Saturday, 23 March 2019

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell. Kalau pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa. Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika. Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history). Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Wittgenstein? 2. Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel? 3. Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Karl Marx? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Wittgenstein. 2. Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel. 3. Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Karl Marx. BAB II PEMBAHASAN A. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Wittgenstein Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell. Baik Russell maupun Wittgenstein I pemikiran kefilsafatannya berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgenstein, salah satu sumber utama kekacauan dalam bahasa filsafat, seperti yang terjadi dalam neohegelianisme, adalah karena tidak adanya tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak bermakna. Oleh karena itu, agar terhindar dari persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka bahasa ideal bagi filsafat. munculnya pemikiran seperti ini, adalah penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat. Sebagai konsekuensi dari pemikirannya itu, Wittgenstein mencoba menjawab dengan cara menyusun sebuah teori yang dikenal dengan teori “gambar” (picture theory). Teori ini merupakan isi Tractatus Logico Philosophicus (Logish Philosophische Abhadlung), yang paling penting dan telah banyak mempengaruhi para filosof Lingkaran Wina dan Inggris. Inti pandangan dari teori gambar adalah bahwa “makna = gambar”, meaning is picture. Teori ini memandang bahwa terdapat relasi yang erat dan mutlak antara bahasa (dunia simbolik) dengan dunia fakta di luar bahasa. Kalau pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa. Namun demikian melalui konsep “tata permainan bahasa” ia berupaya menunjukkan berbagaimacam kelemahan bahasa dalam filsafat. Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena filsafat terdapat kekacauan dalam penerapan “tata permainan filsafat bahasa”. Bahasa sehari-sehari pada hakikatnya telah cukup untuk maksud-maksud filsafat. namun dalam kenyataanya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan aturan (game) yang ada. Dua hal yang dikemukakan Wittgenstein berkaitan dengan bahasa filsafat tersebut yaitu: 1. Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa. 2. Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Kelemahan filsafat yang demikian ini oleh Wittgenstein disebut dengan istilah “Craving for Generality”, yaitu suatu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan kongkrit (entities) yang diletakkan di bawah istilah yang bersifat umum (Wittgenstein, 1972 dalam Mustansyir, 1987: 89). Atau dengan lain perkataan, kita mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan ketunggalan dalam kemajemukan (craving for unity) (Pitcher, 1964: 198). 3. Penyamaran atau penegrtian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya “keberadaan”, “ketiadaan”, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein menganjurkan agar kita menghindari atau melewati penyamaran dari sesuatu yang tidak terfahami itu dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya nirarti belaka (P. I., prg, 464). Demikianlah pemikiran filsafat Wittgenstein periode yang kedua yang bertolak belakang dengan pemikirannya yang pertama . Akhirnya konsep Wittgenstein itu adalah merupakan karya besar yang mampu mengubah wajah filsafat di Eropa terutama di Inggris walaupun memiliki kelemahan yang mendasar. B. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Georg W. F. Hegel. Nama lengkap Hegel adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Ia lahir di Jerman pada 27 Agustus 1770 meninggal pada 14 November 1831 M. Di masa kecilnya, ia sering membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca mungkin disebabkan oleh ibunya yang luar biasa progresif dan aktif mengasuh perkembangan intelektual anakanaknya. Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx. Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat, dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri (dialektika). Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika. C. Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Karl Marx. Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818, dari kalangan keluarga ruhaniwan Yahudi. Ayahnya, Henrich Marx, adalah seorang pengacara ternama dan termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara ibunya adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa Yahudi. Tahun 1935, saat berusia 17 tahun, Marx menamatkan sekolah menengah (Gymnasium) di Traves. Kemudian, atas kemauan ayahnya yang tidak bisa ditolaknya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Bonn selama satu tahun. Kemudian ia mempelajari filsafat dan sejarah kefilsafatan lazim dikenal dengan sebutan periode Marx Muda. Pada tahun 1841 ia mengakhiri studinya di Universitas Berlin dengan disertai berjudul One the Differences between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus. Karena keradikalannya ia terpaksa mengurungkan niat untuk menjadi pengajar universitas dan menerjunkan diri ke kancah politik. Marx lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis revolusioner yang mengembangkan teori mengenai sosialisme yang kemudian dikenal dengan nama Marxime daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Levebvre mengemukakan, meskipun Marx bukan ahli sosiologi namun tulisannya mengandung sosiologi (Levebvre, 1969: 22). Menurut Kornblum (1988), Marx tidak menganggap dirinya sebagai ahli sosiologi melainkan sebagai ahli filsafat, ekonomi, ekonomi politik, dan sejarah. Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting. 1. Materialisme historis dan materialisme dialektis. Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history). Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia. 2. Teori kelas Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua belas yang berbeda: kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum borjuis, yang mengeksploitasi kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kaum proletar. 3. Teori nilai Teori ini terdiri dari empat subteori, yaitu 1) teori tentang nilai pekerjaan, 2) teori tentang nilai tenaga kerja, 3) teori tentang nilai lebih, dan 4) teori tentang laba. BAB III PENUTUP Kesimpulan Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell. Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx. Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat, dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri (dialektika). Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika. Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting, Yaitu materialisme historis dan materialisme dialektis, Teori kelas, dan teori nilai. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Asep Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya. Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Ibid, hlm, 153-157.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell.
Kalau pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa.
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika.
Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history). Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia.

B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Wittgenstein?
2.        Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel?
3.        Bagaimana tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Karl Marx?

C.    Tujuan
1.        Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Wittgenstein.
2.        Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Georg W. F. Hegel.
3.        Untuk mengetahui tokoh filsafat bahasa dan pemikirannya menurut Karl Marx.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Wittgenstein
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell.
Baik Russell maupun Wittgenstein I pemikiran kefilsafatannya berpijak pada bahasa logika. Menurut Wittgenstein, salah satu sumber utama kekacauan dalam bahasa filsafat, seperti yang terjadi dalam neohegelianisme, adalah karena tidak adanya tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak bermakna. Oleh karena itu, agar terhindar dari persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka bahasa ideal bagi filsafat. munculnya pemikiran seperti ini, adalah penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat.
Sebagai konsekuensi dari pemikirannya itu, Wittgenstein mencoba menjawab dengan cara menyusun sebuah teori yang dikenal dengan teori “gambar” (picture theory). Teori ini merupakan isi Tractatus Logico Philosophicus (Logish Philosophische Abhadlung), yang paling penting dan telah banyak mempengaruhi para filosof Lingkaran Wina dan Inggris.
Inti pandangan dari teori gambar adalah bahwa “makna = gambar”, meaning is picture. Teori ini memandang bahwa terdapat relasi yang erat dan mutlak antara bahasa (dunia simbolik) dengan dunia fakta di luar bahasa. [1]
Kalau pada periode pertama Wittgenstein mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan filsafat timbul karena para filsuf yang kurang tepat dalam mengungkapkan relitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu relitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa.
Namun demikian melalui konsep “tata permainan bahasa” ia berupaya menunjukkan berbagaimacam kelemahan bahasa dalam filsafat. Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena filsafat terdapat kekacauan dalam penerapan “tata permainan filsafat bahasa”. Bahasa sehari-sehari pada hakikatnya telah cukup untuk maksud-maksud filsafat. namun dalam kenyataanya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan aturan (game) yang ada. Dua hal yang dikemukakan Wittgenstein berkaitan dengan bahasa filsafat tersebut yaitu:
1.        Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2.        Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Kelemahan filsafat yang demikian ini oleh Wittgenstein disebut dengan istilah “Craving for Generality”, yaitu suatu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan kongkrit (entities) yang diletakkan di bawah istilah yang bersifat umum (Wittgenstein, 1972 dalam Mustansyir, 1987: 89). Atau dengan lain perkataan, kita mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan ketunggalan dalam kemajemukan (craving for unity) (Pitcher, 1964: 198).
3.        Penyamaran atau penegrtian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya “keberadaan”, “ketiadaan”, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein menganjurkan agar kita menghindari atau melewati penyamaran dari sesuatu yang tidak terfahami itu dengan menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya nirarti belaka (P. I., prg, 464).
Demikianlah pemikiran filsafat Wittgenstein periode yang kedua yang bertolak belakang dengan pemikirannya yang pertama .
Akhirnya konsep Wittgenstein itu adalah merupakan karya besar yang mampu mengubah wajah filsafat di Eropa terutama di Inggris walaupun memiliki kelemahan yang mendasar. [2]

B.     Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Georg W. F. Hegel.
Nama lengkap Hegel adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Ia lahir di Jerman pada 27 Agustus 1770 meninggal pada 14 November 1831 M. Di masa kecilnya, ia sering membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca mungkin disebabkan oleh ibunya yang luar biasa progresif dan aktif mengasuh perkembangan intelektual anakanaknya.
Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx. Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat, dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri (dialektika).
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika. [3]

C.    Tokoh Filsafat Bahasa dan Pemikirannya Menurut Karl Marx.
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818, dari kalangan keluarga ruhaniwan Yahudi. Ayahnya, Henrich Marx, adalah seorang pengacara ternama dan termasuk golongan menengah di kota itu. Sementara ibunya adalah putri seorang pendeta Belanda yang juga berbangsa Yahudi. Tahun 1935, saat berusia 17 tahun, Marx menamatkan sekolah menengah (Gymnasium) di Traves. Kemudian, atas kemauan ayahnya yang tidak bisa ditolaknya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Bonn selama satu tahun. Kemudian ia mempelajari filsafat dan sejarah kefilsafatan lazim dikenal dengan sebutan periode Marx Muda.
Pada tahun 1841 ia mengakhiri studinya di Universitas Berlin dengan disertai berjudul One the Differences between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus. Karena keradikalannya ia terpaksa mengurungkan niat untuk menjadi pengajar universitas dan menerjunkan diri ke kancah politik. Marx lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis revolusioner yang mengembangkan teori mengenai sosialisme yang kemudian dikenal dengan nama Marxime daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Levebvre mengemukakan, meskipun Marx bukan ahli sosiologi namun tulisannya mengandung sosiologi (Levebvre, 1969: 22). Menurut Kornblum (1988), Marx tidak menganggap dirinya sebagai ahli sosiologi melainkan sebagai ahli filsafat, ekonomi, ekonomi politik, dan sejarah.
Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting.
1.        Materialisme historis dan materialisme dialektis.
Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme historis dan materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan pandangan ekonomi terhadap sejarah (economic interpretation of history). Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan bebagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud oleh Marx adalah mengacu pada penegrtian benda sebagai kenyataan yang pokok (fundamental reality). Marx tetap konsekuen memakai kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan filsafat idealisme. Dalam filsafat materialisme disebutkan adanya anggapan dasar bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusi; demikian juga diakui adanya kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sebalinya, filsafat idealisme menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia.
2.        Teori kelas
Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua belas yang berbeda: kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum borjuis, yang mengeksploitasi kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kaum proletar.
3.        Teori nilai
Teori ini terdiri dari empat subteori, yaitu 1) teori tentang nilai pekerjaan, 2) teori tentang nilai tenaga kerja, 3) teori tentang nilai lebih, dan 4) teori tentang laba. [4]











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Meaning is picture, makna adalah gambar, merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik. Teori ini secara lazim dinisbatkan kepada pemikiran kefilsafatan Wittgenstein periode pertama, yaitu tercantum dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) dari Russell. Disinilah salah satu kesamaan pemikiran antara Russell dan Wittgenstein. Memang dalam periode ini Wittgenstein mengikuti teori atomisme dari Russell.
Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap para penulisan dari berbagai kalangan, termasuk para pengagumnya seperrti F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx. Tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya, di antaranya Kingkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidgger, Schelling. Hegel dapat dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan mengenai sejarah dalm filsafat, dan hal yang konkret penting adalah untuk bisa keluar dari lingkaran philosophia perennis, yakni masalah-masalah abadi dalam filsafat. Ia juga menekankan pentingnya Yang Lain (others) dalam proses pencapaian kesadaran diri (dialektika).
Karya pertama Hegel tersebut sebetulnya dimaksudkan sebagai pengantar bagi ilmu filsafat yang lebih global. Selanjutnya, Hegel mengantarkan kepada pencinta kebenaran dengan memberi semacam beimbingan ke arah filsafat melalui karya selanjutnya yang ia sebut System of Logic, suatu sistem hubungan-hubungan dan deduksi-deduksi dasar filosofis seperti “ad, menjadi, dan tiada.” Dalam banyak hal System of Logic-nya Hegel mendukung makna akal sehat terhadap pengetahuan sebagai dialektika.
Pemikiran Marx sangat kompleks. Berikut ini diuraikan bebrapa pemikirannya yang sangat penting, Yaitu materialisme historis dan materialisme dialektis, Teori kelas, dan teori nilai.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Asep Hidayat, 2016, Filsafat Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma,
Maksum Ali, 2015, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ibid, hlm, 153-157.



[1] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), hlm, 54-56.
[2] Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm, 151-154.
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 137-139.
[4] Ibid, hlm, 153-157.