Monday 24 September 2018

Islam dan Bisnis Syariah




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Islam dan Bisnis Syariah
Masalah bisnis dalam Islam tidak terlepas dari niat syar’i. Para fuqahapun merumuskan kaidah : al ashlku fii al-affal at-taqayyad bi ahkam asy-syariy (pada pokoknya segala aktivitas itu terkait dengan ketentuan-ketentuan syariah). Ini bisa berarti syariah merupakan nilai utama dan pertama yang menjadi paling strategis dan staktis setiap aktivitas bisnis.
Islam sama sekali tidak mencela orang-orang yang melakukan aktivitas bisnis. Mencari rezeki dengan cara berbisnis oleh Al-Qur’an dinamakan mencari karunia ilahi atau fadhullah, sebagaimana:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاًمِّنْ رَّبِّكُمْ
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mecari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu (QS. Al-Baqarah (2):198)
Segala ketentuan perekonomian dan transaksi bisnis menurut ajaran islam yang bersumber dari Al-Qur’an adalah memerhatikan hak individu yang harus terlindungi sekaligus menegakkan rasa solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, syariah mengharamkan perampokan, pencurian, penipuan, dan perampasan, penyuapan, pemalsuan, penghianatan, dan memakan riba, karena keuntungan yang didapat pada hakikatnya diperoleh dengan mendatangkan kemudarotan kepada orang lain.




Dengan demikian, berbisnis itu tidak masalah. Hanya saja, aktivitas ini harus dilakukan dengan penuh ihtiyah kehati-hatian supaya tidak terjerumus kedalam kategori magrib, yaitu maisir, gharar dan riba. Paradigma yang dikembangkan konsep kerja dan bisnis islam mengarah kepada pengertian kebaikan (thoyib) yang meliputi materi itu sendiri.[1]

B.       Ajaran Al-Qur’an tentang hukum bisnis syari’ah
1.        Menyeru yang makruh, mencegah yang mungkar
Al-Qur’an menggunakan istilah ma’ruf  untuk kebijakan dan mungkar untuk kebatilan. Ma’ruf adalah sesuatu yang diketahui oleh manusia bahwa hal itu disenangi oleh Allah, baik itu perkara wajib atau sunnah, yang mengandung kemaslahatan individu atau berjemaah, didalamnya mengandung kebaikan manfaat bagi individu dan masyarakat. Adapun mungkar adalah suatu yang diingkari oleh Allah, dilarang oleh Allah dan Rasulnya. Karena mengandung bahaya bagi individu ataupun masyarakat.

2.        Menegakkkan keadilan dalam transaksi bisnis
Berkenaan dengan masalah keadilan ini, ada dua kata yang digunakan Al-Qur’an, yaitu al-adl dan al-qisth. Dimana al-qisth juga bermakna al-adl wat a taswiyyah atau justice. Nash-nash Al-Qur’an menyebutkan keadilan, bukan hanya sekedar anjuran, namun berbentuk perintah yang bersifat tanpa kaitan waktu, tempat atau individu tertentu. Menegakkan keadilan itu tidak hanya dituntut dalam hal yang berkaitan denga perbuatan dan ucapan atau kedua-duanya sekaligus, tetapi juga diperintahkan dalam transaksi bisnis, sebagaimana termasuk dalam firman Allahn SWT. sebagai berikut:
وَاَقِيْمُواالْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُواالْمِيْزَانَ
Artinya: Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar-Rahman(55): 9)
وَاَوْفُواالْكَيْلَ اِذَاكِلْتُمْ وَزِنُوْابِلْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِ ذَالِكَ خَيْرٌوَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Artinya: Dan semperunakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Isra’ (17): 35)[2]

Pedoman bisnis yang beretika menurut ibn Taymiyyah:
1.        Sempurna dalam timbangan
“Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain ia minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang utnuk orang lain, mereka mengurangi” (QS.83:1-3)

2.        Hindari penipuan/kekurangan
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a dia berkata: Rasulullah SAW. Pernah bersabda: “ penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (tetap melanjutkan jual beli atau membatalkan) selama keduanya belum terpisah. Jika keduanya berkata benar dan menjelaskan apa adanya, maka jual beli mereka diberkahi, tetapi jika keduanya menyembunyikan cacat yang ada dan berkata dusta, maka jual beli mereka tidak diberkahi”. (HR. Mutafaq Alaihi)




3.        Hindari kontrak bisnis yang tidak sah (Ilegal)
Kontrak yang terkait dengan riba dan judi seperti jual beli spekulatif (bay al-gharar), membeli bayi ternak yang masih dalam kandungan, menawar tinggi dan menaikkan harga, bukan berniatan untuk membeli.

4.        Kondisi ketidaksempurnaan pasar
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW. pernah berkata :”Janganlah menjualbelikan barang yang sedang dalam proses transaksi orang lain, dan janganlah menghadang barang dagangan sebelum sampai dipasar/sebelum penjual mengetahui harga yang berlaku dipasar”.

5.        Hindari penimbunan (Ikhtikar)
Penimbunan adalah mereka yang memborong komoditas tertentu yang dibutuhkan public dengan harapan ketika menjadi shortage, harga barang meningkat drastic. Komoditas menjual barangnya dengan harga fair dan pantas.[3]

C.      Investasi berdasarkan prinsip syari’ah
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni mempertimbangkan kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian bermula dari landasan, iman kepada Allah, dan bahwa dialah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaanya karena hikmah illahiah.

Islam mendorong setiap manusia untuk bekerja dan meraih sebanyak-banyaknya materi. Islam memperbolehkan setiap manusia mengusahakan harta sebanyak ia mampu, mengembangkan, memanfaatkan sepanjang tidak melanggar ketentuan agama. Investasi merupakan salah satu ajaran dari konsep Islam yang memenuhi proses tadrij dan trichotomy pengetahuan tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa konsep investasi selain sebagai pengetahuan juga bernuansa spiritual karena mengguanakan konsep syari’ah, sekaligus merupakan hakikat dari sebuah ilmu dan amal, oleh karenanya investasi sangat dianjurkan bagi setiap muslim.
Investasi modal yang sebaik-baiknya menurut Al-Qur’an adalah tujuan dari semua aktivitas manusia hendaknya diniatkan untuk ibtighai mardhatillah (menurut keridhaan Allah). Dalam rangka ungkapan lain, investasi terbaik adalah jika ia ditunjukkan untuk mencari ridha Allah. Investasi dalam islam bisa dilihat dari tiga sudut: individu, masyarakat, dan agama. Bagi individu, investasi merupakan kebutuhan fitrawi, dimana setiap individu, pemilik modal selalu berkeinginan untuk menikmati kelayakannya itu dalam waktu dan bidang seluas mungkin. Bukan hanya untuk pribadinya bahkan untuk keturunannya. Maka investasi merupakan jembatan bagi individu dalam rangka memenuhi kebutuhan fitrah ini.
Seorang muslim boleh memiliki tiga alternative atas dananya yaitu”
1.         Memegang kekayaan dalam bentuk uang kas.
2.         Memegang tabungannya dalam bentuk asset tanpa memproduksi seperti deposito bank, pinjaman, dll.
3.         Menginvestasikan tabungannya (seperti memiliki proyek-proyek yang menambah persediaan capital nasional)[4]



D.      Prinsip ekonomi dalam investasi
Prinsip-prinsip islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syari’ah (pihak terkait) adalah:
1.         Tidak mencari rezeki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakan untuk hal-hal yang haram.
2.         Tidak mendzalimi dan tidak dizhalimi.
3.         Keadilan pendistribusian kemakmuran.
4.         Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5.         Tidak ada unsure maghrib

E.       Norma dalam investasi syari’ah
Beberapa norma yang digunakan dalam investasi syari’ah yaitu:
1.         Transaksi dilakukan atas harta yang memberikan nilai manfaat dan menghindari setiap-setiap transaksi yang zalim.
2.         Uang sebagai alat pertukaran bukan komoditas perdagangan.
3.         Setiap transaksi haruslah transparan, tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan.
4.         Resiko yang timbul harus dikelola sehingga menimbulakan resiko yang melebihi kemampuan menanggung resiko.[5]

F.       Memilih Investasi yang Sesuai Syariah
Investasi yang aman secara duniawi belum tentu aman dari sisi akhiratnya. Maksudnya, investasi yang sangat menguntungkan sekalipun dan tidak melanggar hukum positif yang berlaku belum tentu aman kalau dilihat dari sisi syariah Islam. Investasi hanya boleh dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai dengan keuangan syari’ah Islam yaitu tidak mengandung riba. Jadi jelas bahwa dalam berinvestasi umat Islam tidak boleh asal menempatkan modalnya. Dilihat dulu profil perusahaan, transaksi yang dilakukan, barang/obyek yang di transaksikan, semuanya harus mengikuti prinsip-prinsip Islam dalam bermuamalah. Oleh karena itu, para pemilik modal harus mengetahui investasi yang diperolehkan oleh syariat Islam.[6]
Investasi hanya boleh dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai dengan keuangan syariah Islam yaitu tidak mengandung riba. Untuk system perekonomian Indonesai saat ini, berdasar UU Pasar Modal hanya meliputi beberapa hal, yaitu instrument saham yang sudah melalui penawaran umum, pembagian deviden dan didasarkan pada tingkat laba usaha; penempatan dalam deposito pada bank umum syariah; surat utang jangka panjang, yaitu berupa aplikasi maupun surat utang jangka pendek yang telah lazim diperdagangkan antara lembaga keuangan syariah, termasuk jual beli utang (bai’ ad-dayn) dengan segala kontroversinya.[7]














[1] Faisal Badroen, Arief Mufraeni. Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 131.
[2] A. Kadir, Hukum Bisnis Syariah Dalam al-Qur’an, ( Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 64-76.
[3] Riawan Amin, Tim PEBS FEUI. Menggagas Manajemen Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 31-32
[4] Indah Yuliyana. Investasi Produk Keuangan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 9-12.
[5] Ibid, hlm. 24
[6]Sakinah, “Investasi dalam Islam”,  Vol.1 No.2 (Desember, 2014), hlm. 255-256.
[7] Ibid, hlm. 256.