Monday, 10 September 2018

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA PENDIDIK YANG MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP PESERTA DIDIK


BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA PENDIDIK YANG MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP PESERTA DIDIK

A.    Ketentuan Yang Mengatur Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Pendidik
Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut.
"Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," bunyi Pasal 39 ayat 1.
Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. 
"Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing," papar Pasal 40.
 Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas Pasal 41.
 Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam Peraturan Pamerintah Nomor 74 Tahun 2008. Dalam Peraturan Pamerintah tersebut (pasal 1), disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan tugas profesionalnya yakni mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, guru "diperbolehkan" memberikan penghargaan atau punishment terhadap siswa. 
"Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," demikian bunyi Pasal 39 ayat 1 Peraturan Pamerintah tersebut.[29]
Berbagai kasus hukum yang menimpa para guru pada tahun 2016 kemarin, memberikan gambaran yang jelas bahwa perlindungan terhadap profesi guru masih berkutat pada ranah teoritis dan belum terwujud pada dunia nyata. Aturan yang mengatur tentang perlindungan profesi guru yaitu Peraturan Pamerintah Nomor 74 Tahun 2008 ternyata tumpul ketika dihadapkan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu adanya organisasi profesi guru, belum memberikan dampak yang signifikan dalam rangka ikut serta mem-back up guru-guru yang tersandung masalah hukum ketika menjalankan tugas dan kewajibannya. 
Padahal sangat terang dijelaskan dalam pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pamerintah 74 Tahun 2008 bahwa

Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing" dan "guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihakpeserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

Proses mendidik yang dilakukan oleh para guru seringkali dibenturkan dengan undang-undang tentang hak asasi manusia dan undang-undang perlindungan anak, yang berimbas pada banyaknya guru yang menjadi korban kriminalisasi hukum yang dilakukan oleh oknum orang tua murid. [30]
Lebih lanjut dari pada usaha ini harus ditindak lanjuti oleh pemerintah terutama oleh Kemendikbud atau organisasi profesi guru untuk memperjuangkan bahwa perlindungan hukum terhadap profesi guru tidak hanya pada peraturan pemerintah tetapi harus masuk di dalam undang-undang yang mengatur guru dan dosen. Adanya jaminan perlindungan hukum terhadap para guru diharapkan proses pendidikan di Indonesia akan berjalan dengan baik untuk memenuhi janji kemerdekaan yang bisa diperankan oleh para guru yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tetntang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1 dan 2
1.    Guru adalah pendidik profesional dengan tegas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi perserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
2.    Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentranformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak terbendung lagi perkembangannya.
Namun di sisi lain, perlindungan hukum terhadap profesi guru juga harus diperhatikan. Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada Ayat (2) disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Persoalannya adalah hingga saat ini belum peraturan pelaksanaan yang secara teknis operasional mengatur berbagai macam perlindungan terhadap guru, termasuk perlindungan hukumnya. Akibatnya, ketika dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi guru acapkali menjadi sangat lemah. Dalam kasus-kasus tertentu, guru selain diadukan sebagai pelaku kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa. Pada kasus pertama, guru dilaporkan melanggar hak perlindungan anak ketika memberikan sanksi pelanggaran disiplin terhadap siswa, seperti dijewer, dipukul, dibentak, disuruh lari mengelilingi halaman sekolah, disuruh push up beberapa kali, disuruh menghormat bendera dalam kondisi cuaca panas sampai akhir pelajaran, membersihkan toilet, dan sebagainya. Jenis-jenis hukuman disiplin seperti yang masa lampau dianggap biasa atau “lumrah” dalam dunia pendidikan, saat ini “dinilai” tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.[31]
Dan juga yang dijelaskan di pasal 40 peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru menjelaskan bahwa “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”. Telah dijelaskan dengan jelas di pasal tersebut bahwa guru mendapatkan perlindungan hukum dari hal-hal yang dapat merugikan atau mengancam nyawanya. Perlindungan guru ada juga dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik Dan Tenaga Kependidikan di pasal 2 ayat 3 yang berbunyi “Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup perlindungan terhadap:
a.          tindak kekerasan;
b.         ancaman;
c.          perlakuan diskriminatif;
d.         intimidasi; dan/atau
e.          perlakuan tidak adil,
Dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Dan lagi dengan dkeluarkannya yurisprudensi yang mengenai tentang perlindungan terhadap guru, yurisprudensi dikeluarkan karena adanya kasus penganiayaan terhadap guru, guru tak mampu dipidana era menjalankan profesinya serta melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Hal itu diputuskan era mengadili guru dari Majalengka, Jawa Barat, SD Aop Saopudin (31). Kala itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong yang dengannya mencukur rambut siswa yang telah di sebutkan pada Maret 2012. Salah seorang siswa tak terima serta melabrak Aop yang dengannya memukulnya. Aop pula dicukur balik. Walau pernah sempat didemo para guru, polisi serta jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yakni: 1. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Perlindungan Anak perihal perbuatan diskriminasi terhadap anak. Pasal itu berbunyi: Setiap orang yng yang dengannya sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yng menghasilkan anak mengalami kerugian, baik materiil ataupun moril menjadikan menghambat fungsi sosialnya dipidana yang dengannya pidana penjara paling lama 5 tahun serta/ataupun denda paling tidak sedikit Rp 100 juta. 2. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP perihal Perbuatan Tak Menyenangkan. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka serta Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Namun oleh MA, hukuman itu dianulir serta menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yng diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Dr Salman Luthan yang dengannya anggota Dr Syarifuddin serta Dr Margono. Ketiganya membebaskan Aop lantaran  guru Aop memiliki tugas bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendisiplinkan siswa yng rambutnya telah panjang/gondrong bagi atau bisa juga dikatakan untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya merupakan: Apa yang di lakukan terdakwa merupakan telah menjadi tugasnya serta bukan adalah suatu tindak pidana serta terdakwa tak bisa dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya yang telah di sebutkan lantaran bertujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendidik agar menjadi murid yng baik serta berdisiplin.
Berdasarkan amanat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seperti disebutkan di atas, dapat dikemukakan ranah perlindungan hukum bagi guru. Frasa perlindungan hukum yang dimaksudkan di sini mencakup semua dimensi yang terkait dengan upaya mewujudkan kepastian hukum, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.
1.    Perlindungan hukum
Semua guru harus dilindungi secara hukum dari segala anomali atau tindakan semenamena dari yang mungkin atau berpotensi menimpanya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perlindungan hukum dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa:
a.          tindak kekerasan,
b.          ancaman, baik fisik maupun psikologis
c.          perlakuan diskriminatif,
d.         intimidasi, dan
e.          perlakuan tidak adil.[32]

2.    Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hukubungan kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.[33]


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen , dalam Pasal 14 huruf f menyebutkan “. Guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan dan atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang undangan. “
Demikian pula disebutkan dalam Peraturan Pelaksanannya, Pasal 39 Peraturan Pamerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru menyebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulisyang ditetapkan oleh guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran dibawah kewenangannya. (2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan atau peringatan baik lisan maupun tertulis serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan . jadi dari ketentuan ini sangat jelas guru dapat memberikan sanksi kepada peserta didik jika murid berprilaku  tidak baik dan melanggar norma norma seperti yang disebutkan diatas, dan selama dalam proses belajar disekolah adalah kewenangan guru sebagai pendidik sebagai wujud dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas murid dan berakhlak mulia.[34]
Sehingga jika batasan dan makna normatif ini dipahami dan dioperasionalkan secara utuh oleh para guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik seharusnya tidak ada lagi guru yang berhadapan dengan persoalan hukum dalam melakukan penghukuman disiplin kepada peserta didik kecuali atas prilaku di luar proses pendidikan atau nyata nyata guru tersebut memang dengan sengaja melakukan tindak pidana  di luar batas rasional yaitu berupa tindaan kekerasan, pelecehan seksual, atau pemerkosaan atau hal hal yang bertentangan dengan prilaku guru.
Asas dalam hukum pidana menyebutkan pada umumnya siapapun yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggung jawaban dengan catatan perbuatan tersebut dapat dicela dan kepada pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban, namun demikian adapula pengecualian yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana seperti yang diatur dalam ketentuan pidana antar lain, ada alasan pembenar dan ada alassan pemaaf yaitu dapat berupa melaksanakan perintah atasan, melaksanakan undang-undang, dalam keadaan terpaksa dan menyelamatkan jiwa ,   atau bagi orang yang hilang ingatan, hal hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sehingga pertanyaannya bagi guru yang mendisiplinkan dan memberikan sanksi hukuman (corporal punishment) bagi murid yang melanggar norma-norma kepatutan, kesopanan, akademik dan kesusilaan dapatkah dipidanakan?  Padahal guru memiliki kewenangan dan haknya sebagai pelimpahan dari perannya yang diatur oleh undang-undang sebagai fungsi dan kedudukannya sebagai guru. Prilaku prilaku murid yang terkadang bertentangan dengan norma norma tersebut yang pada akhirnya diberikan sanksi oleh guru kepada muridnya tidak dapatlah dikategorikan pidana, sanksi sanksi disipilin yang diberikan oleh guru kepada  murid yang melanggar norma norma tersebut tidak dapat dikategorikan pidana.[35]
Lebih lanjut asas-asas dalam hukum pidana menjelaskan berkait tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan “Tuchrecht” sebagai alasan pembenar. Alasan penghapusan pidana merupakan dasar yang digunakan untuk tidak dipidananya seorang pelaku tindak pidana. Alasan penghapusan pidana ini dapat berupa alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, dan alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan.       Seorang guru yang melakukan tindakan-tindakan kedisiplinan pada batas-batas tertentu, dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan (dipidana), meskipun secara formal guru tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum (tindak pidana). Hal ini dikarenakan adanya alasan pembenar yang menyertai perbuatannya, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam hal ini dikenal dengan asas “sifat melawan hukum materiel”(dalam fungsinya yang negatif). Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa sifat melawan hukum materiel identik dengan melawan/ bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law), bertentangan dengan asas asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi, hukum tidak dimaknai sebagai wet, tetapi dimaknai secara materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu sifat melawan hukum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.
Sifat melawan hukum materiel ini dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni: a. fungsinya yang negatif artinya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma di luar undangundang) dapat digunakan sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan) sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Jadi tidak adanya sifat melawan hukum materiel dapat digunakan sebagai alasan pembenar.[36]
Dalam kerangka konsep sifat melawan hukum materiel dengan fungsinya yang negatif, perbuatan guru (selama melaksanakan tugas/profesinya) yang secara formal bersifat melawan hukum, misalnya pemberian peringatan keras, pemberian tugas-tugas, skorsing, dan lain-lain, selama perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka mendidik demi tercapainya tujuan pedidikan, maka akan menghapuskan sifat melawan hukum materiel dari perbuatannya tersebut. Memang dalam praktek perkembangan hukum pidana, terdapat perbuatan-perbuatan yang hilang sifat melawan hukumnya atas dasar alasan pembenaran yang tidak mungkin ditemukan dalam undang-undang (tertulis) yang ada. Penilaian mengenai hapusnya sifat melawan hukum materiel dari tindak pidana yang dilakukan guru tersebut berdasarkan atas nilai-nilai dan hukum tidak tertulis yang diakui dalam profesi guru, secara teoritis dikenal dengan istilah “tuchtrecht”, yakni hak mengawasi dan mendidik dari orang tua, wali, guru terhadap anak-anak mereka dan murid-muridnya di mana dalam batas-batas tertentu. Tindakan guru yang diperkenankan dalam tuchtrecht ini bukan hanya merampas kebebasan anak-anak/murid-murid, tapi juga tindakan penghukuman anak-anak/murid-murid yang dilakukan pada batas-batas tertentu dengan kerugian yang seminimal mungkin. Setidaknya tindakan tersebut harus memenuhi tiga syarat yakni (1) dalam kondisi terpaksa; (2) penderaan secara terbatas (harus dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu; dan (3) dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diperkenankan.[37]
Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia yang disampaikan oleh Prof Barda Nawawi Arief, Prof Indrianto Seno Adji  , disampaikan pada Seminar Nasional tentang “Asas-Asas Hukum Pidana Nasional”, Semarang, 26-27 April 2004  “Bahwa diterimanya alasan pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum materiel suatu perbuatan jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan keuntungan yang demikian rupa dapat dirasakan, sehingga keuntungan ini lebih dari cukup seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang bertentangan dengan undangundang”. Dari kedua pendapat di atas, yang menjadi fokus dalam penggunaan hukuman disiplin adalah keuntungan (benefit). Jadi, jika keuntungan (manfaat) yang akan diperoleh dari perbuatan yang memenuhi rumusan delik tersebut lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkannya, maka karena hal itu dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya. Dalam suatu disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 22 Maret 1994, Komariah Emong Sapardjaja memberikan kriteria yang merupakan gabungan pendapat Langmeyer dan J.M. van Bemmelen serta putusan Mahkamah Agung untuk menghilangkan sifat melawan hukum materiel, yaitu  
1.      Harus dilihat apakah perbuatan mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang undang.
2.      Melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggarnya.
3.      Mempunyai nilai yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri, artinya jika  hukuman disiplin  yang diberikan oleh guru dengan perbuatannya berkehendak untuk mencapai tujuan yang oleh setiap orang dipandang sebagai suatu “tujuan yang baik”, sehingga dapat dikesampingkannya kepentingan pembuat undang-undang yang membuat peraturan pidana dengan tujuan memberikan perlindungan karena ada tujuan yang lebih baik yang ingin dicapai dalam hal ini agar prilaku anak didik baik dan benar.
Ketentuan konsep di ataslah yang dapat dipergunakan sekaligus pembenar bagi guru memiliki hak memberikan sanksi disiplin (sanksi yang mendidik) kepada muridnya tidaklah dapat dipidana. semestinya bagi guru, sekolah, wali murid hendaklah dapat arif dan bijaksana terutama wali murid harus “bening’ melihat persoalan pemberian hukuman disiplin yang diberikan guru kepada muridnya, orang tua murid tidak perlu terburu buru melaporkan guru ke kepolisian, di mana kesannya anak sudah dapat menjadi actor “pengadu domba” antar guru dan orangtua/ wali murid.[38]
Konsekuensi dari Prinsip profesionalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Guru menyebutkan bahwa guru memiliki jaminan perlindungan hukum dalam tugas keprofesionalannya,  demikian pula diatur dalam Pasal 39  UU Guru menyebutkan bahwa pemerintah, organisasi profesi dan aatau satuan pendidik wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugasnya, perlindungan dimaksud meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi terhadap perlakuan yang diskriminatif, ancaman , termasuk didalamnya upaya upaya menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya,  intimidasi dan perlakuan yang tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokarasi karenanya kepolisian sebagai pintu grebang masuknya perkara pidana harus teliti dan sangat hati hati dalam menerima laporan polisi berkait tentang hukuman disiplin kepada peserta didik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa Guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan yakni upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
 Salah satu prinsip profesionalitas bahwa Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan dengan memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. (vide Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang nomor 14 tahun 2005).[39]



B.     Kekuatan hukum pelindungan guru terhadap undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Masalah pendidikan merupakan salah satu masalah yang bersifat universal dan prinsipil, artinya: semua manusia yang berinteraksi dan mengaktualisasikan dirinya sangat membutuhkan pendidikan dan pendidikan adalah merupakan suatu hak yang harus diterima melalui sekolah (school education) maupun luar sekolah (out of schooleducation). Bagi orang tua, pendidikan merupakan kewajiban yang harus diberikan kebada anak dalam bentuk pelayanan, bimbingan dan hal-hal lain mendukung pemuasan hak anak. Namun bagiu orang dewasa, pendidikan merupakan hak yang diartikan sebagai hak untuk menjalani pendidikan sepanjang hayat. Dengan demikian, masalah-masalah kehidupan yang menyangkut dunia pendidikan adalah masdalah yang bersifat publik.[40]
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. 
Terkadang dengan adanya undang-undang perlindungan anak dan undangundang peradilan anak dan pula sanksi yang meringangkan seperti Proses pemidanaan tentunya tidak hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan pidana (hukum pidana positif) saja[41], tetapi harus memperhatikan rambu-rambu penegakan hukum dan keadilan dalam sistem hukum nasional.[42] Jenis-jenis sanksi bagi anak diatur keentuan pasal 22-32 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang peradilan anak dapat berupa pidana atau tindakan yang bersifat pidana pokok dan pidana Tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana: pidana penjara; pidana kurungan, pidana denda, dsn pidana pengawasan pidana. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari: perampasan barangbarang tertentu dan pembayaran ganti rugi. Tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal iala:mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja dan menyerahjkan kjepada departemen sosial, atau Organisasi sosial  kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Pada asasnya, identik dengan Hukum Pidana Umum (ius commune) maka Pengadilan Anak hanya mengenal penjatuhan 1 (satu) pidana pokok saja. Tegasnya, komulasi 2 (dua) pidana pokok dilarang konkretnya, terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana (pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak) Hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana pokok atau tindakan sedangkan terhada anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut aturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak) Hakim hanya dapat menjatuhkan tindakan (Pasal 5 ayat (1) dan (2) UndangUndang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak).
Seringnya terkendala kepada aturan yang ada perlindungan guru sering kali kalah dalam persidangan karena aturan yang mengatur tentang perlindungan guru yang diatur di Peraturan Pamerintah nomor 74 tahun 2008 kedudukannya berada di bawah undang-undang, dengan begitu aturan tersebut tidak mampu secara mutlak melindungi guru apabila berhdapan denan undang-undang seperti undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
 Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman
(funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Adanya KPAI dan Undang-Undang Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Perlakuan tidak adil atau semena-mena yang diakukan siswa atau wali murid terhadap guru sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut. Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan Undang-Undang Perlindungan Anak mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAI, Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAI dan Undang-Undang Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[43]
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah menetapkan bahwa hak anak adalah bagian  dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga.masyarakat, pemerintah, dan Negara (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). Selanjutnya, disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002).  Khusus dilingkungan sekolah, anak wajib dilindungi dari tindakan kekerasan  yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54 Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2002).
Secara yuridis, Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UndangUndang No 14 tahun 2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.[44]
Belajar dari beberapa kasus guru yang dalam menjalani tugasnya yang rentan mudah dan kerap sekali dikriminialisasi guru menjadi berpikir kembali ketika mau menghukum siswa yang melanggar disiplin dan tata tertib sekolah. Belum kuatnya posisi kedudukan Peraturan Peraturan perlindungan profesi guru dan belum adanya Undang-Undang perlindungan guru, karena ketika terjadi kasus di lapangan yang ada adalah perlawanan orang tua siswa dengan dalih Undang-Undang perlindungan anak dan Undang-Undang HAM dengan kedudukan yang lebih tinggi dari dua perangkat hukum diatas, diperlukan kedepan organisasi profesi untuk mendesak masuknya klausul lebih detil tentang perlindungan profesi guru dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahkan kemungkinan “opsi” dibuatnya segera Undang-Undang Perlindungan profesi guru.
Semata untuk menyelamatkan profesi guru yang bertugas dilapangan kerap kali berhadapan dengan hukum. Dihadapkan dengan tugas Pendidik dari guru, beberapa ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap anak tersebut  in casu  peserta didik, dapat  mengeliminasi  bentuk hukuman fisik yang dapat diberikan guru terhadap peserta didik. Apabila guru hendak menerapkan hukuman mendidik secara fisik, harus berpikir dahulu sebelum bertindak, karena ada kekhawatiran tindakannya akan diklarifikasikan sebagai suatu perbuatan kekerasan  dan pelanggaran HAM yang dapat dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Sungguh ironis suatu bagian dari pendidikan yang akan menempa peserta didik menjadi calon pemimpin bangsa yang berakhlak mulia, tercederai oleh kegalauan aturan yang kurang memperhatikan unsur peranan pendidik dalam membina anak didik. Sesungguhya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah memberi aturan perlindungan  bagi guru yaitu pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap Guru dalam pelaksanaan tugas.[45] 
Perlindungan tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja termasuk dalam perlindungan hukum, mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskrimatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain (Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005).
Jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan keprofesionalan, yang juga menjadi salah satu prinsip profesionalitas  belum bisa memberi perlindungan hukum bagi guru yang  dalam melaksanakan tugas melakukan atau memberi hukuman mendidik secara fisik bagi peserta didik. Begitu juga dengan Kode Etik Guru Indonesia, belum mampu memberi perlindungan, apalagi kode etik tersebut tidak memuat kedudukan semacam Majelis Kode Etik Guru atau Majelis Kehormatan Profesi atau sejenisnya yang dapat menilai apakah tindakan guru dalam proses pendidikan yang dilakukannya telah melanggar kode etik atau tidak (Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005).  Disadari sepenuhnya, bahwa hingga saat ini Pemerintah belum sepenuhnya berhasil memberikan layanan sesuai dengan ranah perlindungan yang diamanahkan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Termasuk dalam jaminan perlindungan  hukum bagi guru dalam menjalankan  tugas keprofesionalannya, dihadapkan dengan perlindungan anak (didik) yang telah memiliki dasar hukum yang kokoh yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk itu diperlukan kemauan dan komitmen guru untuk menghindari tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan menodai profesinya.
 Kita tidak menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[46]



                [30]http://kaltim.tribunnews.com/2017/01/24/urgensi-perlindungan-hukum-terhadapprofesi-guru, diakses tanggal 2 juli 2018, jam 23:38 WIB
              [31] Radar banjarmasin, http://kalsel.prokal.co/read/news/4842-perlindungan-hukum-terhadap-guru-dari-%20%20tindakankekerasan.html, diakses tanggal 30 mei 2018, jam 20.00 wib
              [32] Ibid
              [33] Ibid
[35] https://adpgsdindonesia.org/2016/08/19/guru-boleh-mendisiplinkan-putusan-ma
[36] Ibid
[37] Ibid
[39] Ibid
             [40]Ibid, hlm 86
              [41] Widiada Gunakaya, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan, (bandung: Alfabeta, 2012 ),
             [42] Ibid, hlm 95
                [43] https://syaiful64.wordpress.com/2009/03/10/pentingnya-undang-undangperlindunganguru/, diakses tanggal 21 agustus 2018 jamm 14.00 wib
[44] Ibid
              [45] Ibid
              [46] Ibid