiri yang bersifat indifidual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional. Mendekati berakhirnya usia remaja, seseorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surat kehidupannya, ia juga telah belajar dalam senni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berartikan jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti contohnya seseorang merasa ketakutan tetapi menunjukkan kemarahan, dan seseoarng sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang. Remaja diberitahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukkan perasaan-perasaannya. Sebagai seseorang anak ia tidak boleh menangis, sehingga waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang menangis walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin menangis andaikata ada kberanian unyuk menunjukkan perasaan-perasaannya.[16]
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi penbdidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena itulah di setiap sekolah lanjutan di tunjukan wali-wali kelas yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru membimbing dan penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai masalah pribadi, dan masalah penyesuaian dari baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tuntutan sekolah.[17]
Karena besarnya tanggung jawab seorang guru terhadap anak didiknya, hujan dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru tidak pernah memusuhi anak didiknya meskipun suatu ketika anak didiknya yang berbuat kurang sopan pada orang lain.  Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Karena profesinya sebagai guru adalah berdasarkan panggilan jiwa, maka bila guru melihat anak didiknya senang berkelahi, meminum-minuman keras, menghisap ganja, datang ke rumah –ru bordil, dan sebagainya, guru merasa sakit hati. Siang atau malam selalu memikirkan bagaimana caranya anak didiknya itu dapat dicegah dari perbuatan yang kurang baik, asusila, dan amoral.[18]
Faktor lingkungan atau teman sebaya yang kurang baik juga ikut memicu timbulnya perilaku yang tidak baik pada diri remaja. Sekolah yang kurang menerapkan aturan yang ketat juga membuat remaja menjadi semakin rentan terkena efek pergaulan yang tidak baik.
“Guru yang kurang sensitif terhadap hal ini juga bisa membuat remaja menjadi semakin sulit diperbaiki perilakunya. Demikian juga dengan guru yang terlalu keras dalam menghadapi remaja yang bermasalah. Bisa jadi, bukannya ikut meredam kenakalan mereka, malah membuat kenakalan mereka semakin menjadi,”[19]
Faktor yang menjadi penyebab seorang siswa berani dan tega bertindak brutal menganiaya gurunya sendiri, sudah barang tentu bermacam-macam. Di luar kasus yang terjadi di Sampang ini, kasus siswa yang berani melawan dan melakukantindak kekerasan kepada gurunya sendiri tidak sekali-dua kali terjadi. Secara garis besar,
1.                Faktor pertama yang menyebabkan siswa melakukan aksi kekerasan kepada gurunya sendiri itu bersifat psikologis. Yang bersangkutan cenderung berkepribadian impulsif dan acap kali kesulitan mengendalikan emosi. Kondisi psikis ini melengkapi faktor sosialisasi dan subkultur kekerasan yang berkembang di habitat sosialnya. Harga diri yang terlalu tinggi dan ditambah kepribadian yang kurang matang, sering menyebabkan seseorang tiba-tiba terpicu untuk melakukan aksi brutal dengan menganiaya figur guru yang seharusnya dihormatinya, meski karena hal sepele. Berbeda dengan siswa lain yang kebanyakan segan berbuat nakal dan tidak berani melawan gurunya, siswa yang memiliki kepribadian keras dan terbiasa tumbuh dalam lingkungan sosial yang familiar dengan kekerasan lebih berpeluang untuk melakukan tindak kekerasan dan menganiaya orang lain.
2.                Faktor kedua, berkaitan dengan arah perkembangan iklim pembelajaran yang belakangan ini cenderung makin kompetitif, impersonal, dan kurang membuka kesadaran siswa tentang arti penting kohesi sosial, solidaritas, dan toleransi. Pendidikan karakter--pelajaran tentang budi pekerti--sering kali tidak dikembangkan dengan serius. Hal ini terjadi karena banyak sekolah yang lebih mementingkan siswa sukses menempuh ujian nasional, kemudian dapat diterima di PTN terkenal sebagai representasi reputasi sekolah.
Kasus bullying di beberapa sekolah yang dilakukan sejumlah siswa sempat menjadi viral di media sosial. Antara siswa satu dan siswa lain, yang seharusnya mengembangkan kegiatan bersama dan membangun keakraban, ternyata justru tega memplonco dan mengaiaya gara-gara hal sepele. Tidak sedikit pula siswa yang tega memalak temannya sendiri hanya karena ingin mendemonstrasikan bahwa ia lebih jagoan dan lebih berkuasa daripada teman-temannya yang lain.
3.                Faktor ketiga adalah kurang dikembangkannya proses pembelajaran yang mampu menarik minat dan antusiasme siswa untuk terlibat aktif selama pelajaran berlangsung di kelas. Proses pembelajaran yang idealnya bersifat joyfull learning, sering malah berjalan menjemukan, dan bahkan menyubordinasi siswa. Akibatnya siswa kehilangan gairah terlibat dalam proses pembelajaran di kelas.
Kehadiran guru-guru yang tidak mampu berkreasi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, pada akhirnya menyebabkan aktivitas belajar di kelas menjadi kering dan tidak menarik bagi siswa. Di titik ini, jangan heran jika ada sebagian siswa yang membunuh kejenuhannya di kelasdengan berulah yang macam-macam--yang terkadang keluar dari batas-batas etika.[20]










B.     Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Guru
Masyarakat juga tahu dahulu jika siswa mengadu ke orang tuanya karena dihukum guru maka orang tua akan menambah hukumannya. Berbeda dengan saat ini, di mana orang tua justru membela anaknya bahkan memenjarakan guru anaknya. Para guru pun menuntut adanya undang-undang perlindungan guru yang mampu melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya. Sebenarnya Undang-Undang guru dan Peraturan Pamerintah 74 sudah cukup memberikan perlindungan terhadap guru namun implementasinya baru dimaknai seputar kesejahteraan guru yang berupa TPG, akibatnya perlindungan terhadap guru selain kesejahteraan materi menjadi terabaikan bahkan pada birokrasi pendidikan sendiri, para guru sering mendapat perlakuan tidak adil .
Perlindungan terhadap guru tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan, serta hak akan kekayaan intelektual.
1. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa: tindak kekerasan, ancaman, baik fisik maupun psikologis, perlakuan diskriminatif intimida si, dan perlakuan tidak adil.[21]
2. Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hukubungan kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam bekerja.
3. Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau resiko lain. termasuk rasa aman bagi guru dalam bertugas.[22]
4. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual
Perlindungan HAKI dapat mencakup hak cipta atas penulisan buku, makalah,karangan ilmiah,hasil penelitian,hasil penciptaan dan hasil karya seni maupun penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta sejenisnya, dan hak paten atas hasil karya teknologi
Lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan harus dapat mmemperkuat payung hukum yang ada,dan harus gencar disosialisasikan kepada masyarakat luas. Di lain pihak guru pun harus merubah paradigma mendidik disesuaikan dengan perkembangan zaman pada era digital dan menyesuaikan situasi dan kondisi agar tidak berbenturan dengan UUKPA. Perlu implementasi yang konsisten dari kebijakan mendikbud tersebut serta kemendikbud harus bisa mengayomi para guru agar guru merasa aman dan nyaman dalam mendidik siswanya tidak dihantui rasa takut dipidana karena memberikan sanksi kepada siswanya. Pada akhirnya para gurupun dapat mendidik siswanya sesuai amanat undang-undang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Dasar 1945.
            Ada empat bentuk perlindungan bagi guru menurut  Undang-Undang  NOMOR 14  TAHUN 2005 PASAL 39 ayat 2, yaitu: (1) meliputi perlindurrgan hukum, (2) perlindungan profesi, (3) perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan (4) pengakuan atas kekayaan intelektual. Berkenaan dengan perlindungan profesi, terdiri dari: pertama, Perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; kedua, pemberian imbalan yang tidak wajar; ketiga, pembatasan dalam menyampaikan pandangan; keempat, pelecehan terhadap profesi; dan kelima, pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
Berkenaan dengan perlindungan yang pertama, di antaranya adalah: Penugasan guru pada satuan pendidikan harus sesuai dengan bidang keahlian, minat, dan bakatnya, Penempatan dan penugasan guru didasari atas perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama, dan Pemberian sanksi pemutusan hubungan kerja bagi guru harus mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Berkenaan dengan yang kedua, di antaranya adalah: Penyelenggara atau kepala satuan pendidikan formal wajib melindungi guru dari praktik pembayaran imbalan yang tidak wajar. Berkenaan dengan yang ketiga, di antaranya adalah: Setiap guru memiliki kebebasan akademik untuk menyampaikan pandangan, Setiap guru memiliki kebebasan untuk: mengungkapkan ekspresi, mengembangkan kreatifitas, dan melakukan inovasi baru yang memiliki nilai   tambah tinggi dalam proses pendidikan dan pembelajaran, Kebebasan dalam memberikan penilaian kepada peserta didik: substansi, prosedur, instrumen penilaian, dan keputusan akhir dalam penilaian, dan ikut menentukan kelulusan peserta didik: penetapan taraf penguasaan kompetensi, standar kelulusan mata pelajaran atau mata pelatihan, dan  menentukan kelulusan ujian keterampilan atau kecakapan khusus.
Berkenaan dengan yang keempat, diantaranya adalah: Setiap guru harus terbebas dari tindakan pelecehan atas profesinya dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain; Kebebasan untuk berserikat dalam organisasi/asosiasi profesi: mengeluarkan pendapat secaralisan/tulisan atas dasar keyakinan akademik, memilih dan dipilih sebagai pengurus organisasi/asosiasi profesi guru, bersikap kritis dan obyektif terhadap organisasi profesi. Dan berkenaan dengan yang kelima, diantaranya adalah: Setiap guru yang bertugas di daerah konflik harus terbebas dari berbagai ancaman, tekanan, dan rasa tidak aman; Kesempatan untuk berperan dalam penentuan  kebijakan pendidikan formal: akses terhadap sumber informasi kebijakan, partisipasi dalam pengambilan kebijakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan formal, dan memberikan masukan dalam penentuan kebijakan pada tingkat yang lebih tinggi atas dasar pengalaman yang terpetik dari lapangan.[23]
Perlindungan terhadap profesi guru sebenarnya sudah ada payung hukumnya sejak tahun 2005,pertama lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) dan Pasal 39. Perlindungan terhadap guru tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan kerja dan kesehatan serta hak atas kekayaan intelektual .Kedua lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, Tentang Guru, pada pasal 40 ditegaskan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat. Dalam usaha mencerdaskan anak bangsa guru harus memiliki kebebasan akademik untuk melakukan pendekatan, metode,dan strategi mengajarnya bahkan metode untuk mendisiplinkan peserta didiknya, berupa penghargaan maupun punishmen.
Tapi mengapa akhir akhir ini banyak terjadi pelecehan dan pengkerdilan terhadap profesi guru? Banyak guru dijebak dalam perkara hukum,diadukan ke aparat kepolisian dengan dalih melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan HAM. Karena mendisiplinkan peserta didiknya menyebabkan para guru tersebut mendekam dalam penjara. Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) dan HAM, yang dimaknai secara berlebihan pasca arus reformasi digunakan sebagai senjata. Contohnya pada kasus yang terjadi pada ibu guru di Kabupaten Bantaeng ,mei 2016. Tidak lama kemudian terjadi pada bapak guru Dasrul dari Sulsel dan guru dari Sukabumi yang dikeroyok oleh orang tua siswanya. Melalui medsos ramai reaksi keras terhadap kasus ini,diantaranya dengan membandingkan pendidikan masa kini dan masa lalu.Apakah metode mendidik masa lalu berbeda dengan masa kini, apakah kepercayaan orang tua terhadap guru sudah makin terkikis.[24]
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008. Dalam Peraturan Pamerintah tersebut, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai, dan mengaevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[25]
Pasal 39 ayat  (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 disebutkan : Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agaman, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Dalam ayat (2) disebutkan : Sanksi tersebut  dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 40 Peraturan Pamerintah Nomor 74 Tahun 2008 disebutkan : Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai kewenangan masing-masing. Rasa aman  dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja. Lebih lanjut dalam Pasal 41 Peraturan Pamerintah Nomor 74 tahun 2008 disebutkan : Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, itimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, lorang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.[26]
Dengan demikian pemberian sanksi yang besifat mendidik, tidak dapat dijadikan alasan untuk memenjarakan seorang guru apalagi melakukan main hakim sendiri dengan melakukan kekerasan terhadap guru. Persoalannya adalah hingga saat ini masih ada kriminalisasi terhadap guru yaitu dengan melaporkan guru yang telah melakukan pendisiplinan terhadap siswanya . Akibatnya, ketika dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi guru seringkali menjadi lemah. Dalam kasusl-kasus tertentu, guru selain diadukan sebagai pelaku kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung  jawab.
Langkah maju telah dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya yang memutuskan bahwa guru tidak dapat dipidana ketika menjalankan profesinya dan melakukan usaha pendisiplinan kepada siswa, hal ini bisa kita lihat dalam mengadili perkara guru ang berasal dari Majalengka, Jawa Barat yang bernama Aop Saupudin. Dasar pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah Agung RI dalam putusannya adalah adanya alasan pengecualian pidana atau dasar penghapusan pidana. Alasan pengecualian pidana ditetapkan oleh hakim bahwa sifat melawan hukum perbuatannya hapus atau kesalahan pelaku hapus karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatannya atau memaafkan perbuatannya.[27]
Mengacu pada kasus di atas, terlihat bahwa posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakuan masyarakat. Di satu sisi, mereka dituntut untuk untuk mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun di sisi lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan kedisiplinan, mereka dihadang oleh Undang-undang Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, sebagai pendidik guru acapkali dituding menjadi biangnya atas kegagalan tersebut. Persoalan yang paling krusial dihadapi guru adalah tatkala mereka harus memberikan hukuman kepada peserta didik yang melanggar atat tertib dan aturan sekolah dalam rangka menegakkan kedisiplinan, acapkali orang tua dan masyarakat menilainya sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia atau melanggar Undang-undang Perlindungan Anak. Mereka dengan mudahnya melaporkan tindakan guru tersebut kepada penegak hukum. Akibatnya, dalam menjalankan profesinya guru seringkali berada pada posisi dilematis dan bahkan rentan untuk dikriminalisasi.
Maka dapat disimpulkan, bahwa guru (baik guru sekolah atau mengaji) mempunyai hak didik, sehingga mencubit, memukul, menjewer (dalam batas kewajaran), tidak dimaksudkan untuk menyakiti, akan tetapi agar anak menjadi disiplin, meskipun anak itu merasa sakit, masih dapat diterima dan ditoleransi sebagai bagian dari pendidikan. Batas kewajaran ini harus dinilai obyektif, dapat diterima oleh masyarakat umum. Jika perbuatan guru tersebut dapat diterima oleh masyarakat umum sebagai bagian dari pendidikan, maka “Sifat Melawan Hukum” dapat dikecualikan, meskipun perbuatan guru tersebut secara formil bertentangan dengan undang-undang atau memenuhi unsur tindak pidana. Demikian juga guru harus berhati-hati dalam melakukan penghukuman disiplin terhadap anak, apalagi dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002.
Untuk itu pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan yang mengecualikan pemberlakuan terhadap Undang-undang Perlindungan Anak bagi profesi guru yang melakukan tindakan pendisiplinan atau memberikan sanksi disiplin terhadap anak didik/siswa/murid dilingkup sekolah formal dan non formal, dengan harapan ada aturan dan dasar yang jelas bagi penegak hukum apabila menghadapi kasus seperti di atas.[28]



[14] H. Zainuddin Ali, Hukum dan Masyarakat,  (Jakarta: Sinar Grafika), hlm 41
              [15] H. Sunarto, Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan peserta didik (Jakarta:  Rineka Cipta) hlm 4-5
              [16] Ibid, hlm 159
              [17] Ibid, hlm 243
              [18] https://psmk.kemdikbud.go.id/konten/2042/menjadi-guru-itu-profesi-mulia. di akses tanggal 8 juli 2018 jam 15.20 WIB
              [20]Ibid,
              [22] Ibid
              [23] Ibid
         [25] Ibid
              [26] Ibid
              [27] https://www.qureta.com/post/perlindungan-profesi-guru-uu-guru-dan-dosen-vs-uu-perlindungan-anak, diakses 5 september 2018, jam 23.00 WIB
              [28] Ibid