Monday 8 October 2018

yang dimaksud dengan Maqamat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau derajat dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat tentang maqam tersebut, terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang mana maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal ini, baik dari nash al-Quran maupun sunnah.
Maqamat dan ahwal merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu tasawuf dimana istilah memilliki arti dan peranan penting dalam bertasawuf. Maqamat adalah tingkatan seoorang hamba di hadapan –Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Ahwal adalah jamak dari fi’il madi hal yang artinya keadaan , keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang, Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jamak dari hal) Dua persoalan ini harus dilalui oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Tingkatan  (maqam) adalah tingkatan  seorang hamba di hadapan-nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan  (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Di  kalangan kaum sufi , urutan maqam ini berbeda-beda ,sebagian mereka merumuskan  maqam-maqam  dengan sederhana, seperti  rangkaian maqam  qana’ah  berikut ini. Tanpa qana’ah, tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal , taslim tidak akan ada; sebagaimana tanpa tobat,inabah tidak akan ada;tanpa wara’,zuhud tidak akan ada.[1]
Adapun perbedaan maqamat dan ahwal itu kalau maqomat diperoleh dengan daya dan upaya ataupun usaha akan tetapi kalau ahwal datang dengan sendirinya dalam artian tanpa usaha. Antara maqam dan hal sangat berkaitan ibarat dua sisi dalam satunmata uang,keterkaitan keduanya dapat di lihat dari dalam kenyataan bahwa maqam menjadi persyaratan menuju tuhan; bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Namun sebaliknya hal yang di temukan dalam maqom akan mengntarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
Dikarenakan betapa pentingnya pengetahuan tentang maqamat dan ahwal, kita akan membahas materi tentang maqamat dan ahwal lebih rinci. Dikarenakan, dengan kita mengetahui tentang maqamat dan ahwal lebih rinci, kita bisa lebih mengetahui cara beribadah dengan benar dan menjadi hamba Allah yang diridai. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada kita yang ingin belajar. 

B.     Judul Makalah
Adapun judul makalah ini adalah Maqamat dan Ahwal.

C.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada pembahasan ini meliputi sarana sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Maqamat ?
2.      Bagaimana klasifikasi dari Maqamat ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Ahwal ?
4.      Bagaimana klasifikasi dari Ahwal ?

D.    Tujuan Pembahasan
            Adapun tujuan  pada pembahasan ini meliputi  sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui definisi dari Maqamat
2.      Untuk mengetahui klasifikasi dari Maqamat
3.      Untuk mengetahui definisi dari Ahwal
4.      Untuk mengetahui klasifikasi dari Ahwal



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Maqamat  
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat (usaha menahan hawa nafsu) dan lain-lain, latihan spritual serta berhubungan yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt.
Secara teknis maqamat  juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyaini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah swt. Tingkatan (maqam) adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Allah tidak lain merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan keaadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara.[2]
Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban. [3]
Sehingga, dapat dipahami bahwa maqam adalah kedudukan seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt. Posisi tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui maqam-maqam yang banyak, dari maqam paling rendah sampai tertinggi.
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan). Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan mengetahui penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt.

B.       Klasifikasi Maqamat
1.        Al Zuhud
Zuhud merupakan maqam yang penting yang harus dilewati oleh para sufi dalam perjalanannya menuju Allah SWT. Sebagaimana yang diketahui bahwa maqam zuhud pernah menjadi suatu gerakan masal umat Islam pada abad pertama hijriyah, sebagai gerakan protes kepada para
Gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi yang masyhur yaitu Hasan al-Basri.
Ada beberapa definisi mengenai zuhud, di antaranya disebutkan oleh Imam Ali bahwa zuhud adalah hendaklah seseorang tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah teerhadap keduniawian, baik dari orang mu’min maupun orang kafir. Sedangkan al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah bersifat dermawan sehingga tidak ada yang dimilikinya dan tidak bersifat serakah. [4]
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya.  
Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahawa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan Seorang sufi meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk menuju Tuhan yang dicintai.
Menurut Imam al-Ghazali bahawa hakikat zuhd adalah “meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling daripadanya kepada sesuatu yang lain yang terlebih baik daripadanya kerana menginginkan sesuatu di dalam akhirat”. Seiring dengan pernyataan al-Ghazali, Ibn Taymiyyah pula berkata bahawa zuhd itu bererti meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.[5]   
Dari beberapa pendapat yang dipaparkan oleh para ahli, dapat diambil intinya bahwa zuhd adalah sikap yang dilakukan hanya untuk memfokuskan diri dalam mengingat dan mengenal-Nya, dan tidak begitu mementingkan perihal keduniaan.
Sayyidina Abu bakar merupakan khalifah pertama dan juga beliau dikenal dengan kezuhudannya, diriwayatkan bahwa beliau menginfakkan seluruh hartanya untuk kepentingan perang di jalan Allah. Ketika Rasulullah menanyakan, “Apa yang tersisa dalam rumahmu?”, lalu beliau menjawab bahwa Allah dan Rasulnya yang masih tersisa.
Banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang zuhud, yang artinya:

“Mereka menjual Yusuf dengan harga murah, beberapa dirham sahaja, sedang mereka itu orang yang zuhd (kurang suka) kepadanya.[6]

“katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”[7]

2.        Al Taubah
Al Taubah adalah memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah dilakukan pada saat yang lampau, dan inilah taubat yang paling rendah. Kemudian, taubat yang tingkatannya lebih tinggi adalah taubat terhadap pangkal dosa seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri, pamer dan lain. Sedangkan taubat yang paling tinggi adalah taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan syetan dan kelalaian dari mengingat Allah.[8]
Ajaran-ajaran al-Quran tentang taubat, diantaranya:
“……….dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”[9]

“… kembalilah kamu pada Tuhanmu, dan berserah dirilah pada-Nya sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak mendapatkan pertolongan (lagi)” [10]

3.        Al Wara’
Al Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tampak kecil.
Ibrahim bin Adham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan segala sesuatu yang subhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat berarti meninggalkan hal-hal yang berlebih” [11]
Dalam penjelasan wara’ Allah telah berfirman:
    “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [12]

4.        Al Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi merupakan tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer; bisa juga diartikan tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt.
Adapun menurut Kyai Acmad Al-faqr berarti adanya kesadaran, bahwa diri ini tidak memiliki sesuatu sama sekali yang patut bernilai dihadapan Allah Swt. Bukan saja kekayaan yang berupa harta benda,kekuasaan kepandaian,tetapi amal ibadah yang dilakukan sepanjang hidup ini, juga sama sekali tidak sepatutnya di andalkan, apalagi di banggakan di hadapan Allah Swt. [13]
Dapat disimpulkan Al-faqr adalah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah swt. atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap apapun yang membuat jauh dari Allah swt.

5.        Al Shabr
Sabar menurut bahasa adalah menahan atau bertahan. Allah memberikan perintah kepada umat manusia untuk memiliki sifat sabar, dalam firman-Nya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',”[14]

Sabar berarti menahan diri agar selalu mengamalkan sesuatu yang disukai Allah atau menghindarkan diri untuk melakukan segala sesuatu yang dibenci Allah. [15]
Kaum sufi memandang sabar sebagai keadaan menerima segala cobaan yang diberikan Allah kepada mereka, mentaati segala perintahNya, dan menjauhi segala laranganNya. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menganjurkan kesabaran, diantaranya:
“(Kisah Nuh) itu adalah perkhabaran ghaib, Kami wahyukan kepada engkau (ya Muhammad), sedang engkau tidak mengetahuinya dan
tidak pula kaummu sebelum ini. Sebab itu bersabarlah. Sesungguhnya
akibat (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa.”[16]

“Hendaklah engkau bersabar, kerana sesungguhnya Allah tidak
mensia-siakan pahala orang- orang yang berbuat kebaikan.”[17]

“Sabarlah engkau (ya Muhammad) dan tiadalah kesabaran engkau itu, melainkan dengan (pertolongan) Allah, dan janganlah engkau berduka cita terhadap mereka itu dan jangan pula sempit hati (keluh kesah) disebabkan mereka.”[18]
                                                  
“Hai anakku, dirikanlah solat dan suruhlah orang (membuat) yang ma`ruf (yang baik) dan laranglah (membuat) yang mungkar (haram),
serta sabarlah atas cubaan yang menimpa engkau. Sesungguhnya
demikian itu pekerjaan yang dicita-citakan.”[19]

“Kesabaran harus diaplikasikan dengan baik dan indah.
Maka sabarlah engkau dengan kesabaran yang indah.”[20]42

“Sabar itu harus selalu diiringi dengan solat sebagai meminta tolong padaNya. Minta tolonglah kamu kepada Allah dengan kesabaran dan (mengerjakan) solat, dan sesungguhnya solat itu amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang tunduk (kepada) Allah.”

“Musa berkata kepada kaumnya: Mintalah pertolongan kepada Allah dan sabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba hambaNya. Akibat yang baik itu adalah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”[21]

6.        Tawakkal
Tawakkal berwazan tafaaulun dari kata al wakalah atau al wikalah yang berarti memperlihatkan ketidakmampuan dan bersandar pada orang lain. Menurut terminologi, tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan selain pada Allah Swt.[22]
Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka mahupun duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah dan gelisah. Terdapat beberapa arti terjemahan dari ayat al-Quran yang menjelaskan tentang tawakkal, diantaranya yaitu:

“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya. Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”[23]

“Hukum (keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. KepadaNya aku bertawakkal (menyerahkan diri) dan hendaklah bertawakkallah kepadaNya wahai orang-orang yang tawakkal.”[24]

“Kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu orang yang
beriman.”[25]

“Apabila kamu bercita-cita (sentiasa) berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bertawakkal itu.”[26]55

“Ketika dua golongan di antara kamu bercita-cita hendak mundur
(melarikan diri) dan Allah wali (memelihara) kedua-duanya dan hanya
kepada Allah hendaklah orang-orang beriman menyerahkan diri.”[27]

7.        Ridha
Kata ridha berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”.
Ridha ialah kondisi kejiwaan atau sikap mental seseorang yang selalu menerima dengan lapang dada atas semua karunia yang diberikan atau musibah yang ditimpakan kepadanya. [28]
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” [29]



8.        Mahabbah
Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju keridhaan Allah. Kecintaan  pada Allah akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hati manusia, dan ini merupakan nikmat terbesar bagi seseorang. Cinta bagi Rabbi bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga lebih daripada itu di mana beliau mengharapkan keredhaan Allah semata-mata.
Pengertian Mahabbah lebih luas lagi yaitu:
a.         Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang melawan pada Tuhan.
b.         Berserah diri kepada Tuhan
c.         Mengosongkan perasaan di hati dari segala-segalanya kecuali dari Dzat yang Dikasihi..
Dalam ajaran tasawuf, Mahabbah dikaitkan dengan ajaran yang disampaikan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al- Adawiyah. Mahabbah adalah penekanan rasa cinta kepada Tuhan. [30]
Allah pernah menyentuh masalah cinta ini di dalam al-Qur’an di mana ada di antara manusia yang tegar menyembah dan mencintai selain daripadaNya sedangkan Allah sahaja yang berhak disembah dan dicintai. Allah menghuraikan perkara tersebut dalam firmanNya yang bermaksud:
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahawa Allah amat berat seksanya (niscaya mereka menyesal).”[31]
Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah cinta yang sebenarnya; bahawa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selainNya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah bahagi serta tidak bercampur dengan selainNya.



C.       Definisi Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan. Hal adalah keadaan atau peristiwa yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal  adalah pemberian dari Allah ketika sang Sufi menapaki jalan menuju jalan Allah.[32]
Al-Qusyairy memberikan makna ahwal adalah anugerah Allah atau keadaan yang datang tanpa wujud kerja. Dalam ahwal terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini, tidak memberikan suatu sinyalemen atau peringtan atau pemberitahuan tentang macam-macam dan tingkatan-tingkatan ahwal tersebut dalam hadis-hadis Beliau.  
Dengan kata lain, ahwal secara umum dapat ditemukan dalam ungkapan ayat Alquran maupun hadis Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana peringkat tertinggi dan terendah dari ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat ahwal adalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama sufi.[33]

D.      Klasifikasi Ahwal
1.        Mawas diri dan waspada (muhasabah muraqabah)
Muhasabah dan muraqbah ini merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dikarenakan saling berkaitan erat. Mawas diri diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, dan hal tersebut yang menjadikan seseorang menjadi takut, hormat dan taat pada Allah.   
Terjemahan ayat al-Quran yang berkaitan dengan muhasabah muraqabah, diantaranya:
“……... dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu”[34]

“Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi. Dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kesana. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan[35]

Masih banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang membahas mengenai muraqabah, seperti Allah mangawasi yang lahir maupun yang batin, mengetahui segala sesuatu, melihat, mendengar, dan Allah selalu bersama manusia di berbagai situasi dan keadaan.  
Konsistensi diri terhadap perilaku yang baik adalah kunci utama untuk mencapai muraqabah. Konsistensi ini mampu dipenuhi dengan senantiasa mawas diri, dan menjaga dari perilaku yang tidak sesuai dengan perintah Allah. Sehingga perlu kedisiplinan tinggi untuk mencapai muraqabah.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa seorang sufi bisa sampai pada ahwâl muraqabah jika ia telah sepenuhnya melaksanakan perhitungan terhadap perilakunya di masa lalu yang telah dilakukannya dan melakukan perubahanperubahan menuju perilaku yang lebih baik. [36]  
2.        Mengharap dan takut (al-raja’ wa al khauf)
Raja’ adalah optimis terhadap rahmat Allah, dan hati merasa tenteram karena menunggu sesuatu yang diinginkan. Namun, sikap mengharap itu diikuti oleh perasaan takut terhadap berbagai kemungkinan yang akan membawa kebencian terhadap Allah.  
Khauf dalam tasawuf bermaksud hadirnya perasaan takut ke dalam diriseorang salik (orang yang menuju Tuhan) kerana dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang akan menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan merasa lebih takut kepada dirinya sendiri sama sebagaimana ketakutannya kepada musuhnya. Saat khauf menghampirinya ia merasa tenteram dan tenang kerana kondisi hatinya yang semakin dekat dengan Tuhan. Perasaan khauf akan menghalangnya melarikan diri daripada Tuhannya.[37]
3.        Rindu dan intim (syauq wa al uns)
Dalam ilmu tasawuf, dijelaskan bahwa seorang sufi selalu merasakan sebuah kerinduan dalam jiwanya kepada Allah. Terdapat beberapa sufi yang memandang bahwa maut adalah bukti yang nyata ketika sufi itu itu merasakan rindu, dan melupakan Allah adalah hal yang lebih berbahaya daripada kematian.
Intim merasa selalu berteman, bercengkrama dengan Allah. Seorang sufi yang memiliki perasaan intim yang seperti ini, maka ia akan beribadah dengan penuh ketentraman dan ketenangan yang tidak ada bandingannya. Perasaannya selalu bersama Allah, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan seorang sufi akan melupakan atau menghilangkan ingatannya terhadap selain Allah.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat (usaha menahan hawa nafsu) dan lain-lain, latihan spritual serta berhubungan yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. Klasifikasi dari maqamat yaitu dimulai dari Al Zuhud, Al Taubah, Al Wara’, Al Faqr, Al Shabr, Tawakkal, Ridha, dan juga Mahabbah.
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan. Hal adalah keadaan atau peristiwa yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal  adalah pemberian dari Allah ketika sang Sufi menapaki jalan menuju jalan Allah. Klasifikasi dari ahwal yaitu dimulai dari Mawas diri dan waspada (muhasabah muraqabah), Mengharap dan takut (al-raja’ wa al khauf), hingga Rindu dan intim (syauq wa al uns).

B.     Saran
Pada makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi susunan kata, penulisan dan sebagainya. Maka, kami sebagai pemakalah mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan kami, dikarenakan kami hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan semoga dengan kritik dan saran yang di berikan bisa kami jadikan pelajaran untuk  memperbaiki makalah kami kedepannya.






DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung:  Pustaka Setia, 2010.
Asnawiyah. Maqam dan Ahwal, Makna dan Hakikatnya dalam Pendakian Menuju Tuhan. 12 Vol. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2014.
Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna. Bekasi: Mulia Abadi, 2015.
Farhan, Ibnu. Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi. 2 Vol. Cirebon: IAI Bunga Bangsa Cirebon, 2016.
Miswar. Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses Bertasawuf).    1 Vol. Medan: FITK UIN-SU Medan, 2017.
Muhammad, Hasyim. Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani. Semarang: IAIN Walisongo , 2014.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung:  Pustaka Setia, 2014.
Rajab, Khairunnas. Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf. Riau: Universitas Islam Negeri SUSKA, 2007.
Solichin, Mohammad Muchlis. Akhlak  & Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.





[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung:  Pustaka Setia, 2010),  hlm. 197.
[2] Miswar, “Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses Bertasawuf).” Jurnal Ansiru PAI, vol.1, 2 (Januari, 2017) hlm., 9-10.
[3] Asnawiyah, “Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya dalam Pendakian Menuju Tuhan.” Substantia Jurnal, vol.16, 1 (April, 2014) hlm., 81.
[4] Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi.” Yaqzhan,  vol.2, 2 (Desember, 2016) hlm., 164-165.
[5] Khairunnas Rajab, “Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf.” Jurnal Usuluddin, (2007) hlm., 7-8.
[6] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 237.
[7] Ibid. 77.
[8] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak  & Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 149-150.
[9] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm.,  353.
[10] Ibid. 362.
[11] Hasyim Muhammad, “Maqâmât dan ahwâl dalam Tafsir al-Jilani.” Maqamat dan Ahwal, 1 (September, 2014) hlm., 25-26.
[12] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015)  hlm., 345.
[13] Miswar, “Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses Bertasawuf).” Jurnal Ansiru PAI, vo.1, 2 (Januari, 2017) hlm., 15.
[14] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 7.
[15]Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 35-36.
[16] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 227.
[17] Ibid. 234.
[18] Ibid. 281.
[19] Ibid. 312.
[20] Ibid. 568.
[21] Ibid. 7.
[22] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak  & Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm.154.
[23] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 228.
[24] Ibid. 243.
[25] Ibid. 111.
[26] Ibid. 71.
[27] Ibid. 66.
[28] Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 42.
[29] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 196.
[30] A. Mustofa, Akhlak Taswuf  (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 240-241.
[31] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 25.
[32] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak  & Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 169-170.
[33] Asnawiyah, “Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya dalam Pendakian Menuju Tuhan.” Substantia Jurnal, vol.16, 1 (April, 2014) hlm., 83.
[34] Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna (Bekasi: Mulia Abadi, 2015) hlm., 425.
[35] Ibid. 538.                                                                               
[36] Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 46-48.
[37] Khairunnas Rajab, “Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf.” Jurnal Usuluddin, (2007) hlm., 21-22.