BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu
teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim
dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu
tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar
yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi
(kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara
Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori
atomisme dari Russell.
Kalau pada periode pertama Wittgenstein
mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat
tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat
timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui
logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis
tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa
filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang
lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa.
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya
dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global.
Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi
semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System
of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar
filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya
Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika.
Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme
historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan
pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history).
Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat
perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan
materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda
sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen
memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang
bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan
adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian
juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide.
Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan
pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Wittgenstein?
2.
Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel?
3.
Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Karl Marx?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Wittgenstein.
2.
Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel.
3.
Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan
pemikirannya menurut Karl Marx.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Wittgenstein
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu
teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim
dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu
tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar
yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi
(kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara
Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori
atomisme dari Russell.
Baik Russell maupun Wittgenstein I pemikiran
kefilsafatannya berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgenstein, salah satu
sumber utama kekacauan dalam bahasa filsafat, seperti yang terjadi dalam neohegelianisme,
adalah karena tidak adanya tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu
ungkapan bermakna atau tidak bermakna. Oleh karena itu, agar terhindar dari
persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka bahasa ideal
bagi filsafat. munculnya pemikiran seperti ini, adalah penggunaan bahasa
sehari-hari bagi filsafat.
Sebagai konsekuensi dari pemikirannya itu,
Wittgenstein mencoba menjawab dengan cara menyusun sebuah teori yang dikenal
dengan teori “gambar” (picture theory). Teori ini merupakan isi Tractatus
Logico Philosophicus (Logish Philosophische Abhadlung), yang paling penting
dan telah banyak mempengaruhi para filosof Lingkaran Wina dan Inggris.
Inti pandangan dari teori gambar adalah bahwa “makna
= gambar”, meaning is picture. Teori ini memandang bahwa terdapat relasi
yang erat dan mutlak antara bahasa (dunia simbolik) dengan dunia fakta di luar
bahasa. [1]
Kalau pada periode pertama Wittgenstein
mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat
tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat
timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui
logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis
tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa
filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang
lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa.
Namun demikian melalui konsep “tata permainan
bahasa” ia berupaya menunjukkan berbagaimacam kelemahan bahasa dalam filsafat.
Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena
filsafat terdapat kekacauan dalam penerapan “tata permainan filsafat bahasa”.
Bahasa sehari-sehari pada hakikatnya telah cukup untuk maksud-maksud filsafat.
namun dalam kenyataanya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai
dengan aturan (game) yang ada. Dua hal yang dikemukakan Wittgenstein
berkaitan dengan bahasa filsafat tersebut yaitu:
1.
Kekacauan bahasa filsafat timbul karena
penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan
aturan permainan bahasa.
2.
Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian
yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan
mencerminkan sifat keumumannya. Kelemahan filsafat yang demikian ini oleh
Wittgenstein disebut dengan istilah “Craving for Generality”, yaitu
suatu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan
kongkrit (entities) yang diletakkan di bawah istilah yang bersifat umum
(Wittgenstein, 1972 dalam Mustansyir, 1987: 89). Atau dengan lain perkataan,
kita mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan
ketunggalan dalam kemajemukan (craving for unity) (Pitcher, 1964: 198).
3.
Penyamaran atau penegrtian terselubung melalui
pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya “keberadaan”, “ketiadaan”,
dan lain sebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein menganjurkan agar kita
menghindari atau melewati penyamaran dari sesuatu yang tidak terfahami itu
dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya nirarti belaka (P. I., prg, 464).
Demikianlah pemikiran filsafat Wittgenstein
periode yang kedua yang bertolak belakang dengan pemikirannya yang pertama .
Akhirnya konsep Wittgenstein itu adalah
merupakan karya besar yang mampu mengubah wajah filsafat di Eropa terutama di
Inggris walaupun memiliki kelemahan yang mendasar. [2]
B. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Georg W. F. Hegel.
Nama lengkap Hegel adalah Georg Wilhelm
Friedrich Hegel. Ia lahir di Jerman pada 27 Agustus 1770 meninggal pada 14
November 1831 M. Di masa kecilnya, ia sering membaca literatur, surat kabar,
esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa
kanak-kanaknya yang rajin membaca mungkin disebabkan oleh ibunya yang luar
biasa progresif dan aktif mengasuh perkembangan intelektual anakanaknya.
Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas
terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya
seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx.
Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard,
Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai
orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat,
dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia
perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan
pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri
(dialektika).
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya
dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global.
Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi
semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System
of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar
filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya
Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika. [3]
C. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Karl Marx.
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun
1818, dari kalangan keluarga ruhaniwan Yahudi. Ayahnya, Henrich Marx, adalah
seorang pengacara ternama dan termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara
ibunya adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa Yahudi. Tahun
1935, saat berusia 17 tahun, Marx menamatkan sekolah menengah (Gymnasium) di
Traves. Kemudian, atas kemauan ayahnya yang tidak bisa ditolaknya, ia masuk
Fakultas Hukum Universitas Bonn selama satu tahun. Kemudian ia mempelajari
filsafat dan sejarah kefilsafatan lazim dikenal dengan sebutan periode Marx
Muda.
Pada tahun 1841 ia mengakhiri studinya di
Universitas Berlin dengan disertai berjudul One the Differences between the
Natural Philosophy of Democritus and Epicurus. Karena keradikalannya ia
terpaksa mengurungkan niat untuk menjadi pengajar universitas dan menerjunkan
diri ke kancah politik. Marx lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah
ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis revolusioner yang mengembangkan teori
mengenai sosialisme yang kemudian dikenal dengan nama Marxime daripada sebagai
seorang perintis sosiologi. Levebvre mengemukakan, meskipun Marx bukan ahli
sosiologi namun tulisannya mengandung sosiologi (Levebvre, 1969: 22). Menurut
Kornblum (1988), Marx tidak menganggap dirinya sebagai ahli sosiologi melainkan
sebagai ahli filsafat, ekonomi, ekonomi politik, dan sejarah.
Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini
diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting.
1.
Materialisme historis dan materialisme
dialektis.
Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme
historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan
pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history).
Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat
perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan
materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda
sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen
memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang
bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan
adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian
juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide.
Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan
pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia.
2.
Teori kelas
Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam
kapitalisme menumbuhkan dua belas yang berbeda: kelas yang terdiri atas orang
yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum borjuis, yang mengeksploitasi
kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kaum
proletar.
3.
Teori nilai
Teori ini terdiri dari empat subteori, yaitu 1) teori
tentang nilai pekerjaan, 2) teori tentang nilai tenaga kerja, 3) teori tentang
nilai lebih, dan 4) teori tentang laba. [4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu
teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim
dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu
tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar
yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi
(kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara
Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori
atomisme dari Russell.
Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas
terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya
seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx.
Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard,
Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai
orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat,
dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia
perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan
pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri
(dialektika).
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya
dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global.
Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi
semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System
of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar
filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya
Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika.
Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini
diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting, Yaitu materialisme historis
dan materialisme dialektis, Teori kelas, dan teori nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Asep Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa Masalah dan
Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma,
Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari
Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ibid, hlm, 153-157.
[1] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2016), hlm, 54-56.
[2] Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), hlm, 151-154.
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 137-139.
[4] Ibid, hlm, 153-157.