BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA PENDIDIK YANG
MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP PESERTA DIDIK
A.
Ketentuan Yang Mengatur
Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Pendidik
Dalam
mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan
kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru
juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi
juga memberikan punishment kepada siswanya
tersebut.
"Guru
memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak
tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan
perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," bunyi Pasal 39 ayat 1.
Dalam ayat 2
disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik
lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
"Guru
berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman
dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi
profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing," papar Pasal 40.
Rasa aman dan jaminan
keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan
keselamatan dan kesehatan kerja.
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas Pasal 41.
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain," tegas Pasal 41.
Perlindungan
terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam Peraturan Pamerintah Nomor 74
Tahun 2008. Dalam Peraturan Pamerintah tersebut (pasal 1), disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan tugas
profesionalnya yakni mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa,
guru "diperbolehkan" memberikan penghargaan atau punishment terhadap
siswa.
"Guru memiliki kebebasan memberikan
sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru,
peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam
proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya," demikian bunyi
Pasal 39 ayat 1 Peraturan Pamerintah tersebut.[29]
Berbagai kasus hukum yang menimpa para guru
pada tahun 2016 kemarin, memberikan gambaran yang jelas bahwa perlindungan
terhadap profesi guru masih berkutat pada ranah teoritis dan belum terwujud
pada dunia nyata. Aturan yang mengatur tentang perlindungan profesi guru yaitu
Peraturan Pamerintah Nomor 74 Tahun 2008 ternyata tumpul ketika dihadapkan
dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu
adanya organisasi profesi guru, belum memberikan dampak yang signifikan dalam
rangka ikut serta mem-back up guru-guru yang tersandung masalah hukum ketika
menjalankan tugas dan kewajibannya.
Padahal sangat terang dijelaskan dalam pasal
40 dan pasal 41 Peraturan Pamerintah 74 Tahun 2008 bahwa
Guru berhak mendapat
perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan
keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi
profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing"
dan "guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari
pihakpeserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak
lain.
Proses mendidik yang dilakukan oleh para guru
seringkali dibenturkan dengan undang-undang tentang hak asasi manusia dan
undang-undang perlindungan anak, yang berimbas pada banyaknya guru yang menjadi
korban kriminalisasi hukum yang dilakukan oleh oknum orang tua murid. [30]
Lebih lanjut dari pada usaha ini harus
ditindak lanjuti oleh pemerintah terutama oleh Kemendikbud atau organisasi
profesi guru untuk memperjuangkan bahwa perlindungan hukum terhadap profesi
guru tidak hanya pada peraturan pemerintah tetapi harus masuk di dalam
undang-undang yang mengatur guru dan dosen. Adanya jaminan perlindungan hukum
terhadap para guru diharapkan proses pendidikan di Indonesia akan berjalan
dengan baik untuk memenuhi janji kemerdekaan yang bisa diperankan oleh para
guru yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005
Tetntang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1 dan 2
1.
Guru adalah pendidik
profesional dengan tegas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi perserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
2.
Dosen adalah pendidik
profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentranformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber
daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Guru dengan segala kemampuannya dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran
bagi peserta didiknya. Sehingga tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah
satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang.
Dapat dibayangkan jika guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan
tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak
terbendung lagi perkembangannya.
Namun di sisi lain, perlindungan hukum
terhadap profesi guru juga harus diperhatikan. Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang
Guru dan Dosen menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan
terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada Ayat (2) disebutkan
bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja.
Persoalannya adalah hingga saat ini belum
peraturan pelaksanaan yang secara teknis operasional mengatur berbagai macam
perlindungan terhadap guru, termasuk perlindungan hukumnya. Akibatnya, ketika
dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi guru acapkali menjadi sangat
lemah. Dalam kasus-kasus tertentu, guru selain diadukan sebagai pelaku
kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai
korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa. Pada kasus pertama, guru dilaporkan melanggar hak
perlindungan anak ketika memberikan sanksi pelanggaran disiplin terhadap siswa,
seperti dijewer, dipukul, dibentak, disuruh lari mengelilingi halaman sekolah,
disuruh push up beberapa kali,
disuruh menghormat bendera dalam kondisi cuaca panas sampai akhir pelajaran,
membersihkan toilet, dan sebagainya. Jenis-jenis hukuman disiplin seperti yang
masa lampau dianggap biasa atau “lumrah” dalam dunia pendidikan, saat ini
“dinilai” tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang
Perlindungan Anak.[31]
Dan juga yang
dijelaskan di pasal 40 peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru
menjelaskan bahwa “Guru berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain”. Telah dijelaskan dengan jelas di pasal
tersebut bahwa guru mendapatkan perlindungan hukum dari hal-hal yang dapat
merugikan atau mengancam nyawanya. Perlindungan guru ada juga dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi
Pendidik Dan Tenaga Kependidikan di pasal 2 ayat 3 yang berbunyi “Perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup perlindungan
terhadap:
a.
tindak kekerasan;
b.
ancaman;
c.
perlakuan diskriminatif;
d.
intimidasi; dan/atau
e.
perlakuan tidak adil,
Dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik,
Masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan
tugas sebagai Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Dan lagi dengan dkeluarkannya yurisprudensi
yang mengenai tentang perlindungan terhadap guru, yurisprudensi dikeluarkan
karena adanya kasus penganiayaan terhadap guru, guru tak mampu dipidana era
menjalankan profesinya serta melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.
Hal itu diputuskan era mengadili guru dari Majalengka, Jawa Barat, SD Aop
Saopudin (31). Kala itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut
gondrong yang dengannya mencukur rambut siswa yang telah di sebutkan pada Maret
2012. Salah seorang siswa tak terima serta melabrak Aop yang dengannya
memukulnya. Aop pula dicukur balik. Walau pernah sempat didemo para guru,
polisi serta jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan
pasal berlapis, yakni: 1. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Perlindungan Anak
perihal perbuatan diskriminasi terhadap anak. Pasal itu berbunyi: Setiap orang
yng yang dengannya sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yng
menghasilkan anak mengalami kerugian, baik materiil ataupun moril menjadikan
menghambat fungsi sosialnya dipidana yang dengannya pidana penjara paling lama
5 tahun serta/ataupun denda paling tidak sedikit Rp 100 juta. 2. Pasal 80 ayat
1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP perihal
Perbuatan Tak Menyenangkan. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan
oleh PN Majalengka serta Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Namun oleh MA, hukuman
itu dianulir serta menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yng diketok
pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Dr Salman Luthan yang
dengannya anggota Dr Syarifuddin serta Dr Margono. Ketiganya membebaskan Aop
lantaran guru Aop memiliki tugas bagi
atau bisa juga dikatakan untuk mendisiplinkan siswa yng rambutnya telah panjang/gondrong
bagi atau bisa juga dikatakan untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya
merupakan: Apa yang di lakukan terdakwa merupakan telah menjadi tugasnya serta
bukan adalah suatu tindak pidana serta terdakwa tak bisa dijatuhi pidana atas
perbuatan/tindakannya yang telah di sebutkan lantaran bertujuan bagi atau bisa
juga dikatakan untuk mendidik agar menjadi murid yng baik serta berdisiplin.
Berdasarkan amanat Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seperti disebutkan di atas, dapat
dikemukakan ranah perlindungan hukum bagi guru. Frasa perlindungan hukum yang
dimaksudkan di sini mencakup semua dimensi yang terkait dengan upaya mewujudkan
kepastian hukum, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi guru dalam menjalankan
tugas-tugas profesionalnya.
1.
Perlindungan hukum
Semua
guru harus dilindungi secara hukum dari segala anomali atau tindakan semenamena
dari yang mungkin atau berpotensi menimpanya dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Perlindungan hukum dimaksud meliputi perlindungan yang muncul
akibat tindakan dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat,
birokrasi atau pihak lain, berupa:
a.
tindak kekerasan,
b.
ancaman, baik fisik maupun psikologis
c.
perlakuan diskriminatif,
d.
intimidasi, dan
e.
perlakuan tidak adil.[32]
2.
Perlindungan profesi
Perlindungan
profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hukubungan kerja (PHK) yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.[33]
Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen , dalam Pasal 14 huruf f menyebutkan “. Guru berhak
memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan dan atau sanksi kepada peserta
didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan
perundang undangan. “
Demikian pula disebutkan dalam
Peraturan Pelaksanannya, Pasal 39 Peraturan Pamerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru menyebutkan
bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak
tertulisyang ditetapkan oleh guru, peraturan tingkat satuan
pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran dibawah
kewenangannya. (2) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
teguran dan atau peringatan baik lisan maupun tertulis serta hukuman yang
bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan
perundang-undangan . jadi dari ketentuan ini sangat jelas guru dapat memberikan
sanksi kepada peserta didik jika murid berprilaku tidak baik dan
melanggar norma norma seperti yang disebutkan diatas, dan selama dalam proses belajar
disekolah adalah kewenangan guru sebagai pendidik sebagai wujud dari upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas murid dan berakhlak
mulia.[34]
Sehingga jika batasan dan
makna normatif ini dipahami dan dioperasionalkan secara utuh oleh para guru,
peserta didik, dan orang tua peserta didik seharusnya tidak ada lagi guru yang
berhadapan dengan persoalan hukum dalam melakukan penghukuman disiplin kepada
peserta didik kecuali atas prilaku di luar proses pendidikan atau nyata nyata
guru tersebut memang dengan sengaja melakukan tindak pidana di luar batas
rasional yaitu berupa tindaan kekerasan, pelecehan seksual, atau pemerkosaan
atau hal hal yang bertentangan dengan prilaku guru.
Asas dalam hukum pidana
menyebutkan pada umumnya siapapun yang melakukan tindak pidana dapat dimintai
pertanggung jawaban dengan catatan perbuatan tersebut dapat dicela dan kepada
pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban, namun demikian adapula
pengecualian yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana seperti yang
diatur dalam ketentuan pidana antar lain, ada alasan pembenar dan ada alassan
pemaaf yaitu dapat berupa melaksanakan perintah atasan, melaksanakan
undang-undang, dalam keadaan terpaksa dan menyelamatkan jiwa , atau bagi
orang yang hilang ingatan, hal hal ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Sehingga pertanyaannya bagi
guru yang mendisiplinkan dan memberikan sanksi hukuman (corporal punishment)
bagi murid yang melanggar norma-norma kepatutan, kesopanan, akademik dan
kesusilaan dapatkah dipidanakan? Padahal guru memiliki kewenangan dan
haknya sebagai pelimpahan dari perannya yang diatur oleh undang-undang sebagai
fungsi dan kedudukannya sebagai guru. Prilaku prilaku murid yang terkadang
bertentangan dengan norma norma tersebut yang pada akhirnya diberikan sanksi
oleh guru kepada muridnya tidak dapatlah dikategorikan pidana, sanksi sanksi
disipilin yang diberikan oleh guru kepada murid yang melanggar norma
norma tersebut tidak dapat dikategorikan pidana.[35]
Lebih lanjut asas-asas dalam
hukum pidana menjelaskan berkait tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan
“Tuchrecht” sebagai alasan pembenar. Alasan penghapusan pidana merupakan dasar
yang digunakan untuk tidak dipidananya seorang pelaku tindak pidana. Alasan
penghapusan pidana ini dapat berupa alasan pembenar, yakni alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, dan alasan pemaaf adalah
alasan yang menghapuskan kesalahan. Seorang guru yang melakukan
tindakan-tindakan kedisiplinan pada batas-batas tertentu, dan dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan
(dipidana), meskipun secara formal guru tersebut telah melakukan perbuatan
melawan hukum (tindak pidana). Hal ini dikarenakan adanya alasan pembenar yang
menyertai perbuatannya, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
suatu perbuatan. Dalam hal ini dikenal dengan asas “sifat melawan hukum
materiel”(dalam fungsinya yang negatif). Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa
sifat melawan hukum materiel identik dengan melawan/ bertentangan dengan hukum
tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law),
bertentangan dengan asas asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan
sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi,
hukum tidak dimaknai sebagai wet, tetapi dimaknai secara materiel sebagai
“recht”. Oleh karena itu sifat melawan hukum materiel identik dengan
“onrechtmatige daad”.
Sifat melawan hukum materiel
ini dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni: a. fungsinya yang negatif artinya
sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma di luar undangundang) dapat
digunakan sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan) sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan. Jadi tidak adanya sifat melawan hukum
materiel dapat digunakan sebagai alasan pembenar.[36]
Dalam kerangka konsep sifat melawan hukum materiel dengan
fungsinya yang negatif, perbuatan guru (selama melaksanakan tugas/profesinya)
yang secara formal bersifat melawan hukum, misalnya pemberian peringatan keras,
pemberian tugas-tugas, skorsing, dan lain-lain, selama perbuatan tersebut
dilakukan dalam rangka mendidik demi tercapainya tujuan pedidikan, maka akan
menghapuskan sifat melawan hukum materiel dari perbuatannya tersebut. Memang
dalam praktek perkembangan hukum pidana, terdapat perbuatan-perbuatan yang
hilang sifat melawan hukumnya atas dasar alasan pembenaran yang tidak mungkin
ditemukan dalam undang-undang (tertulis) yang ada. Penilaian mengenai hapusnya
sifat melawan hukum materiel dari tindak pidana yang dilakukan guru tersebut
berdasarkan atas nilai-nilai dan hukum tidak tertulis yang diakui dalam profesi
guru, secara teoritis dikenal dengan istilah “tuchtrecht”, yakni hak mengawasi
dan mendidik dari orang tua, wali, guru terhadap anak-anak mereka dan
murid-muridnya di mana dalam batas-batas tertentu. Tindakan guru yang
diperkenankan dalam tuchtrecht ini bukan hanya merampas kebebasan
anak-anak/murid-murid, tapi juga tindakan penghukuman anak-anak/murid-murid
yang dilakukan pada batas-batas tertentu dengan kerugian yang seminimal
mungkin. Setidaknya tindakan tersebut harus memenuhi tiga syarat yakni (1)
dalam kondisi terpaksa; (2) penderaan secara terbatas (harus dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu; dan (3) dipergunakan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diperkenankan.[37]
Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia yang disampaikan
oleh Prof Barda Nawawi Arief, Prof Indrianto Seno Adji , disampaikan pada
Seminar Nasional tentang “Asas-Asas Hukum Pidana Nasional”, Semarang, 26-27
April 2004 “Bahwa diterimanya alasan pembenar yang meniadakan sifat
melawan hukum materiel suatu perbuatan jika suatu tingkah laku yang termasuk
dalam rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan keuntungan
yang demikian rupa dapat dirasakan, sehingga keuntungan ini lebih dari cukup
seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang bertentangan dengan
undangundang”. Dari kedua pendapat di atas, yang menjadi fokus dalam penggunaan
hukuman disiplin adalah keuntungan (benefit). Jadi, jika keuntungan (manfaat)
yang akan diperoleh dari perbuatan yang memenuhi rumusan delik tersebut lebih
besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkannya, maka karena hal itu dapat
menghilangkan sifat melawan hukumnya. Dalam suatu disertasi doktoral di
Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 22 Maret 1994, Komariah Emong
Sapardjaja memberikan kriteria yang merupakan gabungan pendapat Langmeyer dan
J.M. van Bemmelen serta putusan Mahkamah Agung untuk menghilangkan sifat melawan
hukum materiel, yaitu
1.
Harus dilihat apakah perbuatan mempunyai tujuan nyata yang
memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembuat undang undang.
2.
Melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana
yang dilanggarnya.
3.
Mempunyai nilai yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat
dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri, artinya jika hukuman
disiplin yang diberikan oleh guru dengan perbuatannya berkehendak untuk
mencapai tujuan yang oleh setiap orang dipandang sebagai suatu “tujuan yang
baik”, sehingga dapat dikesampingkannya kepentingan pembuat undang-undang yang
membuat peraturan pidana dengan tujuan memberikan perlindungan karena ada
tujuan yang lebih baik yang ingin dicapai dalam hal ini agar prilaku anak didik
baik dan benar.
Ketentuan konsep di ataslah yang dapat dipergunakan sekaligus
pembenar bagi guru memiliki hak memberikan sanksi disiplin (sanksi yang
mendidik) kepada muridnya tidaklah dapat dipidana. semestinya bagi guru,
sekolah, wali murid hendaklah dapat arif dan bijaksana terutama wali murid
harus “bening’ melihat persoalan pemberian hukuman disiplin yang diberikan guru
kepada muridnya, orang tua murid tidak perlu terburu buru melaporkan guru ke
kepolisian, di mana kesannya anak sudah dapat menjadi actor “pengadu domba”
antar guru dan orangtua/ wali murid.[38]
Konsekuensi dari Prinsip profesionalitas sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang Guru menyebutkan bahwa guru memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam tugas keprofesionalannya, demikian pula diatur
dalam Pasal 39 UU Guru menyebutkan bahwa pemerintah, organisasi profesi
dan aatau satuan pendidik wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugasnya, perlindungan dimaksud meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi terhadap perlakuan yang diskriminatif, ancaman , termasuk
didalamnya upaya upaya menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya,
intimidasi dan perlakuan yang tidak adil dari peserta didik, orang tua
peserta didik, masyarakat, birokarasi karenanya kepolisian sebagai pintu
grebang masuknya perkara pidana harus teliti dan sangat hati hati dalam
menerima laporan polisi berkait tentang hukuman disiplin kepada peserta didik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan
bahwa Guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam
pembangunan nasional dalam bidang pendidikan yakni upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan
berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan
bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Salah
satu prinsip profesionalitas bahwa Profesi guru merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan dengan memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. (vide
Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang nomor 14 tahun 2005).[39]
B.
Kekuatan hukum pelindungan guru
terhadap undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Masalah pendidikan merupakan salah satu
masalah yang bersifat universal dan prinsipil, artinya: semua manusia yang
berinteraksi dan mengaktualisasikan dirinya sangat membutuhkan pendidikan dan
pendidikan adalah merupakan suatu hak yang harus diterima melalui sekolah (school education) maupun luar sekolah (out of schooleducation). Bagi orang tua,
pendidikan merupakan kewajiban yang harus diberikan kebada anak dalam bentuk
pelayanan, bimbingan dan hal-hal lain mendukung pemuasan hak anak. Namun bagiu
orang dewasa, pendidikan merupakan hak yang diartikan sebagai hak untuk
menjalani pendidikan sepanjang hayat. Dengan demikian, masalah-masalah
kehidupan yang menyangkut dunia pendidikan adalah masdalah yang bersifat
publik.[40]
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan
Undang-Undang Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak
Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali
dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak
semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan
kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang
terpuji.
Terkadang dengan adanya undang-undang
perlindungan anak dan undangundang peradilan anak dan pula sanksi yang
meringangkan seperti Proses pemidanaan tentunya tidak hanya didasarkan pada
peraturan perundang-undangan pidana (hukum pidana positif) saja[41],
tetapi harus memperhatikan rambu-rambu penegakan hukum dan keadilan dalam
sistem hukum nasional.[42]
Jenis-jenis sanksi bagi anak diatur keentuan pasal 22-32 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang peradilan anak dapat berupa pidana atau tindakan yang
bersifat pidana pokok dan pidana Tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana:
pidana penjara; pidana kurungan, pidana denda, dsn pidana pengawasan pidana.
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari: perampasan barangbarang tertentu dan
pembayaran ganti rugi. Tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal
iala:mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja dan
menyerahjkan kjepada departemen sosial, atau Organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Pada asasnya, identik dengan Hukum Pidana Umum
(ius commune) maka Pengadilan Anak
hanya mengenal penjatuhan 1 (satu) pidana pokok saja. Tegasnya, komulasi 2
(dua) pidana pokok dilarang konkretnya, terhadap anak nakal yang melakukan
tindak pidana (pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang nomor 11 tahun 2012
tentang peradilan anak) Hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana pokok atau
tindakan sedangkan terhada anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut aturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang
peradilan anak) Hakim hanya dapat menjatuhkan tindakan (Pasal 5 ayat (1) dan
(2) UndangUndang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak).
Seringnya terkendala kepada aturan yang ada
perlindungan guru sering kali kalah dalam persidangan karena aturan yang
mengatur tentang perlindungan guru yang diatur di Peraturan Pamerintah nomor 74
tahun 2008 kedudukannya berada di bawah undang-undang, dengan begitu aturan
tersebut tidak mampu secara mutlak melindungi guru apabila berhdapan denan
undang-undang seperti undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak.
Bila dalam
pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman
(funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka
dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan
kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal,
eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Adanya KPAI dan Undang-Undang Perlindungan Anak secara yuridis
melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai
seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan
disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain,
seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu,
perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang
Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan
guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta
didiknya.
Perlakuan tidak adil atau semena-mena yang
diakukan siswa atau wali murid terhadap guru sebagai tenaga pendidik, mereka
seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan
perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan
kedisplinan, mereka dihadang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan KPAI.
Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal
menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik
akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut. Tatkala guru
ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan,
maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai
tindakan melanggar HAM dan Undang-Undang Perlindungan Anak mereka kemudian melaporkan
tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAI, Dengan kekuatan
tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya.
Akibat adanya KPAI dan Undang-Undang Perlindungan Anak, eksistensi guru berada
pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[43]
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, telah menetapkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga.masyarakat, pemerintah, dan
Negara (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). Selanjutnya, disebutkan
bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4 Undang-Undang
nomor 23 Tahun 2002). Khusus
dilingkungan sekolah, anak wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah
atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya (Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
Secara yuridis, Undang-Undang Perlindungan
Guru dan Dosen telah termuat dalam UndangUndang No 14 tahun 2005. Hal ini
terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan
dalam Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan
terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan
lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap
risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko
lainnya.[44]
Belajar dari beberapa
kasus guru yang dalam menjalani tugasnya yang rentan mudah dan kerap sekali
dikriminialisasi guru menjadi berpikir kembali ketika mau menghukum siswa yang
melanggar disiplin dan tata tertib sekolah. Belum kuatnya posisi kedudukan
Peraturan Peraturan perlindungan profesi guru dan belum adanya Undang-Undang
perlindungan guru, karena ketika terjadi kasus di lapangan yang ada adalah
perlawanan orang tua siswa dengan dalih Undang-Undang perlindungan anak dan
Undang-Undang HAM dengan kedudukan yang lebih tinggi dari dua perangkat hukum
diatas, diperlukan kedepan organisasi profesi untuk mendesak masuknya klausul
lebih detil tentang perlindungan profesi guru dalam Undang-Undang No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, bahkan kemungkinan “opsi” dibuatnya segera
Undang-Undang Perlindungan profesi guru.
Semata untuk
menyelamatkan profesi guru yang bertugas dilapangan kerap kali berhadapan
dengan hukum. Dihadapkan dengan tugas Pendidik dari guru, beberapa ketentuan
yang memberikan perlindungan terhadap anak tersebut in casu
peserta didik, dapat
mengeliminasi bentuk hukuman
fisik yang dapat diberikan guru terhadap peserta didik. Apabila guru hendak
menerapkan hukuman mendidik secara fisik, harus berpikir dahulu sebelum
bertindak, karena ada kekhawatiran tindakannya akan diklarifikasikan sebagai
suatu perbuatan kekerasan dan
pelanggaran HAM yang dapat dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Sungguh
ironis suatu bagian dari pendidikan yang akan menempa peserta didik menjadi
calon pemimpin bangsa yang berakhlak mulia, tercederai oleh kegalauan aturan
yang kurang memperhatikan unsur peranan pendidik dalam membina anak didik.
Sesungguhya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah
memberi aturan perlindungan bagi guru
yaitu pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap Guru
dalam pelaksanaan tugas.[45]
Perlindungan tersebut
meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja termasuk dalam perlindungan hukum, mencakup
perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskrimatif,
intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta
didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain (Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005).
Jaminan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas dan keprofesionalan, yang juga menjadi salah
satu prinsip profesionalitas belum bisa
memberi perlindungan hukum bagi guru yang
dalam melaksanakan tugas melakukan atau memberi hukuman mendidik secara
fisik bagi peserta didik. Begitu juga dengan Kode Etik Guru Indonesia, belum
mampu memberi perlindungan, apalagi kode etik tersebut tidak memuat kedudukan
semacam Majelis Kode Etik Guru atau Majelis Kehormatan Profesi atau sejenisnya
yang dapat menilai apakah tindakan guru dalam proses pendidikan yang
dilakukannya telah melanggar kode etik atau tidak (Pasal 7 huruf a
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005).
Disadari sepenuhnya, bahwa hingga saat ini Pemerintah belum sepenuhnya
berhasil memberikan layanan sesuai dengan ranah perlindungan yang diamanahkan
di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Termasuk
dalam jaminan perlindungan hukum bagi
guru dalam menjalankan tugas
keprofesionalannya, dihadapkan dengan perlindungan anak (didik) yang telah
memiliki dasar hukum yang kokoh yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Untuk itu diperlukan kemauan dan komitmen guru untuk
menghindari tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan menodai profesinya.
Kita tidak menutup mata terhadap tindakan
oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan.
Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan
sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang
tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru.
Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik
sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan
perlindungan yang diberikan. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru
dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu;
Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak
mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak
2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan
tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa
memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital.
(2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan
secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[46]
[29]http://http://kaltim.tribunnews.com/2017/01/24/urgensi-perlindungan-hukum-terhadapprofesi-guru, diakses tanggal 2 juli 2018, jam 23:38 WIB
[31] Radar banjarmasin, http://kalsel.prokal.co/read/news/4842-perlindungan-hukum-terhadap-guru-dari-%20%20tindakankekerasan.html, diakses tanggal 30 mei 2018, jam 20.00 wib
[34]https://www.infoptk.com/2016/10/Dalam.Rangka.Mendisiplinkan.Siswa.Guru.Tidak.BIsa.Dipidana.html, diakses tanggal 30 mei 2018, jam 20.00 wib
[35] https://adpgsdindonesia.org/2016/08/19/guru-boleh-mendisiplinkan-putusan-ma
[36] Ibid
[37] Ibid
[38]https://www.pilahberita.com/2016/08/mahkamah-agung-guru-jangan-takut-guru.html, diakses tanggal 20 agustus 2018, jam 20.00
wib
[39] Ibid
[43] https://syaiful64.wordpress.com/2009/03/10/pentingnya-undang-undangperlindunganguru/, diakses tanggal 21 agustus 2018
jamm 14.00 wib