Thursday, 21 March 2019

1. Bagaimana Landasan Filosofis? 2. Bagaimana Landasan Religius? 3. Bagaimana Landasan Psikologis? 4. Bagaimana Landasan Pedagogis?


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kemunculan konseling di Indonesia merupakan setelahmelalui proses perkembangan yang berkesenimbungan dinegara asalnya dan dirasakan perlu untuk negara lain, termasuk Indonesia. Sebelum kemunculannya di Indonesia, sebenarnya masyarakat Indonesia telah mengetahui berbagai sarana yang dapat dimenfaatkan untuk memecahkan masalah mereka. Tetapi semua itu dilakukan dengan meminta bantuan dari tokoh masyarakat semisal kepala desa ataupun orang yang dituakan, tokoh agama, para normal, dukun dan lain sebagainya yang dipandang memiliki kelebihan. Masyarakat memiliki ketergantungan terhadap mereka, berbagai macam bantuanpun diberikan, baik yang bernilai positif (wejangan, nasehat dan petuah) hingga yang sama sekali tidak bermenfaat dan berefek negatif. Masyarakat memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa masalah mereka akan selesai dengan baik jika meminta bantuan dengan cara-cara tradisional tersebut.
Dengan berjalannya waktu pola pikir masyarakat perlahan-lahan berubah ketika konseling masuk ke Indonesia, walaupun sampai saat ini tidak semua masyarakat mengenal dan mengunakan konseling untuk menyelesaikan masalah mereka.Sawitri mengungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Namora Lumongga Lubis bahwa memasuki awal 1950-1n, Universitas Indonesia (UI) untuk pertama kalinya mengembangkan psikologi yang dirintis oleh Prof. Dr. Slamet Imam Santoso. Kemudian pada tahun 1960 konseling diperkenalkan di Indonesia melalui lembaga pendidikan sekolah menengah. Hal ini dilakukan dengan upaya pengembangan proses bimbingan bagi siswa. Perkembangan konseling selanjutnya mengarah kepusat rehabilitasi sosial, lembaga sosial, dan industri.[1]
 Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraannya tidak cukup hanya dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisasi dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya.[2]
Kemampuan seperti itu tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai peserta didik. Berkaitan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu disekolah adalah pendidikan yang menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat dan optimal. Para peserta didik sebagian besar adalah remaja yang memiliki karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut.
1). Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2). Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat.
3). Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria atau wanita.
4). Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
5). Mengenal kemampuan, bakat, minat, serta arah kecenderungan karir dan apresiasi seni.
6). Mengembang pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau mempersiapkan karir serta berperan dalam kehidupan masyarakat.
7). Mengenal gambaran dan mengembangkan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial dan ekonomi.
8). Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia.[3] Hal tersebut merupakan cuplikan dari urgensinya bimbingan dan konseling. Pembimbing jika dilihat dari makna KLBI (Kaus Lengkap Bahasa Indonesia) yakni berarti tuntunan atau asuhan, sedangkan konseling yakni berarti penasehatan, pengarahan.[4]
Sedangkan konsep dasar dari pelayanan konseling adalah untuk membantu klien menjadi bahagia daan sejahtera dalam mencapai kehidupan efektif sehari-hari. Konseling merupakan suatu proses interaktif untuk membantu klien dalam mencapai kondisi psikologis yang bahagia.[5]
Selain hal tersebut, bimbingan dan konseling terdapat landasan-landasannya yakni yang akan diuraikan dibagian pembahasan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Landasan Filosofis?
2.      Bagaimana Landasan Religius?
3.      Bagaimana Landasan Psikologis?
4.      Bagaimana Landasan Pedagogis?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Landasan Filosofis
2.      Menjelaskan  Landasan Religius
3.      Menjelaskan  Landasan Psikologis
4.      Menjelaskan Landasan Pedagogis









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Filosofis
Kata filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos berarti cinta, dan shopos berarti bijaksana. Jadi filosofis berarti kecintaan erhadap kebijaksanaan. Dalam kamus Webster New Universal yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Anti yang memberikan pengertian bahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari kekuatan yang didasari proses berpikir dan bertingkah laku,  teori tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum dasr yang mengatur alam semesta serta mendasari semua pengetahuan dan kenyataan, termasuk kedalamnya studi tentang estetika, etika, logika, metafisika dan lain sebagainya. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setingi-tinginya, selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya tentang sesuatu. Tidak ada lagi pemikiran yang lebih dalam, lebih luas, lebih tinggi, lebih lengkap ataupun lebih tuntas dari pada pemikiran filosofis.[6]
Pemikiran yang paling dalam, paling luas, paling tinggi dan paling tuntas itu mengarah kepada pemahaman tentang hakikat sesuatu. Sesuatu yang dipikirkan itu dikupas, diteliti, dikaji dan direnungkan segala seginya melalui proses pemikiran yang selurus-lurusnya dan setajam-tajamnya sehingga diperoleh pemahaman menyeluruh tentang hakikat keberadaan dan keadaan sesuatu itu. Hasil pemikiran yang menyelurh itu selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk bertindak berkenaan dengan sesuatu yang dimaksudkan itu. Karena tindakan yang dilakukan itu didasarkan atas pemahaman yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya itu maka tindakan itu tidak gegabah atau bersifat acak yang tidak tentu ujung pangkalnya, melainkan merupakan suatu tindakan yang terarah, terpilih, terkendali, teratur acak yang tidak tentu ujung pangkalnya, melainkan merupakan suatu tindakan yang terarah, terpilih, terkendali, teratur dan dapat dipertanggung jawabkan. Tindakan seperti itu teguh dan penuh dengna kehati-hatian. Lebih jauh, oleh karena pemahaman berdasarkan pemikiran filosofis itu mencakup juga segi-segi estetika, etika dan logika, maka tindakan yang berlandaskan pemahaman filosofis itu akan dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan etis, serta dapat memenuhi tuntutan estetika. Tindakan seperti hal ini tidak lain adalah tindakan bijaksana. Dalam kaitan itu, tidaklah meleset apabila dikatakan bahwa istilah filosofi atau filsafat itu mempunyai makna cinta bijaksana, karena orang-orang yang tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran filsafat adalah orang-orang yang bijaksana.[7]
Pemikiran filosofis yang selalu terkait dalam pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu tentang  hakikat manusia, tujuan dan tugas kehidupan.
1. Hakikat Manusia
Charles Darwin seorang ilmuan bangsa Inggris sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti memyberikan pemikiran dan pemahaman bahwa manusia adalah hasil evolusi binatang yang lebih rendah. Semua cikal bakal manusia tidak seperti keadaannya sekarang melainkan lebih menyerupai kera. Nenek moyang manusia yang seperti kera itu terus berevolusi mengalami perubahan secara perlahan-lahan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan selama berjuta-juta tahun, dan akhirnya terwujudlah manusia dalam bentuknya sekarang. Jika pola pemahaman Charles Darwin itu dilanjutkan, maka manusia seperti apa adanya sekarang akan terus berevolusi dan pada sekian juta tahun yang akan datang bentuk manusia akan berubah, entah seperti apa. Mungkin seperti digambarkan oleh para pengarang ceria fiktif tentang makhluk-makhluk dari planet lain.
Para penulis Barat telah banyak yang mencoba untuk memberikan deskripsi tentang hakikat manusia (antara lain dalam Patterson, 1966 Alblaster & Lukes, 1971; Thompson & Rudolph, 1983) sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti  beberapa diantara deskripsi tersebut mengemukakan.
a.       Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berpikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
b.      Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, khususnya apabila ia berusaha memenfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
c.       Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri, khususnya melalui pendidikan.
d.      Manusia dilahirkan denga potensi untuk menjadi baik dan buruk, dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.[8]
Sedangkan Virginia Satir sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti memandang bahwa manusia pada hakikatnya positif. Setelah mempelajari ribuan keluarga secara mendalam, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia berada dalam keadaan yang terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu. Diyakini juga bahasa manusia pada dasarnya bersifat rasional dan memiliki kebebasan serta kemampuan untuk membuat keputusan didalam hidupnya.[9]
2. Tujuan Kehidupan
Adler (1954) Prayitno dan Erman Amti mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan psikis adalah “menjamin” terus berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan diatas bumi, dan memungkinkan terselesaikannya dengan aman perkembangan manusia. Sedangkan Jung (1958) Prayitno dan Erman Amti berpandangan bahwa kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan didalamnya terdapat dorongan instinktual kearah keutuhan dan hidup sehat.
3. Tugas Kehidupan
1). Tugas kehidupan 1: Spiritualitas
Dalam hal ini agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Agama sebagai sumber moral, etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan kebenaran dan kesucian hidup manusia.
 2). Tugas Kehidupan 2: Pengaturan Diri
     Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapa tsejumlah ciri, trmasuk rasa diri berguna, pengendalian diri, pandangan realistik, spontanitas dan kepekaan emosional, kemampuan rekayasa intelektual, pemecahan masalah dan kreativitas, kemampuan berhumor dan lain sebagainya. Dari ciri-ciri tersebut orang tersebut akan mampu mengkoordinasikan hidupnya dengan pola tingkah laku yang bertujuan dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
3). Tugas kehidupan 3: Bekerja
Dengan bekerja seorang akan memperoleh keuntungan ekonomis (termasuk sumber keuangan untuk membelanjai hidup sehari-hari dan berbagai kebutuhan lainnya.)
4). Tugas kehidupan 4: Persahabatan
     Persahabatan memberikan tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu:
a). Dukungan emosional – kedekatan, perlindungan, rasa aman, kegembiraan.
b).Dukungan keberadaan – penyediaan kebutuhan fisik sehari-harii, bantuan         keuangan.
c). Dukungan informasi – pemberian data yang diperlukan, petunjuk, peringtaan dan nasehat.
5). Tugas Kehidupan 5: Cinta
Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling bekerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. [10]
Konseling filosofis merupakan bentuk bantuan yang mensyaratkan pendidikan pendahuluan tentang filsafat. Filsafat konseling adalah sesuatu yang dilakukan oleh para filosof sejati, bukan hanya metode yang dapat dipelajari oleh konselor yang tidak memiliki basis filsafat. Dan karena itu, dimungkinkan untuk mengidentifikasikan tiga tema inti dalam praktik terapi filosofis: mengklarifikasi cara pandang dunia, penggunaan dialog, dan pengajaran keterampilan filosofis.[11]
B.     Landasan Religius
Landasan religius bagi layanan bimbingan dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok, yaitu:
a). Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan.
b). Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama.
c). Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimenfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat bdaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
1. Manusia Sebagi Makhluk Tuhan
    Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan menekankan pada ketinggian derajat dan keindahan makhluk manusia itu serta peranannya sebagai khalifah dimuka bumi. Derajat dan keberadaan yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Tuhan itu perlu dimuliakan oleh manusia itu sendiri.
2. Sikap Keberagaman
    Kehidupan beragama merupakan gejala yang universal. Pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia dari zaman kezaman senantiasa dijumpai praktek-praktek kehidupan keagamaan.
3. Peranan Agama
    Dalam kehiduan keberagamaan yang kental dan dinamis itu, peranan agama dalam upaya pemuliaan kemanusiaan manusia mendapatkan tempat yang amat penting dan srategis. Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan agama dalam bab tersendiri. Dalam sistem pendidikan nasional pentingnya peranan agama itu dicerminkan antara lain dalam rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh tujuan pendidikan, yaitu tujuan yang menyangkut manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 2 /1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
C.    Landasan Psikologis
Psikologis merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Hal ini sangat penting karena bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku klien yang perlu diubah atau dikembangkan apabila ia hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yng dikehendakinya.
Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang:
1). Motif dan motivasi
2). Pembawaan dasar dan lingkungan
3). Perkembangan individu
4). Belajar, balikan dan penguatan
5). Kepribadian[12]
1). Motif dan Motivasi
Motif adalah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkahlaku. Doronganini hidup pada diri seseorang dan setiap kali mengusik serta menggerakkan orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung didalam dorongan itu sendiri. Sedangkan motivasi sangat erat sekali hubungannya dengan perhatian. Tingkah laku yang didasari oleh motif tertentu biasanya terarah pada suatu objek yang sesuai dengan isi atau tema kandungan motifnya.
2). Pembawaan dan Lingkungan
Diantara pembawaan dan lingkungan ini sangat berkaitan erat. Jika terdapat individu yang lingkungannya baik dan juga bawaannya baik. Maka akan menghasilkan keadaan yang ideal, dan dapat meningkatkan minat dan bakat anak.
3). Perkembangan Individual
Sejak masa konsepsi dalam rahim ibu bakal individu yang telah ditakdirkan ada itu berkembang menjadi janin, janin menjadi bayi , bayi lahir kedunia, terus berkembang menjadi anak kecil, anak usia SD, remaja, dewasa, akhirnya manusia usia lanjut. Dengan demikian jelas bahwa perkembangan individu itu tidak sekali jadi, melainkan bertahap berkesenimbungan. Masing-masing aspek perkembangan, seperti perkembangan kognitif/kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik, kemampuan motorik memiliki tahap-tahap perkembangan berlaku bagi perkembangan segenap aspek itu secara menyeluruh, termasuk didalamnya peranan faktor-faktor pembawaan lingkungan.
4). Belajar, Balikan dan Penguatan
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Psikologi belajar tentang dari bentuk-bentuk belajar yang ditandai oleh perubahan tingkah laku yang amat sederhana sebagai hasil latihan singkat sampai dengan proses mental tingkat tinggi.
5). Kepribadian
Mengenai pengertian kepribadian para ahli psikologi umumnya memusatkan perhatian pada faktor-faktor fisik dan genetika, berpikir dan pengamatan, serta dinamika motivasi dan perasaan (Mussen &  Rosenzweiq, 1973)[13]
Landasan Psikologis dalam lingkungan pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling adalah peserta didik. Peserta didik merupakan pribadi-pribadi yang sedang berada dalam proses perkembang kearah kematangan. Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik yang unik. Dalam arti terdapat perbedaan individual di antara mereka, hal ini menyangkut pada kecerdasan, emosi, sosialibilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian diri, semua itu merupakan bagian dari psikologi manusia.[14] Ada bebrapa aspek psikologi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi yang perlu dipahami oleh konselor atau pembimbing agar dapat memberikan layanan bimbingan dan konseling secara akurat dan bijaksana dalam upaya memfasilitasi individu, atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara optimal, adapun aspek psikologi dan faktornya yaitu:
1.      Motif: perlu kita ketahu bahwa aspek psikis motif ini keberadaanya sangat berperan dalam tingkah laku individu. Pada dasarnya tidak ada tingkah laku tanpa motif. Sigmun freud mengatakan bahwa motif merupakan energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu. sebagai konselor perlu memahami motif klien dalan bertingkah laku agar dapat:
a.       Mengukur motif (seperti kegiatan belajar dan ekstrakurikuler)
b.      Menegmbangkan motif peserta didik (klien) yang tepat dalam berbagai aspek kegiatan yang positif, seperti belajar, bergaul dengan orang lain dan mendalami nilai-nilai keagamaan.
c.       Mendeteksi latar belakang tingkahlaku klien, sehingga memudahkan untuk membantu klien memcahkan masalahnya.
Adapun pengelompokan motif yaitu:
1).   Motif primer: motif yang bersifat naluriah yang meliputi: adanya dorongan fisiologis yang bersumber dari kebutuhan organis. Dan ada pula dorongan umum dan motif darurat seperti perasaan takut, dorongan kasih sayang, rasa ingin tahu dan lain sebaginya.
2). Motif skunder: motif ini berkembang karena adanya pengalaman.  Dan dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku.[15]
D.  Landasan Pedagogis
    Menurut Tirtaraharja dan La Sula sebagaimana yang dikutip oleh Irham dan Nova  Pendidikan merupakan tranformasi sosial budaya bagi masyarakat, peserta didik dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi manusia dan budayanya. Pendidikan juga merupakan lambang sosial yang berfungsi melakukan reproduksi sosial. Selain itu pendidikan juga memilki fungsi pengembangan diri segenap potensi yang dimiliki peserta didik. Oleh sebab itu pendidikan harus menjadi pijakan dan dasar kegiatan bimbingan dan konseling. Karena bimbingan konseling dan pendidikan saling mendukung  dan pendidikan adalah proses menyiapkan peserta didik melalui kegiatan-kegiatan pengajaran.[16]
Selain itu sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti , terdapat istilah Landasan ilmiah dan teknologis yakni Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegitan profesional yang memilki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori-teori pelaksanaan kegiatan. Keilmuan bimbingan dan konseling merupakan sejumlah pengetahuan yang disusun secara logis dan dan sistematik. Ilmu bimbingan konseling adalah berbagai pengetahuan tentang bimibingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sisitematis. Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain bimibingan dan konseling mempunyai kajian tersendiri, metode penggalian pengetahauan yang menjadi ruang lingkupnya dan sistematika pemaparannya. Objek kajian bimbingan dan konseling ialah upaya bantuan yang diberikan kepada individu yang mengacu pada keempat fungsi pelayanan (fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pengembangan atau pemeliharaan).[17]
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian, sehingga proses dan layanan bimbingan konseling semakin hari semakin baik. Dalam perjalanan sejarahnya, bimbingan dan konseling bersifat dinamis dan berkembang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya manusia itu sendiri. Menurut Prayitno25, pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan di belakang meja melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap dan teruji di dalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu memperhatikan hasil-hasil penelitian di lapangan, karena melalui penelitian, suatu teori dan praktek bimbingan dan konseling dapat diketahui dan dibuktikan tentang ketepatan dan keefektifan di lapangan. Mengingat perlunya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka setiap konselor atau guru BK dituntut untuk mengadakan penelitian dan eksperimen, sehingga layanan yang diberikan terhadap klien akan semakin baik dan sempurna.[18]
Terdapat juga istilah  Landasan sosial Budaya menurut kutipan Muhammad Irham dan Novan Ardy Wiyani. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari pengaruh dan kondisi lingkungannya. Setiap tingkah laku, sikap dan pemikiran pasti terkontaminasi pada pola pikir lingkungannya termasuk juga peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Manusia menjadi individu yang unik karena pengaruh nilai-nilai, aspirasi, ide-ide dan harapan lingkungannya, baik secara fisik maupun sosial. Hal ini lah yang kemudian menjadikan adanya perbedaan norma yang dipegang peserta didik. Dan oleh sebab itu kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling harus sangat memperhatikan faktor-faktor latar belakang sosial kemasyarakatandan budaya peserta didik serta pemahaman multikultural. [19]
Pada dasarnya pendidikan sebgai proses kebudayaan (cultural process) bagi setiap peserta didik. Dalam kontek pendidikan sebagai proses pembudayaan maka setiap pendidikan itu berlangsung senantiasa dilakukan dengan pendekatan budaya. Apabila pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan budaya maka hanya kan melahirkan orang-orang yang tidak beradab. Layanan bimibingan konseling merupakan pelayanan pengembangan kepribadian dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan sesuai dengan martabat, nilai, potensi,dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dengan kajian terapan konseling diwarnai oleh budaya termasuk didalamnya norma dan nilai.[20]
Kebutuhan konseling akan selalu meningkat dan akan semakin kompleks sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat dan semakin rumitnya struktur serta tuntutan masyarakat sebagai dampak globalisasi. Mengutip pandangan para ahli bimbingan dan konseling syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan berpendapat bahwa latar belakang sosial budaya yang menjadi faktor pemicu perlunya bimbingan dan konseling yaitu:
1.      Perubahan konstelasi keluarga: fungsi dasar keluarga paling tidak mencakup fungsi keagamaan sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi, dan pendidikan, ekonomi, serta fungsi pembinaan. Semakin berjalannya waktu keluarga tidak lagi memerankan fungsinya dengan baik, sehingga berdampak negatif pada pada kehidupan moralitas peserta didik, adanya kekerasan dalam keluarga dalan lain sebagainya, oleh sebab itu pendidikan melalui bimbingan dan konseling memiliki tanggung jawab pendidikan tersebut.[21]
Keluarga yang harmonis, tentram dan damai (sakinah, mawaddah wa
rahmah) memberikan warna dan budaya tersendiri bagi seseorang. Jika suatu keluarga dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka anggota keluarganya dapat berkembang ke arah yang baik, termasuk dalam berbuat, bertindak dan dalam berbudaya. Demikian pula sebaliknya, jika suatu keluarga gagal dalam memfungiskan keluarganya, maka anggota keluarga tidak bisa berkembang dengan baik, bahkan sering terjadi ketidakcocokan, keretakan dalam keluarga (broken home) yang pada gilirannya cara pandang dan budayanya pun akan berantakan. Menurut Yusuf & Nurihsan23), keluarga yang fungsional (normal) adalah keluarga yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Saling memperhatikan dan mencintai
b.      Bersikap terbuka dan jujur
c.       Orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaanya dan mengakui pengalamannya.
d.      Ada sharing masalah di antara anggota keluarga.
e.       Mampu berjuang mengatasi masalah kehidupannya
f.       Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi 7.
g.      Orang tua mengayomi dan melindungi anak
h.      Komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik.
i.        Keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilainilai budaya.
j.        Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sementara keluarga yang disfungsional (tidak normal) ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1). Adanya pengekangan dorongan dan penindasan perasaan.
2).Mengalami kematian emosional, dingin dalam pergaulan, kurang   adanya kehangatan dan persahabatan, penuh kemuraman dan kesedihan.
3). Kurang bisa beradaptasi dengan keadaan yang berubah.
4). Tidak berfungsi struktur keluarga.
Sementara itu, menurut Pedersen,  ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuain diri antar budaya, yaitu:
a.       Sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa
b.      Komunikasi non-verbal
c.       Stereotip
d.      Kecenderungan menilai
e.       Kecemasan.
Disinilah diperlukan kearifan dan keluasan pandangan dari setiap konselor, dimana ia harus mampu memberikan layanan dan perhatian yang sama terhadap klien yang memerlukan bantuan, tidak terkecuali kepada mereka yang berbeda budaya, pandangan hidup dan agama dengan dia, karena memberikan layanan terhadap orang yang memerlukan, merupakan tuntutan dari tugas profesionalismenya sebagai seorang konselor.[22]
2.      Pengembangan pendidikan: globalisasi dan demokratisasi menjadikan dunia pendidikan saat ini cenderung meninggi (semakin terbuka kesembapatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi ), meluas (berkemabangannya jurusan  khusus dan sekolah sekolah kejuruan) dan mendalam (semakin berkembangannya ruang lingkup kajiannya semakin kompelek dan mendalam pembahasannya). Namun demikian dunia pendidikan kita masih menghadapi masalah profesionalisme guru dan relevansi lulusan dengan tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu peserta didik perlu mendapatkan perhatian khusus terutama demi mencapai cita-cita dan mengembangkan potensi sesuai dengan tuntutan dunia global.
3.      Perkembangan kondisi moral dan keagamaan: sekolah merupakan lembaga yang juga bertanggung jawab mendidik pserta didik. Pendidikan moral dapat ditanamkan pada peserta didik di sekolah atau luar sekolah. Dengan demikian sekolah harus lebih sensitif dalam mengembangkan aspek moral dan keterampilan prilaku sesuai moral peserta didik. Moral dan agama peserta didik semakin lama semakin tergerus oleh budaya masyarakat. Nilai-nilai moral dan agama yang dianggap norma tinggi sekarang mulai meluntur disebabkan semakin beragamnya norma penilaian.[23]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dikatakan bahwa istilah berlandasan filosofi atau filsafat itu mempunyai makna cinta bijaksana, karena orang-orang yang tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran filsafat adalah orang-orang yang bijaksana.
2.      Landasan religius bagi layanan bimbingan dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok, yaitu:
a). Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan.
b). Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama.
c). Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimenfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat bdaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.      Psikologis merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan (klien).
4.      pendidikan juga memilki fungsi pengembangan diri segenap potensi yang dimiliki peserta didik. Oleh sebab itu pendidikan harus menjadi pijakan dan dasar kegiatan bimbingan dan konseling.
B.     Saran
Dari terselesaikannya makalah yang kami susun semampu kami, kami mengharap para pembaca dapat  memahami isi dari makalah kami yang membahas perihal “Landasan Filosofis, Religius, Psikologis dan Pedagogis dalam Bimbingan Konseling”. Yang  telah kami rampungkan dengan menggunakan refrensi buku-buku yang terjamin dan juga bermutu kualiatas argumentasi di dalamnya.
Selain itu, kami mengharap kepada dosen pengampu beserta para pembaca sekalian kritik dan sarannya guna untuk meningkatkan kemampuan kami dalam tata cara menulis, tata cara penyusunan kata, bahasa dan lain sebagainya dalam penyelesaian makalah.


DAFTAR PUSTKA
Amti, Erman dan Prayitno. Dasar-dasar Bimbingan Dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Anelia, Putri dan Rizky Mulana. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Lima Bintang.
Daryanto, Bimbingan Konseling Panduan Guru BK Dan Guru Umum. Yogyakarta: Gava  Media, 2015.
Lahmuddin, Landasan Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan, Jurnal Analytica Islamica, 1. Januari, 2012.
Lubis, Namora Lumongga. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana, 2011.
Mcleod, John. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Nurihsan, Achmad Juntika. Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung: Refika Aditama, 2012.
Nurihsan, Juntika dan Syamsu Yusuf. Landasan Bimbingan dan konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Suhadi, Aloysius. Bimbingan Dan Konseling Keluarga. Jakarta : Kencan,  2016.
Wiyani, Novan Ardy  dan Muhammad Irham. Bimbingan Dan Konseling Teori dan Aplikasi di sekolah Dasar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.



[1] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 7-8.
[2] Achmad Juntika Nurihsan, Strategi Layanan Bimbingan & Konseling (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 1.
[3] Ibid. 1-2.
[4] Rizky Mulana dan Putri Anelia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Lima Bintang ), hlm. 62-228.
[5] Aloysius Suhadi, Bimbingan Dan Konseling Keluarga (­Jakarta : Kencan,  2016), hlm. 7.
[6] Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan Dan Konseling (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), 137.
[7] Ibid. 137-138.
[8] Ibid. 139-140.
[9] Ibid. 140.
[10] Ibid. 146-153.
[11] John Mcleod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm.311.
[12] Prayitno dan Erman, Dasar-dasar Bimbingan .hlm. 154-155.
[13] Ibid. 155-167.
[14] Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan konseling (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) hlm.157
[15]Ibid.hlm.158-161
[16] Ibid.hlm.106
[17] Prayitno, dan erman amti, Dasar-dasar bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka cipta, 2013) hlm.177-178
[18]Lahmuddin, Landasan Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan, Jurnal Analytica Islamica, 1, (Januari, 2012) hlm.,79.
[19] Muhammad Irham dan Novan Ardy Wiyani, Bimbingan Dan Konseling Teori dan Aplikasi di sekolah Dasar, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm.101
[20] Daryanto, Bimbingan Konseling Panduan Guru BK Dan Guru Umum, (Yogyakarta: Gava  Media, 2015) hlm. 406
[21]Irham dan Novan, Bimbingan Dan Konseling , hlm.102
[22] Lahmuddin,  Landasan Bimbingan, hlm.78.
[23]Irham dan Novan, Bimbingan Dan Konseling , hlm.102