Thursday, 21 March 2019

1. Apa saja pengertian kebijakan puplik dan perumusan kebijakan publik? 2. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi kebijakan publik? 3. Apa saja tujuan kebijakan publik?


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sebuah ilmu politik ada beberapa yang berkaitan dengan politik atau kebijakan publik publik policy, disini sangat mengangkat banyak kejadian adanya beberapa keunggulan suatu negara bangsa yang semakin ditentukan oleh beberapa yang semakin mampu untuk mengembangkan kebijakan publik yang semakin unggul. Oleh karena itu dalam suatu Negara Bangsa harus mempunyai sebuah tindakan yang bisa membantu Negara Bangsa semakin maju untuk kedepannya sehingga tidak ada suatu masalah yang terjadi lagi.
Pemerintah harus melakukan banyak hal kebijakan publik dengan baik seperti melakukan kebijakan umum, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan maaf serta menarik pajak atau sekaligus jadi kebijakan publik tersebut mencakup macam bidang kehidupan, serta untuk kesejahteraan masyarakat di Indonesia ini.
Sebuah pemerintaha Negara atau presiden dan wakil presiden tersebut  harus sangat berperan aktif untuk menentukan kebijakan publik untuk kesejahteraan masyarat di Indonesia agar menjadi lebih baik. Dari itu makalah ini akan menjelaskan beberapa hal serta memahami dan menjelaskan yang berkaitan dengan kebijakan publik .
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja pengertian kebijakan puplik dan perumusan kebijakan publik?
2.      Bagaimana proses monitoring dan evaluasi kebijakan publik?
3.      Apa saja tujuan kebijakan publik?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian kebijakan publik dan perumusan kebijakan publik
2.      Untuk mengetahui prosess monitoring dan evaluasi kebijakan publik
3.      Untuk mengetahui tujuan kebijakan publik
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian kebijakan publik dan perumusan kebijakan publik
1.      Pengertiam kebijakan publik
Kebijakan publik public policy adalah apapun yang harus dilakukan oleh pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak dilakukan, pemerintah melakukan banyak hal kebijakan publik melakukan mengatur perilaku, mengorganisasi birokrasi, mendistribusikan manfaat, atau menarik pajak, atausemuanya dilakukan sekaligus serta kebijakan publik mencakup berbagai macam bidang kehidupa yang ada.
Kebijakan publik adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti goverment yanh hanya menyangkut aparatur negara yang melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya puplik, inti dari kebijakan merupakan sebuah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finasial dan manusia demi kepentingan publik , yakni rakyat banyak penduduk, masyarat atau warga negara. Kebijakan publik juga hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan , teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.[1]
Banyak sekali pengertian atau definisi tentang kebijakan  publik yang sebagian besar ahli memberikan pengrtian kebijakan publik dalam kaitan dengan keputusan atau ketetapn pemerintah untuk melakukan suatu tindakan  yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Sedangkan menurut Bridgman dan Davis, yang berarti kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian “whatever goverment choose to do or not do” yang artinya kebijakan publik yaitu “apa sajah yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan  atau tidak dilakukan”. Terkadang kebijakan publik menunjukkan pada istilah atau konsep untuk menjelaskan piliha-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor kebijakan umum, transportasi, pendidikan , kesehatan , perumahan dan kesejahteraan.[2]
Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Tidak berarti makna kebijakan  hanyalah milik atau domain pemerintah saja, organisasi-organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik, karena kebijakan mereka tidak dapat memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.[3]
kebijakan publik juga disebut sebagai produk perundang-undangan. Kebijakan publik melahirkan berbagai produk perundangn undangan yang secara khirarkis termuat dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang sturuktur perundang-undangan Indonesia yang menggantikan UndangUndang Nomor. 10 Tahun 2004, mulai dari UUD 1945, Undang – Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Presiden. Peraturan Daerah: Perda Provinsi, perda kabupaten/kota sampai Peraturan Desa.[4]
Kebijakan umum (publik policy) yaitu suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha untuk memilih tujuan serta cara untuk mencapai suatu tujuan tersebut. Sebuah  pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, para sarjana yang menekannkan aspek kebijakan umum (public policy , beleid) menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita bersama ingin dicapai dengan usaha bersama serta untuk itu diperlukan rencana-rencana yang mengikat serta yang dituang dalam kebijakan (policies) oleh pihak yang telah berwenang.[5]
Ada dua aliran dalam kebijakan publik yaitu sebagai berikut
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis dalam memahami kebijakan publik terdapat dua jenis aliran atau pemahaman yaitu:
a.       Kontinentalis, yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum , bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum yang utamanya hukum publik ataupun hukum negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi di antara institusi-institusi negara.
b.      Anglo-saxonis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan  publik adalah turunan dari politik demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.[6]
Ada beberapa model yang digunakan dalam pembuatan Public Policy, yaitu sebagai berikut:
1.    Model elit
Yaitu pembentukan public policy hanya berada pada sebagian kelompok orang-orang tertentu yang sedang berkuasa. Walaupun pada kenyataannya mereka sebagai preferensi dari nilai-nilai elit tertentu tetapi mereka masih saja berdalih merefleksikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Oleh karena itu mereka cenderung mengendalikan dengan continue, dengan perubahan-perubahan hanya bersifat tambal sulam. Masyarakat banyak dibuat sedemikian rupa tetap miskin informasi.[7]
2.    Model kelompok
Berlainan dengan model elit yang dikuasai oleh kelompok tertentu yang berkuasa, maka pada model ini terdapat beberapa kelompok kepentingan (interest group) yang saling berebutan mencari posisi dominan. Jadi dengan demikian model ini merupakan interaksi antar kelompok dan merupakan fakta sentral dari politik serta pembuatan public policy. Antar kelompok mengikat diri secara formal atau informal dan menjadi penghubung pemerintah dengan individu.[8]
Antar kelompok berjuang mempengaruhi pembentukan public policy, bisa membentuk koalisi mayoritas tetapi juga dapat menimbulkan check and balance dalam persaingan antar kelompok untuk menjaga keseimbangan.
3.    Model kelembagaan
Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah kelembagaan pemerintah. Yang masuk dalam lembaga-lembaga pemerintah seperti eksekutif (presiden, menteri-menteri dan departemennya), lembaga legislative (parlemen) lembaga yudikatif, pemerintah daerah dan lain-lain.[9]
Dalam model ini public policy dikuasai oleh lembaga-lembaga tersebut dan sudah barang tentu lembaga tersebut adalah satu-satunya yang dapat memaksa serta melibatkan semua pihak. Perubahan dalam kelembagaan pemerintah tidak berarti perubahan kebijakan.
4.    Model proses
Model ini merupakan rangkaian kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusah usul pengesahan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasinya. Model ini akan memperhatikan bermacam-macam jenis kegiatan pembuatan kebijakan pemerintah (public policy).
5.    Model rasialisme
Model ini bermaksud untuk mencapai tujuan secara efisien dengan demikian dalam model ini segala sesuatu dirancang dengan tepat untuk meningkatkan hasil bersihnya. Seluruh nilai diketahui seperti kalkulasi semua pengorbanan politik dan ekonomi serta menelusuri semua pilihan dan apa saja konsekuensinya, perimbangan biaya dan keuntungan (cost and benefit).
6.    Model inkrimentalisme
Berikut ini berpatokan pada kegiatan masa lalu dengan sedikit perubahan. Dengan demikian hambatan seperti waktu, biaya dan tenaga untuk memilih alternative dapat dihilangkan. Dalam arti model ini tidak banyak bersusah payah, tidak banyak resiko, perubahan-perubahannya tidak radikal, tidak ada konflik yang meninggi kestabilan terpelihara tetapi tidak berkembang (konsertatif) karena hanya menambah dan mengurangi yang sudah ada.[10]
7.    Model system
Model ini beranjak dari memperhatikan desakan-desakan lingkungan yang antara lain berisi tuntutan, dukungan, hambatan, tantangan, rintangan, gangguan, pujian, kebutuhan atau keperluan dan lain-lain yang mempengaruhi public policy.
Dan setelah diproses akan mengeluarkan jawaban. Desakan lingkungan sebagaimana yang penulis sampaikan diatas, dianggap masukan (input) sedangkan jawabannya dianggap keluaran (output) yang berisi keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemerintah.[11]
Dari memperhatikan berbagai model-model pembentukan public policy diatas, pada kesempatan lain pemerintah sedikit banyaknya juga mempertimbangkan sebagai berikut:
1.    Memperhatikan responsiviness
Yaitu perhatian utama terhadap tanggapan-tanggapan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemberian pendemokrasian di daerah yaitu berupa desentralisasi dan pemberian otonomi daerah (di Indonesia berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah.
2.    Memperhatikan efiectiveness
Yaitu perhatian utama terhadap pencapaian apa yang dikehendaki saja demi suatu tujuan politik atau ekonomi tertentu. Hal ini sejalan dengan usaha menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa melalui sentralisasi.[12]
2.      Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan publik adalan sebuah inti dari kebijakan publik karena telah dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri, pertama harus didasari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik.[13]
Salah satu tugas seorang pemerintah adalah sebagai perumusan kebijakn publik, agar kebijakan publik dapat merumuskan secara sistematik. yang diperlukan sebuah proses yang sistematispula, meskipun proses tersebut tidak selalu harus bersifat kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem pemerintah dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur serta memiliki ritme yang jelas, proses merumuskan kebijakan sering juga disebut sebagai lingkaran kebijakan (policy cycle).
Sebagian besar tugas dalam proses perumusan kebijakan terletak pada para pejabat pemerintahan atau pegawai negri yang yang dipimpin oleh seorang menteri di suatu departemen, cara yang paling sering ditempuh untuk membuat kebijakan adalah membagi proses perumusan secara terpisah, sebelum membahas secara terperinci mengenai proses perumusan kebijakan serta ada sedikit mengenai siapa para aktor atau pemain yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik.[14]
a.       Permainan kebijakan
Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat politik. Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang (winarno), di negara-negara berkembang seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil.
b.      Proses logis
Pada tahun 1951, Harold Laswes telah membuat proses perumusan kebijakan ke dalam beberapa tahapan yang dimulai dari tahap konseptualisasi, rekomendasi, preskripsi, invokasi, aplikasi, apraisal dan terminasi. Proses perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai tahapan yang beragam, langkah-langkahnya akan dimulai dari indentifikasi isu, merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan, menetapkan kebijakan, dan mengevaluasi kebijakan. Ke enam langkah perumusan kebijakan akan dijelaskan sebagai berikut.[15]
1.      Mengidentifikasi isu kebijakan
Sebuah kehidupan politik yang senantiasa berhadapan dengan berbagai isu, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, parlemen, media massa, departemen pemerintahan dan perusahaan swasta yang pada dasarnya selalu berkompetensi untuk menawarkan berbagai isu kunci sesuai dengan kepentingan.[16]
2.      Merumuskan agenda kebijakan
Idenfikasi dan perdebatan mengenai isu-isu di atas melahirkan agenda kebijakan. Agenda kebijakan pada intinya merupakan sebuah masalah sosial yang paling memungkinkan direspon oleh kebijakan, agenda kebijakan juga dapat dianalogikan dengan sebuah “topik diskusi” atau “ agenda rapat” yang dibahas dalam sebuah pertemuan besar para pejabat pemerintah.
Agenda kebijakan adalah daftar subjek atau masalah dengan mana pejabat pemerintah beserta orang-orang di luar pemerintah yang memiliki hubungan dengan pemerintah, memberi perhatian serius pada siatu waktu tertentu.[17]


3.      Melakukan konsultasi
Arsitektur pemerintahan cenderung bersifat multi-ragam, yang melibatkan banyak lembaga dan sektor kehidupan, karena untuk menghindari tumpang tindih kepentingan dan memperoleh dukungan yang luas dari publik setiap agenda kebijakan perlu didiskusikan dengan berbagai lembaga dan pihak. Saat untuk melakukan konsultasi melalui konsultasi, ide-ide dapat diuji dan proposal kebijakan disempurnakan.
4.      Menetapkan keputusan
Sebuah isu kebijakan terindefikasi, agenda kebijakan dirumuskan, dan konsultasi dilakukan, maka tahap berikutnya adalah menetapkan alternatif kebijakan apa yang akan diputuskan. Jika sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk program pelayanan sosial, tahap penetapan keputusan kebijakan meliatkan pembuatan pertimbangan oleh kabinet. Jika kebijakan berbentuk peraturan dan perundang-undangan, maka pembuatan keputusan melibatkan pihak ekskutif dan legislatif.[18]
5.      Implementasi
Para pembuat kebijakan kebijakan-kebijaknan harus juga mempersiapkan strategi implementasi sejak awal sebuah kebijakan dirumuskan selanjutnya. Evaluasi kebijakan secara umum dilakukan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
a.        Mengkaji seberapa besar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan-tujuannya
b.      Memberi panduan kepada para pelaksana kebijakan mengenai seberapa lancar perjalanan atau proses kebijakan tersebut diimplementasikan
c.       Menyediakan indikator penting bagi pembuatan kebijakan di masa mendatang
Adapun mengelola suatu proses perumusan kebijakan yaitu pada umumnya meyakini bahwa proses yang baik akan menghasilkan sebua kebijakan yang baik. Ada beberapa keuntungan dari pendekatan proses dalam perumusan kebijakan yaitu:
a.       Memberi penjelasan mengenai bagaiman sebuah kebijakan dibuat baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang
b.      Bersifat normatif yaitu menunjukkan sebuah standar atau pedoman tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pemain kebijakan
c.       Menekankan bahwa pemerintahan adalah sebuah proses, bukan semata-mata kumpulan lembaga-lembaga
d.      Membagi fenomena kompleks ke dalam beberapa langkah yang terukur dan memungkinkan para pemain kebijakan memfokuskan pada berbagai isu namun tetap berpijak pada kerangka kegiantan yang jelas.
                       Proses perumusan kebijakan tidak berjalan dengan sendirinya dan dilakukan oleh hanya sebuah lembaga atau seorang pemain kebijakan , perumusan kebijakan (identifikasi kebijakan dan penetapan agenda kebijakan), tugas kabinet (penetapan keputusan) atau tugas departemen dan lembaga sektoral (implementasi).[19]
 kabijakan publik dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Tugas para pembuat dan penasihat kebijakan harus mencakup permusan langkah-langkah strategis dan sumber-sumber yang diperlukan  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagian besar media massa sering memonitor dan menilai kemampuan pemerintah dalam menerapkan kebijakannya di lapangan.[20] 
6.      Evaluasi
                     Perumusan kebijakan pada hakikatnya merupakan proses terus menerus yang tiada henti, karena tidak mengherankan jika proses perumusan keijakan sering juga disebut sebagai lingkaran kebijakan yang berputar terus-menerus. Dari evaluasi ini menghasilkan masukan-masukan guna utuk menyempurnakan kebijan atau perumusan kebijakan untuk
 Adapun Fase Perumusan Masalah Kebijakan (William N. Dunn, 1999:226)
       Pencarian masalah menjadi awal ketika para perumus kebijakan akan membuat kebijakan Para analis kebijakan harus dapat membedakan antara masalah publik dengan masalah privat. Jika seseorang kehabisan bensin dalam sebuah perjalana memakai kendaraan bermotor, maka hal tersebut dikatakan sebagai masalah privat. Namun, jika terjadi kelangkaan minyak dan gas yang melanda masyarakat luas, maka hal itu disebut sebagai masalah publik. Ilustrasi tersebut menggambarkan perbedaan yang sangat jelas antara    masalah publik dengan masalah privat. Para analis kebijakan pun harus siap dihadapkan pada metamasalah.
       Tahap selanjutnya yaitu pendefinisian masalah. Tahap ini merupakan penganalisisan dari metamasalah ke masalah subtantif. Di mana terjadi pengkategorian       masalah-masalah yang bersifat dasar  dan umum.Setelah itu, para analis kebijakan dapat merumuskan masalah formal yang lebih rinci dan spesifik. Melalui spesifikasi masalah proses perpindahan dari masalah subtantif ke masalah formal  dapat dilakukan. Ketika masalah telah dispesifikasikan, maka pengenalan masalah menjadi tahap selanjutnya. Dalam tahap ini, kesulitan akan menghampiri pembuat kebijakan. Kesulitan tersebut terjadi dikarenakan ketidaksesuaian masalah subtantif dengan representasi formal dari masalah yang ada.
          Merujuk pada banyaknya persoalan mengenai kebijakan publik, RobertB Seidman, Ann Seidman, dan Nalin Abeysekere mencoba merancang apa yang disebutnya dengan ROCCIPI. Mereka menyatakan bahwa suatu masalah dapat muncul akibat dari adanya beberapa hal yang ditesiskan mereka tidak berjalan sebagai mana mestinya. Hal-hal tersebut, menurutnya antara lain: [21]
 1. Rule (peraturan)
          Peraturan dimaksudkan untuk mengatur segala perilaku manusia. Entah itu sebagai alih-alih (pembenaran) atau malah sebaliknya. Peraturan di sini menyangkut semua masalah publik atau juga masalah yang ditimbulkan oleh publik. Masalah publik dapat muncul jika:
Pertama, rancunya atau membingungkannya bahasa yang digunakan dalam peraturan, seperti tidak dijelaskannya hal-hal yang dilarang dan yang            harus dilakukan oleh masyarakat.
Kedua, beberapa peraturan malah berpeluang menyebabkan perilaku bermasalah Ketiga, peraturan seringkali memperluas penyebagian-penyebagian perilaku bermasalah, bukan malah menghilangkannya. Keempat, peraturan membuka peluang bagi perilaku yang tidak transparan. Kelima, peraturan            memberikan wewenang berlebih kepada pelaksana peraturan untuk bertindak reprensif
2.  Opportunity (kesempatan)
          Seorang individu akan dapat melakukan perilaku bermasalah jika kesempatan yang  ada terbuka lebar. Artinya adalah bahwa  jika kesempatan terbuka makahal itu dapat mempengaruhi seorang individu untuk berperilaku menyimpang.
                          Dalam hal ini, lingkungan menjadi faktor yang dominan penyebab perilaku yang menyimpang. Kemudian, muncul pertanyaan, apakah lingkungan memberikan kontribusi timbulnya perilaku bermasalah atau malah sebaliknya, perilaku bermasalah yang mempengaruhi lingkungan?
3. Capacity (kemampuan)
          Hal tersebut berkaitan dengan pertukaran yang disebabkan tidak dapat memerintah para individu untuk melakukan hal-hal kemampuannya Untuk itu, perlu adanya pemahaman mengenai kondisi-kondisi dari tiap individu.[22]
4. Communication (komunikasi)
       Munculnya perilaku bermasalah dapat diakibatkan ketidaktahuan masyarakat tentang suatu peraturan. Ketidaktahuan tersebut dipicu oleh komunikasi yang tidak berjalan dengan baik (miss-communication). Permasalahan komunikasi sebenarnya merupakan permasalahan klasik di negeri yang kaya akan budaya dan sangat plural ini
5. Interest (kepentingan)
       Kategori ini dapat digunakan untuk menjelaskan pandangan individu tentang akibat dan manfaat dari setiap perilakunya. Akibat dan manfaat yang ditimbulkannya bisa dalam bentuk material (keuntungan ekonomi) dan juga non-material (pengakuan dan penghargaan).
6. Process (proses)
                        Merupakan sebuah instrumen yang digunakan dalam menemukan penyebagian perilaku bermasalah yang dilakukan dalam atau oleh suatu organisasi. Beberapa proses yang digunakan untuk merumuskan masalah dalam organisasi antara lain: Pertama, proses pengumpulan input. Kedua, proses pengolahan input menjadi keputusan. Ketiga, prosesoutput, dan yang keempat, proses umpan balik.
7. Ideology (nilai dan/ atau sikap)
            Sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.            Suatu       nilai yang berlaku dalam masyaraka biasanya merupakan hasil kesepakatan bersama dalam sebuah kelompok. Kemungkinan terjadinya konflik sangatlah besar mengingat nilai tersebut hidup dalam masyarakat yang plural dan heterogen (sebuah nilai yang dianut seringkali tidak sesuai dengan pandangan tiap kelompok).
            Ketujuh hal tersebut di atas, dimaksudkan untuk mempersempit dan lebih mensytematiskan ruang lingkup pandangan para aktor pembuat kebijakan atau para analis kebijakan dalam mencoba            menemukan penyebagian suatu persoalan yang datang dari masyarakat.[23]
                        Harapan-harapan tersebut hanya akan terwujud manakala semua pihak yang terkait mengenai kebijakan meninggalkan egoisme masing-masing dan lebih mementingkan urusan bersama. Namun, ketika ego kelompok yang lebih dominan, maka harapan di atas hanyalah sebatas angan-angan belaka.
Permasalahan kebijakan          menjadi sesuatu hal yang sangat rumit layaknya sebuah benang yang telah kusut. Beberapa tahap harus dilalui para perumus kebijakan dalam memformulasikan kebijakan. Hal tersebut harus                      ditambah dengan suramnya wajah negeri ini.
Negeri yang akhir-akhir ini tercoreng dengan korupsi, juga dengan kemiskinan yang kian mewarnai wajah  negeri  seribu          pulau         ini.  Lengkaplah sudah jika potret buram negeri ini harus diburamkan lagi dengan bermacam-macam kebijakan yang pada akhirnya menyengsarakan rakyat. [24]
B.     Proses monitoring dan evaluasi kebijakan publik
1.      Proses monitoring kebijakan publik
Monitoring adalah suatu pemindaian selama proses implementasi berjalan, monitoring untuk memastikan kebijakan dilaksanakan sesuai dengan rencana. Monitoring juga memastikan bahwa implementasi kebijakan.[25]
2.      Proses evaluasi kebijakan politik
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan publik. Ia merupakan unsur yang penting dalam siklus kebijakan, sama pentingnya formulasi, dan implemetasi kebijakan. Oleh sebab itu kebijakan publik yang berkualitas hanya mungkin dicapai jika siklus itu mendapat perhatian seimbang, dalam hal formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Hal ini relevan dengan pendapat Dye (2002 : 45) bahwa evaluasi merupakan konsekwensi dari kebijakan publik. Sementara itu Winarno (2013: 93) menyatakan bahwa  kebijakan publik adalah suatu proses yang rumit dan panjang, mempunyai tahap-tahap kebijakan yang tiada akhir, meskipun ada ”terminasi”, tetapi ada tahap-tahap berikut yang memungkinkan  lahirnya ”reformulasi” untuk melahirkan kebijakan-kebijakan baru. Siklus lahirnya kebijakan publik sampai pada lahirnya evaluasi jugadiperkuat oleh Dunn (2003), Anderson (1990), dan Suharto (2010).[26]
     evaluasi kebijakan merupakan satu mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Itu sebabnya jika ada kebijakan yang   kemudian dievaluasi, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tentu menjadi bagian dari upaya untuk memperbaiki atau menyempurnakan kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karenanya Dye (1987:45) dalam Parsons (2008:545)  mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan sebagai pemeriksaan yang objektif, sistimatis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai.                                                                                                Kebijakan publik yang tidak tercapai sesuai dengan tujuan karena mengalami resistensi, maka hal ini akan menjadi salah satu    mengapa suatu kebijakan perlu dievaluasi, apa penyebabnya dan bagaimana solusi yang harus diambil, apakah kebijakan itu harus dihentikan, dilakukan terminasi atau melaksanakan reformulasi untuk mendapatkan kebijakan baru. Dari realitas itu sehingga Parsons (2008: 545) menyebut bahwa evaluasi mengandung dua aspek yang saling terkait.[27] a) Evaluasi kebijakan dan kandungan programnya b) Evaluasi terhadap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk implementasi kebijaan dan program. Selanjutnya Lester dan Stewart (2000:125).  mengemukakan bahwa evaluasi suatu kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, pertama adalah menentukan konsekwensi-konsekwensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan, ini dilakukan dengan cara memberi gambaran apa dampak yang ditimbulkan kebijakan tersebut. Selanjutnya yang kedua adalah mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan berdasar pada standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas pertama merujuk pada usaha melihat apakah program kebijakan public mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan  diinginkan ataukah tidak. Bila tidak, apakah, apakah faktor-faktor yang menjadi penyebabnya., tugas kedua adalah evaluasi kebijakan yang pada dasarnya berkait erat dengan tugas yang pertama.
     Terdapat enam langkah dalam evaluasi kebijakan publik yakni : 1. Mengidentifikasi tujuan-tujuan program yang akan dievaluasi. 2. Analisisterhadap
masalah, 3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan, 4. Pengukuran terhadap tingkatan perubaha yang terjadi, 5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain, 6. beberapa indicator untuk menentukan keberadaaan suatu dampak.
     Evaluasi ditujukan untuk melihat sejauhmana tingkat efektifitas dan efisiensi suatu program kebijakan untuk memecahkan masalah , Efektif berkenan dengan cara yang digunakan , sedangkan Efisienasi berkenan dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan. Tidak semua masalah public dapat dipecahkan oleh program . BIla
kondisi ini terjadi maka maka pertanyaannya adalah mengapa terjadi kegagalan.[28] 
     Suatu evaluasi kebijakan menurut Jones, (1975 : 199) harus meliputi kegiatan, yakni penghususan (spesificaion), pengukuran (measurement), analisis dan rekomendasi. Specification merupakan kegiatan yang paling penting diantara kegiatan lain dalam evaluas kebijakan, Kegiatan ini meliputi identifikasi tujuan atau kriteruia melaluimana program kegiatn tersebut mau dievaluasi. Ukuran-ukuran kriteria ini yang akan dipakai untuk menilai apakah manfaat program. Pengukuran menyangkut aktifitas pengumpulan informasi yang relevan denga objek evaluasi, sedangkan analisis adalah penggunaan informasi yang telah terkumpul dalam rangka menyusun kesimpualn, dan akhirnya rekomendasi yakni penentuan mengenai apa yang harus dilakukan dimasa mendatang.[29]
Adapun masalah-masalah evaluasi kebijakan sebagai berikut:
     Evaluasi kebijakan, bukan masalah yang gampang apalagi untuk disebut sederhana, sebaliknya evaluasi justru pekerjaan yang rumit sebab melibatkan banyak unsur yang saling terkait misalnya melibatkan orang-orang yang bukan saja dari pihak yang melakukan evaluasi tetapi juga terhadap orag-orang yang dievaluasi. Selanjutnya adalah materi-materi yang akan dievaluasi, seperti apa yang akan dievaluasi dan bagaimana melakukannya. Materi yang akan dievaluasi berkaitan dengan tujuan kebijakan tersebut dan kesulitannya sering terjadi pada runag lingkup dan luasnya tujuan yang akan dievaluasi.
     Winarno (2013:240) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses yang rumit dan kompleks. Proses ini melibatkan berbagai macam kepentingan individu
individu yang terlibat dalam proses evaluasi. Kerumitan dalam proses evaluasi juga karena melibatkan kriteria-kriteria yang ditujukan untuk melakukan  evaluasi. Ini berarti bahwa kegagalan dalam menentukan kriteria akan menghambat proses evaluasi yang akan dijalankan.
     Anderson yang ditulis kembali oleh Winarno (2013:240) mengemukakan bahwa setidaknya enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan. Pertama, ketidakpastian atas tujuan-tujuan yang disusun untuk menjalankan kebijakan seharusnya jelas. Bila tujuan-tujuan kebijakan tidak jelas atau tersebar, sebagaimana sering terjadi , maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauhmana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidak jelasan tujuan biasanya berangkat dari proses-proses penetapan kebijakan. Suatu kebijakan agar dapat ditetapkan biasanya harus mendapatkan dukungan dari suatu koalisi mayoritas untuk mengamankan penetapan suatu kebijakan. 
     Seringkali terjadi suatu kebijakan membutuhkan perhatian orang-orang dan
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda. Kondisi ini mendorong terjadinya ketidak jelasan tujuan karena harus merefleksikan banyak kepentingan maupun nilai-nilai dari aktor-aktor yang terlibat di dalam perumusan kebijakan.   Kedua, kausalitas. Bila seorang evaluator menggunakan evaluasi sistimatik untuk melakukan evaluasi terhadap program-program kebijakan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi  dalam kehidupan nyata harus disebabkan oleh tindakan-tindakan kebijakan.
     Ketiga, dampak kebijakan yang menyebar, misalnya kita mengenal apa yag dimaksud sebagai eksternalitas atau dampak yang melimpah (externalities or spillover effects), yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok selain kepada mereka yang menjadi sasaran atau tujuan kebijakan.Suatu program kesejahteraan mungkin mempengaruhi tidak hanya kelompok masyarakat miskin tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat lain seperti misalnya pembayar pajak, pejabat-pejabat pajak, masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah yang tidak menerima keuntungan-keuntungan dari suatu program kesejahteraan. Dampak program-program dari kelompok ini mungkin bersifat simbolik atau material, Para pembayar pajak mungkin mengeluh bahwa “bahwa uang yang mereka peroleh dengan sulit digunakan untuk menghidupi orang-orang yang malas bekerja”.[30]
     Keempat, kesulitan-kesulitan dalam memperoleh dana  Kekurangan data statistik dari informasi-informasi lain yang relevan barangkali akan menghalangi para evaluator untuk melakuka evaluasi. Model-model ekonometrik yang biasa digunakan untuk meramalkan dampak dari pengurangan pajak pada kegiatan ekonomi dapat dilakukan, tetapi data yang cocok untuk menunjukkan dampak yang sebenarnya pada ekonomi sulit untuk diperoleh. [31]
     Kelima, resistensi pejabat. Seringkali seorang pejabat meskipun menyadari bahwa program yang dilaksanakannya gagal, akan tetapi mereka menyembunyikan kegagalan tersebut hanya karena takut dipecat atau diberhentikan dari jabatannya. Oleh sebab itu evaluasi bagi mereka bukan dianggap sebagai sesuatu yang penting, malah evaluasi dianggap sebagai momok. Karena itulah ketika ada evaluasi dilakukan oleh orang atau lembaga tertentu untuk melihat sejauhmana program itu dilaksanakan, apa hambatannya apa hambatannya dan bagaimana mencari solusinya, mereka selalu menghalangi, bahkan menyembunyikan data-data yang dianggap penting. Hampir semua pejabat ingin disebut sukses melaksanakan programnya, dan sebaliknya sangat riskan untuk menyebut dirinya gagal, itu sebabnya mereka berupaya melakukan proteksi dengan berbagai cara, antara lain membangun pencitraan, melalui ekspos terhadap hal-hal yang dianggap baik dan menyembunyikan hal-hal yang dianggap buruk. Disamping itu, menghalang-halangi, malah kalau perlu membujuk  hingga menyuap evaluator.
     Keenam, evaluasi mengurangi dampak. Hal ini sering terlihat pada diabaikannya atau dikritiknya evaluasi sebagai sesuatu yang tidak mendasar atau malah dianggap tidak meyakinkan. Demikian juga evaluasi dituding tidak direncanakan dengan baik, data yang digunakan kurang mamadai dan sebagainya.
Hal seperti inilah mengapa suatu evaluasi biasa tidak mendapat perhatian bahkan mungkin diabaikan meskipun evaluasi itu benar adanya.   
        Dari uraian di atas nampaklah bahwa evaluasi, meskipun itu  dianggappenting dalam sebuah kebijakan, akan tetapi dalam pelaksanannya  menghadapi berbagai kendala, dengan begitu meski evaluasi adalah siklus yang  biasa-biasa saja, tetapi tidak serta merta memperoleh dukungan maksimal, terutama  dari kalagan implementor di lapangan.
C.    Tujuan kebijakan publik
     Kebijakan publik adalah sebuah keputusan otoritas negara yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya dan risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Jadi pemahaman utama distribusi versus absortif.
     Kebijakan absortif adalah kebijakan yang menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan kebijakan yang berdiri dimental distributif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mengalokasikan sumber-sumber daya material ataupun non-material ke seluruh masyarakat.
     Pemilihan kedua dari tujuan kebijakan adalah regulatif versus deregulatif, kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakantarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri dan sebagainya. Sedangkan kebijakan degerulatif bersifat membebas, seperti kebijakan privatisasi.
     Pemilihan ketiga adalah dinamisasii versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya nasion untuk mencapai kemajuan tentu yang dikehendakinya. Misalnya kebijakan desentrasi, kebijakan zona industri ekskelusif dan lain-lain. Sedangkan kebijakan stabilitas yang bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada baik sistem politik, keamana, ekonomi, maupun sosial, misalnya pembantasan transaksi valas, kebijakan penetapan suku bunga, dan kebijakan tentang keamana negara.[32]
     Pemilihan keempat adalah kebijakan yang memperkuat negara versus memperkuat pasar, kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negar, sementara kebijakabesar peran yang memperkuat pasar adalah suatu kebijakan yang mendorong lebih peran publik atau mekanisme pasar dari pada peran negara.[33]
























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebijakan publik adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti goverment yanh hanya menyangkut aparatur negara yang melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya puplik, inti dari kebijakan merupakan sebuah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finasial dan manusia demi kepentingan publik , yakni rakyat banyak penduduk, masyarat atau warga negara. Kebijakan publik juga hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan , teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
Perumusan kebijakan publik adalan sebuah inti dari kebijakan publik karena telah dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri, pertama harus didasari beberapa hal yang hakiki dari kebijakan publik.
Salah satu tugas seorang pemerintah adalah sebagai perumusan kebijakn publik, agar kebijakan publik dapat merumuskan secara sistematik. yang diperlukan sebuah proses yang sistematispula, meskipun proses tersebut tidak selalu harus bersifat kaku, proses perumusan kebijakan memungkinkan sistem pemerintah dalam merumuskan kebijakan menjadi teratur serta memiliki ritme yang jelas, proses merumuskan kebijakan sering juga disebut sebagai lingkaran kebijakan (policy cycle).
Monitoring adalah suatu pemindaian selama proses implementasi berjalan, monitoring untuk memastikan kebijakan dilaksanakan sesuai dengan rencana. Monitoring juga memastikan bahwa implementasi kebijakan.
Evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan publik. Ia merupakan unsur yang penting dalam siklus kebijakan, sama pentingnya formulasi, dan implemetasi kebijakan. Oleh sebab itu kebijakan publik yang berkualitas hanya mungkin dicapai jika siklus itu mendapat perhatian seimbang, dalam hal formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Kebijakan publik adalah sebuah keputusan otoritas negara yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya dan risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara.
B.     Saran
Saran kami dari disini semoga makalah ini bisa berguna serta bisa menjadi contoh untuk pembelajaran kedepannya agar tidak terjadinya kesalahan, serta bisa di jadikan bahan ajaran dan pembanding dari makalah yang lain.



           









DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:PT Gramedika Pustaka Utama, 2008.
Muhidin, Amir, Evaluasi Kebijakan Publik, Universitas Negeri Makasar, 2017.
Nugroho, Riant,  Publik policy, Jakarta:PT Gramedia, 2009.
Suharto, Edi,  Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2013.
Kencana Syafi’i, Inun Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung:Refika Aditama,1992.
Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, Jakarta:Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iniversitas Moestipi Beragama, 2014.














[1] Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta,2013), hlm.3-4.
[2]Suharto, Kebijakan Publik,hlm.3-4.
[3] Ibid, hlm.4.
[4] Amir Muhidin, Evaluasi Kebijakan Publik, (Universitas Negeri Makasar,2017),hlm. 40.
[5] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT Gramedika Pustaka Utama,2008), hlm.20-21.
[6] Riant Nugroho, Publik policy, (Jakarta:PT Gramedia, 2009), hlm.30-31.
[7] Inun Kencana Syafi’i, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung:Refika Aditama,1992), hlm 147
[8] Kencana Syafi’i, Ilmu Pemerintahan, hlm.147.
[9] Ibid, 148
[10] Kencana Syafi’i, Ilmu Pemerintahan , hlm.148.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Nugroho, Public Policy, hlm.505.
[14] Suharto, Kebijakan Publik, hlm.23.
[15] Suharto, Kebijakan Publik, hlm.23-26.
[16] Ibid,  hlm.27.
[17] Ibid, hlm.27-29.
[18] Suharto, Kebijakan Publik,  hlm.33-35.
[19] Suharto, Kebijakan Publik, hlm.41-43.
[20] Ibid, hlm.36.
[21] Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, (Jakarta:Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Iniversitas Moestipi Beragama, 2014), hlm.65-66.
[22] Taufiqurokhman, kebijakan Publik, hlm.66-67.
[23] Taufiqurokhman, kebijakan Publik, hlm.66-67.

[24] Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, hlm.67-68.
[25] Nugroho, Public Policy,  hlm.461. rian nugroho
[26] Muhidin, Kebijakan Publik, hlm.92.
[27] Ibid, hlm.94-95.
[28] Suharto, Kebijakan Publik, hlm.96-97. buku
[29] Muhidin, Kebijakan Publik, hlm.98.
[30] Muhidin, Kebijakan Publik, hlm. 96-97.
[31] Muhidin, Kebijakan Publik, hlm. 97-98.
[32] Nugroho, Public Policy, hlm.110-111.
[33] Nugroho, Public Policy, hlm.111.