Saturday, 23 March 2019

1. Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Hans-George Gadamer? 2. Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Jurgen Habermas?


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaska dengan filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Gadamer lebih menenkankan pandangan Hedegger bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki pra-pengertian tentang teks tersebut. Kalau tidak makan sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks itu. Namun dipihak lain dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Hal inilah yang oleh Gadamer diistilahkan dengan ‘lingkaran hermeneustis’. Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lingkaran ini timbul jikalau kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sebenarnya telah terdapat taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi manusia sendiri. ‘Mengerti’ dunia hanya mungkin kalau ada prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri, sehingga mewujudkan eksistensi kita sendiri.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang subjektif, sebab pemahaman melibatkan juga interpreter.

B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Hans-George Gadamer?
2.        Bagaimana pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Jurgen Habermas?

C.  Tujuan
1.        Untuk mengetahui pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Hans-George Gadamer.
2.        Untuk mengetahui pemikiran filsafat bahasa menurut tokoh Jurgen Habermas.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pemikiran Filsafat Bahasa Menurut Tokoh Hans-George Gadamer.
Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapat pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Ia meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1929. Ia menjadi profesor di Merburg tahun 1937 dan sampai akhir karirnya ia menjadai tenaga pengajar di Heidelberg. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi dan dari baerbagai macam karya-karyanya yang terpenting adalah tentang metode hermeneutika yaitu ‘Wahrheir und Methode: Grundzuge einer PhilosophischenHermenetik’ (1960) (kebenaran dan metode) : sebuah Hermeneutika Filosofis menurut Garis Besarnya. Karena kayanya ini ia menjadi filsuf yang terkenal di bidang hermeneutika (Bertens, 1981: 225).
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaskan dengan filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Gadamer lebih menenkankan pandangan Hedegger bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian maka seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki pra-pengertian tentang teks tersebut. Kalau tidak makan sekali-kali tidak mungkin mampu mencapai pengertian tentang teks itu. Namun dipihak lain dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Hal inilah yang oleh Gadamer diistilahkan dengan ‘lingkaran hermeneustis’. Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lingkaran ini timbul jikalau kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sebenarnya telah terdapat taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi manusia sendiri. ‘Mengerti’ dunia hanya mungkin kalau ada prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri, sehingga mewujudkan eksistensi kita sendiri.[1]
Secara etimologis (lugowi), kata hermeneutika adalah berasal dari bahasa Yunani hermeneuo atau hermeneuin yang berarti mengartikan, menginterpretasikan, menerjemahkan, dan menafsirkan. Dengan begitu, kata benda Hermeneia secara lateral (harfiah) dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.
Dalam khazanah filsafat klasik, kata “hermeneutika” ini juga telah digunakan. Misalnya, kita jumpai dalam “ Peri Hermeneias” (De Interpretatione) dari Aristoteles. Dalam “ Peri Hermeneias” ini Aristoteles mengatakan bahwa kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya merupakan pengalaman mental kita. Sedangkan kata-kata yang kita tulis merupakan simbol dari kata-kata yang kita ucapakan. Sebagai seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu. [2]

B.     Pemikiran Filsafat Bahasa Menurut tokoh Jurgen Habermas.
Jurgen Habermas lahir pada tanggal 18 juni 1929, di Dusseldorf, Jerman. Habermas adalah asisten Adorno antara tahun 1956-1959. Pada tahun 1964 ia menjabat sebagai profesor filsafat di Universitas J. Von Goetha, Frankfurt. Antara tahun 1971 hingga 1981 ia menjabat sebagai dierketur Institut Max Planck. Saat ini ia tetap sebagai profesor filsafat pada Universitas J. Von Goetha, Frankfurt (lihat Dews 1986).
Habermas dikenal sebagai seorang filsuf dan sosiolog yang berada di dalam tradisi Critical Theory dan pragmatisme Amerika. Dia paling dikenal dengan sebuah konsep ruang publik yang didasarkan pada teori dan praktik ‘aksi komunikatif’. Karya-karyanya, yang sering kali diberi label Neo-Marxisme, terfokus pada dasar-dasar pembentukan teori sosial dan epistemologi, analisis kapitalisme masyarakat industrial dan demokratis; kepastian hukum di dalam konteks evolusi sosial budaya; dan politik kontemporer, terutama yang terjadi di Jerman. Dia mengembangkan sistem teori yang diabadikan untuk menunjukkan kemungkinan penalaran, emansipasi dan komunikasi logis-kritis yang terdapat di dalam institusi liberal modern. [3]
Jurgen Habermas sebagai seorang filsuf memiliki latar belakang pendidikan sastra, sejarah, filsafat, ekonomi dan psikologi. Setelah beberapa waktu di Zurich ia meneruskan studi filsafat di Bonn sampai dia meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1954, dalam disertasi yang berjudul ‘Das Absolute und die Geschchte’ (Yang Absolut dan Sejarah) suatu karya yang secara mendalam mendapat pengaruh filsafat Heidegger.
Pemikiran-pemikiran Habermas memang tidak hanya dibidang filsafat terutama hermeneutika dan bahasa namun meliputi beberapa bidang ilmu terutama ilmu sosial, kebudayaan dan politik.
Berdasarkan pemikirannya tentang hermeneutika dan bahasa ia membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Habermas menekankan bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat dalam hal-hal ‘yang tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat terjabarkan’ bahkan di luar pikiran kita. Semua hal tersebut senantiasa mengalir di dalam hidup kita.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang subjektif, sebab pemahaman melibatkan juga interpreter. [4]


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemikiran Gadamer tidak dapat dilepaska dengan filsafat Heidegger terutama dalam karyanya ‘Ada dan Waktu’. Dalam pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah satu sikap yang dipraktekan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Mengerti menurut Heidegger harus dipandang sebagai suatu sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau dengan lain perkataan bahwa mengerti adalah sebagai cara berada manusia sendiri. Hermeneutika Gadamer dikatakan tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis melainkan sebagai suatu filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah pemikiran Gadamer tidak hanya memusatkan pada salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika) melainkan meliputi banyak tugas lainnya yang mungkin ada dan pemikiran ini memandang semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.
Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia nenyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Habermas menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi bagian yang subjektif, sebab pemahaman melibatkan juga interpreter.




DAFTAR PUSTAKA

Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma.
Ahmad Asep Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ibid, hlm, 219-221.



[1] Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm, 206-207.
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm, 164-166.
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 228.
[4] Ibid, hlm, 219-221.