Saturday 23 March 2019

1. Apa yang dimaksud pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua? 2. Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah di Indonesia? 3. Bagaimana karakteristik dan perkembangan anak SD/MI dalam perkembangan bahasa?


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap bangsa didunia mempunyai bahasa yang mewakili mereka. Sebagaimana yang diketahui umum bahwa setiap bahasa yang mewakili mereka memiliki sejenis ragam bahasa yang dikenal sebagai pribahasa atau dikenal juga sebagai warisan yang kekal sampai sekarang.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu, bahasa ini diciptakan untuk mempersatukan bahasa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, dan bahasa. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, setiap orang yang berasal dari daerah yang berbeda dapat saling memahami satu sama lain, karena mereka berkomunikasi menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia selain sebagai pemersatu, juga sebagai salah satu budaya Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa di kancah Internasional.
Bahasa Indonesia dipandang ke dalam dua perspektif. Yang pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan kedua, bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Dimana masih banyak orang yang salah faham atau mengartikan  tentang bahasa  pertama dan bahasa kedua.
Maka dari itu kami akan membahas tentang apa yang dimaksud bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang digunakan sebagai salah satu bahasa lisan yang terdapat  di dalam kehidupan kita.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua?
2.      Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah di Indonesia?
3.      Bagaimana karakteristik dan perkembangan anak SD/MI dalam perkembangan bahasa?


C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
2.      Untuk mengetahui kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui karakteristik dan perkembangan anak SD/MI dalam perkembangan bahasanya.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua (B2)
1.      Pengertian Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran merupakan perpaduan antara kegiatan mengajar yang biasa dilakukan guru dan belajar yang biasa dilakukan oleh siswa. Begitu pula, pembelajaran ini pun dapat berlangsung di rumah atau di lingkungan masyarakat dan jika hal itu berlangsung di rumah maka pembelajaran yang dimaksud adalah hubungan antara orang tua dan anak. Sedangkan bahasa dalam bahasan ini merupakan objek atau sasaran pembelajaran baik itu dilakukan antara guru dan siswa maupun orang tua dan anak.[1]
Jadi, pembelajaran bahasa merupakan suatu kegiatan yang meliputi pentransferan bahasa (unsur-unsur dan system bahasa), bagaimana mentransferkannya, serta sejauh mana perubahan itu terjadi. Pembelajaran bahasa dapat terjadi pada suatu bahasa yang sedang dan akan dipelajari (penguasaan bahasa pertama), pembelajaran bahasa kedua setelah bahasa pertama, ketika mempelajari bahasa kedua.[2]
2.      Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua
Bahasa pertama pada umumnya dipelajari oleh anak-anak dan bahasa inilah merupakan bahasa yang pertama kali dikenal, dipelajari, dan akhirnya dikuasai oleh anak. Bahasa pertama ini sering disebut bahasa ibu (mother language) karena ibu lebih banyak berperan dalam proses penguasaan bahasa pertama. Bahasa pertama ini biasanya diperoleh anak secara alami atau natural dan tanpa penuh kesadaran.[3]
Berbeda dengan bahasa pertama, bahasa kedua pada umumnya dipelajari oleh anak-anak dan orang dewasa. Penguasaan bahasa kedua berlangsung secara formal dan penuh unsur kesengajaan. Bahasa kedua diperoleh setelah pemerolehan bahasa pertama. Penguasaan bahasa kedua berlangsung secara bertahap dan memerlukan waktu yang cukup lama.[4]
Bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari oleh seorang anak setelah menerima dan mempelajari bahasa yang di ajarkan oleh ibunya.
3.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pembelajaran ahasa Kedua
Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu:
a.       Faktor Motivasi
Belajar bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih baik. Motivasi dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasala dalam diri individu.
b.      Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan frmal dan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa dan diarahkan untuk melakukan aktivitas yang berorientasi kaidah. Lingkungan informal adalah lingkungan alami yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut.
c.       Usia
Anak-anak menurut Lambert memiliki peluang untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih brada pada masa umur kritis berbahasa. Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki peluang untuk berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka bangun secara natural.
d.      Bahasa Pertama
Jika bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar mempunyai kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan pencampuran kode lebh mudah terjadi, sebagimana banyak ditemukan pencampuran kode dala tuturan anak-anak taman kanak-kanak di DIY.[5]
B.     Kedudukan Bahasa Indonesia Dan Bahasa Daerah (B1)
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional. Kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.[6]
1.      Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1)   Lambang kebanggaan nasional
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia dibuktikan dengan masih digunakannya bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Selain itu, bahasa Indonesia memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya, kita harus menjunjungnya, dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
(2)   Lambang identitas nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.[7]
(3)   Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya.
Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan.
(4)   Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah.
Di dalam hubungan antar budaya dan antar daerah, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan setia pada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan.[8]
2.      Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1)   Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Kedudukan pertama dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu, dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatam kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
(2)   Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
Kedudukan kedua dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
(3)   Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
Kedudukan ketiga dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuannya agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
(4)   Bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu dan teknologi.
Kedudukan keempat dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Karena sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.[9]
C.    Karakteristik Dan Perkembangan Anak SD/MI
Keberhasilan anak untuk memperoleh bahasa pertamanya merupakan hal yang betul-betul luar biasa. Sang anak dalam waktu relatif singkat dapat menguasai sistem yang begitu rumit. Menurut para ahli, anak ini memerlukan waktu kurang lebih 25 tahun untuk mencapai penguasaan bahasa orang dewasa, setelah itu dia selalu menyempurnakannya dengan menambah kosakata, mempertajam pemahaman tata bahasa, dan lainnya yang menyangkut seluk-beluk bahasa.
Anak SD berada pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini berada pada periode operasional. Dalam hal ini anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkret. Adapun, dalam perkembangan bahasanya berada pada fase semantik yaitu anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.
1)      Perkembangan Belajar Anak Usia SD
Bruner, seperti halnya Piaget yakin bahwa anak-anak mengalami perkembangan kognitif menurut fase-fase tertentu. Bruner mengidentifikasi tiga fase perkembangan. Yang pertama disebut periode enaktif, dari lahir sampai umur satu tahun, yaitu periode melakukan tindakan dan pekerjaan. Fase yang kedua adalah periode ekonik, saat berkembangnya khayalan, yang pada umumnya terjadi pada satu sampai empat tahun. Yang terakhir, fase ketiga disebut periode simbolik. Pada periode ini, yang dimulai umur empat tahun dan berlangsung sepanjang kehidupan, anak belajar menggunakan sistem simbol, khususnya bahasa. Sedangkan Piaget menawarkan empat fase perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional-formal. Kebanyakan pembelajaran bahasa terjadi pada akhir fase sensorimotor dan selama fase pra-operasional. Pada periode ini anak memperoleh bahasa dengan sangat cepat. Perbandingan perkembangan kognitif menurut Piaget dan perkembangan bahasa dapat dilihat pada gambar berikut.[10]
Umur
Fase-fase Perkembangan
Perkembangan
Kognitif menurut Piaget
Fase-fase
Kebahasaan
Lahir – 2
Tahun
Periode Sensorimotor
Anak memanipulasi objek di lingkungannya
dan mulai membentuk
konsep
Fase Fonologis
Anak bermain dengan
bunyi-bunyi bahasa
mulai mengoceh sampai
menyebutkan kata-kata
sederhana
2-7 tahun
Periode Praoperasional
Anak memahami pikiran
simbolik, tetapi belum
dapat berpikir logis
kalimat
Fase Sintaktik
Anak menunjukkan kesa-
daran gramatis, berbi-
cara menggunakan
7-11 tahun
Periode Operasional
Anak dapat berpikir
logis mengenai benda-
benda kongkret
Fase Semantik
anak dapat membedakan
kata sebagai simbol dan
konsep yang terkandung
Berdasarkan hal-hal di atas akan dipaparkan beberapa perkembangan bahasa pada usia SD.
a. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal yang paling penting dalam bidang perkembangan bahasa pada periode usia sekolah. Pada usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara sistematis. Selama periode usia sekolah, proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif. Secara umum, anak kurang dapat menerima pandangan orang lain. Apabila anak telah memperoleh struktur bahasa yang lebih banyak, dia dapat lebih berkonsentrasi pada pendengar. Kemampuan menerima (pandangan) orang lain ini memungkinkan pembicara atau pendengar menggunakan dan memahami kata “disini” dan “disana” dengan tepat (dari pandangan pembicara).[11]
b. Kemampuan Bercerita
Anak-anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam cerita. Cerita-cerita anekdot yang paling banyak mereka hasilkan. Isinya tentang hal-hal yang terjadi di rumah mereka masing-masing dan di masyarakat sekitarnya. Cerita-cerita tersebut mencerminkan kelompok sosial budaya dan suasana yang berbeda-beda. Meskipun setiap masyarakat memberi kesempatan pada anak-anak untuk mendengar dan menghasilkan empat macam cerita, namun sebaran, frekuensi, dan pengembangannya berbeda-beda. Keempat jenis cerita tersebut ialah cerita pengalaman bersama orang lain atau tentang yang dibaca, penjelasan tentang kejadian, cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi.
Pada waktu berada di kelas dua, anak-anak mulai dilatih menggunakan kalimat yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu dan kata depan: di, ke, dari. Meskipun plot (alur) cerita belum jelas, anak-anak sudah dapat dilatih bercerita mengenai beberapa kejadian secara kronologis. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat membedakan kejadian yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi.[12]
c. Perkembangan kemampuan membuat cerita
Anak-anak berumur enam tahun sudah dapat bercerita sederhana tentang acara televisi atau film yang mereka lihat. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang mengandung hubungan sebab akibat. Konjungsi yang sering digunakan ialah dan, dan lalu.
Pada usia tujuh tahun anak-anak mulai dapat membuat cerita yang agak padu. Mereka sudah mulai dengan mengemukakan masalah, rencana untuk mengatasi masalah, dan penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.
Pada umur delapan tahun anak-anak menggunakan penanda awal dan akhir cerita, misalnya, ”Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai diperoleh oleh anak-anak pada usia lebih dari delapan tahun. Pada umur tesebut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam cerita.[13]

d. Perbedaan bahasa anak laki-laki dan perempuan
Pada waktu duduk di kelas-kelas rendah sekolah dasar, bahasa anak laki-laki dan perempuan mulai mencerminkan perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat pada kosakata yang digunakan dan gaya bercerita. Perubahan status wanita dalam masyarakat mungkin mengurangi perbedaan ini, namun perbedaan tersebut tetap ada.[14]
Penggunaan kosakata
Perbedaan kosakata yang digunakan oleh anak laki-laki dan perempuan pada umumnya ada pada pilihan katanya. Pada umumnya anak perempuan menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan, misalnya, silakan, terima kasih, selamat jalan, dan sebagainya.
Gaya bercerita
Wanita cenderung menggunakan cara-cara tidak langsung dalam meminta persetujuan dan lebih banyak mendengarkan sedangkan anak laki-laki cenderung memberitahu. Contoh: “Ani ikut kakak pergi, Ibu tidak marah kan?” Pertanyaan “Ibu tidak marah kan?”, secara langsung berarti Bolehkah?” Wanita menganggap bahwa perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator sedangkan anak laki-lakis ebagai pemberi informasi.
e. Perkembangan Semantik dan Proses Kognitif
Pada usia sekolah dan sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosakata dan makna khas istilah. Kita semua mengalami bahwa sepanjang hidup kita akan terus menambah kata-kata baru yang kita peroleh dari mendengarkan atau membaca tulisan orang lain. Penambahan kata tersebut memang tidak sama kecepatannya sepanjang hayat kita, setelah berumur 70 tahun kecepatannya menurun. Kesehatan kita dan aktivitas kita dalam mengembangkan pengetahuan juga menentukan kecepatan dan frekuensi penambahan kata. [15]
Perkembangan kosakata
Selama periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara horizontal, anak-anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Penambahan secara vertikal berupa peningkatan jumlah kata-kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat.
Dalam proses mendefinisikan kata-kata baru atau mendefinisikan kembali kata-kata lama (yang sudah diketahui salah satu artinya) pada dasarnya anak membentuk makna. Makna ini dibentuk kembali atau ditegaskan lewat penggunaan bahasa. Sebagai contoh, anak-anak taman kanak-kanak mengartikan kata “besar” mungkin terlalu mengarah pada tinggi. Misalnya anak yang lebih besar, mereka beri makna yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut sedang dalam proses menemukan definisi yang lebih tepat bagi kata besar. Demikian juga dengan kata-kata yang lain.
Di kelas-kelas rendah sekolah dasar juga terjadi perkembangan dalam penggunaan istilah-istilah yang menyatakan tempat. Penggunaan istilah-istilah yang umum atau yang tidak spesifik berkurang dan terjadi peningkatan penggunaan istilah-istilah yang menunjukkan tempat yang bersifat khas. Berdasarkan istilah umum di sini dan di sana, anak kemudian memahami dan dapat menggunakan istilah-istilah jauh, dekat, atas, bawah, kanan, kiri, muka, belakang, dan sebagainya.
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah sekolah dasar dalam mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual dari definisi berdasarkan pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376).
Kemampuan anak membuat definisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.
Apabila anak banyak memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan orang tua atau saudara-saudaranya, dia memperoleh tantangan untuk menjelaskan maksudnya kepada orang lain. Demikian juga kalau di sekolah anak banyak diberi kesempatan untuk praktik berbahasa, anak akan dapat mengembangkan potensi berbahasanya dengan baik, termasuk kemampuannya dalam membuat definisi.
Pengetahuan kosakata mempunyai korelasi (hubungan) dengan kemampuan kebahasaan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosakata lebih mudah memahami wacana. Selama periode usia sekolah, anak menjadi semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak berumur lima tahun mendefinisikan suatu kata secara sempit sedangkan anak berumur sebelas tahun membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya. Dengan demikian, definisinya menjadi lebih luas. Ciri definisi yang lebih luas tersebut yakni mengandung kategori yang lebih tinggi, misalnya: kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Bahasa figuratif
Anak-anak usia sekolah dasar juga mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa secara benar-benar kreatif. Bahasa figuratif menggunakan kata-kata secara imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan emosional atau imajinatif. Yang termasuk jenis bahasa figuratif adalah ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa.[16]
Ungkapan adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat dianalisis secara gramatikal. Berikut ini merupakan daftar ungkapan dalam bahasa Indonesia, yaitu ruamh makan, kamar kecil, nakan hati, memotong jalan, kepala batu, ringan tangan.
Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda yang sebenarnya dengan khayalan. Dalam metafora perbandingan dinyatakan secara implisit, misalnya, “Suaranya membelah bumi”. Sebaliknya, kiasan adalah perbandingan secara eksplisit, biasanya dinyatakan dengan kata seperti atau bagaikan, misalnya, “Dua gadis kembar itu seperti pinang dibelah dua”.
Anak-anak prasekolah menciptakan banyak kiasan dan metafora. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat menggunakan bahasa figuratif. Kreativitas berbahasa pada anak-anak kecil disebabkan oleh ketidaktahuan atau keterbatasan penguasaan bahasa.
Misalnya makanan yang lebar seperti topi, mereka sebut topi. Setelah berumur lebih dari enam tahun, penggunaan metafora secara spontan dalam percakapan menjadi semakin kurang. Dua kemungkinan sebab menurunnya penggunaan metafora ini yang pertama anak telah memiliki sejumlah kosakata dasar, yang kedua adanya latihan berbahasa berdasarkan kaidah bahasa yang diberikan di sekolah membatasi kreativitas.
Sementara penggunaan metafora dan kiasan menurun, pemahaman meningkat. Anak berumur 5 sampai 7 tahun lebih suka menghubungkan dua istilah daripada menyamakannya. Pemahamannya hanya secara fisik, misalnya, “kepala dingin” diartikan kepala bertemperatur rendah, tidak panas. Sebaliknya, pada umur 8 sampai 9 tahun anak mulai dapat menghargai proses psikologis sehingga pemahamannya tidak hanya secara fisik. Namun, masih sering terjadi kesalahan penafsiran metafora karena anak belum sepenuhnya memahami dimensi psikologis.
Bentuk bahasa figuratif yang terakhir ialah peribahasa, yakni pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima, pikiran yang berguna, atau nasihat.
Contoh: Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
Menepuk air didulang, tepercik muka sendiri.
Anak berumur 6, 7, atau 8 tahun menafsirkan peribahasa secara literal. Perkembangan pemahaman berlangsung terus sampai periode adolesen dan dewasa. Ketepatan pemahaman ungkapan dan peribahasa meningkat secara perlahan-lahan pada akhir masa kanak-kanak dan masa adolesen. Perkembangan ini bervariasi antara anak yang satu dengan yang lain, bergantung, antara lain pada pengalaman belajarnya.
Bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks daripada secara terpisah oleh anak adolesen. Maka bahasa figuratif disimpulkam oleh anak dari penggunaan yang berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda. Kejelasan metaforik, yakni hubungan makna literal dan figuratif akan memudahkan penafsiran. Sebagai contoh, “tutup mulut” lebih mudah dipahami daripada “makan hati”.
Kemampuan memahami peribahasa sangat erat hubungannya dengan kemampuan bernalar analogis. Dalam memahami peribahasa, anak harus memahami hubungan antara peribahasa dan konteks. Penalaran analogis mengikuti format A harus B seperti halnya C harus D. Oleh karena itu, semakin baik kemampuan anak dalam bernalar analogis, diharapkan semakin mudah memahami peribahasa, demikian juga sebaliknya.
f. Perkembangan Morfologis dan Sintaktik
Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah dasar mencakup perkembangan secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah ada dan pemerolehan bentuk-bentuk baru. Anak memperluas kalimat dengan menggunakan frase nomina dan frase verba. Fungsi-fungsi kata gabung dan kata ganti juga diperluas. Tambahan struktur yang dikuasai termasuk juga bentuk pasif.
Anak-anak mempelajari bentuk-bentuk morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat kesimpulan secara kasar tentang bentuk dan makna fonem. Akhirnya, anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Perkembangan frase nomina dan verba
Anak-anak berumur 5 sampai7 tahun menggunakan hampir semua elemen frase nomina dan verba tetapisering meninggalkan elemen-elemen tersebut meskipun sebenarnya hal itu diperlukan. Bahkan pada umur 7 tahun mereka menghilangkan beberapa elemen tetapi memperluas yang lain secara redundan (pengulangan yang tidak perlu). Misalnya, untuk menyebut “buku tulisku” hanya dikatakan “bukuku”, sedangkan “pet” (jenis topi) disebut topi pet.[17]
Bagi anak, bentuk-bentuk verba lebih sulit daripada bentuk-bentuk nomina. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan berbagai perbedaan bentuk kata kerja yang menyatakan arti yang berbeda. Misalnya kata ditulis, ditulisi, dituliskan, dan bertuliskan memiliki arti yang berbeda.
Dalam mempelajari frase nomina, anak mempelajari penggunaan kata ganti dan kata sifat. Susunan kata sifat juga perlu dipelajari, misalnya, “bagus sekali”, “sangat bagus”, “merah muda”, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk kalimat
Anak-anak sering mengalami kesulitan membedakan bentuk pasif dan aktif. Khususnya pengenalan bentuk pasif menimbulkan masalah bagi anak. Anak-anak jarang menggunakan bentuk pasif. Bahkan orang dewasa pun tidak sering menggunakan bentuk pasif.
Pada umumnya anak-anak mengenal bentuk pasif dari prepos isi yang digunakan. Mereka menyebut kalimat sebagai kalimat pasif jika ada preposisi “oleh”, karena itu mereka menyatakan bahwa kalimat “Ani dipanggil oleh ibu” adalah kalimat pasif, dan “Kue-kue diberikan kepada adik” adalah kalimat aktif (seharusnya kalimat pasif juga).
Penggunaan kata-kata penghubung juga meningkat pada periode usia sekolah dasar. Anak-anak dibawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat ini mulai jarang muncul.
Kata penghubung yang menghubungkan klausa mulai sering digunakan pada umur 12 tahun. Yang paling banyak digunakan adalah kata penghubung “karena”, “jika”, dan “supaya”.
g. Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa lewat pembelajaran maupun yang secara alami memiliki proses dan urutan yang sama. Pengajaran bahasa di sekolah hendaknya diusahakan secara alami, tidak difokuskan pada penilaian structural berupa pembetulan kesalahan bentuk bahasa secara terus menerus. Untuk dapat belajar bahasa diperlukan kesiapan psikolinguistik. Untuk itu anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan paling tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia di rumah. Sekolah sedapat mungkin menyediakan bacaan yang sesuai bagi anak sebanyak-banyaknya. Perlu di upayakan agar anak-anak memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak-banyaknya dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sesungguhnya. [18]










                                               
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari oleh seorang anak setelah menerima dan mempelajari bahasa yang di ajarkan oleh ibunya.
Ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberhasilan anak untuk memperoleh bahasa pertamanya merupakan hal yang betul-betul luar biasa. Sang anak dalam waktu relatif singkat dapat menguasai sistem yang begitu rumit. Menurut para ahli, anak ini memerlukan waktu kurang lebih 25 tahun untuk mencapa ipenguasaan bahasa orang dewasa, setelah itu dia selalu menyempurnakannya dengan menambah kosakata, mempertajam pemahaman tata bahasa, dan lainnya yang menyangkut seluk-beluk bahasa.
Anak SD berada pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini berada pada periode operasional. Dalam hal ini anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkret. Adapun, dalam perkembangan bahasanya berada pada fase semantik yaitu anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.

B.     Saran
            Dari makalah yang kelompok kami buat, kami berharap kepada pembaca agar memberi saran dan masukan terhadap makalah yang kami buat karena menurut kelompok kami makalah yang kami buat masih kurang sempurna. Jadi, kelompok kami membutuhkan saran dan masukan agar lebih baik kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Inda Puspita Sari, Pentingnya Pemahaman Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai Pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, 2015.
Masnur Muslich, Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi, PT Bumi Aksara: Jakarta, 2012.
Satata, Sri. . Bahasa Indonesia.  Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012.
Widodo, Mulyanto. Pembelajaran Bahasa Kedua. Yogyakarta: Textium, 2019.





[1] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 2
[3] Ibid, hlm. 41
[4] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 42.
[5] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 43.
[6] Inda Puspita Sari, Pentingnya Pemahaman Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai Pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, 2015, hlm. 236.
[7] Masnur Muslich, Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi, (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2012), hlm. 30-31.
[8]
[9] Sri Satata, et al. Bahasa Indonesia, (Mitra Wacana Media: Jakarta, 2012), hlm. 21.
[10] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 22.
[11] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 22.
[12] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 24.
[13] Ibid, hlm. 25
[14] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 25.
[15] Ibid. hlm. 26.
[16] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 28.
[17] Ibid, hlm. 30
[18] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta: Textium, 2017), hlm. 16.