BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang
tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Minat seseorang terhadap kajian bahasa
bukanlah hal baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika Corax
dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad 4-2 SM hingga saat ini (Post
Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Akan tetapi, perhatian dunia filsafat terhadap
bahasa belum pernah begitu luas, umum, dan mendalam seperti sekarang ini. Dapat
dikatakan, perhatian filsafat terhadap bahasa saat ini sama agungnya demgan
“Being” (yang ada) dalam ffilsafat klasik dulu. Dalam diri keduanya ada
kemiripan, konsep “ Being” dan bahasa sama-sama memiliki universalitas.
Perbedaannya terletak dalam variasi sudut pandang.
Salah satu hal yang mencolok dan sekaligus
mengagungkan, bahwa dalam berbagai aliran filsafat abad ke-20 hingga sekarang,
seperti dalam fenomenologi, eksistensialisme Heidegger, filsafat analitik,
neopositifisme (positivisme logis), hermeneutika dan semiotika, masalah
bahasa memainkan peranan yang sangat besar. Orang menyebut filsafat abad ke 20
hingga saat ini adalah logosentrisme. Kata logos berarti “bahasa”, teks,
sisi pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan. Banyak diantara para filosof yang
memandang bahasa sebagai objek pemikiran mereka. Singkatnya, bahasa telah
menjadi tema sentral filsafat Eropa kontinental, Inggris dan Amerika. Ungkapan “the
lingguistic turn” atau kembali
kepada bahasa, bukanlah sekedar selogan tapi sudah menjadi aktivitas filosofis
sepanjang sejarah abad ke 20 hingga sekarang ini.
Jika bahasa dimengerti dalam arti luas, yaitu
dalam arti teks, texture atau jalinan struktur-struktur maka kita akan
mendapatkan banyak filosof yang digilongkan sebagai yang memiliki kecenderungan
logosentrisme. Sebut saja Moore dan Russell dari kelompok filosof yang
mengembangkan analisis bahasa (filsafat analitik), Hedgger dan Jasper dari
eksitensialisme, Merleau-Ponty dari fenomenologi, para filosof dari
strukturalisme seperti Claude Levi-Strauss, Jacques Lacan, Lois Althusser dan
Michel Foucault, dan juga tidak ketinggalan kelompok filosof yang menamakan
dirinya sebagai pendukung posmodernisme atau digolongkan kedalam kelompok ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan pengertian filsafat
bahasa?
2.
Bagaimana definisi hakikat filsafat bahasa?
3.
Bagaimana filsafat bahasa sebagai fundamen
kajian bahasa?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian filsafat bahasa.
2.
Untuk mengetahui definisi hakikat filsafat
bahasa.
3.
Untuk mengetahui filsafat bahasa sebagai
fundamen kajian bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Bahasa
Secara etimologis, istilah “filsafat”
merupakan padanan kata falsafah (bahasa arab) dan philosophy (bahasa
inggris), yang berasal dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia
adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata philos dan sophia
kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia
berarti kebijaksanaan (wisdom), kearufan,dan pengetahuan. Sehingga
secara etimologis, atau filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta
kebijaksanaan, kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat kebijaksanaan, sahabat
kearifan, dan sahabat pengetahuan.
Secara terminologis (istilah), terdapat banyak
definisi tentang pengertian filsafat. Beragamnya definisi filsafat menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point of view)
dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandang ini diusahakan untuk
dapat saling melengkapi. Karna setiap sudup pandangan pasti memiliki kekurangan
atau kelemahan.
Berikut ini hanya mengambil beberapa definisi
dari beberapa filsuf dan ahli filsafat:
1.
Para filsuf pra-socrates
Mempertanyakan tentang arche, yakni awal mula atau asal-
usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa
terpercaya lagi pada jawaban mitos atau lagenda. Oleh sebab itu, bagi mereka,
filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas
dengan mengandalkan akal budi.
2.
Plato
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih
kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juaga mengatakan bahwa filsafat adalah
penyelidiakan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala
sesuatu yang ada.
3.
Aristotles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya
mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realiatas yang ada.
4.
Harold H. Titu
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya di terima secara tidak kritis.
Dari serangkaian definisi di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berfikir secara radikal,
sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan
kata lain, berfilsafat berarti berfikir secara radikal (mendasar, mendalam,
sampai keakar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak
serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak
khusus serta tidak parsial).
Beberapa pengertian tentang filsafat di atas
dapat dipahami bahwa filsafat bertalian dengan kegiatan pemikiran atau berfikir
yang dilakukan oleh manusia. Sasaran pemikran diarahkan pada segala sesuatu
yang ada secara keseluruhan. Dengan ciri yang menyeluruh dari pandangan
filsafat inilah, filsafat berusaha mengatasi spesialisasi setiap ilmu. Kalau
ditinjau dari segi sejarahnya ilmu-ilmu khusus itu memang berasal dari
filsafat.[1]
B. Hakikat Filsafat Bahasa
Sejak zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak
zaman manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak dapat
dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. Oleh karena itulah, bahasa
sampai saat ini merupakan salah satu persoalan yang sering dimunculkan dan
dicari jawabannya. Mulai dari pertanyaan “apa itu bahasa?” sampai dengan “dari
mana asal bahasa itu?”
Banyak jawaban dan teori yang telah
disodorkan. Akan tetapi, semuanya belum memuaskan. Mengapa demikian? Karena
bahasa senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalm
alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. ia hadir karena karunia Tuhan Sang
Penguasa alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan
melalui Zat-Nya, tapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci (ayat
kauniyah dan wahyu).
Karena bahasa merupakan karunia Tuhan untuk
manusia, maka upaya mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus
merupakan amal saleh. Dengan demikian, mempelajari bahasa adalah salah satu
ibadah yang harus kita lakukan.
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai
sistem lambang arbriter yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Batasan ini merupakan batasan
yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan
lainnya.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan
pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi
berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer,
pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan
perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa
(suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan
santun, tingkah laku yang baik.
Dua ilmuawan Barat, Bloch dan Trager,
mendefinisikan bahasa sebagai sesuatu “sistem simbol-simbol bunyi yang arbutrer
yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi.
Kalau kita mengatakan bahwa “bahasa adalah
suatu sistem simbol-simbol”, lanjut Tarigan, adalah mengandung makna bahwa
ucapan si pembicara dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek ataupun
kejadian-kejadian dalam dunia praktis; dengan kata lain ucapan itu “berarti”
atau “terdiri atas” aneka ragam ciri pengalaman atau singkatan:mengandung arti
atau makna.
Sedangkan makna atau arti dalam bentuk
linguistik seperti kata, bagain kata atau gabaungan berbagai kata (kata kerja,
kata benda, kata sifat, dll) adalah ciri yang umum bagi semua situasi tempatnya
dipakai. [2]
C. Filsafat Bahasa sebagai Fundamen Kajian Bahasa
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya
telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates , yaitu ketika
Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai „para fisiologis kuno‟. Seluruh minat
Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas
dunia fenomenal ini terdapat „dunia menjadi‟ namun ada dunia yang lebih tinggi,
yaitu dunia ideal, dunia kekal yang
berisi „ada‟ yang sifatnya murni. Meskipun begitu, ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan
saja, tetapi terus mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip
perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Bagi Herakleitos,
petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia
material, melainkan dunia manusiawi.
Dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam
pengertian inilah maka medium bahasa menjadi bersifat sentral. Bahkan dalam
pemikiran Herakleitos bahwa „kata‟ bukan
semata-mata gejala antropologis. „Kata‟ tidak hanya terbatas dalam lingkup
sempit dunia manusiawi, karena „kata‟ mengandung kebenaran universal. Bahkan
Herakleitos mangatakan “jangan dengar aku, dengarlah pada sang „kata‟ dan
akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikianlah sehingga pemikiran Yunani awal
bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa.
Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi
pusat perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog
filosofis. Sokrates dalam berdialog ilmiah dengan kaum sofis menggunakan
analisis bahasa dan metode yang dikembangkannya dikenal dengan metode
„dialektis kritis‟. Menurut Sokrates, objektivitas kebenaran filosofis perlu
diungkapkan dalam satu analisis bahasa secara dialektis dan dengan didasarkan pada
dasar-dasar logika. Perhatian yang amat besar terhadap bahasa juga dikembangkan
oleh Plato maupun Aristoteles, bahkan topik perhatian utama mereka adalah
tentang hakikat bahasa itu sendiri.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar
yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan „rasio indera
dan intuisi‟ manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia.
Oleh karena itu, aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran
empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan
pengetahuan manusia, serta aliran
immaterialisme dan kritisisme Immanual Kant,
sangat berpengaruh terhadap lahirnya filsafat analitika bahasa terutama dalam
mengungkapkan realita segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi
seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena
itu, bahasa sangat sensitif terhadap
kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menarik
perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan lahirnya aliran
filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan
menjadi terjelaskan secara lengkap manakala menggunakan analisis terminologi
gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak
ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.
Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf, terutama para tokoh filsafat analitika bahasa
menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep.
Sebagaimana kita ketahui banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui
analitika bahasa, misalnya „apakah keadilan itu‟, „apakah yang dimaksud dengan
kebenaran‟, „apakah yang dimaksud dengan kebaikan‟, dan lain sebagainya.
Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok
filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu, termasuk
manusia sendiri. Namun kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini
dianggap tidak mencukupi, karena tidak
didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan
kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan yang
fundamental tentang hakikat segala sesuatu,
para filsuf berupaya memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan
analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Ada tiga cara untuk
memformulasikan problema filsafat secara analisis, misalnya analisis tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut :
(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu
(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu
(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran
pengetahuan itu
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena
seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan)
sesuatu yang disebut pengetahuan yang berada bebas dari pikiran manusia.
Untuk yang kedua itu juga menyesatkan, karena seakan-akan tugas filsafat untuk
memeriksa, meneliti, dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian
menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannnya hingga menjadi suatu
konsep yang disebut pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang
ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama
filsafat adalah analisis konsep-konsep, dan dengan demikian maka tugas filsafat
sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa. Memang
filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan
bahasa, yaitu bidang makna (semantik).
Problema yang muncul berkaitan dengan filsafat
sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa
sebagaimana dihadapi oleh displin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat
senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga bahasa memiliki peranan yang
sentral. Dalam pengertian inilah Alston mengemukakan bahwa bahasa merupakan
laboratorium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan
problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis
konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam
mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis, maka
timbullah suatu masalah, yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam
masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan
bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf
yang memiliki pandangan yang berbeda.
Pertama, terdapat kelompok filsuf yang beranggapan
bahwa sebenarnya bahasa biasa, yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam
komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat, atau dengan
lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan
konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi
kelemahan dan kekurangan bahasa sehari-hari dalam filsafat harus diberikan
suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap
penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini masalah-masalah filsafat itu
timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasa
oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam
filsafat, dan penyimpangan itu tanpa
suatu penjelasan agar dapat dimengerti. Misalnya kita sering mendengarkan suatu
ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis
memiliki makna yang dalam tanpa memberikan alasan yang memadai agar memiliki
suatu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan
yang pertama ini tugas filsuf adalah memberikan semacam terapi untuk
penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.
Kedua, terdapat kelompok filsuf yang menganggap
bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah
dan konsep filsafat. Masalah – masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa
biasa tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis, karena bahasa sehari-hari
memiliki banyak kelemahan antara lain : kekaburan makna, tergantung pada
konteks, mengandung emosi, dan menyesatkan. Untuk mengatasi kelemahan dan demi
kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis, maka perlu dilakukan suatu
pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika
sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf
Carnap, Bertrand Russel dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas
filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari. Dengan suatu
kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang
hakikat fakta-fakta atau kenyataan dasar tentang struktur metafisis dari
realitas kenyataan dunia. Dengan demikian, yang menjadi perhatian utama adalah
usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perhatian
filsafat memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang
terkandung di dalamnya.
Jika filsafat kerjanya bertanya secara kritis
untuk mencari jawab tentang suatu realitas, maka banyak sekali pertanyaan yang
harus dijawab oleh filsafat. Pertanyaan tersebut mencakup seluruh yang ada:
alam semesta, manusia, agama, politik, budaya, seni, bahasa dan lainnya.
Baiklah, jika demikian, apa kerja dan fungsi filsafat terhadap bahasa?
Pertanyaan ini layak untuk dijawab, sebab bahasa itu sendiri merupakan realitas
yang membutuhkan jawaban filsafat. Hingga sekarang banyak pertanyaan yang masih
belum terjawab.
Sebagai contoh, berikut ini akan dikemukakan
beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam
memahami dan memecahkannya, antara lain:
1.
Masalah “bahasa‟ pertama dan yang mendengar
adalah apakah hakikat bahasa itu? Mengapa bahasa itu harus ada pada manusia dan
merupakan ciri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu, dan bagaimana
hubungan antara „bahasa‟ dengan „manusia‟ itu?
2.
Apakah perbedaan utama antara „bahasa‟ manusia
dengan „bahasa‟ di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau bahasa
makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3.
Apa yang dimaksud dengan bahasa yang bermakna
dan bahasa yang benar itu. Apap pula kriteria kebenaran bahasa itu. Apakah
betul bahasa kitab suci bukan suatu bahasa yang tidak bermakna. Kriteria apa
dari kebenaran bahasa kitab suci itu?
4.
Apa hubungan antara bahasa dengan akal, dan
juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati, intuisi dan fenomena batin
manusia lainnya. 5. Bisakah manusia
berhubungan dengan bahasa-bahasa di luar manusia. Bahsa apa yang digunakannya,
dan bagaimana kita mempelajarinya.
Problem-problem tersebut, merupakan sebagian
dari contoh-contoh problematika kebahasaan, yang dalam pemecahannya memerlukan
usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis atau analisis filsafat. [3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis, istilah “filsafat”
merupakan padanan kata falsafah (bahasa arab) dan philosophy (bahasa
inggris), yang berasal dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia
adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata philos dan sophia
kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia
berarti kebijaksanaan (wisdom), kearufan,dan pengetahuan.
Secara terminologis (istilah), terdapat banyak
definisi tentang pengertian filsafat. Beragamnya definisi filsafat menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point of view)
dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandang ini diusahakan untuk
dapat saling melengkapi. Karna setiap sudup pandangan pasti memiliki kekurangan
atau kelemahan.
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai
sistem lambang arbriter yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Batasan ini merupakan batasan
yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan
lainnya.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan
pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi
berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer,
pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan
perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa
(suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan
santun, tingkah laku yang baik.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya
telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates , yaitu ketika
Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai „para fisiologis kuno‟. Seluruh minat
Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas
dunia fenomenal ini terdapat „dunia menjadi‟ namun ada dunia yang lebih tinggi,
yaitu dunia ideal, dunia kekal yang
berisi „ada‟ yang sifatnya murni. Meskipun begitu, ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan
saja, tetapi terus mencari prinsip perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari
Masa Klasik hingga Postmodernisme, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ahmad Asep
Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Tafsir Ahmad, 2016, Filsafat Umum Akal dan
Hati Sejak Thales Sampai Capra, Badung: Remaja Rosdakarya.
[1] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 15-21.
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016), hlm, 21-25.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Badung: Remaja Rosdakarya, 2016)