HUBUNGAN BERBAHASA, BERFIKIR, DAN BERBUDAYA
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Psikolinguistik
Yang diampu oleh Bapak
Moh, Khalid Hasan, M.Pd.
Oleh :
Moh. Hidayat Fahkhri (20170701071067)
Luluk Fajariyah (20170701072049)
Nurus Solehah (20170701072083)
Siti Aisatun (20170701072100)
JURUSAN TADRIS BAHASA
INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami
haturkan kehadirat Allah SWT. Yang melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada
saya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hubungan
Berbahasa, Berfikir, dan Berbudaya”.
Shalawat beserta salam semoga tetap
tercurah limpahkan keharibaan junjungan kita nabi Muhammad SAW. sebaik-baiknya
insan dan pemimpin bagi umat manusia karena berkat beliaulah kami masih dapat
merasakan nikmatnya Islam dan indahnya ilmu pengetahuan seperti yang kita
senyam saat ini.
Tak ada gading yang tak retak, bukan
tidak mungkin kami selaku penulis makalah ini kiranya ada kesalahan dan
kekeliruan yang itu semua tidak lain adalah karena keterbatasan kami sendiri,
baik dari materi maupun teknik penulisannya. Mengingat kekurangan pengetahuan
dan pengalaman kami. Oleh karena itu, segala macam kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan.
Pamekasan, 21 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................
1
B.
Rumusan Masalah....................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan......................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Psikolinguistik................................................
2
B.
Hubungan
Berbahasa dan Berpikir ................................. 2
C.
Hubungan Berbahasa dan Kebudayaan ......................... 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................... 9
B.
Saran ....................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa
adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap sehingga bahasa bisa dijadikan
simbol dari sebuah kebudayaan suatu suku bangsa
berdasarkan adanya dialek atau logat bahasa yang beraneka ragam
variasinya. Setiap dialek dalam suatu masyarakat merupakan ciri khas yang
membedakan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan dialek
tersebut disebabkan adanya perbedaan daerah geografis dan pelapisan lingkungan
social antar masyarakat. Adanya perbedaan bahasa dan dialek antar masyarakat
tersebut memerlukan factor pemersatu berupa bahasa nasional. Dalam konteks yang
lebih luas, bahasa Indonesia yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu berperan
sebagai pemersatu atau pengikat rasa identitas bangsa Indonesia. Dengan
demikian, bahasa mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan dan kebudayaan
manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian psikolinguistik ?
2. Bagaimana
hubungan berbahasa dan berpikir ?
3. Bagaimana
hubungan berbahasa dan kebudayaan ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
menjelaskan pengertian psikolinguistik.
2. Untuk
menjelaskan hubungan berbahasa dan berpikir.
3. Untuk
menjelaskan hubungan berbahasa dan kebudayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikolinguistik
Secara etimologi, psikolinguistik terbentuk dari kata psikoligi
dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang
masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan.[1] Namun, keduanya sama-sama
meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materanya yang berbeda,
linguistic mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perlilaku
berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga
berbeda.
Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga
bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang
sama, tetapi denganteori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun
banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic
psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language.
Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih
sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang
disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan
linguistic. Istilah psikoliguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954,
yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A Survey of Theory and
Research Problems yang disunting oleh CharlesE. Osgood dan Thomas A.
Sebeok, di Bloomington, Amerika serikat.[2]
B.
Hubungan Berbahasa dan Berfikir
Berbahasa dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic
dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat
enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan dnegan penyusunan dekode fonologi, dekode
gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam
otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan
dari orang yang berbicara mengenani masalah yang dihadapi dalam kehidupan
budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal
atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Hanya masalahnya,
di dalam kajian psikolinguistik ada dua hipotesis yang kontroversial yang
tercermin dalam pertanyaan : mana yang lebih dahulu ada bahasa atau pikiran;
pikirankah, bahasakah, atau keduanya hadir bersamaan. Disini tidak akan dijawab
masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar.
1.
Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjan Jerman abad ke-19, menekankan adanya
ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan
budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahsa masyarakat itu sendiri.
Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis
yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari
dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan
juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.
Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa
substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa
bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk.
Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh indeenform
atau innereform. Jadi, bahasa menurut on Humboldt merupakan sintese dari
bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar,
sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang
kita dengar, sedangkan bentu-dalam bahasa berada dalam otak. Kedua bentuk
inilah yang “membelenggu” manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata
lain, Von Humboldt berpendapat bhwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan
dalam (otak, pikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan dunia seluruhnya
sebagaimana bahasa menyuguhkannya atau memberikannya.[3]
2.
Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis amerika memiliki pendapat yang
hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia
ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam
kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian “didirikan” diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itu, tidak ada dua buah bahasa yang sma sehingga dapat dianggap
mewakili suatu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia
tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia
did unia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini.
Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita
alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat)
bahasa kita telah menggariskannya terlenih dahulu.
Berjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan
klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi
yang berbed-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sma yang
didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua
bahasa itu merupakan cara-car pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat
diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan
bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa
membahayakan dirinya sendiri.
Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan
hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide itu, merupakan program kegiatan
mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata
bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simajuntak, 1987).
Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia,
Whorf menunujukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa
Inggris mempunyai pola yang sama dengan see that house. Dalam see
that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kali see
that wave menurut Whorf belum ada seorangpun yang melihat satu ombak. Yang
terlihat sembenarnya adalah permukaan air yang terus-menerus berubah dengan
gerak nai-turun, dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, disini kita
seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada
kita. Ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi
hidup seperti ini ; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah
dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan.[4]
3.
Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir da Whorf, Piaget, sarjana Perancis.
Untuk menentukan apakah bahasa terkait dengan pikiran, Piaget berpendapat bahwa
ada dua macam modus pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau
pikiran intelegen (intelegent) dan pikiran tak terarah atau autistik (autistic).[5] Piaget mengembangkan
teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seorang
kanak-kanak dapat menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan cara-cara
berlainan sebelumnya kanak-kanak itu dapat menggolong-golongkan benda-benda
tersebut dengan menggunakan kata-kata serupa dengan benda-benda tersebut, maka
perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat
berbahasa.
Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang kanak-kanak mempelajari
segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilaku dan
kemudian baru melalui bahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran)
Piaget mengemukakan dua hal penting berikut :
a.
Sumber
kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik,
yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu
gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan
hubungan-hubungan benda-bnda (sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan
bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian kembali.
b.
Pembentukan
pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Fungsi lambang ini mempunyai beberapa
aspek.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran)
sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam
kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu diingat
adalah bahwa dalam jangka waktu sensomotor ini kekekalan benda merupakan
pemerolehan umum.[6]
4.
Teori Noam Chomsky
Noam Chomsky adalah seorang linguis Amerika Serikat, dan salah
seorang murid Harris Zellig, yang juga tokoh aliran struktural.[7] Mengenai hubungan bahasa
dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis
nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara
langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat
menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa
pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses
mental (pemikiran) manusia.
Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam adalah
nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang
kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir
dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat
universal.
Sebelum ini ada pandangan dari Von Humboldt yang tampak tidak
konsisten. Pada suatu pihak Von Humboldt mnyatakan keragaman bahasa-bahasa di
dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung);
tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa
manusia adalah sistem-universal yang menggambarkan keunikan intelek
manusia.
Pandanagan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas
oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa
yang ada di dunia adalah sama (karena didasari oleh satu sistem yang universal)
hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur dalam (deep
structure). Pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure)
bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa
adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dan karena itu,
tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran) pada umumnya, termasuk
kecerdasan. Hal ini sangat berbeda dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dianggap
bahwa struktur-struktur yang mendasari bahasa-bahasa di dunia adalah
berbeda-beda. Oleh karena itu, pandangan hidup atau cara berfikir para penutur
bahasa-bahasa itu, yang tercermin dalam struktur-struktur itu adalah
berbeda-beda pula.[8]
C.
Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koetjaningrat, bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Para
ilmuwan lain mempunyai pendapat yang berbeda tentang hubungan bahasa dan
pelestarian budaya. Namun, secara garis besar ada dua pandangan tentang hubungan
bahasa dan kebudayaan ini, yaitu:
1.
Hubungan
Subordinatif
Menurut pendapat ini, bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Para
ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan suatu bangsa tidaklah mungkin
dapat dikaji tanpa mengkaji terlebih dahulu bahasa bangsa itu sendiri, karena
bahasa suatu bangsa adalah bagian dari kebudayaan bangsa itu. Demikian juga para ahli
linguistik banyak berpendapat bahwa pengkajian bahasa suatu penduduk asli tidak
mungkin dipisahkan dari kebudayaan penduduk itu, karena semantik yang merupakan
salah satu dimensi dalam kajian linguistik suatu bahasa mencakup juga kebudayaan
dari penutur bahasa itu.
2.
Hubungan
koordinatif
Mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan yang bersifat
koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:
Pertama, menurut Silzer hubungan berbahasa dan berbudaya itu seperti kembar
siam, dua buah fenomena yang terkait sangat erat atau seperti dua sisi mata
uang, sisi satu adalah sistem berbahasa dan sisi lainnya adalah sistem
berbudaya.
Kedua, adanya
hipotesis yang sangat kontroversial, hipotesa dua pakar linguistic, yaitu
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, dan lazim disebut Relativitas Bahasa.
Di dalam hipotesa itu dikemukakan bahwa berbahasa bukan hanya menentukan corak
berbudaya, tetapi juga menentukan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi,
perbedaan-perbedaan budaya dan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan
berbahasa, dengan kata lain tanpa berbahasa manusia tidak akan berpikiran sam
sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia maka
cirri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin dalam sikap dan berbudaya
penuturnya.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, psikolinguistik terbentuk dari kata psikoligi
dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang
masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan.
Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya.
Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic
psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language.
Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih
sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang
disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan
linguistic. Istilah psikoliguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954,
yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A Survey of Theory and
Research Problems yang disunting oleh CharlesE. Osgood dan Thomas A.
Sebeok, di Bloomington, Amerika serikat.
Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang
berbicara mengenani masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita
lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan
yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia..
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih
banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami
sengaja maupun yang tidak sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sarip Hidayat, Nandang. Hubungan
Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya,.Sosial Budaya
Media Komonikai Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya, Desember, 2014.
Chaer, Abdul. Psikolingusitik Kajian
Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
el-Ushaili, Abdul Aziz bin Ibrahim . Psikolinguistik
Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung: Humaniora, 2009.
Dardjowodjojo, Soenjono. Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya, 2003.
[5] Soenjono Dardjowodjojo, Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Unika Atma Jaya, 2003), hlm. 283.
[7] Abdul Aziz bin Ibrahim el-Ushaiili, Psikolinguistik
Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: Humaniora, 2009), hlm. 67.
[9] Nandang Sarip Hidayat, “ Hubungan Berbahasa, Berpikir,
dan Berbudaya” Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya,
2 (Desember 2014),hlm 199-200