BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemunculan
konseling di Indonesia merupakan setelahmelalui proses perkembangan yang
berkesenimbungan dinegara asalnya dan dirasakan perlu untuk negara lain,
termasuk Indonesia. Sebelum kemunculannya di Indonesia, sebenarnya masyarakat
Indonesia telah mengetahui berbagai sarana yang dapat dimenfaatkan untuk
memecahkan masalah mereka. Tetapi semua itu dilakukan dengan meminta bantuan
dari tokoh masyarakat semisal kepala desa ataupun orang yang dituakan, tokoh
agama, para normal, dukun dan lain sebagainya yang dipandang memiliki
kelebihan. Masyarakat memiliki ketergantungan terhadap mereka, berbagai macam
bantuanpun diberikan, baik yang bernilai positif (wejangan, nasehat dan petuah)
hingga yang sama sekali tidak bermenfaat dan berefek negatif. Masyarakat memiliki
keyakinan yang sangat kuat bahwa masalah mereka akan selesai dengan baik jika
meminta bantuan dengan cara-cara tradisional tersebut.
Dengan
berjalannya waktu pola pikir masyarakat perlahan-lahan berubah ketika konseling
masuk ke Indonesia, walaupun sampai saat ini tidak semua masyarakat mengenal
dan mengunakan konseling untuk menyelesaikan masalah mereka.Sawitri
mengungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Namora Lumongga Lubis bahwa
memasuki awal 1950-1n, Universitas Indonesia (UI) untuk pertama kalinya
mengembangkan psikologi yang dirintis oleh Prof. Dr. Slamet Imam Santoso.
Kemudian pada tahun 1960 konseling diperkenalkan di Indonesia melalui lembaga
pendidikan sekolah menengah. Hal ini dilakukan dengan upaya pengembangan proses
bimbingan bagi siswa. Perkembangan konseling selanjutnya mengarah kepusat
rehabilitasi sosial, lembaga sosial, dan industri.[1]
Pendukung utama bagi tercapainya sasaran
pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu.
Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraannya tidak cukup hanya dilakukan
melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh
peningkatan profesionalisasi dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta
pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih
dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya.[2]
Kemampuan seperti itu tidak hanya
menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi,
sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai peserta didik. Berkaitan
dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu disekolah
adalah pendidikan yang menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar
akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat dan
optimal. Para peserta didik sebagian besar adalah remaja yang memiliki
karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya.
Adapun tugas-tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut.
1). Mencapai perkembangan diri
sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2). Mempersiapkan diri, menerima
dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan psikis yang
terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat.
3). Mencapai pola hubungan yang
baik dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria atau wanita.
4). Memantapkan nilai dan cara
bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
5). Mengenal kemampuan, bakat,
minat, serta arah kecenderungan karir dan apresiasi seni.
6). Mengembang pengetahuan dan
keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan
pelajaran dan atau mempersiapkan karir serta berperan dalam kehidupan
masyarakat.
7). Mengenal gambaran dan
mengembangkan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial dan
ekonomi.
8). Mengenal sistem etika dan
nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat
manusia.[3]
Hal tersebut merupakan cuplikan dari urgensinya bimbingan dan konseling. Pembimbing
jika dilihat dari makna KLBI (Kaus Lengkap Bahasa Indonesia) yakni berarti
tuntunan atau asuhan, sedangkan konseling yakni berarti penasehatan,
pengarahan.[4]
Sedangkan konsep dasar dari
pelayanan konseling adalah untuk membantu klien menjadi bahagia daan sejahtera
dalam mencapai kehidupan efektif sehari-hari. Konseling merupakan suatu proses
interaktif untuk membantu klien dalam mencapai kondisi psikologis yang bahagia.[5]
Selain hal tersebut, bimbingan dan
konseling terdapat landasan-landasannya yakni yang akan diuraikan dibagian
pembahasan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Landasan Filosofis?
2.
Bagaimana Landasan Religius?
3.
Bagaimana Landasan Psikologis?
4.
Bagaimana Landasan Pedagogis?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan Landasan Filosofis
2.
Menjelaskan
Landasan Religius
3.
Menjelaskan
Landasan Psikologis
4.
Menjelaskan Landasan Pedagogis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Filosofis
Kata
filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos berarti cinta, dan shopos
berarti bijaksana. Jadi filosofis berarti kecintaan erhadap kebijaksanaan.
Dalam kamus Webster New Universal yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Anti
yang memberikan pengertian bahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari
kekuatan yang didasari proses berpikir dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-prinsip atau
hukum-hukum dasr yang mengatur alam semesta serta mendasari semua pengetahuan
dan kenyataan, termasuk kedalamnya studi tentang estetika, etika, logika,
metafisika dan lain sebagainya. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
filsafat merupakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setingi-tinginya,
selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya tentang sesuatu. Tidak ada lagi
pemikiran yang lebih dalam, lebih luas, lebih tinggi, lebih lengkap ataupun
lebih tuntas dari pada pemikiran filosofis.[6]
Pemikiran
yang paling dalam, paling luas, paling tinggi dan paling tuntas itu mengarah
kepada pemahaman tentang hakikat sesuatu. Sesuatu yang dipikirkan itu dikupas,
diteliti, dikaji dan direnungkan segala seginya melalui proses pemikiran yang
selurus-lurusnya dan setajam-tajamnya sehingga diperoleh pemahaman menyeluruh
tentang hakikat keberadaan dan keadaan sesuatu itu. Hasil pemikiran yang
menyelurh itu selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk bertindak berkenaan
dengan sesuatu yang dimaksudkan itu. Karena tindakan yang dilakukan itu didasarkan
atas pemahaman yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya,
selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya itu maka tindakan itu tidak
gegabah atau bersifat acak yang tidak tentu ujung pangkalnya, melainkan
merupakan suatu tindakan yang terarah, terpilih, terkendali, teratur acak yang
tidak tentu ujung pangkalnya, melainkan merupakan suatu tindakan yang terarah,
terpilih, terkendali, teratur dan dapat dipertanggung jawabkan. Tindakan
seperti itu teguh dan penuh dengna kehati-hatian. Lebih jauh, oleh karena
pemahaman berdasarkan pemikiran filosofis itu mencakup juga segi-segi estetika,
etika dan logika, maka tindakan yang berlandaskan pemahaman filosofis itu akan
dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan etis, serta dapat memenuhi
tuntutan estetika. Tindakan seperti hal ini tidak lain adalah tindakan
bijaksana. Dalam kaitan itu, tidaklah meleset apabila dikatakan bahwa istilah
filosofi atau filsafat itu mempunyai makna cinta bijaksana, karena orang-orang
yang tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran filsafat adalah orang-orang
yang bijaksana.[7]
Pemikiran
filosofis yang selalu terkait dalam pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu
tentang hakikat manusia, tujuan dan
tugas kehidupan.
1. Hakikat Manusia
Charles
Darwin seorang ilmuan bangsa Inggris sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan
Erman Amti memyberikan pemikiran dan pemahaman bahwa manusia adalah hasil
evolusi binatang yang lebih rendah. Semua cikal bakal manusia tidak seperti
keadaannya sekarang melainkan lebih menyerupai kera. Nenek moyang manusia yang
seperti kera itu terus berevolusi mengalami perubahan secara perlahan-lahan
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan selama berjuta-juta tahun,
dan akhirnya terwujudlah manusia dalam bentuknya sekarang. Jika pola pemahaman
Charles Darwin itu dilanjutkan, maka manusia seperti apa adanya sekarang akan
terus berevolusi dan pada sekian juta tahun yang akan datang bentuk manusia
akan berubah, entah seperti apa. Mungkin seperti digambarkan oleh para
pengarang ceria fiktif tentang makhluk-makhluk dari planet lain.
Para
penulis Barat telah banyak yang mencoba untuk memberikan deskripsi tentang
hakikat manusia (antara lain dalam Patterson, 1966 Alblaster & Lukes, 1971;
Thompson & Rudolph, 1983) sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman
Amti beberapa diantara deskripsi
tersebut mengemukakan.
a. Manusia adalah makhluk rasional yang
mampu berpikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
b. Manusia dapat belajar mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya, khususnya apabila ia berusaha memenfaatkan
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
c. Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan
dan menjadikan dirinya sendiri, khususnya melalui pendidikan.
d. Manusia dilahirkan denga potensi untuk
menjadi baik dan buruk, dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan
menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.[8]
Sedangkan
Virginia Satir sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti memandang
bahwa manusia pada hakikatnya positif. Setelah mempelajari ribuan keluarga
secara mendalam, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana
apapun juga, manusia berada dalam keadaan yang terbaik untuk menjadi sadar dan
berkemampuan untuk melakukan sesuatu. Diyakini juga bahasa manusia pada
dasarnya bersifat rasional dan memiliki kebebasan serta kemampuan untuk membuat
keputusan didalam hidupnya.[9]
2. Tujuan Kehidupan
Adler
(1954) Prayitno dan Erman Amti mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan
psikis adalah “menjamin” terus berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan
diatas bumi, dan memungkinkan terselesaikannya dengan aman perkembangan
manusia. Sedangkan Jung (1958) Prayitno dan Erman Amti berpandangan bahwa
kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan didalamnya terdapat dorongan
instinktual kearah keutuhan dan hidup sehat.
3. Tugas Kehidupan
1).
Tugas kehidupan 1: Spiritualitas
Dalam
hal ini agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Agama sebagai sumber moral,
etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan
kebenaran dan kesucian hidup manusia.
2). Tugas Kehidupan 2: Pengaturan Diri
Seseorang yang mengamalkan hidup sehat
pada dirinya terdapa tsejumlah ciri, trmasuk rasa diri berguna, pengendalian
diri, pandangan realistik, spontanitas dan kepekaan emosional, kemampuan
rekayasa intelektual, pemecahan masalah dan kreativitas, kemampuan berhumor dan
lain sebagainya. Dari ciri-ciri tersebut orang tersebut akan mampu
mengkoordinasikan hidupnya dengan pola tingkah laku yang bertujuan dan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
3).
Tugas kehidupan 3: Bekerja
Dengan
bekerja seorang akan memperoleh keuntungan ekonomis (termasuk sumber keuangan
untuk membelanjai hidup sehari-hari dan berbagai kebutuhan lainnya.)
4).
Tugas kehidupan 4: Persahabatan
Persahabatan memberikan tiga keutamaan
kepada hidup yang sehat, yaitu:
a). Dukungan emosional
– kedekatan, perlindungan, rasa aman, kegembiraan.
b).Dukungan keberadaan
– penyediaan kebutuhan fisik sehari-harii, bantuan keuangan.
c). Dukungan informasi
– pemberian data yang diperlukan, petunjuk, peringtaan dan nasehat.
5).
Tugas Kehidupan 5: Cinta
Dengan
cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling
mempercayai, saling terbuka, saling bekerjasama, dan saling memberikan komitmen
yang kuat. [10]
Konseling
filosofis merupakan bentuk bantuan yang mensyaratkan pendidikan pendahuluan
tentang filsafat. Filsafat konseling adalah sesuatu yang dilakukan oleh para filosof
sejati, bukan hanya metode yang dapat dipelajari oleh konselor yang tidak
memiliki basis filsafat. Dan karena itu, dimungkinkan untuk mengidentifikasikan
tiga tema inti dalam praktik terapi filosofis: mengklarifikasi cara pandang
dunia, penggunaan dialog, dan pengajaran keterampilan filosofis.[11]
B.
Landasan Religius
Landasan
religius bagi layanan bimbingan dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok,
yaitu:
a).
Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan.
b).
Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan
sesuai dengan kaidah-kaidah agama.
c).
Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimenfaatkannya secara optimal suasana
dan perangkat bdaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.
Manusia Sebagi Makhluk Tuhan
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk
Tuhan menekankan pada ketinggian derajat dan keindahan makhluk manusia itu
serta peranannya sebagai khalifah dimuka bumi. Derajat dan keberadaan yang
paling mulia diantara makhluk-makhluk Tuhan itu perlu dimuliakan oleh manusia
itu sendiri.
2.
Sikap Keberagaman
Kehidupan beragama merupakan gejala yang
universal. Pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia dari zaman kezaman
senantiasa dijumpai praktek-praktek kehidupan keagamaan.
3.
Peranan Agama
Dalam kehiduan keberagamaan yang kental dan
dinamis itu, peranan agama dalam upaya pemuliaan kemanusiaan manusia
mendapatkan tempat yang amat penting dan srategis. Undang-Undang Dasar 1945
menempatkan agama dalam bab tersendiri. Dalam sistem pendidikan nasional
pentingnya peranan agama itu dicerminkan antara lain dalam rumusan tujuan yang
hendak dicapai oleh tujuan pendidikan, yaitu tujuan yang menyangkut manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 2 /1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
C.
Landasan Psikologis
Psikologis
merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologis dalam
bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku
individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Hal ini sangat penting karena
bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah
laku klien yang perlu diubah atau dikembangkan apabila ia hendak mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yng
dikehendakinya.
Untuk
keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi
perlu dikuasai, yaitu tentang:
1).
Motif dan motivasi
2).
Pembawaan dasar dan lingkungan
3).
Perkembangan individu
4).
Belajar, balikan dan penguatan
5).
Kepribadian[12]
1).
Motif dan Motivasi
Motif adalah dorongan yang
menggerakkan seseorang bertingkahlaku. Doronganini hidup pada diri seseorang
dan setiap kali mengusik serta menggerakkan orang itu untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang terkandung didalam dorongan itu sendiri. Sedangkan
motivasi sangat erat sekali hubungannya dengan perhatian. Tingkah laku yang
didasari oleh motif tertentu biasanya terarah pada suatu objek yang sesuai
dengan isi atau tema kandungan motifnya.
2).
Pembawaan dan Lingkungan
Diantara pembawaan dan lingkungan
ini sangat berkaitan erat. Jika terdapat individu yang lingkungannya baik dan
juga bawaannya baik. Maka akan menghasilkan keadaan yang ideal, dan dapat
meningkatkan minat dan bakat anak.
3).
Perkembangan Individual
Sejak masa konsepsi dalam rahim ibu
bakal individu yang telah ditakdirkan ada itu berkembang menjadi janin, janin
menjadi bayi , bayi lahir kedunia, terus berkembang menjadi anak kecil, anak
usia SD, remaja, dewasa, akhirnya manusia usia lanjut. Dengan demikian jelas
bahwa perkembangan individu itu tidak sekali jadi, melainkan bertahap
berkesenimbungan. Masing-masing aspek perkembangan, seperti perkembangan
kognitif/kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik, kemampuan motorik
memiliki tahap-tahap perkembangan berlaku bagi perkembangan segenap aspek itu
secara menyeluruh, termasuk didalamnya peranan faktor-faktor pembawaan
lingkungan.
4).
Belajar, Balikan dan Penguatan
Belajar merupakan salah satu konsep
yang amat mendasar dari psikologi. Psikologi belajar tentang dari bentuk-bentuk
belajar yang ditandai oleh perubahan tingkah laku yang amat sederhana sebagai
hasil latihan singkat sampai dengan proses mental tingkat tinggi.
5).
Kepribadian
Mengenai pengertian kepribadian
para ahli psikologi umumnya memusatkan perhatian pada faktor-faktor fisik dan
genetika, berpikir dan pengamatan, serta dinamika motivasi dan perasaan (Mussen
& Rosenzweiq, 1973)[13]
Landasan Psikologis dalam
lingkungan pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang menjadi
sasaran layanan bimbingan dan konseling adalah peserta didik. Peserta didik
merupakan pribadi-pribadi yang sedang berada dalam proses perkembang kearah
kematangan. Masing-masing peserta didik memiliki karakteristik yang unik. Dalam
arti terdapat perbedaan individual di antara mereka, hal ini menyangkut pada
kecerdasan, emosi, sosialibilitas, sikap, kebiasaan, dan kemampuan penyesuaian
diri, semua itu merupakan bagian dari psikologi manusia.[14]
Ada bebrapa aspek psikologi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
pribadi yang perlu dipahami oleh konselor atau pembimbing agar dapat memberikan
layanan bimbingan dan konseling secara akurat dan bijaksana dalam upaya
memfasilitasi individu, atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara
optimal, adapun aspek psikologi dan faktornya yaitu:
1. Motif: perlu kita ketahu bahwa aspek
psikis motif ini keberadaanya sangat berperan dalam tingkah laku individu. Pada
dasarnya tidak ada tingkah laku tanpa motif. Sigmun freud mengatakan bahwa
motif merupakan energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu.
sebagai konselor perlu memahami motif klien dalan bertingkah laku agar dapat:
a. Mengukur motif (seperti kegiatan belajar
dan ekstrakurikuler)
b. Menegmbangkan motif peserta didik
(klien) yang tepat dalam berbagai aspek kegiatan yang positif, seperti belajar,
bergaul dengan orang lain dan mendalami nilai-nilai keagamaan.
c. Mendeteksi latar belakang tingkahlaku
klien, sehingga memudahkan untuk membantu klien memcahkan masalahnya.
Adapun pengelompokan
motif yaitu:
1).
Motif primer: motif yang bersifat
naluriah yang meliputi: adanya dorongan fisiologis yang bersumber dari
kebutuhan organis. Dan ada pula dorongan umum dan motif darurat seperti
perasaan takut, dorongan kasih sayang, rasa ingin tahu dan lain sebaginya.
2).
Motif skunder: motif ini berkembang karena adanya pengalaman. Dan dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat
istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku.[15]
D. Landasan Pedagogis
Menurut Tirtaraharja dan La Sula
sebagaimana yang dikutip oleh Irham dan Nova Pendidikan merupakan tranformasi sosial budaya
bagi masyarakat, peserta didik dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi
manusia dan budayanya. Pendidikan juga merupakan lambang sosial yang berfungsi
melakukan reproduksi sosial. Selain itu pendidikan juga memilki fungsi
pengembangan diri segenap potensi yang dimiliki peserta didik. Oleh sebab itu
pendidikan harus menjadi pijakan dan dasar kegiatan bimbingan dan konseling.
Karena bimbingan konseling dan pendidikan saling mendukung dan pendidikan adalah proses menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan-kegiatan pengajaran.[16]
Selain
itu sebagaimana yang dikutip oleh Prayitno dan Erman Amti , terdapat istilah Landasan
ilmiah dan teknologis yakni Pelayanan
bimbingan dan konseling merupakan kegitan profesional yang memilki dasar-dasar
keilmuan, baik yang menyangkut teori-teori pelaksanaan kegiatan. Keilmuan
bimbingan dan konseling merupakan sejumlah pengetahuan yang disusun secara
logis dan dan sistematik. Ilmu bimbingan konseling adalah berbagai pengetahuan
tentang bimibingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sisitematis.
Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain bimibingan dan konseling mempunyai kajian
tersendiri, metode penggalian pengetahauan yang menjadi ruang lingkupnya dan
sistematika pemaparannya. Objek kajian bimbingan dan konseling ialah upaya
bantuan yang diberikan kepada individu yang mengacu pada keempat fungsi
pelayanan (fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pengembangan atau
pemeliharaan).[17]
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor
didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik
berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan
penelitian, sehingga proses dan layanan bimbingan konseling semakin hari
semakin baik. Dalam perjalanan sejarahnya, bimbingan dan konseling bersifat
dinamis dan berkembang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya
manusia itu sendiri. Menurut Prayitno25, pengembangan teori dan pendekatan
bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan di belakang meja melalui
proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap dan
teruji di dalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu memperhatikan
hasil-hasil penelitian di lapangan, karena melalui penelitian, suatu teori dan
praktek bimbingan dan konseling dapat diketahui dan dibuktikan tentang
ketepatan dan keefektifan di lapangan. Mengingat perlunya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka setiap konselor atau guru BK dituntut untuk
mengadakan penelitian dan eksperimen, sehingga layanan yang diberikan terhadap
klien akan semakin baik dan sempurna.[18]
Terdapat juga istilah Landasan sosial Budaya menurut kutipan
Muhammad Irham dan Novan Ardy Wiyani. Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari pengaruh dan kondisi
lingkungannya. Setiap tingkah laku, sikap dan pemikiran pasti terkontaminasi
pada pola pikir lingkungannya termasuk juga peserta didik tidak lepas dari
pengaruh lingkungan. Manusia menjadi individu yang unik karena pengaruh
nilai-nilai, aspirasi, ide-ide dan harapan lingkungannya, baik secara fisik
maupun sosial. Hal ini lah yang kemudian menjadikan adanya perbedaan norma yang
dipegang peserta didik. Dan oleh sebab itu kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling harus sangat memperhatikan faktor-faktor latar belakang sosial
kemasyarakatandan budaya peserta didik serta pemahaman multikultural. [19]
Pada
dasarnya pendidikan sebgai proses kebudayaan (cultural process) bagi setiap peserta didik. Dalam kontek
pendidikan sebagai proses pembudayaan maka setiap pendidikan itu berlangsung
senantiasa dilakukan dengan pendekatan budaya. Apabila pendidikan tidak
dilakukan dengan pendekatan budaya maka hanya kan melahirkan orang-orang yang
tidak beradab. Layanan bimibingan konseling merupakan pelayanan pengembangan
kepribadian dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan sesuai
dengan martabat, nilai, potensi,dan keunikan individu berdasarkan kajian dan
penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi
yang dikemas dengan kajian terapan konseling diwarnai oleh budaya termasuk
didalamnya norma dan nilai.[20]
Kebutuhan
konseling akan selalu meningkat dan akan semakin kompleks sejalan dengan
semakin berkembangnya masyarakat dan semakin rumitnya struktur serta tuntutan
masyarakat sebagai dampak globalisasi. Mengutip pandangan para ahli bimbingan
dan konseling syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan berpendapat bahwa latar
belakang sosial budaya yang menjadi faktor pemicu perlunya bimbingan dan
konseling yaitu:
1. Perubahan konstelasi keluarga: fungsi
dasar keluarga paling tidak mencakup fungsi keagamaan sosial budaya, cinta
kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi, dan pendidikan, ekonomi, serta
fungsi pembinaan. Semakin berjalannya waktu keluarga tidak lagi memerankan
fungsinya dengan baik, sehingga berdampak negatif pada pada kehidupan moralitas
peserta didik, adanya kekerasan dalam keluarga dalan lain sebagainya, oleh
sebab itu pendidikan melalui bimbingan dan konseling memiliki tanggung jawab
pendidikan tersebut.[21]
Keluarga
yang harmonis, tentram dan damai (sakinah, mawaddah wa
rahmah) memberikan warna dan budaya tersendiri bagi seseorang. Jika suatu keluarga dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka anggota keluarganya dapat berkembang ke arah yang baik, termasuk dalam berbuat, bertindak dan dalam berbudaya. Demikian pula sebaliknya, jika suatu keluarga gagal dalam memfungiskan keluarganya, maka anggota keluarga tidak bisa berkembang dengan baik, bahkan sering terjadi ketidakcocokan, keretakan dalam keluarga (broken home) yang pada gilirannya cara pandang dan budayanya pun akan berantakan. Menurut Yusuf & Nurihsan23), keluarga yang fungsional (normal) adalah keluarga yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
rahmah) memberikan warna dan budaya tersendiri bagi seseorang. Jika suatu keluarga dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka anggota keluarganya dapat berkembang ke arah yang baik, termasuk dalam berbuat, bertindak dan dalam berbudaya. Demikian pula sebaliknya, jika suatu keluarga gagal dalam memfungiskan keluarganya, maka anggota keluarga tidak bisa berkembang dengan baik, bahkan sering terjadi ketidakcocokan, keretakan dalam keluarga (broken home) yang pada gilirannya cara pandang dan budayanya pun akan berantakan. Menurut Yusuf & Nurihsan23), keluarga yang fungsional (normal) adalah keluarga yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Saling memperhatikan dan mencintai
b.
Bersikap terbuka dan jujur
c.
Orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaanya dan mengakui
pengalamannya.
d.
Ada sharing masalah di antara anggota keluarga.
e.
Mampu berjuang mengatasi masalah kehidupannya
f.
Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi 7.
g.
Orang tua mengayomi dan melindungi anak
h.
Komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik.
i.
Keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan
nilainilai budaya.
j.
Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sementara
keluarga yang disfungsional (tidak normal) ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1). Adanya
pengekangan dorongan dan penindasan perasaan.
2).Mengalami kematian emosional, dingin dalam pergaulan, kurang adanya kehangatan dan persahabatan, penuh
kemuraman dan kesedihan.
3). Kurang bisa beradaptasi dengan keadaan yang berubah.
4). Tidak berfungsi struktur keluarga.
Sementara itu, menurut Pedersen,
ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan
penyesuain diri antar budaya, yaitu:
a.
Sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa
b.
Komunikasi non-verbal
c.
Stereotip
d.
Kecenderungan menilai
e.
Kecemasan.
Disinilah diperlukan kearifan dan keluasan pandangan dari setiap
konselor, dimana ia harus mampu memberikan layanan dan perhatian yang sama
terhadap klien yang memerlukan bantuan, tidak terkecuali kepada mereka yang
berbeda budaya, pandangan hidup dan agama dengan dia, karena memberikan layanan
terhadap orang yang memerlukan, merupakan tuntutan dari tugas
profesionalismenya sebagai seorang konselor.[22]
2. Pengembangan pendidikan: globalisasi dan
demokratisasi menjadikan dunia pendidikan saat ini cenderung meninggi (semakin
terbuka kesembapatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi ), meluas
(berkemabangannya jurusan khusus dan
sekolah sekolah kejuruan) dan mendalam (semakin berkembangannya ruang lingkup
kajiannya semakin kompelek dan mendalam pembahasannya). Namun demikian dunia
pendidikan kita masih menghadapi masalah profesionalisme guru dan relevansi
lulusan dengan tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu peserta didik perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama demi mencapai cita-cita dan mengembangkan
potensi sesuai dengan tuntutan dunia global.
3. Perkembangan kondisi moral dan
keagamaan: sekolah merupakan lembaga yang juga bertanggung jawab mendidik
pserta didik. Pendidikan moral dapat ditanamkan pada peserta didik di sekolah
atau luar sekolah. Dengan demikian sekolah harus lebih sensitif dalam
mengembangkan aspek moral dan keterampilan prilaku sesuai moral peserta didik.
Moral dan agama peserta didik semakin lama semakin tergerus oleh budaya
masyarakat. Nilai-nilai moral dan agama yang dianggap norma tinggi sekarang
mulai meluntur disebabkan semakin beragamnya norma penilaian.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Dikatakan
bahwa istilah berlandasan filosofi atau filsafat itu mempunyai makna cinta
bijaksana, karena orang-orang yang tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran
filsafat adalah orang-orang yang bijaksana.
2. Landasan religius bagi layanan bimbingan
dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok, yaitu:
a). Keyakinan bahwa
manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan.
b). Sikap yang
mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai
dengan kaidah-kaidah agama.
c). Upaya yang
memungkinkan berkembang dan dimenfaatkannya secara optimal suasana dan
perangkat bdaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Psikologis
merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologis dalam
bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku
individu yang menjadi sasaran layanan (klien).
4.
pendidikan
juga memilki fungsi pengembangan diri segenap potensi yang dimiliki peserta
didik. Oleh sebab itu pendidikan harus menjadi pijakan dan dasar kegiatan
bimbingan dan konseling.
B. Saran
Dari
terselesaikannya makalah yang kami susun semampu kami, kami mengharap para
pembaca dapat memahami isi dari makalah
kami yang membahas perihal “Landasan Filosofis, Religius, Psikologis dan
Pedagogis dalam Bimbingan Konseling”. Yang
telah kami rampungkan dengan menggunakan refrensi buku-buku yang
terjamin dan juga bermutu kualiatas argumentasi di dalamnya.
Selain
itu, kami mengharap kepada dosen pengampu beserta para pembaca sekalian kritik
dan sarannya guna untuk meningkatkan kemampuan kami dalam tata cara menulis,
tata cara penyusunan kata, bahasa dan lain sebagainya dalam penyelesaian
makalah.
DAFTAR
PUSTKA
Amti,
Erman dan Prayitno. Dasar-dasar Bimbingan
Dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Anelia, Putri dan Rizky Mulana. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Lima Bintang.
Daryanto, Bimbingan Konseling Panduan Guru BK Dan Guru
Umum. Yogyakarta:
Gava Media, 2015.
Lahmuddin, “Landasan Bimbingan
Dan Konseling Di Institusi Pendidikan,” Jurnal Analytica
Islamica, 1. Januari,
2012.
Lubis, Namora Lumongga. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori
Dan Praktik. Jakarta: Kencana, 2011.
Mcleod,
John. Pengantar Konseling Teori dan Studi
Kasus. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Nurihsan, Achmad Juntika. Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung: Refika
Aditama, 2012.
Nurihsan, Juntika dan Syamsu Yusuf. Landasan
Bimbingan dan konseling. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2014.
Suhadi, Aloysius. Bimbingan
Dan Konseling Keluarga. Jakarta : Kencan,
2016.
Wiyani, Novan Ardy dan Muhammad
Irham. Bimbingan
Dan Konseling Teori dan Aplikasi di sekolah Dasar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
[1] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori
Dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 7-8.
[2] Achmad Juntika
Nurihsan, Strategi Layanan Bimbingan
& Konseling (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 1.
[3] Ibid. 1-2.
[4] Rizky Mulana dan
Putri Anelia, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Surabaya: Lima Bintang ), hlm. 62-228.
[5] Aloysius Suhadi, Bimbingan Dan Konseling Keluarga (Jakarta
: Kencan, 2016), hlm. 7.
[6] Prayitno dan
Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan Dan
Konseling (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), 137.
[7] Ibid. 137-138.
[8] Ibid. 139-140.
[9] Ibid. 140.
[10] Ibid. 146-153.
[11] John Mcleod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm.311.
[12] Prayitno dan
Erman, Dasar-dasar Bimbingan .hlm.
154-155.
[13] Ibid. 155-167.
[14] Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan konseling
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) hlm.157
[15]Ibid.hlm.158-161
[16] Ibid.hlm.106
[17] Prayitno, dan erman amti, Dasar-dasar bimbingan dan Konseling,
(Jakarta: Rineka cipta, 2013) hlm.177-178
[18]Lahmuddin, “ Landasan Bimbingan Dan Konseling Di Institusi
Pendidikan,” Jurnal Analytica Islamica, 1, (Januari,
2012) hlm.,79.
[19] Muhammad Irham dan Novan Ardy Wiyani,
Bimbingan Dan Konseling Teori dan
Aplikasi di sekolah Dasar, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm.101
[20] Daryanto, Bimbingan Konseling Panduan Guru BK Dan Guru Umum, (Yogyakarta:
Gava Media, 2015) hlm. 406
[21]Irham dan Novan, Bimbingan Dan
Konseling , hlm.102
[23]Irham dan Novan, Bimbingan Dan
Konseling , hlm.102