BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaska dengan
filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam
pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah
satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang
mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang
paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa
mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer
dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu
filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya
memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan
meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang
semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Gadamer lebih menenkankan pandangan Hedegger
bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian
maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu
teks maka harus memiliki pra-pengertian tentang teks tersebut. Kalau tidak
makan sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks itu.
Namun dipihak lain dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi
pengertian yang sungguh-sungguh. Hal inilah yang oleh Gadamer diistilahkan dengan
‘lingkaran hermeneustis’. Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa lingkaran ini timbul jikalau kita membaca teks-teks. Lingkaran ini
sebenarnya telah terdapat taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai
eksistensi manusia sendiri. ‘Mengerti’ dunia hanya mungkin kalau ada
prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri, sehingga mewujudkan
eksistensi kita sendiri.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan
hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat
interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan
menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk
secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu
kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu.
Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif
sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang
subjektif, sebab pemahaman melibatkan juga interpreter.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut
tokoh Hans-George Gadamer?
2.
Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut
tokoh Jurgen Habermas?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pemikiran filsafat bahasa
menurut tokoh Hans-George Gadamer.
2.
Untuk mengetahui pemikiran filsafat bahasa
menurut tokoh Jurgen Habermas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Filsafat Bahasa Menurut Tokoh Hans-George Gadamer.
Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900 dan
mendapat pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Ia meraih gelar doktor
filsafat pada tahun 1929. Ia menjadi profesor di Merburg tahun 1937 dan sampai
akhir karirnya ia menjadai tenaga pengajar di Heidelberg. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh fenomenologi dan dari baerbagai macam karya-karyanya yang
terpenting adalah tentang metode hermeneutika yaitu ‘Wahrheir und Methode:
Grundzuge einer PhilosophischenHermenetik’ (1960) (kebenaran dan metode) :
sebuah Hermeneutika Filosofis menurut Garis Besarnya. Karena kayanya ini ia
menjadi filsuf yang terkenal di bidang hermeneutika (Bertens, 1981: 225).
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaskan dengan
filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam
pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah
satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang
mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang
paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa
mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer
dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu
filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya
memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan
meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang
semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Gadamer lebih menenkankan pandangan Hedegger
bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian
maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu
teks maka harus memiliki pra-pengertian tentang teks tersebut. Kalau tidak
makan sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks itu.
Namun dipihak lain dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi
pengertian yang sungguh-sungguh. Hal inilah yang oleh Gadamer diistilahkan
dengan ‘lingkaran hermeneustis’. Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa lingkaran ini timbul jikalau kita membaca teks-teks. Lingkaran
ini sebenarnya telah terdapat taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini
menandai eksistensi manusia sendiri. ‘Mengerti’ dunia hanya mungkin kalau ada
prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri, sehingga mewujudkan
eksistensi kita sendiri.[1]
Secara etimologis (lugowi), kata hermeneutika
adalah berasal dari bahasa Yunani hermeneuo atau hermeneuin yang
berarti mengartikan, menginterpretasikan, menerjemahkan, dan menafsirkan.
Dengan begitu, kata benda Hermeneia secara lateral (harfiah)
dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.
Dalam khazanah filsafat klasik, kata
“hermeneutika” ini juga telah digunakan. Misalnya, kita jumpai dalam “ Peri
Hermeneias” (De Interpretatione) dari Aristoteles. Dalam “ Peri
Hermeneias” ini Aristoteles mengatakan bahwa kata-kata yang kita ucapkan
pada dasarnya merupakan pengalaman mental kita. Sedangkan kata-kata yang kita
tulis merupakan simbol dari kata-kata yang kita ucapakan. Sebagai seseorang
tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula
ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi,
pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah
sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita
untuk menggambarkan sesuatu. [2]
B. Pemikiran Filsafat Bahasa Menurut tokoh Jurgen Habermas.
Jurgen Habermas lahir pada tanggal 18 juni
1929, di Dusseldorf, Jerman. Habermas adalah asisten Adorno antara tahun
1956-1959. Pada tahun 1964 ia menjabat sebagai profesor filsafat di Universitas
J. Von Goetha, Frankfurt. Antara tahun 1971 hingga 1981 ia menjabat sebagai
dierketur Institut Max Planck. Saat ini ia tetap sebagai profesor filsafat pada
Universitas J. Von Goetha, Frankfurt (lihat Dews 1986).
Habermas dikenal sebagai seorang filsuf dan sosiolog
yang berada di dalam tradisi Critical Theory dan pragmatisme Amerika.
Dia paling dikenal dengan sebuah konsep ruang publik yang didasarkan pada teori
dan praktik ‘aksi komunikatif’. Karya-karyanya, yang sering kali diberi label
Neo-Marxisme, terfokus pada dasar-dasar pembentukan teori sosial dan
epistemologi, analisis kapitalisme masyarakat industrial dan demokratis;
kepastian hukum di dalam konteks evolusi sosial budaya; dan politik
kontemporer, terutama yang terjadi di Jerman. Dia mengembangkan sistem teori
yang diabadikan untuk menunjukkan kemungkinan penalaran, emansipasi dan
komunikasi logis-kritis yang terdapat di dalam institusi liberal modern. [3]
Jurgen Habermas sebagai seorang filsuf
memiliki latar belakang pendidikan sastra, sejarah, filsafat, ekonomi dan
psikologi. Setelah beberapa waktu di Zurich ia meneruskan studi filsafat di
Bonn sampai dia meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1954, dalam disertasi
yang berjudul ‘Das Absolute und die Geschchte’ (Yang Absolut dan
Sejarah) suatu karya yang secara mendalam mendapat pengaruh filsafat Heidegger.
Pemikiran-pemikiran Habermas memang tidak
hanya dibidang filsafat terutama hermeneutika dan bahasa namun meliputi
beberapa bidang ilmu terutama ilmu sosial, kebudayaan dan politik.
Berdasarkan pemikirannya tentang hermeneutika
dan bahasa ia membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Habermas menekankan
bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab ada juga
fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat melakukan
interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak
dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat dalam hal-hal ‘yang
tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat terjabarkan’ bahkan di luar pikiran kita.
Semua hal tersebut senantiasa mengalir di dalam hidup kita.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan
hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat
interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan
menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk
secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu
kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Habermas
menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu
hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang subjektif,
sebab pemahaman melibatkan juga interpreter. [4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaska dengan
filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam
pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah
satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang
mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang
paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa
mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer
dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu
filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya
memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan
meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang
semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan
hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat
interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan
menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk
secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu
kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu.
Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif
sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang
subjektif, sebab pemahaman melibatkan juga interpreter.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa Masalah dan
Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma.
Ahmad Asep Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari
Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ibid, hlm, 219-221.
[1] Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), hlm, 206-207.
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016), hlm, 164-166.
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 228.
[4] Ibid, hlm, 219-221.