Saturday, 23 March 2019

HUBUNGAN BERBAHASA, BERFIKIR, DAN BERBUDAYA MAKALAH


HUBUNGAN BERBAHASA, BERFIKIR, DAN BERBUDAYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikolinguistik
Yang diampu oleh Bapak Moh, Khalid Hasan, M.Pd.

Oleh :
Moh. Hidayat Fahkhri                  (20170701071067)
Luluk Fajariyah                            (20170701072049)
Nurus Solehah                              (20170701072083)
Siti Aisatun                                  (20170701072100)

Description: C:\Users\ES1-432\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\IMG-20180503-WA0108.jpg

JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
 2019


KATA PENGANTAR
            Puji syukur alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT. Yang melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hubungan Berbahasa, Berfikir, dan Berbudaya”.
            Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan keharibaan junjungan kita nabi Muhammad SAW. sebaik-baiknya insan dan pemimpin bagi umat manusia karena berkat beliaulah kami masih dapat merasakan nikmatnya Islam dan indahnya ilmu pengetahuan seperti yang kita senyam saat ini.
            Tak ada gading yang tak retak, bukan tidak mungkin kami selaku penulis makalah ini kiranya ada kesalahan dan kekeliruan yang itu semua tidak lain adalah karena keterbatasan kami sendiri, baik dari materi maupun teknik penulisannya. Mengingat kekurangan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu, segala macam kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.


                                                                                    Pamekasan, 21 Maret 2019

                                                                                    Penulis






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Psikolinguistik................................................  2
B.     Hubungan Berbahasa dan Berpikir .................................   2
C.     Hubungan Berbahasa dan Kebudayaan  .........................   7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan    ..........................................................................  9
B. Saran .......................................................................................  9
DAFTAR PUSTAKA  ................................................................................  10











BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap sehingga bahasa bisa dijadikan simbol dari sebuah kebudayaan suatu suku bangsa  berdasarkan adanya dialek atau logat bahasa yang beraneka ragam variasinya. Setiap dialek dalam suatu masyarakat merupakan ciri khas yang membedakan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Perbedaan dialek tersebut disebabkan adanya perbedaan daerah geografis dan pelapisan lingkungan social antar masyarakat. Adanya perbedaan bahasa dan dialek antar masyarakat tersebut memerlukan factor pemersatu berupa bahasa nasional. Dalam konteks yang lebih luas, bahasa Indonesia yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu berperan sebagai pemersatu atau pengikat rasa identitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, bahasa mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan dan kebudayaan manusia.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian psikolinguistik ?
2.      Bagaimana hubungan berbahasa dan berpikir ?
3.      Bagaimana hubungan berbahasa dan kebudayaan ?
C.  Tujuan Masalah
1.      Untuk menjelaskan pengertian psikolinguistik.
2.      Untuk menjelaskan hubungan berbahasa dan berpikir.
3.      Untuk menjelaskan hubungan berbahasa dan kebudayaan.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Psikolinguistik
Secara etimologi, psikolinguistik terbentuk dari kata psikoligi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan.[1] Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materanya yang berbeda, linguistic mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perlilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi denganteori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistic. Istilah psikoliguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh CharlesE. Osgood dan Thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika serikat.[2]
B.  Hubungan Berbahasa dan Berfikir
Berbahasa dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan dnegan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenani masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Hanya masalahnya, di dalam kajian psikolinguistik ada dua hipotesis yang kontroversial yang tercermin dalam pertanyaan : mana yang lebih dahulu ada bahasa atau pikiran; pikirankah, bahasakah, atau keduanya hadir bersamaan. Disini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar.
1.    Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjan Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahsa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.
Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh indeenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut on Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentu-dalam bahasa berada dalam otak. Kedua bentuk inilah yang “membelenggu” manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bhwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam (otak, pikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan dunia seluruhnya sebagaimana bahasa menyuguhkannya atau memberikannya.[3]
2.    Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itu, tidak ada dua buah bahasa yang sma sehingga dapat dianggap mewakili suatu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia did unia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlenih dahulu.
Berjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbed-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sma yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-car pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri.
Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simajuntak, 1987).
Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunujukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kali see that wave menurut Whorf belum ada seorangpun yang melihat satu ombak. Yang terlihat sembenarnya adalah permukaan air yang terus-menerus berubah dengan gerak nai-turun, dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, disini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. Ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini ; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan.[4]
3.    Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir da Whorf, Piaget, sarjana Perancis. Untuk menentukan apakah bahasa terkait dengan pikiran, Piaget berpendapat bahwa ada dua macam modus pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau pikiran intelegen (intelegent) dan pikiran tak terarah atau autistik (autistic).[5] Piaget mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seorang kanak-kanak dapat menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan cara-cara berlainan sebelumnya kanak-kanak itu dapat menggolong-golongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang kanak-kanak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilaku dan kemudian baru melalui bahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut :
a.    Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-bnda (sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian kembali.
b.    Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Fungsi lambang ini mempunyai beberapa aspek.
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensomotor ini kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.[6]
4.    Teori Noam Chomsky
Noam Chomsky adalah seorang linguis Amerika Serikat, dan salah seorang murid Harris Zellig, yang juga tokoh aliran struktural.[7] Mengenai hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia.
Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat universal.
Sebelum ini ada pandangan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada suatu pihak Von Humboldt mnyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiap-tiap bahasa manusia adalah sistem-universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia.
Pandanagan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama (karena didasari oleh satu sistem yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur dalam (deep structure). Pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure) bahasa-bahasa itu berbeda-beda.
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran) pada umumnya, termasuk kecerdasan. Hal ini sangat berbeda dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dianggap bahwa struktur-struktur yang mendasari bahasa-bahasa di dunia adalah berbeda-beda. Oleh karena itu, pandangan hidup atau cara berfikir para penutur bahasa-bahasa itu, yang tercermin dalam struktur-struktur itu adalah berbeda-beda pula.[8]
C.  Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koetjaningrat, bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Para ilmuwan lain mempunyai pendapat yang berbeda tentang hubungan bahasa dan pelestarian budaya. Namun, secara garis besar ada dua pandangan tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ini, yaitu:
1.    Hubungan Subordinatif
Menurut pendapat ini, bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Para ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan suatu bangsa tidaklah mungkin dapat dikaji tanpa mengkaji terlebih dahulu bahasa bangsa itu sendiri, karena bahasa suatu bangsa adalah bagian dari kebudayaan  bangsa itu. Demikian juga para ahli linguistik banyak berpendapat bahwa pengkajian bahasa suatu penduduk asli tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan penduduk itu, karena semantik yang merupakan salah satu dimensi dalam kajian linguistik suatu bahasa mencakup juga kebudayaan dari penutur bahasa itu.
2.    Hubungan koordinatif
Mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat, yaitu:
Pertama, menurut Silzer hubungan berbahasa dan berbudaya itu seperti kembar siam, dua buah fenomena yang terkait sangat erat atau seperti dua sisi mata uang, sisi satu adalah sistem berbahasa dan sisi lainnya adalah sistem berbudaya.
Kedua, adanya hipotesis yang sangat kontroversial, hipotesa dua pakar linguistic, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, dan lazim disebut Relativitas Bahasa. Di dalam hipotesa itu dikemukakan bahwa berbahasa bukan hanya menentukan corak berbudaya, tetapi juga menentukan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan berbahasa, dengan kata lain tanpa berbahasa manusia tidak akan berpikiran sam sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia maka cirri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin dalam sikap dan berbudaya penuturnya.[9]





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Secara etimologi, psikolinguistik terbentuk dari kata psikoligi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya.
Pada awalnya kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistic. Istilah psikoliguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh CharlesE. Osgood dan Thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika serikat.
Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenani masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia..
B.  Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA
Sarip Hidayat, Nandang. Hubungan Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya,.Sosial        Budaya Media Komonikai Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya, Desember, 2014.
Chaer, Abdul. Psikolingusitik Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
el-Ushaili, Abdul Aziz bin Ibrahim . Psikolinguistik Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung: Humaniora, 2009.
Dardjowodjojo, Soenjono. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya, 2003.




[1] Abdul Chaer, Psikolingusitik Kajian Teoritik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 5.
[2] Ibid. 5-6.
[3] Ibid. 51-52.
[4] Ibid. 52-54.
[5] Soenjono Dardjowodjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Unika Atma Jaya, 2003), hlm. 283.
[6] Ibid. 54-55.
[7] Abdul Aziz bin Ibrahim el-Ushaiili, Psikolinguistik Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: Humaniora, 2009), hlm. 67.
[8] Ibid. 56-58.
[9] Nandang Sarip Hidayat, “ Hubungan Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya” Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya, 2 (Desember 2014),hlm 199-200