MAKALAH
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah PKN
Dosen Pengampu: ERIE HARIYANTO, DR, M.H
Oleh :
PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik
lagi. Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
Pamekasan, 10
September 2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
ii
DAFTAR ISI........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
1
A.
Latar
Belakang............................................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................................
1
C.
Tujuan.........................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2
A.
Pengertian
Mahkamah Konstitusi...............................................................
2
B.
Latar
Belakang Berdirinya Mahkamah Konstitusi......................................
3
C.
Tugas
dan Fungsi Mahkamah Konstitusi....................................................
7
\BAB III PENUTUP...........................................................................................
11
A.
Kesimpulan...............................................................................................
11
B.
Saran.........................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
12
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami
perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002.
Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,
meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk
adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus
penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam
menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi
kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita Negara
hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Kiprah MK sejak
kehadirannya banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga
hukum dan mengembangkan demokrasi. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan
tentang mahkamah konstitusi.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian dari Mahkamah konstitusi ?
2.
Bagaimana Latar belakang berdirinya mahkamah
konstitusi ?
3.
Apa saja Tugas dan fungsi mahkamah konstitusi ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa itu mahkamah konstitusi
2.
Mengetahui latar belakang berdirinya mahkamah
konstitusi
3.
Mengetahui tugas dan fungsi mahkamah konstitusi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C yang
berbunyi :
1.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.[1]
2.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
3.
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4.
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
5.
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6.
Pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga konstitusi yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan hal ini disebutkan
dalam pasal 2 UU No.24 tahun 2003.
Lembaga ini mempunyai Sembilan orang hakim
konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan mahkamah
konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota dan tujuh orang hakim konstitusi, hal ini disebutkan dalam
pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.24 tahun 2003.
B.
Latar Belakang Berdirinya Mahkamah Konstitusi
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai
judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga
Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati
antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di
Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR
dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di
amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat dalam perkara
merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak
mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan
chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa
pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan
konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam
sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik
hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
supreme court.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama
kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru
besar hukum public dan administrasi unifersity of Vienna. Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative
diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan
legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen,
perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court atau
pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada
pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di
australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah
konstitusi pertama. Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam
salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut
constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan Yamin berawal
dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang,
Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding
undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan
bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun
bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain
itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang,
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan
konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru
merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman
mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.[2]
Gagasan Yamin muncul kembali dalam proses
amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang
kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april
tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam lingkungan MA ,
dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan
atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk
memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas persengketaan antar
lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar
pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan
mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang
diberbagai negara serta dengan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai
pihak, terutama para pakar hukum tatanegara, rumusan mengenai pembentukan
mahkamah konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga undang-undang dasar 1945.
Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945.
Akhirnya sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dimulai, tepatnya setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24
ayat 2, pasal 24C dan pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan
ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan
dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi
diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju
rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi,
selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran
terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap
hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai
grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan
yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur
dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat
membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh
karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk
penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan
agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga.
Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan
sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain
didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut
keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji
bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa
waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di
bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan
semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang
menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama
Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah
Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi
pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang
demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan
bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan
ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca
Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan
dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan
prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang
membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu,
perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment)
Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001,
mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses
pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata
didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum
yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan
mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di
berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar
hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada
Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan
ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24
Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.[3]
C.
Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi
konstitusionalitas yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi
peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat
ditelusuri dari latar belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan supremasi
konstitusi
Didalam penjelasan umum undang-undang Mahkamah
Konstitusi dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya adalah menangani perkara
ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara tanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga
dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan.
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang
yang dimiliki yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan konstitusional. Berdasarkan latar belakang ini
setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah
Konstitusi dan dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal
konstitusi, penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung
hak konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi.[4]
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi telah ditentukan dalam pasal 24 C UUD 1945 pada ayat (1) dan
(2), yaitu :
1.
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
Undang-undang adalah produk politik biasanya
merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai
produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan
atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu
peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada
peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan
atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review.
Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak
selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah
Konstitusi. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi
lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang
keluar dari koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian
Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga Negara
2.
Sengketa kewenangan konstitusional antar
lembaga Negara
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya
mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.
Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat
tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian
itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya
perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini,
akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini
telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
3.
Pembubaran Partai Politik
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai
politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan
berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun.
Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan
dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya
bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Nomor 24 Tahun
2003 telah mengatur tentang kewenangan ini.[5]
4.
Perselisihan hasil Pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan
antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila
penetapan KPU mempengaruhi:
a.
Terpilihnya anggota DPD,
b.
Penetapan pasangan calon yang masuk pada
putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan
presiden
c.
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu
di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan
Pasal 79.
5.
Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai
dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam
sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum
habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh
rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law,
presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak
bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah
Konstitusi.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan
ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat
semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui
dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mahkamah konstitusi adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C.
latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi tidak lepas dari Empat momen
jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di
Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam
sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka
amandemen UUD 1945. terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah
Konstitusi dan dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal
konstitusi, penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung
hak konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi. Tugas dan wewenang
yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sendiri telah ditentukan dalam pasal 24
C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2). Semula kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas MA. Sesudah
perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua buah
mahkamah. Salah satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman pada MA terdapat dibawahnya badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara, sebaliknya pada MK
dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain,
B.
Saran
Demikianlah makalah tentang Mahkamah
Konstitusi yang telah kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna
maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Hery
dan martitah. Hukum Tata Negara. Semarang : Pusat penjamin
mutu UNNES.
Fauzan, Achmad.
2005. tentang peradilan umum dan peradilan khusus dan mahkamah
konstitusi. Jakarta : kencana
Harahap, Yahya.
2007. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
kembali Perkara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul,
2005, hukum tata negara Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Safa’at,
Muchamad Ali dkk. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi.
[2]
Fauzan, Achmad.
2005. tentang peradilan umum dan peradilan khusus dan mahkamah
konstitusi. Jakarta : kencana
[3]
Harahap, Yahya.
2007. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
kembali Perkara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.
[5]
Safa’at, Muchamad
Ali dkk. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi.