BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Semantik
Kata semantik berasal
dari bahasa yunani sema (kata
benda yang berarti “tanda” atau
“lambang”. Kata kerjanya adalah semaino
yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau
lambang disini sebagai padanan kata sema
itu adalah tanda linguistik. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain,
bidang studi yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karna itu,
kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti,
yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa yaitu fonologi, gramatika,
dan semantik.[1]
B.
Unsur-unsur semantik
1.
TANDA
Tanda dalam bahasa
Indonesia pertama-tama adalah berarti “bekas”. Bekas pukulan rotan yang cukup
keras pada punggung akan member bekas. Bekas pukulan itu, yang berwarna
kemerahan, menjadi tanda akan telah terjadi suatu pukulan dengan rotan pasa tempat tersebut. Terdengarnya suara
adzan atau bunyi beduk dari sebuah masjid menjadi tanda bahwa waktunya sholat
telah tiba. Menyalanya lampu lalu lintas disimpang jalan menjadi merah juga
menjadi tanda bahwa kita harus stop, tidak boleh berjalan terus. Dari
contoh-contoh diatas kita dapat melihat bahwa tanda dengan hal yang ditandai
bersifat lansung.
Berdasarkan
klasifikasi seperti itu pierce membagi tanda menjadi 10 jenis yaitu:
1.
Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki
tanda. Kata keras menunjukkan kualitas tanda misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu
yang diingingkan.
2.
Iconic sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan
kemiripan.contoh: Diagram, foto, peta, dan baca.
3.
Rhematic Indexical sinsign, yakni tanda berdasarkan
pengalaman lansung yang secara lansung menarik perhatian karena kehadirannya
disebabkan oleh sesuatu. Contoh : Pantai yang sering merenggut nyawa orang yang
mandi disitu akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna bahaya,
dilarang mandi disini.
4.
Dicent sinsign, yakni tanda yang memberikan
informasi tentang sesuatu, misalnya tanda larangan yang terdapat dipintu masuk
sebuah kantor.
5.
Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan
norma atau hukum, misalnya rambu lalu lintas.
6.
Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang
mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang
bertanya, “mana buku itu?” dan
dijawab, “itu.!
7.
Dicent Indexial Legisign, yakni tanda yang bermakna
informasi dan menunjuk subjek informasi. Tanda
berupa lampu merah yang berputar-putar diatas mobil ambulans menandakan ada
orang sakit atau orang yang celaka yang sedang dilarikan kerumah sakit.
8.
Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda
yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita
melihat gambar harimau. Lalu kita katakan, harimau. Mengapa kita berkata
demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita
lihat yang namanya harimau. Tanda yang
didekatkan didinding kereta apai yang menggambar dilarang merokok yang menandakan bahwa penumpang yang ada disitu
dilarang merokok. Tanda ini lansung berkaitan dengan objek oleh adanya asosiasi pada rokok yang
menimbulkan asap yang tidak cocok untuk banyak penumpang. Kata-kata yang
berhubungan dengan nama benda pada umumnya, juga termasuk Rhematic Symbol atau
Symbolic Rheme.
9.
Dicent symbol atau yang bisa disebut proposisi
adalah tanda yang lansung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam
otak. Kalau seseorang berkata, “pergi!”, penafsiran kita lansung berasosiasi
pada otak, dan serta merta kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengar hanya
kata. Kata –kata yang digunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah
proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi didalam otak. Otak secara
otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan
pilihan atau sikap.
10. Argument,
yakni tanda yang merupakan iferens seseorang
terhadap sesuatu berdasrkan alas an tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang
itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan
demikian argument merupakan tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa
seseorang berkata begitu. Tentu saja penilaian tersebut mengandung kebenaran.[2]
2.
LAMBANG
Lambang (symbol)
adalah unsure bahasa yang bersifat arbitrer dan konvensional yang mewakili
hubungan objek dan signifikasinya. Kata- kata, kalimat dan tanda-tanda yang
bersifat konvensional yang lain tergolong lambang, cirri-ciri lambang:
1.
Tanda. Orang berkata,”mangga!” bermakna atau
memberikan tanda bahwa sesorang membeli, meminta mangga.
2.
Mengganti atau mewakili. Sesorang berkata, “kuda”.
Lambang kuda mewakili atau mengganti sejenis hewan yang namnya kuda.
3.
Berbentuk tertulis dan lisan. Lambang –lambang yang
digunakan oleh manusia dapat berbentuk tertulis, dan dapat berbentuk lisan.perbedaanya
antara lambang tertulis dan lambang secara lisan. Maksudnya, lambang yang
digunakan secara lisan lebih jelas jika dibandingkan dengan lambnag yang
digunakan secara tertulis.
4.
Bermakna. Setiap lambang pasti bermakna, ada konsep,
ada pesan, ada gagasan yang dimilikinya kadang-kadang hanya akan jelas jika
lambang tersebut dikaitkan dengan lambang yang lain, misalnya lambang yang
disebut dengan kata-kata tugas.
5.
Aturan. Lambang adalah aturan, atauran bagaimana
seseorang menentukan pilihan seseorang dan sikap.
6.
Verisi banyak kemungkinan karena kadang-kadang tidak
jelas. Orang berkata, “pergi!”
Timbul
pertanyaan: siapa yang pergi, mengapa pergi, dengan siapa pergi, dengan
kendaraaan apa pergi, pukul berpa pergi, dan apa yang dibawa jika pergi?.
7.
Berkembang, bertambah lambang berkembang terus
sesuai dengan kebutuhan manusia.
8.
Individual, maksudnya lambang-lambang itu digunakan
oleh seseorang, meskipun terjadi komunikasi.
9.
Menilai, maksudnya apa yang dikatakan semuanya
berisipenilaiaan seseorang tentang sesuatu.
10. Berakibat,
maksudnya lambang karea digunakan, menimbulkan akibat tertentu. Contoh: kalau
seseorang berkata “pencuri” oaring yang dikenai akan berfikir lalu menentukan
sikap yang kadang-kadang akan berakibat vatal bagi sipengucap itu.
11. Memperkenalkan,
maksudnya lambang tersebut menjadi pengenal adanya sesuatu. ciri pengenalan ini
berlaku pada label-label sesuatu yang ditawarkan.[3]
3.
Perbedaaan antara Tanda dan Lambang.
Tanda memperlihatkan
hubungan langsung dengan kenyataan, sedangkan lambang memperlihatkan hubungan
tidak langsung, dan juga tanda bersifat terbatas, lambat bertambah, sedangkan
lambang berkembang cepat sesuai dengan perkembangan pemikir penutur bahasa yang
bersangkutan. Lambang memanfaaatkan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
alat-alat bicara manusia yang kemudian jika ingin dinaatakan dalam bentuk
tertulis, maka lambang-lambang tadi mengunakan grafem-grafem tertentu, tanda
tidak seperti itu.
Dan juga tanda
meskipun bersifat konvensional tidak dapat diorganisasi, tidak dapat direkam,
dan tidak dapat dikomnikasikan seperti lambang. Ingin diingatkan didalam
semiotik, lambang juga adalah tanda. Itu sebabnya dikatakan, bahasa adalah
sistem tanda. Dengan kata lain lambang sebagai tanda berhubungan dengan bahasa.[4]
4. Penamaan
Istilah
penamaan, diartikan Kridalaksana (1993), sebagai proses pencarian lambang
bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya; biasanya
dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan
perubahan-perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau
kelompok kata. Nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk,
benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia. Anak-anak mendapat kata-kata dengan
cara belajar, dan menirukan bunyi-bunyi yang mereka dengar untuk pertama
kalinya. Nama-nama itu muncul akibat dari kehidupan manusia yang kompleks dan
beragam, alam sekitar manusia berjenis-jenis. Kadang-kadang manusia sulit
Memberikan
nama satu per satu. Oleh karena itu, muncul nama-nama kelompok, misalnya,
binatang, burung, ikan, dan sebaginya, dan tumbuh-tumbuh yang jumlahnya tidak
terhitung yang merupakan jenis binatang, jenis tumbuhan, jenis burung, dan
jenis-jenis yang lain yang terdapat di dunia (Djajasudarma, 1993). Penamaan
suatu benda di setiap daerah atau di lingkungan kebudayaan tertentu tidak
semuanya sama, misalnya: padi bahasa Indonesia
pare bahasa
Sunda
pale bahasa
Gorontalo.
Sehubungan
dengan permasalahan yang terjadi pada perbedaan penamaan pada setiap daerah
atau wilayah kebudayaan tertentu, beberapa filosof berpendapat sebenarnya
bagaimana hubungan antara nama dengan benda sampaibisa berbeda.[5]