BAB
II
PEMBAHASAN
A. Islam dan Bisnis Syariah
Masalah
bisnis dalam Islam tidak terlepas dari niat syar’i. Para fuqahapun merumuskan
kaidah : al ashlku fii al-affal at-taqayyad bi ahkam asy-syariy (pada
pokoknya segala aktivitas itu terkait dengan ketentuan-ketentuan syariah). Ini
bisa berarti syariah merupakan nilai utama dan pertama yang menjadi paling
strategis dan staktis setiap aktivitas bisnis.
Islam
sama sekali tidak mencela orang-orang yang melakukan aktivitas bisnis. Mencari
rezeki dengan cara berbisnis oleh Al-Qur’an dinamakan mencari karunia ilahi atau
fadhullah, sebagaimana:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا
فَضْلاًمِّنْ رَّبِّكُمْ
Artinya: Tidak ada dosa
bagimu untuk mecari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu (QS.
Al-Baqarah (2):198)
Segala
ketentuan perekonomian dan transaksi bisnis menurut ajaran islam yang bersumber
dari Al-Qur’an adalah memerhatikan hak individu yang harus terlindungi
sekaligus menegakkan rasa solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Oleh karena
itu, syariah mengharamkan perampokan, pencurian, penipuan, dan perampasan,
penyuapan, pemalsuan, penghianatan, dan memakan riba, karena keuntungan yang
didapat pada hakikatnya diperoleh dengan mendatangkan kemudarotan kepada orang
lain.
Dengan
demikian, berbisnis itu tidak masalah. Hanya saja, aktivitas ini harus
dilakukan dengan penuh ihtiyah kehati-hatian supaya tidak terjerumus kedalam
kategori magrib, yaitu maisir, gharar dan riba. Paradigma yang
dikembangkan konsep kerja dan bisnis islam mengarah kepada pengertian kebaikan
(thoyib) yang meliputi materi itu sendiri.[1]
B. Ajaran Al-Qur’an tentang hukum bisnis syari’ah
1.
Menyeru
yang makruh, mencegah yang mungkar
Al-Qur’an
menggunakan istilah ma’ruf untuk
kebijakan dan mungkar untuk kebatilan. Ma’ruf adalah sesuatu yang
diketahui oleh manusia bahwa hal itu disenangi oleh Allah, baik itu perkara
wajib atau sunnah, yang mengandung kemaslahatan individu atau berjemaah,
didalamnya mengandung kebaikan manfaat bagi individu dan masyarakat. Adapun
mungkar adalah suatu yang diingkari oleh Allah, dilarang oleh Allah dan
Rasulnya. Karena mengandung bahaya bagi individu ataupun masyarakat.
2.
Menegakkkan
keadilan dalam transaksi bisnis
Berkenaan
dengan masalah keadilan ini, ada dua kata yang digunakan Al-Qur’an, yaitu al-adl
dan al-qisth. Dimana al-qisth juga bermakna al-adl wat a
taswiyyah atau justice. Nash-nash Al-Qur’an menyebutkan keadilan,
bukan hanya sekedar anjuran, namun berbentuk perintah yang bersifat tanpa
kaitan waktu, tempat atau individu tertentu. Menegakkan keadilan itu tidak
hanya dituntut dalam hal yang berkaitan denga perbuatan dan ucapan atau
kedua-duanya sekaligus, tetapi juga diperintahkan dalam transaksi bisnis,
sebagaimana termasuk dalam firman Allahn SWT. sebagai berikut:
وَاَقِيْمُواالْوَزْنَ
بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُواالْمِيْزَانَ
Artinya: Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
(QS. Ar-Rahman(55): 9)
وَاَوْفُواالْكَيْلَ اِذَاكِلْتُمْ
وَزِنُوْابِلْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِ ذَالِكَ خَيْرٌوَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Artinya: Dan
semperunakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar, itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra’
(17): 35)[2]
Pedoman bisnis yang
beretika menurut ibn Taymiyyah:
1.
Sempurna
dalam timbangan
“Celakalah
bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain ia minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang
utnuk orang lain, mereka mengurangi” (QS.83:1-3)
2.
Hindari
penipuan/kekurangan
Diriwayatkan
dari Hakim bin Hizam r.a dia berkata: Rasulullah SAW. Pernah bersabda: “
penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (tetap melanjutkan jual beli atau
membatalkan) selama keduanya belum terpisah. Jika keduanya berkata benar dan
menjelaskan apa adanya, maka jual beli mereka diberkahi, tetapi jika keduanya
menyembunyikan cacat yang ada dan berkata dusta, maka jual beli mereka tidak
diberkahi”. (HR. Mutafaq Alaihi)
3.
Hindari
kontrak bisnis yang tidak sah (Ilegal)
Kontrak
yang terkait dengan riba dan judi seperti jual beli spekulatif (bay
al-gharar), membeli bayi ternak yang masih dalam kandungan, menawar tinggi
dan menaikkan harga, bukan berniatan untuk membeli.
4.
Kondisi
ketidaksempurnaan pasar
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW. pernah berkata :”Janganlah
menjualbelikan barang yang sedang dalam proses transaksi orang lain, dan
janganlah menghadang barang dagangan sebelum sampai dipasar/sebelum penjual
mengetahui harga yang berlaku dipasar”.
5.
Hindari
penimbunan (Ikhtikar)
Penimbunan
adalah mereka yang memborong komoditas tertentu yang dibutuhkan public dengan
harapan ketika menjadi shortage, harga barang meningkat drastic.
Komoditas menjual barangnya dengan harga fair dan pantas.[3]
C. Investasi berdasarkan prinsip syari’ah
Islam
memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni mempertimbangkan
kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian
bermula dari landasan, iman kepada Allah, dan bahwa dialah pengatur segala hal
dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaanya karena hikmah
illahiah.
Islam
mendorong setiap manusia untuk bekerja dan meraih sebanyak-banyaknya materi.
Islam memperbolehkan setiap manusia mengusahakan harta sebanyak ia mampu,
mengembangkan, memanfaatkan sepanjang tidak melanggar ketentuan agama.
Investasi merupakan salah satu ajaran dari konsep Islam yang memenuhi proses
tadrij dan trichotomy pengetahuan tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
konsep investasi selain sebagai pengetahuan juga bernuansa spiritual karena
mengguanakan konsep syari’ah, sekaligus merupakan hakikat dari sebuah ilmu dan
amal, oleh karenanya investasi sangat dianjurkan bagi setiap muslim.
Investasi
modal yang sebaik-baiknya menurut Al-Qur’an adalah tujuan dari semua aktivitas
manusia hendaknya diniatkan untuk ibtighai mardhatillah (menurut keridhaan
Allah). Dalam rangka ungkapan lain, investasi terbaik adalah jika ia ditunjukkan
untuk mencari ridha Allah. Investasi dalam islam bisa dilihat dari tiga sudut:
individu, masyarakat, dan agama. Bagi individu, investasi merupakan kebutuhan
fitrawi, dimana setiap individu, pemilik modal selalu berkeinginan untuk
menikmati kelayakannya itu dalam waktu dan bidang seluas mungkin. Bukan hanya
untuk pribadinya bahkan untuk keturunannya. Maka investasi merupakan jembatan
bagi individu dalam rangka memenuhi kebutuhan fitrah ini.
Seorang
muslim boleh memiliki tiga alternative atas dananya yaitu”
1.
Memegang
kekayaan dalam bentuk uang kas.
2.
Memegang
tabungannya dalam bentuk asset tanpa memproduksi seperti deposito bank,
pinjaman, dll.
3.
Menginvestasikan
tabungannya (seperti memiliki proyek-proyek yang menambah persediaan capital
nasional)[4]
D. Prinsip ekonomi dalam investasi
Prinsip-prinsip
islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syari’ah
(pihak terkait) adalah:
1.
Tidak mencari
rezeki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya,
serta tidak menggunakan untuk hal-hal yang haram.
2.
Tidak mendzalimi
dan tidak dizhalimi.
3.
Keadilan
pendistribusian kemakmuran.
4.
Transaksi
dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5.
Tidak ada unsure
maghrib
E. Norma dalam investasi syari’ah
Beberapa
norma yang digunakan dalam investasi syari’ah yaitu:
1.
Transaksi
dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari
setiap-setiap transaksi yang zalim.
2.
Uang sebagai alat
pertukaran bukan komoditas perdagangan.
3.
Setiap transaksi
haruslah transparan, tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan.
4.
Resiko yang
timbul harus dikelola sehingga menimbulakan resiko yang melebihi kemampuan
menanggung resiko.[5]
F. Memilih
Investasi yang Sesuai Syariah
Investasi yang aman secara duniawi belum tentu aman
dari sisi akhiratnya. Maksudnya, investasi yang sangat menguntungkan sekalipun
dan tidak melanggar hukum positif yang berlaku belum tentu aman kalau dilihat
dari sisi syariah Islam. Investasi hanya boleh dilakukan pada instrument
keuangan yang sesuai dengan keuangan syari’ah Islam yaitu tidak mengandung
riba. Jadi jelas bahwa dalam berinvestasi umat Islam tidak boleh asal
menempatkan modalnya. Dilihat dulu profil perusahaan, transaksi yang dilakukan,
barang/obyek yang di transaksikan, semuanya harus mengikuti prinsip-prinsip
Islam dalam bermuamalah. Oleh karena itu, para pemilik modal harus mengetahui
investasi yang diperolehkan oleh syariat Islam.[6]
Investasi
hanya boleh dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai dengan keuangan
syariah Islam yaitu tidak mengandung riba. Untuk system perekonomian Indonesai
saat ini, berdasar UU Pasar Modal hanya meliputi beberapa hal, yaitu instrument
saham yang sudah melalui penawaran umum, pembagian deviden dan didasarkan pada
tingkat laba usaha; penempatan dalam deposito pada bank umum syariah; surat
utang jangka panjang, yaitu berupa aplikasi maupun surat utang jangka pendek
yang telah lazim diperdagangkan antara lembaga keuangan syariah, termasuk jual
beli utang (bai’ ad-dayn) dengan segala kontroversinya.[7]
[1] Faisal
Badroen, Arief Mufraeni. Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2006), hlm. 131.
[2]
A. Kadir, Hukum
Bisnis Syariah Dalam al-Qur’an, ( Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 64-76.
[3] Riawan Amin,
Tim PEBS FEUI. Menggagas Manajemen Syariah, (Jakarta: Salemba Empat,
2010), hlm. 31-32
[4] Indah
Yuliyana. Investasi Produk Keuangan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hlm. 9-12.
[5] Ibid, hlm. 24
[6]Sakinah, “Investasi dalam Islam”,
Vol.1 No.2 (Desember, 2014), hlm.
255-256.
[7] Ibid,
hlm. 256.