Saturday, 23 March 2019

1. Apa yang dimaksud dengan pengertian filsafat bahasa? 2. Bagaimana definisi hakikat filsafat bahasa? 3. Bagaimana filsafat bahasa sebagai fundamen kajian bahasa?


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad 4-2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Akan tetapi, perhatian dunia filsafat terhadap bahasa belum pernah begitu luas, umum, dan mendalam seperti sekarang ini. Dapat dikatakan, perhatian filsafat terhadap bahasa saat ini sama agungnya demgan “Being” (yang ada) dalam ffilsafat klasik dulu. Dalam diri keduanya ada kemiripan, konsep “ Being” dan bahasa sama-sama memiliki universalitas. Perbedaannya terletak dalam variasi sudut pandang.
Salah satu hal yang mencolok dan sekaligus mengagungkan, bahwa dalam berbagai aliran filsafat abad ke-20 hingga sekarang, seperti dalam fenomenologi, eksistensialisme Heidegger, filsafat analitik, neopositifisme (positivisme logis), hermeneutika dan semiotika, masalah bahasa memainkan peranan yang sangat besar. Orang menyebut filsafat abad ke 20 hingga saat ini adalah logosentrisme. Kata logos berarti “bahasa”, teks, sisi pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan. Banyak diantara para filosof yang memandang bahasa sebagai objek pemikiran mereka. Singkatnya, bahasa telah menjadi tema sentral filsafat Eropa kontinental, Inggris dan Amerika. Ungkapan “the lingguistic turn”  atau kembali kepada bahasa, bukanlah sekedar selogan tapi sudah menjadi aktivitas filosofis sepanjang sejarah abad ke 20 hingga sekarang ini.
Jika bahasa dimengerti dalam arti luas, yaitu dalam arti teks, texture atau jalinan struktur-struktur maka kita akan mendapatkan banyak filosof yang digilongkan sebagai yang memiliki kecenderungan logosentrisme. Sebut saja Moore dan Russell dari kelompok filosof yang mengembangkan analisis bahasa (filsafat analitik), Hedgger dan Jasper dari eksitensialisme, Merleau-Ponty dari fenomenologi, para filosof dari strukturalisme seperti Claude Levi-Strauss, Jacques Lacan, Lois Althusser dan Michel Foucault, dan juga tidak ketinggalan kelompok filosof yang menamakan dirinya sebagai pendukung posmodernisme atau digolongkan kedalam kelompok ini.

B.     Rumusan Masalah
1.        Apa yang dimaksud dengan pengertian filsafat bahasa?
2.        Bagaimana definisi hakikat filsafat bahasa?
3.        Bagaimana filsafat bahasa sebagai fundamen kajian bahasa?

C.    Tujuan
1.        Untuk mengetahui pengertian filsafat bahasa.
2.        Untuk mengetahui definisi hakikat filsafat bahasa.
3.        Untuk mengetahui filsafat bahasa sebagai fundamen kajian bahasa.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Bahasa
Secara etimologis, istilah “filsafat” merupakan padanan kata falsafah (bahasa arab) dan philosophy (bahasa inggris), yang berasal dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata philos dan sophia kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia berarti kebijaksanaan (wisdom), kearufan,dan pengetahuan. Sehingga secara etimologis, atau filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat kebijaksanaan, sahabat kearifan, dan sahabat pengetahuan.
Secara terminologis (istilah), terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat. Beragamnya definisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point of view) dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandang ini diusahakan untuk dapat saling melengkapi. Karna setiap sudup pandangan pasti memiliki kekurangan atau kelemahan.
Berikut ini hanya mengambil beberapa definisi dari beberapa filsuf dan ahli filsafat:

1.        Para filsuf pra-socrates
Mempertanyakan tentang arche, yakni awal mula atau asal- usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa terpercaya lagi pada jawaban mitos atau lagenda. Oleh sebab itu, bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi.
2.        Plato
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, ia juaga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidiakan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.

3.        Aristotles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realiatas yang ada.
4.        Harold H. Titu
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya di terima secara tidak kritis.
Dari serangkaian definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berfikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai keakar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak parsial).
Beberapa pengertian tentang filsafat di atas dapat dipahami bahwa filsafat bertalian dengan kegiatan pemikiran atau berfikir yang dilakukan oleh manusia. Sasaran pemikran diarahkan pada segala sesuatu yang ada secara keseluruhan. Dengan ciri yang menyeluruh dari pandangan filsafat inilah, filsafat berusaha mengatasi spesialisasi setiap ilmu. Kalau ditinjau dari segi sejarahnya ilmu-ilmu khusus itu memang berasal dari filsafat.[1]

B.     Hakikat Filsafat Bahasa
Sejak zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak zaman manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. Oleh karena itulah, bahasa sampai saat ini merupakan salah satu persoalan yang sering dimunculkan dan dicari jawabannya. Mulai dari pertanyaan “apa itu bahasa?” sampai dengan “dari mana asal bahasa itu?”
Banyak jawaban dan teori yang telah disodorkan. Akan tetapi, semuanya belum memuaskan. Mengapa demikian? Karena bahasa senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalm alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. ia hadir karena karunia Tuhan Sang Penguasa alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan melalui Zat-Nya, tapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci (ayat kauniyah dan wahyu).
Karena bahasa merupakan karunia Tuhan untuk manusia, maka upaya mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus merupakan amal saleh. Dengan demikian, mempelajari bahasa adalah salah satu ibadah yang harus kita lakukan.
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai sistem lambang arbriter yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Batasan ini merupakan batasan yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan lainnya.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik.
Dua ilmuawan Barat, Bloch dan Trager, mendefinisikan bahasa sebagai sesuatu “sistem simbol-simbol bunyi yang arbutrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi.
Kalau kita mengatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol”, lanjut Tarigan, adalah mengandung makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian-kejadian dalam dunia praktis; dengan kata lain ucapan itu “berarti” atau “terdiri atas” aneka ragam ciri pengalaman atau singkatan:mengandung arti atau makna.
Sedangkan makna atau arti dalam bentuk linguistik seperti kata, bagain kata atau gabaungan berbagai kata (kata kerja, kata benda, kata sifat, dll) adalah ciri yang umum bagi semua situasi tempatnya dipakai. [2]

C.    Filsafat Bahasa sebagai Fundamen Kajian Bahasa
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates , yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai „para fisiologis kuno‟. Seluruh minat Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini terdapat „dunia menjadi‟ namun ada dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia ideal,  dunia kekal yang berisi „ada‟ yang sifatnya murni. Meskipun begitu,  ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, tetapi terus mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Bagi Herakleitos, petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material,  melainkan dunia manusiawi. Dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium bahasa menjadi bersifat sentral. Bahkan dalam pemikiran  Herakleitos bahwa „kata‟ bukan semata-mata gejala antropologis. „Kata‟ tidak hanya terbatas dalam lingkup sempit dunia manusiawi, karena „kata‟ mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mangatakan “jangan dengar aku, dengarlah pada sang „kata‟ dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikianlah sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa.
Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis. Sokrates dalam berdialog ilmiah dengan kaum sofis menggunakan analisis bahasa dan metode yang dikembangkannya dikenal dengan metode „dialektis kritis‟. Menurut Sokrates, objektivitas kebenaran filosofis perlu diungkapkan dalam satu analisis bahasa secara dialektis dan dengan didasarkan pada dasar-dasar logika. Perhatian yang amat besar terhadap bahasa juga dikembangkan oleh Plato maupun Aristoteles, bahkan topik perhatian utama mereka adalah tentang hakikat bahasa itu sendiri.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan „rasio indera dan intuisi‟ manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu, aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia,  serta aliran immaterialisme dan kritisisme Immanual Kant,  sangat berpengaruh  terhadap lahirnya  filsafat analitika bahasa terutama dalam mengungkapkan realita segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu,  bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menarik perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan lahirnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan secara lengkap manakala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf,  terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya „apakah keadilan itu‟, „apakah yang dimaksud dengan kebenaran‟, „apakah yang dimaksud dengan kebaikan‟, dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu,   termasuk  manusia sendiri. Namun kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi,  karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu,  para filsuf berupaya memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Ada tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analisis, misalnya analisis  tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut :
(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu
(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu
(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu
Untuk pemecahan yang pertama  mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan yang berada bebas dari pikiran manusia.
Untuk yang kedua itu juga menyesatkan,  karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti, dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannnya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep, dan dengan demikian maka tugas filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa. Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa, yaitu bidang makna (semantik).
Problema yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh displin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga bahasa memiliki peranan yang sentral. Dalam pengertian inilah Alston mengemukakan bahwa bahasa merupakan laboratorium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis, maka timbullah suatu masalah, yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda.
Pertama, terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa, yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat, atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan bahasa sehari-hari dalam filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasa oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat,  dan penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti. Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dalam tanpa memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf adalah memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.
Kedua, terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep filsafat. Masalah – masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa biasa tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis, karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan antara lain : kekaburan makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan menyesatkan. Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis, maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russel dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan dasar tentang struktur metafisis dari realitas kenyataan dunia. Dengan demikian, yang menjadi perhatian utama adalah usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perhatian filsafat memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. 
Jika filsafat kerjanya bertanya secara kritis untuk mencari jawab tentang suatu realitas, maka banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat. Pertanyaan tersebut mencakup seluruh yang ada: alam semesta, manusia, agama, politik, budaya, seni, bahasa dan lainnya. Baiklah, jika demikian, apa kerja dan fungsi filsafat terhadap bahasa? Pertanyaan ini layak untuk dijawab, sebab bahasa itu sendiri merupakan realitas yang membutuhkan jawaban filsafat. Hingga sekarang banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. 
Sebagai contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannya, antara lain: 
1.        Masalah “bahasa‟ pertama dan yang mendengar adalah apakah hakikat bahasa itu? Mengapa bahasa itu harus ada pada manusia dan merupakan ciri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu, dan bagaimana hubungan antara „bahasa‟ dengan „manusia‟ itu?
2.        Apakah perbedaan utama antara „bahasa‟ manusia dengan „bahasa‟ di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau bahasa makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3.        Apa yang dimaksud dengan bahasa yang bermakna dan bahasa yang benar itu. Apap pula kriteria kebenaran bahasa itu. Apakah betul bahasa kitab suci bukan suatu bahasa yang tidak bermakna. Kriteria apa dari kebenaran bahasa kitab suci itu?
4.        Apa hubungan antara bahasa dengan akal, dan juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati, intuisi dan fenomena batin manusia lainnya.  5. Bisakah manusia berhubungan dengan bahasa-bahasa di luar manusia. Bahsa apa yang digunakannya, dan bagaimana kita mempelajarinya.
Problem-problem tersebut, merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika kebahasaan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis atau analisis filsafat. [3]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologis, istilah “filsafat” merupakan padanan kata falsafah (bahasa arab) dan philosophy (bahasa inggris), yang berasal dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata philos dan sophia kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia berarti kebijaksanaan (wisdom), kearufan,dan pengetahuan.
Secara terminologis (istilah), terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat. Beragamnya definisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point of view) dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandang ini diusahakan untuk dapat saling melengkapi. Karna setiap sudup pandangan pasti memiliki kekurangan atau kelemahan.
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai sistem lambang arbriter yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Batasan ini merupakan batasan yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan lainnya.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer, pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates , yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai „para fisiologis kuno‟. Seluruh minat Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini terdapat „dunia menjadi‟ namun ada dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia ideal,  dunia kekal yang berisi „ada‟ yang sifatnya murni. Meskipun begitu,  ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, tetapi terus mencari prinsip perubahan.



















DAFTAR PUSTAKA

Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.  
Ahmad Asep  Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Tafsir Ahmad, 2016, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Badung: Remaja Rosdakarya.



[1] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 15-21.
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm, 21-25.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Badung: Remaja Rosdakarya, 2016)