BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sebuah
ilmu politik ada beberapa yang berkaitan dengan politik atau kebijakan publik publik
policy, disini sangat mengangkat banyak kejadian adanya beberapa
keunggulan suatu negara bangsa yang semakin ditentukan oleh beberapa yang
semakin mampu untuk mengembangkan kebijakan publik yang semakin unggul. Oleh karena
itu dalam suatu Negara Bangsa harus mempunyai sebuah tindakan yang bisa
membantu Negara Bangsa semakin maju untuk kedepannya sehingga tidak ada suatu
masalah yang terjadi lagi.
Pemerintah
harus melakukan banyak hal kebijakan publik dengan baik seperti melakukan
kebijakan umum, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan maaf serta menarik
pajak atau sekaligus jadi kebijakan publik tersebut mencakup macam bidang
kehidupan, serta untuk kesejahteraan masyarakat di Indonesia ini.
Sebuah
pemerintaha Negara atau presiden dan wakil presiden tersebut harus sangat berperan aktif untuk menentukan
kebijakan publik untuk kesejahteraan masyarat di Indonesia agar menjadi lebih
baik. Dari itu makalah ini akan menjelaskan beberapa hal serta memahami dan
menjelaskan yang berkaitan dengan kebijakan publik .
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja pengertian kebijakan puplik dan perumusan kebijakan
publik?
2.
Bagaimana proses monitoring dan evaluasi kebijakan publik?
3.
Apa saja tujuan kebijakan publik?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian kebijakan publik dan perumusan
kebijakan publik
2.
Untuk mengetahui prosess monitoring dan evaluasi kebijakan publik
3.
Untuk mengetahui tujuan kebijakan publik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kebijakan publik dan perumusan kebijakan publik
1.
Pengertiam kebijakan publik
Kebijakan publik public policy adalah apapun yang harus
dilakukan oleh pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak dilakukan,
pemerintah melakukan banyak hal kebijakan publik melakukan mengatur perilaku,
mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan manfaat, atau menarik pajak,
atausemuanya dilakukan sekaligus serta kebijakan publik mencakup berbagai macam
bidang kehidupa yang ada.
Kebijakan publik adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja
dalam arti goverment yanh hanya menyangkut aparatur negara yang
melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya puplik,
inti dari kebijakan merupakan sebuah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan
tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber
daya alam, finasial dan manusia demi kepentingan publik , yakni rakyat banyak
penduduk, masyarat atau warga negara. Kebijakan publik juga hasil dari adanya
sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan , teori,
ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu
negara.[1]
Banyak sekali pengertian atau definisi tentang kebijakan publik yang sebagian besar ahli memberikan
pengrtian kebijakan publik dalam kaitan dengan keputusan atau ketetapn
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya.
Sedangkan menurut Bridgman dan Davis, yang berarti kebijakan publik pada
umumnya mengandung pengertian “whatever goverment choose to do or not do” yang
artinya kebijakan publik yaitu “apa sajah yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan”.
Terkadang kebijakan publik menunjukkan pada istilah atau konsep untuk
menjelaskan piliha-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik,
seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor kebijakan umum,
transportasi, pendidikan , kesehatan , perumahan dan kesejahteraan.[2]
Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang
didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Tidak berarti makna
kebijakan hanyalah milik atau domain
pemerintah saja, organisasi-organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Namun kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai
kebijakan publik, karena kebijakan mereka tidak dapat memakai sumber daya
publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga
pemerintah.[3]
kebijakan publik juga disebut sebagai produk perundang-undangan.
Kebijakan publik melahirkan berbagai produk perundangn undangan yang secara
khirarkis termuat dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang sturuktur
perundang-undangan Indonesia yang menggantikan UndangUndang Nomor. 10 Tahun
2004, mulai dari UUD 1945, Undang – Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang–Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Presiden. Peraturan
Daerah: Perda Provinsi, perda kabupaten/kota sampai Peraturan Desa.[4]
Kebijakan umum (publik policy) yaitu suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha
untuk memilih tujuan serta cara untuk mencapai suatu tujuan tersebut.
Sebuah pihak yang membuat
kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, para sarjana
yang menekannkan aspek kebijakan umum (public policy , beleid)
menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita
bersama ingin dicapai dengan usaha bersama serta untuk itu diperlukan
rencana-rencana yang mengikat serta yang dituang dalam kebijakan (policies)
oleh pihak yang telah berwenang.[5]
Ada dua aliran dalam kebijakan publik yaitu sebagai berikut
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis dalam memahami kebijakan
publik terdapat dua jenis aliran atau pemahaman yaitu:
a.
Kontinentalis, yang
cenderung melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum ,
bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum yang utamanya
hukum publik ataupun hukum negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi
di antara institusi-institusi negara.
b.
Anglo-saxonis, yang
cenderung memahami bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari politik demokrasi sehingga melihatnya
sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.[6]
Ada beberapa model yang digunakan dalam pembuatan Public Policy,
yaitu sebagai berikut:
1.
Model elit
Yaitu pembentukan public policy hanya berada pada sebagian
kelompok orang-orang tertentu yang sedang berkuasa. Walaupun pada kenyataannya
mereka sebagai preferensi dari nilai-nilai elit tertentu tetapi mereka masih
saja berdalih merefleksikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Oleh karena itu
mereka cenderung mengendalikan dengan continue, dengan perubahan-perubahan
hanya bersifat tambal sulam. Masyarakat banyak dibuat sedemikian rupa tetap
miskin informasi.[7]
2.
Model kelompok
Berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu
yang berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan (interest
group) yang saling berebutan mencari posisi dominan. Jadi dengan demikian
model ini merupakan interaksi antar kelompok dan merupakan fakta sentral dari
politik serta pembuatan public policy. Antar kelompok mengikat diri
secara formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah dengan individu.[8]
Antar kelompok berjuang mempengaruhi pembentukan public policy,
bisa membentuk koalisi mayoritas tetapi juga dapat menimbulkan check and
balance dalam persaingan antar kelompok untuk menjaga keseimbangan.
3.
Model kelembagaan
Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah kelembagaan
pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah seperti eksekutif
(presiden, menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislative (parlemen)
lembaga yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain.[9]
Dalam model ini public policy dikuasai oleh lembaga-lembaga
tersebut dan sudah barang tentu lembaga tersebut adalah satu-satunya yang dapat
memaksa serta melibatkan semua pihak. Perubahan dalam kelembagaan pemerintah
tidak berarti perubahan kebijakan.
4.
Model proses
Model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari
identifikasi masalah, perumusah usul pengesahan kebijakan, pelaksanaan dan
evaluasinya. Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan
pembuatan kebijakan pemerintah (public policy).
5.
Model rasialisme
Model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien dengan demikian
dalam model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat untuk meningkatkan hasil
bersihnya. Seluruh nilai diketahui seperti kalkulasi semua pengorbanan politik
dan ekonomi serta menelusuri semua pilihan dan apa saja konsekuensinya,
perimbangan biaya dan keuntungan (cost and benefit).
6.
Model inkrimentalisme
Berikut ini berpatokan pada kegiatan masa lalu dengan sedikit
perubahan. Dengan demikian hambatan seperti waktu, biaya dan tenaga untuk
memilih alternative dapat dihilangkan. Dalam arti model ini tidak banyak
bersusah payah, tidak banyak resiko, perubahan-perubahannya tidak radikal,
tidak ada konflik yang meninggi kestabilan terpelihara tetapi tidak berkembang
(konsertatif) karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.[10]
7.
Model system
Model ini beranjak dari memperhatikan desakan-desakan lingkungan
yang antara lain berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan,
gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan dan lain-lain yang mempengaruhi public
policy.
Dan
setelah diproses akan mengeluarkan jawaban. Desakan lingkungan sebagaimana yang
penulis sampaikan diatas, dianggap masukan (input) sedangkan jawabannya
dianggap keluaran (output) yang berisi keputusan-keputusan,
peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemerintah.[11]
Dari memperhatikan berbagai model-model pembentukan public
policy diatas, pada kesempatan lain pemerintah sedikit banyaknya juga
mempertimbangkan sebagai berikut:
1.
Memperhatikan responsiviness
Yaitu perhatian utama terhadap tanggapan-tanggapan masyarakat. Hal
ini sejalan dengan pemberian pendemokrasian di daerah yaitu berupa
desentralisasi dan pemberian otonomi daerah (di Indonesia berdasarkan
undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah.
2.
Memperhatikan efiectiveness
Yaitu perhatian utama terhadap pencapaian apa yang dikehendaki saja
demi suatu tujuan politik atau ekonomi tertentu. Hal ini sejalan dengan usaha
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa melalui sentralisasi.[12]
2.
Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan publik adalan sebuah inti dari kebijakan publik
karena telah dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri, pertama harus
didasari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik.[13]
Salah satu tugas seorang pemerintah adalah sebagai perumusan
kebijakn publik, agar kebijakan publik dapat merumuskan secara sistematik. yang
diperlukan sebuah proses yang sistematispula, meskipun proses tersebut tidak
selalu harus bersifat kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem
pemerintah dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur serta memiliki ritme yang
jelas, proses merumuskan kebijakan sering juga disebut sebagai lingkaran
kebijakan (policy cycle).
Sebagian besar tugas dalam proses perumusan kebijakan terletak pada
para pejabat pemerintahan atau pegawai negri yang yang dipimpin oleh seorang
menteri di suatu departemen, cara yang paling sering ditempuh untuk membuat
kebijakan adalah membagi proses perumusan secara terpisah, sebelum membahas
secara terperinci mengenai proses perumusan kebijakan serta ada sedikit
mengenai siapa para aktor atau pemain yang terlibat dalam proses perumusan
kebijakan publik.[14]
a.
Permainan kebijakan
Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya
diserahkan kepada para pejabat politik. Para pemain kebijakan yang terlibat
dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang
(winarno), di negara-negara berkembang seperti Kuba, Korea Selatan dan
Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan
pengaruh massa rakyat relatif kecil.
b.
Proses logis
Pada tahun 1951, Harold Laswes telah membuat proses perumusan
kebijakan ke dalam beberapa tahapan yang dimulai dari tahap konseptualisasi,
rekomendasi, preskripsi, invokasi, aplikasi, apraisal dan terminasi. Proses
perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai tahapan yang beragam,
langkah-langkahnya akan dimulai dari indentifikasi isu, merumuskan agenda
kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan, menetapkan kebijakan, dan
mengevaluasi kebijakan. Ke enam langkah perumusan kebijakan akan dijelaskan
sebagai berikut.[15]
1.
Mengidentifikasi isu kebijakan
Sebuah kehidupan politik yang senantiasa berhadapan dengan berbagai
isu, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, parlemen, media massa,
departemen pemerintahan dan perusahaan swasta yang pada dasarnya selalu
berkompetensi untuk menawarkan berbagai isu kunci sesuai dengan kepentingan.[16]
2.
Merumuskan agenda kebijakan
Idenfikasi dan perdebatan mengenai isu-isu di atas melahirkan
agenda kebijakan. Agenda kebijakan pada intinya merupakan sebuah masalah sosial
yang paling memungkinkan direspon oleh kebijakan, agenda kebijakan juga dapat
dianalogikan dengan sebuah “topik diskusi” atau “ agenda rapat” yang dibahas
dalam sebuah pertemuan besar para pejabat pemerintah.
Agenda
kebijakan adalah daftar subjek atau masalah dengan mana pejabat pemerintah
beserta orang-orang di luar pemerintah yang memiliki hubungan dengan
pemerintah, memberi perhatian serius pada siatu waktu tertentu.[17]
3.
Melakukan konsultasi
Arsitektur pemerintahan cenderung bersifat multi-ragam, yang
melibatkan banyak lembaga dan sektor kehidupan, karena untuk menghindari
tumpang tindih kepentingan dan memperoleh dukungan yang luas dari publik setiap
agenda kebijakan perlu didiskusikan dengan berbagai lembaga dan pihak. Saat
untuk melakukan konsultasi melalui konsultasi, ide-ide dapat diuji dan proposal
kebijakan disempurnakan.
4.
Menetapkan keputusan
Sebuah isu
kebijakan terindefikasi, agenda kebijakan dirumuskan, dan konsultasi dilakukan,
maka tahap berikutnya adalah menetapkan alternatif kebijakan apa yang akan
diputuskan. Jika sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk program pelayanan
sosial, tahap penetapan keputusan kebijakan meliatkan pembuatan pertimbangan
oleh kabinet. Jika kebijakan berbentuk peraturan dan perundang-undangan, maka pembuatan
keputusan melibatkan pihak ekskutif dan legislatif.[18]
5.
Implementasi
Para pembuat kebijakan kebijakan-kebijaknan harus juga
mempersiapkan strategi implementasi sejak awal sebuah kebijakan dirumuskan selanjutnya.
Evaluasi kebijakan secara umum dilakukan untuk mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
a.
Mengkaji seberapa besar
sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan-tujuannya
b.
Memberi panduan kepada para pelaksana kebijakan mengenai seberapa
lancar perjalanan atau proses kebijakan tersebut diimplementasikan
c.
Menyediakan indikator penting bagi pembuatan kebijakan di masa
mendatang
Adapun
mengelola suatu proses perumusan kebijakan yaitu pada umumnya meyakini bahwa
proses yang baik akan menghasilkan sebua kebijakan yang baik. Ada beberapa
keuntungan dari pendekatan proses dalam perumusan kebijakan yaitu:
a.
Memberi penjelasan mengenai bagaiman sebuah kebijakan dibuat baik
di masa lalu maupun di masa yang akan datang
b.
Bersifat normatif yaitu menunjukkan sebuah standar atau pedoman
tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pemain kebijakan
c.
Menekankan bahwa pemerintahan adalah sebuah proses, bukan
semata-mata kumpulan lembaga-lembaga
d.
Membagi fenomena kompleks ke dalam beberapa langkah yang terukur
dan memungkinkan para pemain kebijakan memfokuskan pada berbagai isu namun tetap
berpijak pada kerangka kegiantan yang jelas.
Proses perumusan kebijakan tidak berjalan
dengan sendirinya dan dilakukan oleh hanya sebuah lembaga atau seorang pemain
kebijakan , perumusan kebijakan (identifikasi kebijakan dan penetapan agenda
kebijakan), tugas kabinet (penetapan keputusan) atau tugas departemen dan
lembaga sektoral (implementasi).[19]
kabijakan publik dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu. Tugas para pembuat dan penasihat kebijakan harus mencakup permusan
langkah-langkah strategis dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagian
besar media massa sering memonitor dan menilai kemampuan pemerintah dalam
menerapkan kebijakannya di lapangan.[20]
6.
Evaluasi
Perumusan kebijakan pada hakikatnya merupakan proses
terus menerus yang tiada henti, karena tidak mengherankan jika proses perumusan
keijakan sering juga disebut sebagai lingkaran kebijakan yang berputar
terus-menerus. Dari evaluasi ini menghasilkan masukan-masukan guna utuk
menyempurnakan kebijan atau perumusan kebijakan untuk
Adapun Fase Perumusan Masalah Kebijakan
(William N. Dunn, 1999:226)
Pencarian masalah menjadi awal ketika
para perumus kebijakan akan membuat kebijakan Para analis kebijakan harus dapat
membedakan antara masalah publik dengan masalah privat. Jika seseorang
kehabisan bensin dalam sebuah perjalana memakai kendaraan bermotor, maka hal
tersebut dikatakan sebagai masalah privat. Namun, jika terjadi kelangkaan
minyak dan gas yang melanda masyarakat luas, maka hal itu disebut sebagai
masalah publik. Ilustrasi tersebut menggambarkan perbedaan yang sangat jelas antara masalah publik dengan masalah privat. Para
analis kebijakan pun harus siap dihadapkan pada metamasalah.
Tahap selanjutnya yaitu
pendefinisian masalah. Tahap ini merupakan penganalisisan dari metamasalah ke masalah
subtantif. Di mana terjadi pengkategorian masalah-masalah
yang bersifat dasar dan umum.Setelah itu,
para analis kebijakan dapat merumuskan masalah formal yang lebih rinci dan
spesifik. Melalui spesifikasi masalah proses perpindahan dari masalah subtantif
ke masalah formal dapat dilakukan.
Ketika masalah telah dispesifikasikan, maka pengenalan masalah menjadi tahap selanjutnya.
Dalam tahap ini, kesulitan akan menghampiri pembuat kebijakan. Kesulitan
tersebut terjadi dikarenakan ketidaksesuaian masalah subtantif dengan
representasi formal dari masalah yang ada.
Merujuk pada banyaknya persoalan
mengenai kebijakan publik, RobertB Seidman, Ann Seidman, dan Nalin Abeysekere
mencoba merancang apa yang disebutnya dengan ROCCIPI. Mereka menyatakan bahwa
suatu masalah dapat muncul akibat dari adanya beberapa hal yang ditesiskan
mereka tidak berjalan sebagai mana mestinya. Hal-hal tersebut, menurutnya
antara lain: [21]
1. Rule (peraturan)
Peraturan dimaksudkan untuk mengatur
segala perilaku manusia. Entah itu sebagai alih-alih (pembenaran) atau malah
sebaliknya. Peraturan di sini menyangkut semua masalah publik atau juga masalah
yang ditimbulkan oleh publik. Masalah publik dapat muncul jika:
Pertama,
rancunya atau membingungkannya bahasa yang digunakan dalam peraturan, seperti tidak
dijelaskannya hal-hal yang dilarang dan yang harus
dilakukan oleh masyarakat.
Kedua,
beberapa peraturan malah berpeluang menyebabkan perilaku bermasalah Ketiga,
peraturan seringkali memperluas penyebagian-penyebagian perilaku bermasalah,
bukan malah menghilangkannya. Keempat, peraturan membuka peluang bagi perilaku
yang tidak transparan. Kelima, peraturan memberikan
wewenang berlebih kepada pelaksana peraturan untuk bertindak reprensif
2. Opportunity (kesempatan)
Seorang individu akan dapat melakukan perilaku
bermasalah jika kesempatan yang ada
terbuka lebar. Artinya adalah bahwa jika
kesempatan terbuka makahal itu dapat mempengaruhi seorang individu untuk
berperilaku menyimpang.
Dalam hal ini,
lingkungan menjadi faktor yang dominan penyebab perilaku yang menyimpang. Kemudian,
muncul pertanyaan, apakah lingkungan memberikan kontribusi timbulnya perilaku
bermasalah atau malah sebaliknya, perilaku bermasalah yang mempengaruhi
lingkungan?
3. Capacity
(kemampuan)
Hal
tersebut berkaitan dengan pertukaran yang disebabkan tidak dapat memerintah
para individu untuk melakukan hal-hal kemampuannya Untuk itu, perlu adanya
pemahaman mengenai kondisi-kondisi dari tiap individu.[22]
4. Communication
(komunikasi)
Munculnya perilaku bermasalah dapat
diakibatkan ketidaktahuan masyarakat tentang suatu peraturan. Ketidaktahuan
tersebut dipicu oleh komunikasi yang tidak berjalan dengan baik
(miss-communication). Permasalahan komunikasi sebenarnya merupakan permasalahan
klasik di negeri yang kaya akan budaya dan sangat plural ini
5. Interest
(kepentingan)
Kategori ini dapat digunakan untuk
menjelaskan pandangan individu tentang akibat dan manfaat dari setiap
perilakunya. Akibat dan manfaat yang ditimbulkannya bisa dalam bentuk
material (keuntungan ekonomi) dan juga non-material (pengakuan dan
penghargaan).
6. Process
(proses)
Merupakan sebuah instrumen yang
digunakan dalam menemukan penyebagian perilaku bermasalah yang dilakukan dalam
atau oleh suatu organisasi. Beberapa proses yang digunakan untuk merumuskan
masalah dalam organisasi antara lain: Pertama, proses pengumpulan input. Kedua,
proses pengolahan input menjadi keputusan. Ketiga, prosesoutput, dan yang
keempat, proses umpan balik.
7. Ideology
(nilai dan/ atau sikap)
Sekumpulan nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak. Suatu nilai
yang berlaku dalam masyaraka biasanya merupakan hasil kesepakatan bersama dalam
sebuah kelompok. Kemungkinan terjadinya konflik sangatlah besar mengingat nilai
tersebut hidup dalam masyarakat yang plural dan heterogen (sebuah nilai yang
dianut seringkali tidak sesuai dengan pandangan tiap kelompok).
Ketujuh hal tersebut di atas,
dimaksudkan untuk mempersempit dan lebih mensytematiskan ruang lingkup pandangan
para aktor pembuat kebijakan atau para analis kebijakan dalam mencoba menemukan penyebagian suatu
persoalan yang datang dari masyarakat.[23]
Harapan-harapan tersebut hanya akan
terwujud manakala semua pihak yang terkait mengenai kebijakan meninggalkan
egoisme masing-masing dan lebih mementingkan urusan bersama. Namun, ketika ego
kelompok yang lebih dominan, maka harapan di atas hanyalah sebatas angan-angan
belaka.
Permasalahan
kebijakan menjadi sesuatu hal yang
sangat rumit layaknya sebuah benang yang telah kusut. Beberapa tahap harus
dilalui para perumus kebijakan dalam memformulasikan kebijakan. Hal tersebut
harus ditambah dengan
suramnya wajah negeri ini.
Negeri yang
akhir-akhir ini tercoreng dengan korupsi, juga dengan kemiskinan yang kian mewarnai
wajah negeri seribu pulau ini. Lengkaplah sudah jika potret buram negeri ini
harus diburamkan lagi dengan bermacam-macam kebijakan yang pada akhirnya menyengsarakan
rakyat. [24]
B.
Proses monitoring dan evaluasi kebijakan publik
1.
Proses monitoring kebijakan publik
Monitoring adalah suatu pemindaian selama proses implementasi
berjalan, monitoring untuk memastikan kebijakan dilaksanakan sesuai dengan
rencana. Monitoring juga memastikan bahwa implementasi kebijakan.[25]
2.
Proses evaluasi kebijakan politik
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah
kebijakan publik. Ia merupakan unsur yang penting dalam siklus kebijakan, sama
pentingnya formulasi, dan implemetasi kebijakan. Oleh sebab itu kebijakan
publik yang berkualitas hanya mungkin dicapai jika siklus itu mendapat
perhatian seimbang, dalam hal formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Hal ini relevan dengan pendapat Dye (2002 : 45) bahwa evaluasi merupakan
konsekwensi dari kebijakan publik. Sementara itu Winarno (2013: 93) menyatakan
bahwa kebijakan publik adalah suatu proses
yang rumit dan panjang, mempunyai tahap-tahap kebijakan yang tiada akhir,
meskipun ada ”terminasi”, tetapi ada tahap-tahap berikut yang memungkinkan lahirnya ”reformulasi” untuk melahirkan
kebijakan-kebijakan baru. Siklus lahirnya kebijakan publik sampai pada lahirnya
evaluasi jugadiperkuat oleh Dunn (2003), Anderson (1990), dan Suharto (2010).[26]
evaluasi kebijakan
merupakan satu mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Itu
sebabnya jika ada kebijakan yang
kemudian dievaluasi, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tentu
menjadi bagian dari upaya untuk memperbaiki atau menyempurnakan kebijakan
tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karenanya Dye (1987:45)
dalam Parsons (2008:545) mengemukakan
bahwa evaluasi kebijakan sebagai pemeriksaan yang objektif, sistimatis, dan
empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari
segi tujuan yang ingin dicapai. Kebijakan publik yang tidak tercapai sesuai
dengan tujuan karena mengalami resistensi, maka hal ini akan menjadi salah
satu mengapa suatu kebijakan perlu
dievaluasi, apa penyebabnya dan bagaimana solusi yang harus diambil, apakah
kebijakan itu harus dihentikan, dilakukan terminasi atau melaksanakan reformulasi
untuk mendapatkan kebijakan baru. Dari realitas itu sehingga Parsons (2008:
545) menyebut bahwa evaluasi mengandung dua aspek yang saling terkait.[27]
a) Evaluasi kebijakan dan kandungan programnya b) Evaluasi terhadap orang-orang
yang bekerja di dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk implementasi
kebijaan dan program. Selanjutnya Lester dan Stewart (2000:125). mengemukakan bahwa evaluasi suatu kebijakan dapat
dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, pertama adalah menentukan
konsekwensi-konsekwensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan, ini
dilakukan dengan cara memberi gambaran apa dampak yang ditimbulkan kebijakan
tersebut. Selanjutnya yang kedua adalah mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan
suatu kebijakan berdasar pada standar atau kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tugas pertama merujuk pada usaha melihat apakah program kebijakan
public mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan diinginkan ataukah tidak. Bila tidak, apakah,
apakah faktor-faktor yang menjadi penyebabnya., tugas kedua adalah evaluasi
kebijakan yang pada dasarnya berkait erat dengan tugas yang pertama.
Terdapat enam langkah
dalam evaluasi kebijakan publik yakni : 1. Mengidentifikasi tujuan-tujuan program
yang akan dievaluasi. 2. Analisisterhadap
masalah, 3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan, 4. Pengukuran
terhadap tingkatan perubaha yang terjadi, 5. Menentukan apakah perubahan yang
diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain, 6. beberapa
indicator untuk menentukan keberadaaan suatu dampak.
Evaluasi ditujukan untuk
melihat sejauhmana tingkat efektifitas dan efisiensi suatu program kebijakan
untuk memecahkan masalah , Efektif berkenan dengan cara yang digunakan ,
sedangkan Efisienasi berkenan dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan. Tidak semua masalah public dapat dipecahkan oleh
program . BIla
kondisi ini terjadi maka maka pertanyaannya adalah mengapa terjadi
kegagalan.[28]
Suatu evaluasi kebijakan
menurut Jones, (1975 : 199) harus meliputi kegiatan, yakni penghususan
(spesificaion), pengukuran (measurement), analisis dan rekomendasi.
Specification merupakan kegiatan yang paling penting diantara kegiatan lain
dalam evaluas kebijakan, Kegiatan ini meliputi identifikasi tujuan atau
kriteruia melaluimana program kegiatn tersebut mau dievaluasi. Ukuran-ukuran
kriteria ini yang akan dipakai untuk menilai apakah manfaat program. Pengukuran
menyangkut aktifitas pengumpulan informasi yang relevan denga objek evaluasi,
sedangkan analisis adalah penggunaan informasi yang telah terkumpul dalam
rangka menyusun kesimpualn, dan akhirnya rekomendasi yakni penentuan mengenai
apa yang harus dilakukan dimasa mendatang.[29]
Adapun masalah-masalah evaluasi kebijakan sebagai berikut:
Evaluasi kebijakan, bukan
masalah yang gampang apalagi untuk disebut sederhana, sebaliknya evaluasi
justru pekerjaan yang rumit sebab melibatkan banyak unsur yang saling terkait
misalnya melibatkan orang-orang yang bukan saja dari pihak yang melakukan
evaluasi tetapi juga terhadap orag-orang yang dievaluasi. Selanjutnya adalah
materi-materi yang akan dievaluasi, seperti apa yang akan dievaluasi dan
bagaimana melakukannya. Materi yang akan dievaluasi berkaitan dengan tujuan
kebijakan tersebut dan kesulitannya sering terjadi pada runag lingkup dan
luasnya tujuan yang akan dievaluasi.
Winarno (2013:240) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses
yang rumit dan kompleks. Proses ini melibatkan berbagai macam kepentingan
individu
individu yang terlibat dalam proses evaluasi. Kerumitan dalam
proses evaluasi juga karena melibatkan kriteria-kriteria yang ditujukan untuk
melakukan evaluasi. Ini berarti bahwa
kegagalan dalam menentukan kriteria akan menghambat proses evaluasi yang akan
dijalankan.
Anderson yang ditulis
kembali oleh Winarno (2013:240) mengemukakan bahwa setidaknya enam masalah yang
akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan. Pertama, ketidakpastian atas
tujuan-tujuan yang disusun untuk menjalankan kebijakan seharusnya jelas. Bila
tujuan-tujuan kebijakan tidak jelas atau tersebar, sebagaimana sering terjadi ,
maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauhmana tujuan-tujuan tersebut
telah dicapai. Ketidak jelasan tujuan biasanya berangkat dari proses-proses
penetapan kebijakan. Suatu kebijakan agar dapat ditetapkan biasanya harus
mendapatkan dukungan dari suatu koalisi mayoritas untuk mengamankan penetapan
suatu kebijakan.
Seringkali terjadi suatu
kebijakan membutuhkan perhatian orang-orang dan
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dan nilai-nilai yang
berbeda. Kondisi ini mendorong terjadinya ketidak jelasan tujuan karena harus
merefleksikan banyak kepentingan maupun nilai-nilai dari aktor-aktor yang
terlibat di dalam perumusan kebijakan. Kedua, kausalitas. Bila seorang evaluator
menggunakan evaluasi sistimatik untuk melakukan evaluasi terhadap
program-program kebijakan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kehidupan nyata harus
disebabkan oleh tindakan-tindakan kebijakan.
Ketiga, dampak kebijakan
yang menyebar, misalnya kita mengenal apa yag dimaksud sebagai eksternalitas
atau dampak yang melimpah (externalities or spillover effects), yakni suatu
dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan-keadaan atau
kelompok-kelompok selain kepada mereka yang menjadi sasaran atau tujuan
kebijakan.Suatu program kesejahteraan mungkin mempengaruhi tidak hanya kelompok
masyarakat miskin tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat lain seperti
misalnya pembayar pajak, pejabat-pejabat pajak, masyarakat yang mempunyai
pendapatan rendah yang tidak menerima keuntungan-keuntungan dari suatu program
kesejahteraan. Dampak program-program dari kelompok ini mungkin bersifat
simbolik atau material, Para pembayar pajak mungkin mengeluh bahwa “bahwa uang
yang mereka peroleh dengan sulit digunakan untuk menghidupi orang-orang yang
malas bekerja”.[30]
Keempat,
kesulitan-kesulitan dalam memperoleh dana
Kekurangan data statistik dari informasi-informasi lain yang relevan
barangkali akan menghalangi para evaluator untuk melakuka evaluasi. Model-model
ekonometrik yang biasa digunakan untuk meramalkan dampak dari pengurangan pajak
pada kegiatan ekonomi dapat dilakukan, tetapi data yang cocok untuk menunjukkan
dampak yang sebenarnya pada ekonomi sulit untuk diperoleh. [31]
Kelima, resistensi
pejabat. Seringkali seorang pejabat meskipun menyadari bahwa program yang
dilaksanakannya gagal, akan tetapi mereka menyembunyikan kegagalan tersebut
hanya karena takut dipecat atau diberhentikan dari jabatannya. Oleh sebab itu
evaluasi bagi mereka bukan dianggap sebagai sesuatu yang penting, malah
evaluasi dianggap sebagai momok. Karena itulah ketika ada evaluasi dilakukan
oleh orang atau lembaga tertentu untuk melihat sejauhmana program itu
dilaksanakan, apa hambatannya apa hambatannya dan bagaimana mencari solusinya,
mereka selalu menghalangi, bahkan menyembunyikan data-data yang dianggap
penting. Hampir semua pejabat ingin disebut sukses melaksanakan programnya, dan
sebaliknya sangat riskan untuk menyebut dirinya gagal, itu sebabnya mereka
berupaya melakukan proteksi dengan berbagai cara, antara lain membangun
pencitraan, melalui ekspos terhadap hal-hal yang dianggap baik dan
menyembunyikan hal-hal yang dianggap buruk. Disamping itu, menghalang-halangi, malah
kalau perlu membujuk hingga menyuap
evaluator.
Keenam, evaluasi
mengurangi dampak. Hal ini sering terlihat pada diabaikannya atau dikritiknya
evaluasi sebagai sesuatu yang tidak mendasar atau malah dianggap tidak
meyakinkan. Demikian juga evaluasi dituding tidak direncanakan dengan baik,
data yang digunakan kurang mamadai dan sebagainya.
Hal seperti inilah mengapa suatu evaluasi biasa tidak mendapat
perhatian bahkan mungkin diabaikan meskipun evaluasi itu benar adanya.
Dari uraian di atas nampaklah bahwa evaluasi,
meskipun itu dianggappenting dalam
sebuah kebijakan, akan tetapi dalam pelaksanannya menghadapi berbagai kendala, dengan begitu
meski evaluasi adalah siklus yang biasa-biasa
saja, tetapi tidak serta merta memperoleh dukungan maksimal, terutama dari kalagan implementor di lapangan.
C.
Tujuan kebijakan publik
Kebijakan publik adalah sebuah keputusan
otoritas negara yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan
kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya dan risorsis, yaitu
antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara
dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Jadi pemahaman utama distribusi
versus absortif.
Kebijakan absortif adalah kebijakan
yang menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang
akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
kebijakan yang berdiri dimental distributif, yaitu kebijakan yang secara
langsung atau tidak langsung mengalokasikan sumber-sumber daya material ataupun
non-material ke seluruh masyarakat.
Pemilihan kedua dari tujuan kebijakan
adalah regulatif versus deregulatif, kebijakan regulatif bersifat
mengatur dan membatasi, seperti kebijakantarif, kebijakan pengadaan barang dan
jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri dan sebagainya. Sedangkan
kebijakan degerulatif bersifat membebas, seperti kebijakan privatisasi.
Pemilihan ketiga adalah dinamisasii versus
stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat
menggerakkan sumber daya nasion untuk mencapai kemajuan tentu yang
dikehendakinya. Misalnya kebijakan desentrasi, kebijakan zona industri
ekskelusif dan lain-lain. Sedangkan kebijakan stabilitas yang bersifat mengerem
dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada baik sistem
politik, keamana, ekonomi, maupun sosial, misalnya pembantasan transaksi valas,
kebijakan penetapan suku bunga, dan kebijakan tentang keamana negara.[32]
Pemilihan keempat adalah kebijakan yang memperkuat
negara versus memperkuat pasar, kebijakan yang memperkuat negara
adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negar, sementara
kebijakabesar peran yang memperkuat pasar adalah suatu kebijakan yang mendorong
lebih peran publik atau mekanisme pasar dari pada peran negara.[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebijakan
publik adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti goverment
yanh hanya menyangkut aparatur negara yang melainkan pula governance yang
menyentuh pengelolaan sumber daya puplik, inti dari kebijakan merupakan sebuah
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finasial dan manusia demi
kepentingan publik , yakni rakyat banyak penduduk, masyarat atau warga negara.
Kebijakan publik juga hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi
antara berbagai gagasan , teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang
mewakili sistem politik suatu negara.
Perumusan kebijakan publik adalan sebuah inti dari kebijakan publik
karena telah dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri, pertama harus
didasari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik.
Salah satu tugas seorang pemerintah adalah sebagai perumusan
kebijakn publik, agar kebijakan publik dapat merumuskan secara sistematik. yang
diperlukan sebuah proses yang sistematispula, meskipun proses tersebut tidak
selalu harus bersifat kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem
pemerintah dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur serta memiliki ritme yang
jelas, proses merumuskan kebijakan sering juga disebut sebagai lingkaran
kebijakan (policy cycle).
Monitoring adalah suatu pemindaian selama proses implementasi
berjalan, monitoring untuk memastikan kebijakan dilaksanakan sesuai dengan
rencana. Monitoring juga memastikan bahwa implementasi kebijakan.
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah
kebijakan publik. Ia merupakan unsur yang penting dalam siklus kebijakan, sama
pentingnya formulasi, dan implemetasi kebijakan. Oleh sebab itu kebijakan
publik yang berkualitas hanya mungkin dicapai jika siklus itu mendapat
perhatian seimbang, dalam hal formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Kebijakan publik adalah sebuah keputusan otoritas negara yang
bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat
dibedakan dari sisi sumber daya dan risorsis, yaitu antara kebijakan publik
yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara dan yang bertujuan
menyerap sumber daya negara.
B.
Saran
Saran
kami dari disini semoga makalah ini bisa berguna serta bisa menjadi contoh
untuk pembelajaran kedepannya agar tidak terjadinya kesalahan, serta bisa di
jadikan bahan ajaran dan pembanding dari makalah yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:PT
Gramedika Pustaka Utama, 2008.
Muhidin, Amir, Evaluasi Kebijakan Publik, Universitas Negeri
Makasar, 2017.
Nugroho, Riant, Publik
policy, Jakarta:PT Gramedia, 2009.
Suharto, Edi, Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2013.
Kencana Syafi’i, Inun Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung:Refika
Aditama,1992.
Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, Jakarta:Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Iniversitas Moestipi Beragama, 2014.
[1] Edi Suharto, Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta,2013), hlm.3-4.
[2]Suharto,
Kebijakan Publik,hlm.3-4.
[3] Ibid, hlm.4.
[4] Amir Muhidin, Evaluasi
Kebijakan Publik, (Universitas Negeri Makasar,2017),hlm. 40.
[5] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedika Pustaka
Utama,2008), hlm.20-21.
[6] Riant Nugroho,
Publik policy, (Jakarta:PT Gramedia, 2009), hlm.30-31.
[7] Inun Kencana
Syafi’i, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung:Refika Aditama,1992), hlm
147
[8] Kencana
Syafi’i, Ilmu Pemerintahan, hlm.147.
[9] Ibid, 148
[10] Kencana
Syafi’i, Ilmu Pemerintahan , hlm.148.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Nugroho, Public
Policy, hlm.505.
[14] Suharto, Kebijakan
Publik, hlm.23.
[15] Suharto, Kebijakan
Publik, hlm.23-26.
[16] Ibid, hlm.27.
[17] Ibid,
hlm.27-29.
[18] Suharto, Kebijakan
Publik, hlm.33-35.
[19] Suharto,
Kebijakan Publik, hlm.41-43.
[20] Ibid, hlm.36.
[21]
Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, (Jakarta:Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Iniversitas Moestipi Beragama, 2014), hlm.65-66.
[22]
Taufiqurokhman, kebijakan Publik, hlm.66-67.
[23]
Taufiqurokhman, kebijakan Publik, hlm.66-67.
[24] Taufiqurokhman,
Kebijakan Publik, hlm.67-68.
[25] Nugroho, Public
Policy, hlm.461. rian nugroho
[26] Muhidin, Kebijakan
Publik, hlm.92.
[27] Ibid,
hlm.94-95.
[28] Suharto, Kebijakan
Publik, hlm.96-97. buku
[29] Muhidin, Kebijakan
Publik, hlm.98.
[30] Muhidin, Kebijakan
Publik, hlm. 96-97.
[31] Muhidin, Kebijakan
Publik, hlm. 97-98.
[32] Nugroho, Public
Policy, hlm.110-111.
[33] Nugroho, Public
Policy, hlm.111.