BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang
derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau
derajat dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi
tersebut kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan
pendapat tentang maqam tersebut,
terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang mana maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal ini, baik dari nash al-Quran
maupun sunnah.
Maqamat
dan ahwal merupakan istilah yang
terdapat dalam ilmu tasawuf dimana istilah memilliki arti dan peranan penting
dalam bertasawuf. Maqamat adalah tingkatan
seoorang hamba di hadapan –Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang
dilakukannya. Ahwal
adalah jamak dari fi’il madi hal yang artinya keadaan , keadaan atau kondisi
psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam
tertentu.
Lingkup irfani
tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses
yang panjang, Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam
(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jamak
dari hal) Dua persoalan ini harus dilalui oleh orang yang berjalan menuju
Tuhan. Tingkatan (maqam) adalah tingkatan
seorang hamba di hadapan-nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah)
jiwa yang dilakukannya. Di kalangan kaum
sufi , urutan maqam ini berbeda-beda
,sebagian mereka merumuskan maqam-maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam qana’ah
berikut ini. Tanpa qana’ah, tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal ,
taslim tidak akan ada; sebagaimana tanpa tobat,inabah tidak akan ada;tanpa
wara’,zuhud tidak akan ada.[1]
Adapun perbedaan maqamat
dan ahwal itu kalau maqomat diperoleh
dengan daya dan upaya ataupun usaha akan tetapi kalau ahwal datang dengan sendirinya dalam artian tanpa usaha. Antara maqam dan hal sangat berkaitan ibarat
dua sisi dalam satunmata uang,keterkaitan keduanya dapat di lihat dari dalam
kenyataan bahwa maqam menjadi
persyaratan menuju tuhan; bahwa dalam maqam
akan ditemukan kehadiran hal. Namun sebaliknya hal yang di temukan dalam maqom
akan mengntarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam
selanjutnya.
Dikarenakan betapa pentingnya pengetahuan tentang maqamat
dan ahwal, kita akan membahas materi tentang maqamat dan ahwal lebih rinci. Dikarenakan, dengan kita mengetahui tentang maqamat dan ahwal lebih rinci, kita bisa lebih mengetahui cara
beribadah dengan benar dan menjadi hamba Allah yang diridai. Diharapkan dengan
adanya makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada kita yang
ingin belajar.
B.
Judul Makalah
Adapun judul makalah ini adalah “Maqamat
dan Ahwal”.
C.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada pembahasan ini
meliputi sarana sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Maqamat ?
2. Bagaimana klasifikasi
dari Maqamat ?
3. Apa yang dimaksud dengan Ahwal ?
4. Bagaimana klasifikasi
dari Ahwal ?
D.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pada pembahasan ini meliputi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dari Maqamat
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari Maqamat
3. Untuk mengetahui definisi dari Ahwal
4. Untuk mengetahui klasifikasi
dari Ahwal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Maqamat
Maqamat adalah
bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau
derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations
atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan,
mujahadat (usaha menahan hawa
nafsu) dan lain-lain, latihan spritual serta berhubungan yang
tidak putus-putusnya dengan Allah swt.
Secara
teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk
meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan
Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah
pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyaini sebagai amalan
yang lebih tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah swt. Tingkatan
(maqam) adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Allah tidak lain
merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan
keaadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara.[2]
Menurut al-Qusyairi
yang dimaksud dengan maqam adalah
hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki
hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala
kewajiban. [3]
Sehingga, dapat dipahami bahwa maqam adalah kedudukan seseorang yang
menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt. Posisi tersebut tidak diperoleh
begitu saja, tetapi harus melalui proses yang sungguh-sungguh. Dengan kata
lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui oleh para sufi untuk
mencapai derajat tertinggi harus melalui maqam-maqam
yang banyak, dari maqam paling rendah
sampai tertinggi.
Dalam rangka meraih
derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan
spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah
swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal
dengan maqam (tingkatan). Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode
pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah
swt. Manusia tidak akan mengetahui penciptanya selama belum melakukan
perjalanan menuju Allah swt.
B. Klasifikasi Maqamat
1.
Al Zuhud
Zuhud
merupakan maqam yang penting yang harus dilewati oleh para sufi dalam
perjalanannya menuju Allah SWT. Sebagaimana yang diketahui bahwa maqam zuhud
pernah menjadi suatu gerakan masal umat Islam pada abad pertama hijriyah,
sebagai gerakan protes kepada para
Gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi yang masyhur yaitu Hasan al-Basri.
Gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi yang masyhur yaitu Hasan al-Basri.
Ada
beberapa definisi mengenai zuhud, di antaranya disebutkan oleh Imam Ali bahwa
zuhud adalah hendaklah seseorang tidak terpengaruh dan iri hati terhadap
orang-orang yang serakah teerhadap keduniawian, baik dari orang mu’min maupun
orang kafir. Sedangkan al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah bersifat
dermawan sehingga tidak ada yang dimilikinya dan tidak bersifat serakah. [4]
Al-Junayd
al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd
adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di
sini seorang sufi
tidak memiliki sesuatu yang berharga
melainkan
Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya.
Sebagaimana
juga Yahya
ibn Mu`adh menyatakan bahawa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan Seorang sufi
meninggalkan harta benda
dan kemewahan duniawi untuk
menuju
Tuhan yang dicintai.
Menurut
Imam al-Ghazali bahawa hakikat zuhd adalah “meninggalkan
sesuatu yang dikasihi dan berpaling daripadanya kepada sesuatu yang
lain yang terlebih
baik daripadanya kerana menginginkan
sesuatu
di dalam akhirat”. Seiring
dengan pernyataan al-Ghazali, Ibn
Taymiyyah
pula berkata bahawa zuhd itu bererti meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk
kepentingan akhirat.[5]
Dari beberapa pendapat yang dipaparkan oleh para ahli,
dapat diambil intinya bahwa zuhd
adalah sikap yang dilakukan hanya untuk memfokuskan diri dalam mengingat dan
mengenal-Nya, dan tidak begitu mementingkan perihal keduniaan.
Sayyidina Abu bakar merupakan khalifah pertama dan
juga beliau dikenal dengan kezuhudannya,
diriwayatkan bahwa beliau menginfakkan seluruh hartanya untuk kepentingan
perang di jalan Allah. Ketika Rasulullah menanyakan, “Apa yang tersisa dalam
rumahmu?”, lalu beliau menjawab bahwa Allah dan Rasulnya yang masih tersisa.
Banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang zuhud, yang artinya:
“Mereka
menjual Yusuf dengan harga murah, beberapa dirham sahaja, sedang
mereka itu orang yang zuhd (kurang suka) kepadanya.”[6]
“katakanlah kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”[7]
2.
Al Taubah
Al Taubah
adalah memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah dilakukan
pada saat yang lampau, dan inilah taubat yang paling rendah. Kemudian, taubat
yang tingkatannya lebih tinggi adalah taubat terhadap pangkal dosa seperti
taubat dari sifat dendam, sombong, iri, pamer dan lain. Sedangkan taubat yang
paling tinggi adalah taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan syetan
dan kelalaian dari mengingat Allah.[8]
Ajaran-ajaran
al-Quran tentang taubat, diantaranya:
“……….dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”[9]
“… kembalilah
kamu pada Tuhanmu, dan berserah dirilah pada-Nya sebelum datang adzab kepadamu,
kemudian kamu tidak mendapatkan pertolongan (lagi)” [10]
3.
Al Wara’
Al Wara’
adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Mereka yang
memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah meskipun
itu hanya kemaksiatan yang tampak kecil.
Ibrahim
bin Adham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan segala sesuatu yang subhat,
sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
berarti meninggalkan hal-hal yang berlebih” [11]
Dalam penjelasan wara’ Allah telah berfirman:
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [12]
4.
Al Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita.
Al-faqr (kefakiran)
menurut para sufi merupakan tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu,
tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan
primer; bisa juga diartikan tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa
selain Allah Swt.
Adapun menurut Kyai Acmad Al-faqr berarti adanya kesadaran,
bahwa diri ini tidak memiliki sesuatu sama sekali yang patut bernilai dihadapan
Allah Swt. Bukan saja kekayaan yang berupa harta benda,kekuasaan
kepandaian,tetapi amal ibadah yang dilakukan sepanjang hidup ini, juga sama
sekali tidak sepatutnya di andalkan, apalagi di banggakan di hadapan Allah Swt.
[13]
Dapat disimpulkan Al-faqr adalah golongan yang telah
memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah swt.
atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap apapun yang membuat jauh dari
Allah swt.
5.
Al Shabr
Sabar menurut bahasa adalah menahan atau bertahan. Allah
memberikan perintah
kepada umat manusia untuk memiliki sifat sabar, dalam
firman-Nya:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',”[14]
Sabar berarti menahan diri agar selalu mengamalkan sesuatu
yang disukai Allah atau menghindarkan diri untuk melakukan
segala sesuatu yang dibenci Allah. [15]
Kaum sufi memandang sabar sebagai keadaan menerima segala cobaan yang
diberikan Allah kepada mereka, mentaati segala perintahNya, dan menjauhi segala
laranganNya. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menganjurkan kesabaran,
diantaranya:
“(Kisah Nuh) itu adalah perkhabaran ghaib, Kami wahyukan kepada engkau
(ya Muhammad), sedang engkau tidak mengetahuinya dan
tidak pula kaummu sebelum ini. Sebab itu bersabarlah. Sesungguhnya
akibat (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa.”[16]
tidak pula kaummu sebelum ini. Sebab itu bersabarlah. Sesungguhnya
akibat (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa.”[16]
“Hendaklah engkau bersabar, kerana sesungguhnya Allah tidak
mensia-siakan pahala orang- orang yang berbuat kebaikan.”[17]
mensia-siakan pahala orang- orang yang berbuat kebaikan.”[17]
“Sabarlah engkau (ya Muhammad) dan tiadalah kesabaran engkau
itu, melainkan
dengan (pertolongan) Allah, dan janganlah engkau berduka cita
terhadap mereka itu dan jangan pula sempit hati (keluh kesah) disebabkan
mereka.”[18]
“Hai anakku, dirikanlah solat dan suruhlah orang (membuat) yang ma`ruf
(yang baik) dan laranglah (membuat) yang mungkar (haram),
serta sabarlah atas cubaan yang menimpa engkau. Sesungguhnya
demikian itu pekerjaan yang dicita-citakan.”[19]
serta sabarlah atas cubaan yang menimpa engkau. Sesungguhnya
demikian itu pekerjaan yang dicita-citakan.”[19]
“Kesabaran harus diaplikasikan dengan baik dan indah.
Maka sabarlah engkau dengan kesabaran yang indah.”[20]42
Maka sabarlah engkau dengan kesabaran yang indah.”[20]42
“Sabar itu harus selalu diiringi dengan solat sebagai meminta
tolong padaNya.
Minta tolonglah kamu kepada Allah dengan kesabaran dan (mengerjakan) solat, dan
sesungguhnya solat itu amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang tunduk (kepada) Allah.”
bagi orang-orang yang tunduk (kepada) Allah.”
“Musa berkata kepada kaumnya: Mintalah pertolongan kepada Allah dan
sabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diberikanNya kepada
siapa yang dikehendakiNya di antara hamba hambaNya. Akibat yang
baik itu adalah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”[21]
6.
Tawakkal
Tawakkal berwazan
tafaaulun dari kata al wakalah atau al wikalah yang
berarti memperlihatkan ketidakmampuan dan bersandar pada orang lain. Menurut
terminologi, tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan selain
pada Allah Swt.[22]
Tawakkal adalah
kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan
sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu
keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik
dalam keadaan suka mahupun duka. Dalam keadaan suka
diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah
dan gelisah. Terdapat beberapa arti terjemahan dari
ayat al-Quran yang menjelaskan tentang tawakkal, diantaranya yaitu:
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak
ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya.
Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”[23]
“Hukum (keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. KepadaNya aku bertawakkal (menyerahkan diri) dan hendaklah
bertawakkallah kepadaNya wahai orang-orang yang tawakkal.”[24]
“Apabila kamu bercita-cita (sentiasa) berserah dirilah kepada
Allah. Sesungguhnya
Allah mengasihi orang-orang yang bertawakkal itu.”[26]55
“Ketika dua golongan di antara kamu bercita-cita hendak mundur
(melarikan diri) dan Allah wali (memelihara) kedua-duanya dan hanya
kepada Allah hendaklah orang-orang beriman menyerahkan diri.”[27]
(melarikan diri) dan Allah wali (memelihara) kedua-duanya dan hanya
kepada Allah hendaklah orang-orang beriman menyerahkan diri.”[27]
7.
Ridha
Kata ridha berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang
artinya “senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam
kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan
rahmat”.
Ridha ialah kondisi kejiwaan atau sikap mental seseorang
yang selalu menerima dengan lapang dada atas semua
karunia yang diberikan atau musibah yang ditimpakan
kepadanya. [28]
“Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” [29]
8.
Mahabbah
Mahabbah
(mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju
keridhaan Allah. Kecintaan pada Allah
akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hati manusia, dan ini merupakan
nikmat terbesar bagi seseorang. Cinta
bagi Rabbi bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga
lebih daripada itu di mana beliau mengharapkan
keredhaan Allah
semata-mata.
Pengertian Mahabbah lebih luas lagi
yaitu:
a.
Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap
yang melawan pada Tuhan.
b.
Berserah diri kepada Tuhan
c.
Mengosongkan perasaan di hati dari segala-segalanya
kecuali dari Dzat yang Dikasihi..
Dalam ajaran tasawuf, Mahabbah dikaitkan
dengan ajaran yang disampaikan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah
Al- Adawiyah. Mahabbah adalah penekanan rasa cinta kepada Tuhan. [30]
Allah pernah menyentuh
masalah cinta ini di dalam al-Qur’an di mana
ada di antara manusia yang tegar menyembah dan mencintai
selain daripadaNya sedangkan Allah sahaja yang berhak disembah
dan dicintai.
Allah menghuraikan perkara tersebut dalam firmanNya
yang bermaksud:
“Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat
siksa (pada
hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan
itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahawa Allah amat berat
seksanya (niscaya
mereka menyesal).”[31]
Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah
cinta yang
sebenarnya; bahawa orang-orang yang beriman sangat mencintai
Allah dibandingkan kecintaan terhadap selainNya. Cintanya itu
benar-benar utuh
dan tidak berbelah bahagi serta tidak bercampur dengan
selainNya.
C. Definisi Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan. Hal adalah keadaan atau peristiwa yang
dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui
waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah ketika sang Sufi
menapaki jalan menuju jalan Allah.[32]
Al-Qusyairy
memberikan makna ahwal adalah anugerah Allah atau keadaan yang datang tanpa
wujud kerja. Dalam ahwal terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi
tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini, tidak
memberikan suatu sinyalemen
atau peringtan atau pemberitahuan tentang
macam-macam dan tingkatan-tingkatan ahwal tersebut dalam hadis-hadis Beliau.
Dengan kata lain, ahwal secara umum dapat ditemukan dalam ungkapan
ayat Alquran maupun hadis Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana
peringkat tertinggi dan terendah dari ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
peringkat ahwal adalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama sufi.[33]
D.
Klasifikasi Ahwal
1.
Mawas diri dan waspada (muhasabah
muraqabah)
Muhasabah dan muraqbah ini merupakan
sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dikarenakan saling berkaitan erat.
Mawas diri diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati, dan hal tersebut yang menjadikan seseorang
menjadi takut, hormat dan taat pada Allah.
Terjemahan ayat al-Quran yang berkaitan
dengan muhasabah muraqabah, diantaranya:
“Dia mengetahui apa
yang masuk kedalam bumi. Dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kesana. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”[35]
Masih banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang membahas
mengenai muraqabah, seperti Allah mangawasi yang
lahir maupun yang batin, mengetahui segala sesuatu, melihat,
mendengar, dan Allah selalu bersama manusia di berbagai
situasi dan keadaan.
Konsistensi diri terhadap perilaku yang baik adalah kunci
utama untuk mencapai muraqabah. Konsistensi ini mampu
dipenuhi dengan senantiasa mawas diri, dan menjaga
dari perilaku yang tidak sesuai dengan perintah Allah.
Sehingga perlu kedisiplinan tinggi untuk mencapai muraqabah.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa seorang sufi bisa sampai pada ahwâl
muraqabah jika ia telah sepenuhnya melaksanakan perhitungan terhadap perilakunya
di masa lalu yang telah dilakukannya dan melakukan perubahanperubahan menuju
perilaku yang lebih baik. [36]
2.
Mengharap dan takut (al-raja’ wa al khauf)
Raja’ adalah
optimis terhadap rahmat Allah, dan hati merasa tenteram karena menunggu sesuatu
yang diinginkan. Namun, sikap mengharap itu diikuti oleh perasaan takut
terhadap berbagai kemungkinan yang akan membawa kebencian terhadap Allah.
Khauf dalam tasawuf bermaksud hadirnya perasaan takut ke dalam diriseorang
salik (orang yang menuju Tuhan) kerana dihantui oleh perasaan dosa dan
ancaman yang akan menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan merasa lebih takut
kepada dirinya sendiri sama sebagaimana ketakutannya kepada
musuhnya. Saat khauf menghampirinya ia
merasa tenteram dan tenang kerana kondisi
hatinya yang semakin dekat dengan Tuhan. Perasaan khauf akan menghalangnya melarikan diri daripada Tuhannya.[37]
3.
Rindu dan intim (syauq wa al uns)
Dalam ilmu tasawuf, dijelaskan bahwa seorang sufi
selalu merasakan sebuah kerinduan dalam jiwanya kepada Allah. Terdapat beberapa
sufi yang memandang bahwa maut adalah bukti yang nyata ketika sufi itu itu
merasakan rindu, dan melupakan Allah adalah hal yang lebih berbahaya daripada
kematian.
Intim merasa selalu
berteman, bercengkrama dengan Allah. Seorang sufi yang memiliki perasaan intim
yang seperti ini, maka ia akan beribadah dengan penuh ketentraman dan
ketenangan yang tidak ada bandingannya. Perasaannya selalu bersama Allah,
sehingga hal tersebut akan mengakibatkan seorang sufi akan melupakan atau
menghilangkan ingatannya terhadap selain Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maqamat adalah
bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau
derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations
atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui
peribadatan, mujahadat (usaha
menahan hawa nafsu) dan lain-lain, latihan spritual serta
berhubungan yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. Klasifikasi dari
maqamat yaitu dimulai dari Al Zuhud, Al Taubah, Al Wara’, Al Faqr, Al Shabr, Tawakkal, Ridha, dan juga Mahabbah.
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan. Hal adalah keadaan atau peristiwa yang
dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui
waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah ketika sang Sufi
menapaki jalan menuju jalan Allah. Klasifikasi dari ahwal yaitu dimulai dari Mawas diri dan waspada (muhasabah
muraqabah), Mengharap dan takut (al-raja’ wa al khauf), hingga Rindu dan intim (syauq wa al uns).
B.
Saran
Pada makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi susunan
kata, penulisan dan sebagainya. Maka, kami sebagai pemakalah mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kekurangan kami, dikarenakan kami hanya manusia biasa
yang tak luput dari kesalahan. Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dan semoga dengan kritik dan saran yang di berikan bisa kami
jadikan pelajaran untuk memperbaiki
makalah kami kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Asnawiyah. Maqam dan Ahwal, Makna dan Hakikatnya dalam Pendakian Menuju Tuhan. 12 Vol.
Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2014.
Departemen Agama, al-Qur’ân terjemah & tajwid warna. Bekasi: Mulia
Abadi, 2015.
Farhan, Ibnu. Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi. 2 Vol. Cirebon: IAI Bunga Bangsa Cirebon,
2016.
Miswar. Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses Bertasawuf). 1 Vol. Medan: FITK UIN-SU Medan,
2017.
Muhammad, Hasyim. Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani. Semarang: IAIN Walisongo
, 2014.
Mustofa, A. Akhlak
Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2014.
Rajab, Khairunnas. Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf. Riau: Universitas Islam
Negeri SUSKA, 2007.
Solichin, Mohammad
Muchlis. Akhlak & Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila,
2014.
[2] Miswar, “Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses
Bertasawuf).” Jurnal Ansiru PAI, vol.1, 2 (Januari, 2017) hlm., 9-10.
[3] Asnawiyah, “Maqam dan
Ahwal: Makna dan
Hakikatnya dalam
Pendakian Menuju Tuhan.” Substantia Jurnal, vol.16, 1 (April, 2014) hlm., 81.
[4] Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat
dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi.” Yaqzhan, vol.2, 2 (Desember, 2016) hlm., 164-165.
[5] Khairunnas Rajab, “Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf.” Jurnal Usuluddin, (2007) hlm., 7-8.
[11] Hasyim
Muhammad, “Maqâmât dan ahwâl dalam Tafsir al-Jilani.” Maqamat dan Ahwal, 1
(September, 2014) hlm., 25-26.
[13] Miswar, “Maqamat (Tahapan yang Harus Ditempuh dalam Proses
Bertasawuf).” Jurnal Ansiru PAI, vo.1, 2 (Januari, 2017) hlm., 15.
[15]Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya
Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât
dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 35-36.
[17] Ibid.
234.
[28] Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya
Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât
dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 42.
[33] Asnawiyah, “Maqam dan Ahwal: Makna dan
Hakikatnya dalam
Pendakian Menuju Tuhan.” Substantia Jurnal, vol.16, 1 (April, 2014) hlm., 83.
[36] Hasyim Muhammad, “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Tafsir Al-Jilani Karya Syaikh Abdul
Qadir Al-Jiilani.” Maqâmât dan ahwâl, (September, 2014) hlm., 46-48.
[37] Khairunnas Rajab, “Al - Maqam dan Al - Ahwal dalam Tasawuf.” Jurnal Usuluddin, (2007) hlm., 21-22.