BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap bangsa didunia
mempunyai bahasa yang mewakili mereka. Sebagaimana yang diketahui umum bahwa
setiap bahasa yang mewakili mereka memiliki sejenis ragam bahasa yang dikenal
sebagai pribahasa atau dikenal juga sebagai warisan yang kekal sampai sekarang.
Bahasa Indonesia merupakan
bahasa pemersatu, bahasa ini diciptakan untuk mempersatukan bahasa Indonesia
yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, dan bahasa. Dengan menggunakan
bahasa Indonesia, setiap orang yang berasal dari daerah yang berbeda dapat
saling memahami satu sama lain, karena mereka berkomunikasi menggunakan satu
bahasa yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia selain sebagai pemersatu, juga
sebagai salah satu budaya Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan
identitas bangsa di kancah Internasional.
Bahasa Indonesia dipandang
ke dalam dua perspektif. Yang pertama, bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama dan kedua,
bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Dimana masih banyak orang yang salah
faham atau mengartikan tentang
bahasa pertama dan bahasa kedua.
Maka dari itu kami akan
membahas tentang apa yang dimaksud bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang
digunakan sebagai salah satu bahasa lisan yang terdapat di dalam kehidupan kita.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua?
2.
Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah di Indonesia?
3.
Bagaimana karakteristik dan perkembangan anak SD/MI dalam perkembangan
bahasa?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
2.
Untuk mengetahui kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah di
Indonesia.
3.
Untuk mengetahui karakteristik dan perkembangan anak SD/MI dalam
perkembangan bahasanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua (B2)
1.
Pengertian Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran merupakan perpaduan antara kegiatan mengajar yang
biasa dilakukan guru dan belajar yang biasa dilakukan oleh siswa. Begitu pula,
pembelajaran ini pun dapat berlangsung di rumah atau di lingkungan masyarakat
dan jika hal itu berlangsung di rumah maka pembelajaran yang dimaksud adalah
hubungan antara orang tua dan anak. Sedangkan bahasa dalam bahasan ini
merupakan objek atau sasaran pembelajaran baik itu dilakukan antara guru dan siswa
maupun orang tua dan anak.[1]
Jadi, pembelajaran bahasa merupakan suatu kegiatan yang meliputi
pentransferan bahasa (unsur-unsur dan system bahasa), bagaimana
mentransferkannya, serta sejauh mana perubahan itu terjadi. Pembelajaran bahasa
dapat terjadi pada suatu bahasa yang sedang dan akan dipelajari (penguasaan
bahasa pertama), pembelajaran bahasa kedua setelah bahasa pertama, ketika
mempelajari bahasa kedua.[2]
2.
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua
Bahasa pertama pada umumnya dipelajari oleh anak-anak dan bahasa
inilah merupakan bahasa yang pertama kali dikenal, dipelajari, dan akhirnya
dikuasai oleh anak. Bahasa pertama ini sering disebut bahasa ibu (mother language) karena ibu lebih banyak
berperan dalam proses penguasaan bahasa pertama. Bahasa pertama ini biasanya
diperoleh anak secara alami atau natural dan tanpa penuh kesadaran.[3]
Berbeda dengan bahasa pertama, bahasa kedua pada umumnya dipelajari
oleh anak-anak dan orang dewasa. Penguasaan bahasa kedua berlangsung secara
formal dan penuh unsur kesengajaan. Bahasa kedua diperoleh setelah pemerolehan
bahasa pertama. Penguasaan bahasa kedua berlangsung secara bertahap dan
memerlukan waktu yang cukup lama.[4]
Bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari oleh seorang anak
setelah menerima dan mempelajari bahasa yang di ajarkan oleh ibunya.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pembelajaran ahasa
Kedua
Keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu:
a.
Faktor Motivasi
Belajar
bahasa yang dilandasi oleh motivasi yang kuat, akan memperoleh hasil yang lebih
baik. Motivasi dalam perspektif ini meliputi dorongan, hasrat, kemauan, alasan,
atau tujuan yang menggerakkan seseorang untuk belajar bahasa. Motivasi berasala
dalam diri individu.
b.
Faktor Lingkungan
Faktor
lingkungan meliputi lingkungan frmal dan informal. Lingkungan formal adalah
lingkungan sekolah yang dirancang sedemikian rupa dan diarahkan untuk melakukan
aktivitas yang berorientasi kaidah. Lingkungan informal adalah lingkungan alami
yang memungkinkan anak berinteraksi dengan bahasa tersebut.
c.
Usia
Anak-anak
menurut Lambert memiliki peluang untuk mahir belajar bahasa. Mereka masih brada
pada masa umur kritis berbahasa. Dalam hal pelafalan, anak-anak memiliki
peluang untuk berbicara secara fasih, meskipun aturan berbahasa harus mereka
bangun secara natural.
d.
Bahasa Pertama
Jika
bahasa pertama memiliki kedekatan kekerabatan dengan bahasa kedua, pembelajar
mempunyai kemudahan mengembangkan kompetensinya. Meskipun demikian, kemungkinan
pencampuran kode lebh mudah terjadi, sebagimana banyak ditemukan pencampuran
kode dala tuturan anak-anak taman kanak-kanak di DIY.[5]
B.
Kedudukan Bahasa Indonesia Dan Bahasa Daerah (B1)
Bahasa
Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum dalam
ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional. Kedudukannya berada di atas
bahasa-bahasa daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum
pasal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang
menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Dengan kata
lain, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928. Kedua,
bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945.[6]
1.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1)
Lambang kebanggaan nasional
Sebagai
lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia dibuktikan dengan masih
digunakannya bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Selain itu, bahasa Indonesia
memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran
nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya, kita
harus menjunjungnya, dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa
rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan
memelihara dan mengembangkannya.
(2)
Lambang identitas nasional
Sebagai
lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa
Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa
kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena
fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri
kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia
tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.[7]
(3)
Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang
sosial budaya dan bahasanya.
Berkat
adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian
rupa, sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial
budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan.
(4)
Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah.
Di dalam
hubungan antar budaya dan antar daerah, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai
suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan
tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan setia pada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan.[8]
2.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara/Resmi
Sebagai
bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1)
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Kedudukan
pertama dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan
digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945.
Mulai saat itu, dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa,
dan kegiatam kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
(2)
Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan.
Kedudukan
kedua dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan
pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari
taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus
berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku
yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu
dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
(3)
Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
Kedudukan
ketiga dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan
digunakannya bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa.
Tujuannya agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat
diterima oleh masyarakat.
(4)
Bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu dan
teknologi.
Kedudukan
keempat dari kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan
penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran,
buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Karena
sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang suatu
kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan
menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.[9]
C.
Karakteristik Dan Perkembangan Anak SD/MI
Keberhasilan
anak untuk memperoleh bahasa pertamanya merupakan hal yang betul-betul luar
biasa. Sang anak dalam waktu relatif singkat dapat menguasai sistem yang begitu
rumit. Menurut para ahli, anak ini memerlukan waktu kurang lebih 25 tahun untuk
mencapai penguasaan bahasa orang dewasa, setelah itu dia selalu menyempurnakannya
dengan menambah kosakata, mempertajam pemahaman tata bahasa, dan lainnya yang
menyangkut seluk-beluk bahasa.
Anak
SD berada pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini berada pada periode operasional.
Dalam hal ini anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkret. Adapun,
dalam perkembangan bahasanya berada pada fase semantik yaitu anak dapat
membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.
1)
Perkembangan Belajar Anak Usia SD
Bruner, seperti halnya Piaget yakin bahwa anak-anak
mengalami perkembangan kognitif menurut fase-fase tertentu. Bruner
mengidentifikasi tiga fase perkembangan. Yang pertama disebut periode enaktif,
dari lahir sampai umur satu tahun, yaitu periode melakukan tindakan dan
pekerjaan. Fase yang kedua adalah periode ekonik, saat berkembangnya
khayalan, yang pada umumnya terjadi pada satu sampai empat tahun. Yang
terakhir, fase ketiga disebut periode simbolik. Pada periode ini, yang
dimulai umur empat tahun dan berlangsung sepanjang kehidupan, anak belajar
menggunakan sistem simbol, khususnya bahasa. Sedangkan Piaget menawarkan empat
fase perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasional
konkret, dan operasional-formal. Kebanyakan pembelajaran bahasa terjadi pada
akhir fase sensorimotor dan selama fase pra-operasional. Pada periode ini anak
memperoleh bahasa dengan sangat cepat. Perbandingan perkembangan kognitif
menurut Piaget dan perkembangan bahasa dapat dilihat pada gambar berikut.[10]
Umur
|
Fase-fase
Perkembangan
Perkembangan
Kognitif
menurut Piaget
|
Fase-fase
Kebahasaan
|
Lahir
– 2
Tahun
|
Periode
Sensorimotor
Anak
memanipulasi objek di lingkungannya
dan
mulai membentuk
konsep
|
Fase
Fonologis
Anak
bermain dengan
bunyi-bunyi bahasa
mulai
mengoceh sampai
menyebutkan
kata-kata
sederhana
|
2-7 tahun
|
Periode
Praoperasional
Anak
memahami pikiran
simbolik,
tetapi belum
dapat
berpikir logis
kalimat
|
Fase
Sintaktik
Anak
menunjukkan kesa-
daran
gramatis, berbi-
cara
menggunakan
|
7-11 tahun
|
Periode
Operasional
Anak
dapat berpikir
logis
mengenai benda-
benda
kongkret
|
Fase Semantik
anak dapat membedakan
kata sebagai simbol
dan
konsep yang terkandung
|
Berdasarkan
hal-hal di atas akan dipaparkan beberapa perkembangan bahasa pada
usia SD.
a.
Perkembangan Pragmatik
Perkembangan
pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal yang paling penting dalam bidang
perkembangan bahasa pada periode usia sekolah. Pada usia prasekolah anak belum
memiliki keterampilan bercerita secara sistematis. Selama periode usia sekolah,
proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan anak menjadi komunikator yang
lebih efektif. Secara umum, anak kurang dapat menerima pandangan orang lain.
Apabila anak telah memperoleh struktur bahasa yang lebih banyak, dia dapat lebih berkonsentrasi pada pendengar.
Kemampuan menerima (pandangan) orang lain ini memungkinkan pembicara atau
pendengar menggunakan dan memahami kata “disini” dan
“disana” dengan tepat (dari pandangan pembicara).[11]
b.
Kemampuan Bercerita
Anak-anak
berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam cerita. Cerita-cerita
anekdot yang paling banyak mereka hasilkan. Isinya tentang hal-hal yang terjadi
di rumah mereka masing-masing dan di masyarakat sekitarnya. Cerita-cerita tersebut
mencerminkan kelompok sosial budaya dan suasana yang berbeda-beda. Meskipun
setiap masyarakat memberi kesempatan pada
anak-anak untuk mendengar dan menghasilkan empat macam cerita, namun sebaran,
frekuensi, dan pengembangannya berbeda-beda. Keempat jenis cerita tersebut
ialah cerita pengalaman bersama orang lain atau tentang yang dibaca, penjelasan
tentang kejadian, cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi.
Pada
waktu berada di kelas dua, anak-anak
mulai dilatih menggunakan kalimat yang agak panjang dengan
konjungsi: dan, lalu dan kata depan: di, ke, dari. Meskipun plot
(alur) cerita belum jelas, anak-anak sudah dapat dilatih bercerita mengenai
beberapa kejadian secara kronologis. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat
membedakan kejadian yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan
terjadi.[12]
c.
Perkembangan kemampuan membuat cerita
Anak-anak
berumur enam tahun sudah dapat bercerita sederhana tentang acara televisi atau
film yang mereka lihat. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang
mengandung hubungan sebab akibat. Konjungsi yang sering digunakan ialah dan,
dan lalu.
Pada
usia tujuh tahun anak-anak mulai dapat membuat cerita yang agak padu. Mereka
sudah mulai dengan mengemukakan
masalah, rencana untuk mengatasi masalah, dan
penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.
Pada
umur delapan tahun anak-anak menggunakan penanda awal dan akhir cerita,
misalnya, ”Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat alur cerita yang
agak jelas baru mulai diperoleh oleh anak-anak pada usia lebih dari delapan
tahun. Pada umur tesebut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang
mengatasi masalah dalam cerita.[13]
d.
Perbedaan bahasa anak laki-laki dan perempuan
Pada
waktu duduk di kelas-kelas rendah
sekolah dasar, bahasa anak laki-laki dan perempuan mulai
mencerminkan perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat pada kosakata yang
digunakan dan gaya bercerita. Perubahan status wanita dalam masyarakat mungkin
mengurangi perbedaan ini, namun perbedaan tersebut tetap ada.[14]
Penggunaan
kosakata
Perbedaan
kosakata yang digunakan oleh anak laki-laki dan
perempuan pada umumnya ada pada pilihan katanya. Pada umumnya anak perempuan
menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan cenderung menggunakan
kata-kata yang lebih sopan, misalnya, silakan, terima kasih, selamat jalan, dan
sebagainya.
Gaya
bercerita
Wanita
cenderung menggunakan cara-cara tidak langsung dalam meminta persetujuan dan
lebih banyak mendengarkan sedangkan anak laki-laki cenderung memberitahu.
Contoh: “Ani ikut kakak pergi, Ibu tidak marah kan?” Pertanyaan “Ibu
tidak marah kan?”, secara langsung berarti Bolehkah?” Wanita
menganggap bahwa perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator sedangkan anak laki-lakis ebagai pemberi informasi.
e.
Perkembangan Semantik dan Proses Kognitif
Pada
usia sekolah dan sampai dewasa, setiap individu meningkatkan jumlah kosakata
dan makna khas istilah. Kita semua mengalami bahwa sepanjang hidup kita akan
terus menambah kata-kata baru yang kita peroleh dari mendengarkan atau membaca
tulisan orang lain. Penambahan kata tersebut memang tidak sama kecepatannya
sepanjang hayat kita, setelah berumur 70 tahun kecepatannya menurun. Kesehatan
kita dan aktivitas kita dalam mengembangkan pengetahuan juga menentukan
kecepatan dan frekuensi penambahan kata. [15]
Perkembangan
kosakata
Selama
periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara
horizontal, anak-anak semakin mampu memahami dan
dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Penambahan secara
vertikal berupa peningkatan jumlah kata-kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat.
Dalam
proses mendefinisikan kata-kata baru atau mendefinisikan kembali kata-kata lama
(yang sudah diketahui salah satu artinya) pada
dasarnya anak membentuk makna. Makna ini dibentuk kembali atau ditegaskan lewat penggunaan bahasa. Sebagai contoh, anak-anak taman kanak-kanak mengartikan kata
“besar” mungkin terlalu mengarah pada tinggi. Misalnya anak yang lebih besar,
mereka beri makna yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak
tersebut sedang dalam proses menemukan definisi yang lebih tepat bagi kata besar.
Demikian juga dengan kata-kata yang lain.
Di
kelas-kelas rendah sekolah dasar juga terjadi perkembangan dalam penggunaan istilah-istilah
yang menyatakan tempat. Penggunaan istilah-istilah yang umum atau yang tidak
spesifik berkurang dan terjadi peningkatan penggunaan istilah-istilah yang
menunjukkan tempat yang bersifat khas. Berdasarkan istilah umum di sini dan
di sana, anak kemudian memahami dan dapat menggunakan istilah-istilah
jauh, dekat, atas, bawah, kanan, kiri, muka, belakang, dan sebagainya.
Kemampuan
anak di kelas-kelas rendah sekolah dasar dalam mendefinisikan kata-kata
meningkat dengan dua cara. Pertama, secara konseptual dari definisi
berdasarkan pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna
yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari
definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan
yang kompleks (Owens, 1992: 376).
Kemampuan anak membuat definisi sangat dipengaruhi oleh
pengalaman sebelumnya.
Apabila
anak banyak memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan orang tua atau
saudara-saudaranya, dia memperoleh tantangan untuk menjelaskan maksudnya kepada
orang lain. Demikian juga kalau di sekolah anak banyak diberi kesempatan untuk
praktik berbahasa, anak akan dapat mengembangkan potensi berbahasanya dengan
baik, termasuk kemampuannya dalam membuat definisi.
Pengetahuan
kosakata mempunyai korelasi (hubungan) dengan kemampuan kebahasaan secara umum.
Anak yang menguasai banyak kosakata lebih mudah memahami wacana. Selama periode
usia sekolah, anak menjadi semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan
konteksnya. Anak berumur lima tahun mendefinisikan suatu kata secara sempit
sedangkan anak berumur sebelas tahun membentuk definisi dengan menggabungkan
makna-makna yang telah diketahuinya. Dengan demikian, definisinya menjadi lebih
luas. Ciri definisi yang lebih luas tersebut yakni mengandung kategori yang
lebih tinggi, misalnya: kucing ialah binatang yang biasa dipelihara di
rumah-rumah penduduk.
Bahasa
figuratif
Anak-anak
usia sekolah dasar juga mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan
penggunaan bahasa secara benar-benar kreatif. Bahasa figuratif menggunakan
kata-kata secara imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan
emosional atau imajinatif. Yang termasuk jenis bahasa figuratif adalah
ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa.[16]
Ungkapan
adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat
dianalisis secara gramatikal. Berikut ini merupakan daftar ungkapan
dalam bahasa Indonesia, yaitu ruamh makan, kamar kecil,
nakan hati, memotong jalan, kepala batu, ringan tangan.
Metafora
dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda yang sebenarnya dengan
khayalan. Dalam metafora perbandingan dinyatakan secara implisit, misalnya, “Suaranya
membelah bumi”. Sebaliknya, kiasan adalah perbandingan secara eksplisit,
biasanya dinyatakan dengan kata seperti atau bagaikan, misalnya,
“Dua gadis kembar itu seperti pinang dibelah dua”.
Anak-anak
prasekolah menciptakan banyak kiasan dan metafora. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa mereka dapat menggunakan bahasa figuratif. Kreativitas berbahasa pada
anak-anak kecil disebabkan oleh ketidaktahuan atau keterbatasan penguasaan
bahasa.
Misalnya
makanan yang lebar seperti topi, mereka sebut topi. Setelah berumur
lebih dari enam tahun, penggunaan metafora secara spontan dalam percakapan
menjadi semakin kurang. Dua kemungkinan sebab menurunnya penggunaan metafora
ini yang pertama anak telah memiliki sejumlah kosakata dasar, yang kedua
adanya latihan berbahasa berdasarkan kaidah bahasa yang diberikan di sekolah
membatasi kreativitas.
Sementara
penggunaan metafora dan kiasan menurun, pemahaman meningkat. Anak berumur 5
sampai 7 tahun lebih suka menghubungkan dua istilah daripada menyamakannya.
Pemahamannya hanya secara fisik, misalnya, “kepala dingin” diartikan kepala
bertemperatur rendah, tidak panas. Sebaliknya, pada umur 8 sampai 9 tahun anak
mulai dapat menghargai proses psikologis sehingga pemahamannya tidak hanya
secara fisik. Namun, masih sering terjadi kesalahan penafsiran metafora karena
anak belum sepenuhnya memahami dimensi psikologis.
Bentuk
bahasa figuratif yang terakhir ialah peribahasa, yakni pernyataan pendek yang
sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima, pikiran yang berguna, atau
nasihat.
Contoh:
Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
Menepuk
air didulang, tepercik muka sendiri.
Anak
berumur 6, 7, atau 8 tahun menafsirkan peribahasa secara literal. Perkembangan
pemahaman berlangsung terus sampai periode adolesen dan
dewasa. Ketepatan pemahaman ungkapan dan peribahasa meningkat secara
perlahan-lahan pada akhir masa kanak-kanak dan masa adolesen. Perkembangan ini bervariasi antara anak yang satu
dengan yang lain, bergantung, antara lain pada pengalaman belajarnya.
Bahasa
figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks daripada secara terpisah oleh anak
adolesen. Maka bahasa figuratif disimpulkam oleh anak dari penggunaan yang
berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda. Kejelasan metaforik, yakni
hubungan makna literal dan figuratif akan memudahkan penafsiran. Sebagai
contoh, “tutup mulut” lebih mudah dipahami daripada “makan hati”.
Kemampuan
memahami peribahasa sangat erat hubungannya dengan kemampuan
bernalar analogis. Dalam memahami peribahasa, anak harus
memahami hubungan antara peribahasa dan konteks. Penalaran
analogis mengikuti format A harus B seperti halnya C harus D. Oleh karena itu, semakin baik
kemampuan anak dalam bernalar analogis, diharapkan semakin mudah memahami
peribahasa, demikian juga sebaliknya.
f.
Perkembangan Morfologis dan Sintaktik
Perkembangan
bahasa pada periode usia sekolah dasar mencakup perkembangan secara serentak
(simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah ada dan pemerolehan bentuk-bentuk
baru. Anak memperluas kalimat dengan menggunakan frase nomina dan frase verba.
Fungsi-fungsi kata gabung dan kata ganti juga diperluas. Tambahan struktur yang
dikuasai termasuk juga bentuk pasif.
Anak-anak
mempelajari bentuk-bentuk morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian
diikuti dengan membuat kesimpulan secara kasar tentang bentuk
dan makna fonem. Akhirnya, anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada periode prasekolah
dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Perkembangan
frase nomina dan verba
Anak-anak
berumur 5 sampai7 tahun menggunakan hampir semua elemen frase nomina dan verba
tetapisering meninggalkan elemen-elemen tersebut meskipun sebenarnya hal itu
diperlukan. Bahkan pada umur 7 tahun mereka menghilangkan beberapa elemen
tetapi memperluas yang lain secara redundan (pengulangan yang
tidak perlu). Misalnya, untuk menyebut “buku tulisku” hanya dikatakan “bukuku”,
sedangkan “pet” (jenis topi) disebut topi pet.[17]
Bagi anak, bentuk-bentuk verba lebih sulit daripada
bentuk-bentuk nomina. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan berbagai perbedaan
bentuk kata kerja yang menyatakan arti yang berbeda. Misalnya
kata ditulis, ditulisi, dituliskan, dan bertuliskan memiliki arti yang berbeda.
Dalam
mempelajari frase nomina, anak mempelajari penggunaan kata ganti dan kata
sifat. Susunan kata sifat juga perlu dipelajari, misalnya, “bagus sekali”,
“sangat bagus”, “merah muda”, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk
kalimat
Anak-anak
sering mengalami kesulitan membedakan bentuk pasif dan aktif. Khususnya
pengenalan bentuk pasif menimbulkan masalah bagi anak. Anak-anak jarang
menggunakan bentuk pasif. Bahkan orang dewasa pun tidak sering menggunakan
bentuk pasif.
Pada
umumnya anak-anak mengenal bentuk pasif dari prepos isi yang digunakan. Mereka
menyebut kalimat sebagai kalimat pasif jika ada preposisi “oleh”, karena itu
mereka menyatakan bahwa kalimat “Ani dipanggil oleh ibu”
adalah kalimat pasif, dan “Kue-kue diberikan kepada adik” adalah kalimat aktif
(seharusnya kalimat pasif juga).
Penggunaan
kata-kata penghubung juga meningkat pada periode usia sekolah dasar. Anak-anak
dibawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada
umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat ini mulai jarang muncul.
Kata
penghubung yang menghubungkan klausa mulai sering digunakan pada umur
12 tahun. Yang paling banyak digunakan adalah kata penghubung “karena”, “jika”,
dan “supaya”.
g. Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan
bahasa lewat pembelajaran maupun yang secara alami memiliki proses dan urutan
yang sama. Pengajaran bahasa di sekolah hendaknya diusahakan secara alami,
tidak difokuskan pada penilaian structural berupa pembetulan kesalahan bentuk
bahasa secara terus menerus. Untuk dapat belajar bahasa diperlukan kesiapan
psikolinguistik. Untuk itu anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan paling
tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia di rumah. Sekolah sedapat mungkin
menyediakan bacaan yang sesuai bagi anak sebanyak-banyaknya. Perlu di upayakan
agar anak-anak memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak-banyaknya dengan
menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sesungguhnya. [18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahasa kedua
merupakan bahasa yang dipelajari oleh seorang anak setelah menerima dan
mempelajari bahasa yang di ajarkan oleh ibunya.
Ada dua macam
kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
bahasa nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928. Kedua, bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberhasilan
anak untuk memperoleh bahasa pertamanya merupakan hal yang betul-betul luar
biasa. Sang anak dalam waktu relatif singkat dapat menguasai sistem yang begitu
rumit. Menurut para ahli, anak ini memerlukan waktu kurang lebih 25 tahun untuk
mencapa ipenguasaan bahasa orang dewasa, setelah itu dia selalu menyempurnakannya
dengan menambah kosakata, mempertajam pemahaman tata bahasa, dan lainnya yang
menyangkut seluk-beluk bahasa.
Anak
SD berada pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini berada pada periode operasional.
Dalam hal ini anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkret. Adapun,
dalam perkembangan bahasanya berada pada fase semantik yaitu anak dapat
membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata.
B.
Saran
Dari
makalah yang kelompok kami buat, kami berharap kepada pembaca agar memberi
saran dan masukan terhadap makalah yang kami buat karena menurut kelompok kami
makalah yang kami buat masih kurang sempurna. Jadi, kelompok kami membutuhkan
saran dan masukan agar lebih baik kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Inda Puspita
Sari, Pentingnya Pemahaman Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai
Pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Prosiding Seminar
Nasional Bulan Bahasa UNIB, 2015.
Masnur
Muslich, Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi, PT Bumi Aksara:
Jakarta, 2012.
Satata,
Sri. . Bahasa Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media,
2012.
Widodo,
Mulyanto. Pembelajaran Bahasa Kedua. Yogyakarta: Textium, 2019.
[1] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 2
[3] Ibid, hlm. 41
[4] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 42.
[5] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 43.
[6] Inda Puspita Sari, Pentingnya Pemahaman Kedudukan Dan Fungsi Bahasa
Indonesia Sebagai Pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Prosiding
Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, 2015, hlm. 236.
[7] Masnur Muslich, Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi, (PT
Bumi Aksara: Jakarta, 2012), hlm. 30-31.
[9] Sri Satata, et
al. Bahasa Indonesia, (Mitra Wacana Media: Jakarta, 2012), hlm. 21.
[10] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 22.
[11] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 22.
[12] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 24.
[13] Ibid, hlm. 25
[14] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 25.
[15] Ibid. hlm. 26.
[16] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 28.
[17] Ibid, hlm. 30
[18] Mulyanto Widodo, Pembelajaran Bahasa Kedua, (Yogyakarta:
Textium, 2017), hlm. 16.