Friday, 22 March 2019

Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Pembentukan Sikap Religius Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.


A.     Judul Penelitian
Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Pembentukan Sikap Religius Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
B.     Konteks Penelitian
Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus menerus dikembangkan agar dari proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula dengan pendidikan di Negara tercinta ini. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi sebuah bangsa yang bodoh dan terbelakang. Terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan daya manusia yang cerdas, terampil, mandiri, religious dan berakhlak mulia terus diupayakan melalui proses pendidikan.
Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah haruslah sangat serius dalam menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem dan kualitas pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang memiliki kuantitas yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena agama sangat berperan dalam pembentukan kepribadian siswa, sehingga untuk membentukan kepribadian siswa yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan pendidikan yang memadai. Untuk membina agar siswa memiliki sifat terpuji, tidaklah mungkin hanya dengan penjelasan dan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang terbaik dan diharapkan nantinya akan mempunyai sifat-sifat terpuji dan bisa menjauhi sifat tercela.

Pendidikan Agama Islam perlu dilaksanakan oleh sekolah, karena dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas imtaq dan pendidikan moral siswa, sekaligus dapat membina kepribadian siswa serta mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang memiliki kualitas keagamaan yang kuat. Sebagaimana pengertian Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan dengan mempraktikkan tuntunan untuk saling menghormati antar agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama.
Internalisasi merupakan sebuah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga membentuk sebuah keyakinan dan kesadaran akan kebenaran dari suatu ajaran, atau doktrin tersebut serta dapat membentuk nilai yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku.[1]
Internalisasi merupakan sutu proses karena penghayatan terhadap nilai yang mengandung makna mendalam dan merasakan nilai-nilai tersebut dalam batinnya. Menghyati atau mempribadikan nilai sama halnya dengan bagaimana benar-benar merasakan tentang kehadiran nilai-nilai yang telah diterimanya untuk masuk kedalam hati sanubarinya supaya bisa menumbuhkan kesadaran yang ada dalam dirinya untuk bisa melakukan nilai yang telah didapatnya tersebut. Kesadaran akan pentingnya nilai tersebut bagi kehidupannya tumbuh setelah ia menghayati nilai-nilai tersebut dan meyakini akan kebenaran dan manfaat yang akan dirasakannya dari nilai-nilai tersebut.[2]
Perbincangan mengenai masalah-masalah berkaitan dengan persoalan social termasuk internalisasi sebenarnya tidak pernah lepas dari masalah-malah kepribadian. Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya, internalisasi merupakan rangkaian suatu penghayatan terhadap sebuah doktrin baik itu berupa nilai-nilai yang berbentuk normatif maupun ajaran-ajaran yang kemudian akan menumbuhkan kesadaran dalam diri seseorang untuk mengaplikasikan hasil penghayatan dari doktrin tersebut dalam bentuk sikap dan perilaku. Hakikat dari nilai itu sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna dan bertujuan bagi kehidupan manusia, individu maupun kelompok. Pada umumnya manusia menimbang nilai dengan kadar baik dan buruk (etika), indah atau jelek (estetika). Oleh karena itu nilai sangat mengarahkan terhadap suatu tindakan, mendasari perbuatan dan pada gilirannya akan membetuk “pereferensi nilai atau system nilai”.[3]
Sesungguhnya nilai bukanlah suatu asas yang dapat berlaku begitu saja tanpa adanya kesadaran manusia akan fungsi dan makna nilai-nilai itu dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan nilai sama halnya dengan subyek dan isi kepribadian. Karena manusia yang ideal adalah manusia yang berkepribadian setia dan menjunjung nilai-nilai yang berlaku. Sebaliknya, manusia yang tidak baik justru dia yang akan mengingkari nilai-nilai, atau setidaknya kurang loyal bahkan kurang aktif dalam melaksanakan sesuatu yang telah dikehendaki oleh nilai-nilai.[4] Oleh karena itu integritas kepribadian seseorang banyak ditentukan oleh hubungan antar nilai-nilai yakni tingkat kesadaran nilai dan mutu pelaksanannya.
Nilai merupakan sesuatu yang bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Nilai juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan yang konkrit. Nilai juga bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelektual dan keinginan manusia. Karena nilai merupakan sesuatu yang tak terbatas akan ruang lingkupnya sehingga sangat sulit untuk ditentukan batasanya.
Demikian pula dengan nilai-nilai Islam yang menjadi kumpulan prinsip hidup setiap umat Islam, ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya di dunia ini, yang mana antara satu prinsip dengan prinsip yang lainnya saling memiliki keterkaitan dan membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Oleh Karena itu sebagai ajaran keagamaan yang lengkap Islam memberi tempat pada dua jenis sumber nilai yang berlaku pada pranata kehidupan manusia yang dapat dilihat dari nilai Ilahiyah dan dzahiriyah. Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang dititahkan Tuhan melalui para Rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, iman dan adil yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Sedangkan nilai Insaniyah merupakan nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia, nilai ini juga bersifat dinamis yang kebenarannya bersifat relative serta dibatasi oleh ruang dan waktu.[5] Oleh karena itu, Untuk pembentukan sikap dan perilaku peserta didik salah satunya dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama pada semua dimensi kehidupan. Satu tujuan yang hendak dicapai pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkannya. Namun, tetap perlu diperhatikan bahwasanya salah satu tugas dari pendidikan adalah harus bisa memadukan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama secara selektif dan inovatif serta akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru.
Nilai-nilai yang ideal itu sangat mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, sehingga menggejala pada pembentukan sikap dan perilaku dalam kesehariannya. Dengan kata lain, sikap dapat diartikan sebagai salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berprilaku sehingga akan banyak memberikan warna terhadap perilaku seseorang.[6]
Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari seluruh penjabaran diatas bahwasanya, internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada diri seseorang. Sedangkan nilai-nilai agama Islam adalah nilai luhur yang ditransfer dan diadopsi kedalam diri seseorang. Jadi internalisasi nilai-nilai agam Islam adalah suatu proses memasukkan nilai-nilai agama secara penuh kedalam hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam. Internalisasi nilai-nilai agama Islam itu terjadi melalui pemahaman ajaran agama secara utuh dan diteruskan akan pentingnya agama Islam, serta dengan ditemukannya posibilitas untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
Sikap beragama merupakan fitrah bagi setiap umat manusia sejak ia dilahirkan dan mengimani bahwa hanya Allah yang patut disembah, sehingga manusia pada saat itu memiliki iman pada tahap awal yang masih berupa pengertian dan pengetahuan tentang Allah. Hal ini perlu diadakan peningkatan dan pengembangan melalui pengasahan dan pengasuhan melalui pendidikan. Pentingnya sikap beragama bagi siswa adalah untuk mencapai ketenangan dan ketentraman dengan mengaktualisasikannya dlam kehidupan sehari-hari dengan cara beribadah dan mendekatkan diri kepa Allah Swt sebagai umat-Nya manusia yang beriman dan berilmu.
Dalam melaksanakan pendidikan untuk memahami nilai-nilai agama Islam tersebut, peran pendidikan sangat penting dalam proses awal, karena pendidikan yang bertangung jawab dan menentukan arah serta tujuan pendidikan tersebut. Karena pendidikan untuk siswa ini bertujuan mengembangkan potensi yang ada dalam siswa tersebut agar bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa setiap siswa itu memiliki kepribadian yang berbeda-beda, karena setiap siswa tidaklah sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Mengenai definisi sikap, banyak ahli yang mendefinisikan sikap sesuai dengan pandangan masing-masing. Fishbein mendefinisikan sikap adalah sebagai bentuk dari predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek, sikap yang menurut variabel laten yang mendasari, mengarahkan, dan memengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respon dalam berbentuk perilaku, tidak dapat diamatai secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati.[7] 
Ditinjau dari komponen afectif sikap menunjukkan pada dimensi emosional, yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek disini dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bahkan mempunyai kemungkinan atara rentangan suka dan tidak suka.[8] Jika ditinjau dari kategori sikap tersebut, maka sikap seseorang terhadap suatu objek tertentu dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut atau yang melatar belakangi seseorang tersebut sebagai pengalaman hidupnya. Orang yang telah tertanam dan terkristal nilai-nilai tertentu dalam mental atau kepribadiannya, tentunya dalam menghadapi atau merespon sesutu akan diwarnai oleh nilai-nilai yang diyakininya.[9] Dengan demikian internalisasi nilai-nilai agama Islam kepada anak perlu dilakukan sejak dini mungkin, karena akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap religious anak khususnya pada peserta didik setelah dewasa nanti.
Lembaga pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Lembaga pendidikan juga mempunyai peranan penting untuk memberikan pemahaman dan benteng pertahanan kepada peserta didik supaya terhindar dari jeratan negative adanya media masa dan penggunan teknologi yang semakin canggih. Oleh sebab itu, sebagai antisipasi terhadap hal negative tersebut, lembaga pendidikan selain memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta keterampilan berfikir kreatif juga harus mampu membentuk calon tunas-tunas bangsa yang berkepribadian, bermoral, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Perkembangan media masa saat ini disatu sisi merupkan gejala yang cukup positif untuk mendukung tumbuh kembangnya kesadaran masyarakat akan demokrasi. Namun, disisi lain perkembangan media masa juga membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan kepribadian anak-anak sebagai tunas bangsa. Berbagai tayangan yang disajikan, yang begitu fulgar, transparan, erotis dan sensual. Juga penggunaan teknologi yang sudah sangat bebas yang sangat tidak pantas digunakan oleh kalangan anak-anak sampai dewasa yang belum waktuya. Perlahan tapi pasti sudah mulai berdampak pada rusaknya moral, sikap dan perilaku anak-anak terutama dikalangan peserta didik. Yang sangat fatalnya lagi anak-anak dibawah umur sudah bebas dalam penggunaan teknologi termasuk salah satu didalamnya penggunaan handphone. Didalam fenomana saat ini banyak sekali pengaruh-pengaruh negative dari kecanggihan teknologi tersebut terhadap pertumbuhan kepribadian siswa terutama pada kalangan anak-anak dan remaja dimana mereka sudah tidak mendapat control yang baik dalam penggunaan teknologi. Baik dari kalangan keluarga, lingkungan dan masyarakat. Hal ini yang dapat menyebabkan moral, sikap danetika anak khususnya peserta didik kurang terkontrol pula. Untuk itu, pola pembinaan yang tepat dalam mendampingi anak seharusnya sudah menjadi perhatian serius dari segenap elemen baik pendidik, orang tua dan lingkungan sekitar.
Berangkat dari fenomena yang telah tersebut diatas dan juga peranan penting dari pendidikan dalam pembentukan kepribadian, sikap, moral serta akhlak siswa yang bernuansa agamis, terutama siswa yang berada dalam masa transisi menarik kiranya bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang bagaimana proses internalisasi nilai-nilai agama Islam yang dilakukan dan sekaligus hasil yang dicapai dalam menanamkan nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan kepribadian, sikap, moral serta akhlak siswa yang berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Pembentukan Sikap Religius Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan”.



C.    Fokus Penelitian
1.    Bagaimana Proses Internalisasi Nilai-nilai Agama Islam yang Dilakukan oleh Sekolah dalam pembentukan Sikap Religious Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan?
2.    Apa Saja Indicator Keberhasilan dalam Proses Penanaman Nilai-nilai Agama Islam pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan?
3.    Apa Saja Faktor Penghambat Yang dihadapi dalam Proses Internalisasi Nilai-nilai Agama Islam dalam Pembentukan Sikap religius Siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan?
D.    Tujuan Penelitian
Ketika seseorang melakukan penelitian, tentunya seseorang tersebut memiliki tujuan yang hendak dicapai, tujuan itu dirumuskan sebagai upaya yang akan ditempuh oleh peneliti, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1.    Mendeskripsikan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan sekolah dalam membentuk sikap religious siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan melalui proses internalisasi nilai-nilai agama Islam.
2.    Untuk mengetahui indicator apa saja yang sangat menunjang untuk keberhasilan proses intarnalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan sikap religius siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
3.    Mengetahui kendala yang dihadapi SMP Negeri 1 Pamekasan dalam pembentukan sikap religius siswa kelas VII melalui proses internalisasi nilai-nilai Agama Islam.

E.     Kegunaan Penelitian
Dengan adanya tujuan-tujuan penelitian tersebut, sudah seharusnya penelitian dapat berguna dan bermanfaat bagi semua elemen yang ada, khususnya bagi peneliti, objek yang diteliti, dan dunia pendidikan, serta orang tua pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1.    IAIN Madura
Manfaat bagi IAIN Madura yakni dijadikan referensi tambahan dan sebagai pedoman untuk adik tingkat yang nantiya juga akan menahadapi skripsi serta dijadikan sebagai acuan untuk peelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul tersebut.
2.    Peneliti
a.    Untuk memenuhi syarat
b.    Memeberikan tambahan pengetahuan tentang Internalisasi nilai-nilai Agama Islam dalam pembentukan sikap religious terhadap siswa.
c.    Peneliti dapat memahami, mengembangkan dan melaksanakan proses internalisasi nilai-nilai agama Islam dengan lebih baik.
3.    Dunia Pendidikan
a.     Memberikan kontribusi berupa teori-teori tambahan tentang internalisasi nilai-nilai agama Islam, khususnya dalam pembentukan sikap religius siswa kelas VII.
b.    Menjadi alat referensi tambahan serta pedoman untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul ini.
4.    Orang Tua
a.    Menjadi alat evaluasi bagi orang tua dalam pembinaan serta pembentukan sikap yang bernuansa keagamaan terhadap anak.
b.    Memperbaiki pola asuh terhadap anak
c.    Mengetahui kekurangan, kelebihan dan potensi yang aada pada diri anak.
5.    SMP Negeri 1 Pamekasan
Untuk lembaga itu sendiri supaya dijadikan sebagai motivasi dan juga sebagai bahan evaluasi dalam pengembangan sebuah instansi pendidikan serta untuk memperkaya pemahaman mengenai internalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan sikap religious terhadap anak didiknya.
F.     Definisi Istilah
Bagian ini berisi tentang pemahasan yang perlu di definisikan secara operasional untuk memudahkan dalam menyamakan persepsi pembaca dalam memahami isi skripsi. Adapun istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
1.    Internalisasi merupakan sebuah rangkaian suatu penghayatan terhadap sebuah doktrin baik itu berupa nilai-nilai yang berbentuk normatif maupun ajaran-ajaran yang kemudian akan menumbuhkan kesadaran dalam diri seseorang untuk mengaplikasikan hasil penghayatan dari doktrin tersebut dalam bentuk sikap dan perilaku.
2.    Nilai merupakan sesuatu yang bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra.
3.    Agama Islam merupakan  
4.    Sikap religious adalah sumerukap sikap ketaatan seseorang terhdap agamanya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun maksud dari keseluruhan definisi tersebut adalah bagaimana proses internalisasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai agama Islam yang bertujuan untuk membentuk dan membina sikap religious pada siswa.



G.    Kajian Pustaka
1.    Tinjauan Tentang Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam
a.    Pengertian Internalisasi
Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi proses. Sehingga interna lisasi dapat di definisikan sebagai suatu proses.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.[10]
Jadi, teknik penanaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang dilakukan melalui proses internalisasi adalah dengan melakukan penghayatan dengan memasukkan nilai-nilai agama secara penuh dan dipadukan dengan nilai-nilai pendidikan kedalam hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang sasarannya menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi suatu control terhadap proses pembentukan sikap dan perilaku peserta didik.
Dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik ada 3 tahapan yang terjadi yaitu:
1)   Tahap tranformasi nilai: Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilainilai yang baik dan kuran baik. Pada tahap ini hanya terjadi komuniasi verbal antara guru dan siswa.
2)   Tahap Transaksi nilai: suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara siswa dengan pendidik yang bersifat timbal balik.
3)   Tahap transinternalisasi tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian.[11]
b.   Nilai-Nilai Agama Islam
Rujukan pembelajaran mengenai nilai masih sangat sulit untuk didapatkan dalam buku sumber pendidikan nilai, khususnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Beda halnya dengan teori nilai, kita dapat menemukan banyak pilihan rujukan tentang penjelasan aksiologis nilai yang nyaris semuanya bersifat utopis. Padahal, yang kita butuhkan saat ini adalah bagaimana kita dapat mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang baik pada generasi muda khususnya peserta didik sehingga mereka bisa memiliki karakter yang baik dan mampu membentuk sikap serta perilaku yang baik pula.
Pada dasarnya nilai itu memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga selalu memiliki uraian dengan beragam makna. Nilai juga dapat diartikan dalam makna benar dan salah, baik dan buruk, manfaat atau berguna, indah dan jelek, dan lain sebagainya.[12] Oleh karena itu nilai sangat mengarahkan terhadap suatu tindakan, mendasari perbuatan dan pada gilirannya akan membetuk sebuah “pereferensi nilai atau system nilai”. Aneka ragam pengertian nilai yang dihasilkan oleh sebagian para ahli sengaja dihadirkan dalam bahasan ini dalam rangka untuk memperoleh pengertian yang lebih utuh.
Nilai dalam pandangan Brubacher -sebagaimana dikutip oleh Muhaimin- tak terbatas ruang lingkupnya, nilai tersebut sangat erat dengan pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks sehingga sulit ditentukan batasannya. Nilai adalah suatu potensi kesadaran manusia, variasi kesadaran manusia sesuai dengan individualitas dan keunikan kepribadiannya.[13]
Sedang Muttahari mengemukakan bahwa nilai adalah konsepsi abstrak didalam diri manusia atau masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap baik dan benar dan hal-hal yang dianggap buruk dan salah. Disamping itu ada kecenderungan alami didalam diri manusia kearah kebenaran dan wujud suci tertentu yang juga bisa berkembang lebih jauh.[14]
Menurut Scheler nilai ditemukan didalam pereferensi, yang kehadirannya sangat dekat dengan nilai mutlak, Nampak dalam arahnya sebagai yang tertinggi dalam intuisi langsung. Scheler juga percaya bahwa persepsi langsung tentang relatifitas itu ada, yang sama sekali bebas dari pertimbangan dan refleksi. Jadi nilai mutlak itu jelas tanpa memperhatikan penalaran logis maupun fakta empiris.[15]
Dari beberapa pengertian nilai diatas dapat difahami bahwa nilai itu merupakan sesuatu yang relative, abstrak, dinamis, ideal dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki dan memeberikan corak pada pola pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku manusia. Dengan demikian untuk melacak sebuah nilai haruslah terlebih dahulu melalui pemaknaan terhadap kenyataan lain yang berupa hasil dari tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian nilai dapat dirumuskan sebagai sifat yang
terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini manjadikan sesuatu itu dicari dan
dicintai, baik dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama’ mempunyai nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai dan sebagainya.
Islam memandang adanya nilai mutlak dan nilai intrinsic yang berfungsi sebagai pusat dan muara semua nilai. Nilai tersebut adalah tauhid (uluhiyah dan rububiyah) yang merupakan tujuan semua aktifitas hidup muslim. Semua niai-nilai lain yang termasuk amal shaleh dalam Islam merupakan nilai instrumental yang berfungsi sebagai alat dan prasyarat untuk meraih nilai tauhid.
Dalam praktik kehidupan justru niai-nilai instrumental itulah yang banyak dihadapi oleh manusia, seperti perlunya nilai amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan kemanusiaan, etos kerja dan disiplin. Oleh karena itu, Islam menekankan perlunya nilai-nilai tersebut terus dibangun pada diri seseorang sebagai jalan untuk terbentuknya pribadi yang tauhidi.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik nilai dasar maupun instrumental sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam dapat dielaborasi dari:
1)   Nilai-nilai yang banyak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak yang meliputi akhlak dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesame manusia, dengan alam dan makhluk lainnya.
2)   Nilai-nilai universal yang diakui adanya dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia karenahakekatnya sesuai dengan fitrah manusia seperti, cinta damai, mengharga hak asasi manusia, keadilan, demokrasi, kepedulian social dan kemanusiaan.[16]
Jadi pengertian nilai Agama Islam dalam pembahasan diskripsi ini
adalah suatu upaya mengembangkan pengetahuan dan potensi yang ada mengenai masalah dasar yaitu berupa ajaran yang bersumber kepada wahyu Allah yang meliputi keyakinan, pikiran, akhlak dan amal dengan orientasi pahala dan dosa, sehingga ajaran-ajaran Islam tersebut dapat merasuk kedalam diri manusia sebagai pedoman dalam hidupnya
Nilai-nilai agama Islam memuat aturan-aturan Allah yang antara lain meliputi aturan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan. Manusia akan mengalami ketidak-nyamanan, ketidak-harmonisan, ketidak-tentraman, atau pun mengalami permasalahan dalam hidupnya, jika dalam menjalin hubungan-hubungan tersebut terjadi ketimpangan atau tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.
c.    Aspek Nilai-Nilai Ajaran Islam
Aspek nilai-nilai ajaran Islam pada intinya dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu:
1)   Nilai-Nilai Aqidah
Nilai-nilai aqidah mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa sebagai Sang Pencipta alam semesta, yang akan senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala perbuatan manusia di dunia. Dengan merasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada dan Maha Kuasa, maka manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat dhalim atau kerusakan di muka bumi ini
2)   Nilai-Nilai Ibadah
Nilai-nilai ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai rido Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya.
3)   Nilai-Nilai Akhlak
Nilai-nilai akhlak mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan berperilaku yang baik sesuai dengan norma atau adab yang benar dan baik, sehingga akan membawa pada kehidupan manusia yang tenteram, damai, harmonis, dan seimbang.
d.   Sumber-Sumber Nilai dalam Islam
Sumber-sumber nilai yang berlaku dalam pranata social kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1)   Nilai Ilahiyah
Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang dititahkan Tuhan melalui para Rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, iman dan adil yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai-nilai Ilahiyah selamanya tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat serta tidak berkecenderungan untuk merubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah sesuai dengan tuntutan social dan tuntutan individual. Konfigurasi nilai-nilai Ilahiyah mungkin berubah, namun secara instriksinya tetap tidak berubah. Hal ini karena bila nilai instrinsik nilai tersebut berubah, maka kewahyuwan (refillatif) dari sumber nilai yang berupa kitab suci Al-Qur’an akan mengalami kerusakan.[17] Al-Qur’an dalam kaitan ini, disamping mengakui adanya kemampuan manusia baik sebagai individu maupun social sebagai sesuatu yang dapat menentukan nilai, juga mengakui bahwa kebenaran, berarti penentuan norma dan nilai, yang sebenarnya adalah dari Allah Swt. Dengan demikian, Islam memandang persoalan nilai dari dua sisi, yang pertama, yaitu nilai yang relative yakni berasal dari individu atau social, dimana nilai disni berkembang dan berubah sesuai zaman. Dan kedua, nilai yang absolut, yakni berasal dari Allah Swt.[18]
Disamping itu Al-Qur’an menyebutkan bahwa nilai dan kebenaran mutlak (absolut) adalah berasal dari Allah Swt. Seperti halnya Allah menunjukkan manusia ke jalan yanag benar dan lurus atau kearah kebaikan yang terdapat dalam Q.S. Al-Insan 76:3[19]
اِنَّاهَدَيْنَهُ لسَّبِيْلَ اِمَّاشَاكِرًاوَّاِمَّاكَفَوْرًا (٣)
Artinya “Sungguh, kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan adapula yang kufur”.
2)   Nilai Insaniyah
Nilai Insaniyah tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini besifat dinamis. Sedangkan keberlakuan dan kebenarannya relative yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai Insaniyah yang kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai, kenyataan ikatan-ikatan tradisional sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.[20] Al-Quran menjelaskan bahwa sebagian nilai bisa ditemukan oleh masyarakat, dengan demikian masyarakat mampu menetukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang disepakati dan mana yang tidak disepakati. Sebagai fakta sosiologis menurutnya, Nabi Muhammad SAW. Pernah merasa takut yang terdapat dalam Q.S Al-Azhab ayat 33: 37.  
وَاِذْتَقُولُ لِلَّذِي اَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللهُ مُبْدِ يْهِ وَ تَخْشَى النَّاسَۚ وَاللهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٓىهُ ۗ فَلَمَّاقَضٓى زَيْدٌمِنْهَا وَطَرازَوَّجْنٓكٓهٓا لِكَيْ لايَكُوْنُ عَلَى الْمُٶْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْ اَزوَاجِ اَدْعِيَآ ىِٔهِمْ اِذَاقَضَوْامِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكاَنَ اَمْرُاللهِ مَفْعُوْلاً
Artinya “ Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan dalm hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka ketika zaid telah mengakhiri keperluuan terhadap istrinya (menceraikannya), kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Da ketetapan Allah itu pasti terjadi “.
Yang itu berarti masyarakat sekitar yang telah mempengaruhinya. Dari kemampuan manusia untuk mengakomodasikan antara nilai yang relative dan absolut atau yang biasa disebut dengan nilai Insaniyah dan nilai Ilahiyah bersumber dari watak manusia itu sendiri, yakni dorongan dari dalam diri sendiri yang menuntut untuk pembebasan jiwa dan beban batin akibat perbuatan dosa yang bertentangan dengan perintah Ilahi.
Atas dorongan batin tersebut manusia dengan fitrahnya mersa wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk sesamanya. Itulah sebabnya jiwa manusia secara natural mampu melaksanakan nilai-nilai wahyu yang bersifat mutlak (absolut) karena Allah Swt menciptakannya dengan memberi kelengkapan psikologis berupa potensi dan disposisi untuk mengembangkan nilai-nilai Islami tersebut dalam bentuk pengaplikasiannya terhadap sikap dan tingkah laku kehidupan individual dan sosialnya.
2.    Tinjauan Tentang Sikap Religius
a.    Pengertian Sikap
Terdapat beberapa teori yang membantu untuk memahami bagaimana sikap dibentuk dan bagaimana sikap itu bisa berubah. Sikap cenderung kompleks secara kognitif tetapi relative secara efaluatif. Ketika kompleksitas kognitif dipasangkan dengan kesederhanaan evaluative maka, salah satu akibatnya individu mungkin akan mudah mengubah sikap, namun jika evaluasi dilakukan secara keseluruhan terhadap objek maka pada umumnya sulit untuk berubah.
Mengenai definisi sikap, banyak ahli yang mengemukakan sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Aneka ragam pengertian sikap yang dihasilkan oleh sebagian para ahli sengaja dihadirkan dalam bahasan ini dalam rangka untuk memperoleh pengertian yang lebih utuh.
Fishbein, mendefinisikan sikap adalah sebagai predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variable laten yang mendasari, mengarahkaan dan mempengaruhi tingkah laku, secara opperasional sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respon reaksi dari sikapnya terhadap objek baik berupa orang, peristiwa, atau bahkan situsi.[21]
Sementara itu, menurut Chalpin dalam Dictionary of Psychology menyatakan sikap dengan pendirian. Yang selanjutnya dia mendefinisikan sikap sebgagai predisposisi atau kecenderungan yang relative stabil yang berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu baik positif ataupun negative.[22]
Dari beberapa pengertian tentang sikap maka dapat ditafsirkan bahwanya sikap seseorang biasanya merupakan bagian dari karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan dari karakter seseorang tersebut. Namun, tentu saja tidak sepenuhnya benar, tapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatau yang ada dihadapannya biasanya menunjukkan bagaimana karakternya.


b.   Ciri-ciri Anak Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Secara fisik mereka seperti orang dewasa, secara jasmaniah telah jelas apakah mereka dalam bentuk lak-laki atau perempuan yang semestinya. Namun, dari segi lain masih belum matang, baik dari segi emosional dan socialnya masih sangat memerlukan waktu untuk berkembang menuju kedewasaan. Kedewasaaanya berkembang pesat, pendapatnya juga ingin didengar dan dihargai dan diterima oleh orang yang mendengarnya. Menurut pemikiran dan pandangan mereka, mereka ingin hidup mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang lain.[23]  Usia anak disekolah menengah sekitar 13-17 tahun dan menurut ahli psikologi, usia 13-17 tahun sudah memasuki masa remaja awal yang merupakan peralihan menuju dewasa. Mereka sudah mulai merasa bahwa dirinya sedang berada dalam tingkatan yang sama dengan orang dewasa dan mengalami masa pubertas.[24]
Selain itu mereka juga mengalami perubahan intelektual, hal ini dapat dilihat dari sikap mereka yang mulai kritis terhadap permasalahan yang dihadapi dan dilihat dalam kehidupan sehari-hari, ini disebabkan karena mereka sudah mengalami kematangan mental, emosional, social dan fisik yang sudah mengalami perubahan yang mencolok. Ciri-ciri remaja yang membedakan dari masa sebelum dan masa sesudahnya:
1)   Masa remaja merupakan periode yang penting, karena pada masa ini mereka mulai mengalami perubahan fisik dan psikisnya, oleh sebab itu mereka perlu penyesuaian mental dan pembentukan sikap serta nilai dan minat baru dalam menghadapi kehidupan yang akan datang.
2)   Masa remaja sebagai masa peralihan, dari perubahan fisik yang mereka alami menyebabkan terjadinya keragu-raguan terhadap apa yang harus mereka lakukan karena mereka sudah bukan anak kecil lagi namun belum dewasa, sehingga status mereka belum jelas.
3)   Masa remaja sebagai periode perubahan, pada masa ini remaja cenderug mengalami perubahan perilaku dan sikap dengan cepat dan pesat. Seperti emosionalnya, perubahan minatnya, tingkah lakunya, tutur bahasanya, penuntutan kebebasan dan lain sebagainya.
4)   Sebagai usia yang bermasalah dan tidak realistis, pada usia remaja mereka sering mengalami masalah yang tidak dapat diatasi berdasarkan keyakinan mereka. Hal ini, disebabkan oleh kebiasaan yang dialami pada masa kanak-kanak yang apabila ada masalah selalu diatasi oleh guru, orang yang lebih tua ataupun bahkan orang tua. Remaja sering bersikap realistis karena mereka selalu memandang dirinya dan orang lain sesuai dengan keinginannya sehingga mereka cenderung memiliki kekecewaan karena tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan atau tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c.    Agama Pada Masa Remaja
Dizaman yang penuh dengan kecanggiha teknologi dan peradaban manusia yang mengalami kemajuan menyebabkan sebagian oang mengingkari bahwa apa yang mereka peroleh dan rasakan serta dapat menikmatinya saat ini semata-mata karena kekuasaan Allah Swt mereka merasa hebat, sombong dan angkuh dengan tidak mensyukuri atas apa yang telah Allah berikan.
Padahal Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini dan diperintahkan hanya untuk menyembah dan taat kepada-Nya. Dan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah, manusia diberikan alat untuk dapat mengenal dirinya dan mampu membina hubungan yang baik dengan Allah melalui agamnya.
Dalam aspek psikologi, manusia sebagai makhluk yang memiliki hubungan dengan kehidupan bermasyarakat dihadapkan dengan hal-hal yang dapat membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga diperlukan adanya pegangan hidup yang disebut agama, karena dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt sehingga dapat merasakan ketenangan dan ketentraman.
Agama merupakan peraturan Tuhan yang diberikan kepada manusia dan berisi tentang kepercayaan, penyembahan dan ketaatan terhadap pekerjaan yang suci dan kebenaran yang berasal dari Allah sehingga akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan suci yakni membawa keyakinan dengan perjanjian bahwa hanya Allah pemelihara dan penjaga dirinya. Dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah yaitu fitrah agama, fitrah suci, fitrah berakhlak, fitrah kebenaran, dan fitrah kasih sayang. [25]
Pada masa remaja yang merupakan masa transisi, remaja selalu cenderung mengalami perubahan yang penuh kegelisahan, kegoncangan dan keraguan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikisnya yang begitu cepat berlangsung. Kegoncangan yang dialami oleh remaja ini mungkin muncul karena disebabkan oleh dua factor yakni:
1)   Factor internal terkait dengan Pertama matangnya organ-organ seks yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun dia tahu perbuatan itu dilarang oleh agama. Kondisi ini yang menimbulkan konflik pada diri remaja yang pabila tidak secepatnya terselesaikan maka mungkin remaja itu akan terjerumus kedalam perilaku yang nista. Kedua berkembangnya sikap independen, keinginan untuk hidup bebas tidak mau terikat dengan norma-norma keluarga, sekolah ataupun agama. Namun apabila orang tua atau guru kurang memahami dan mendekatinya secara bijak maka sikap negative akan muncul seperti halnya membandel, menetang, menyendiri, atau bahkan acuh tak acuh.
2)   Factor Eksternal terkait dengan. Pertama, aspek-aspek perkemabangan kehidupan social budaya dalam masyarakat yang tidak jarang untuk bertentangan dengan nilai-nilai agama, namun beredarnya film-film, VCD, atau foto-foto yang terlalu fulgar, pejualan minuman keras dan obat-obat terlarang yang terlalu bebas. Kedua, perilaku orang dewasa, orang tua sendiri, orang yang dianggap lebih tua, para pejabat, dan masyarakat yang life stylenya kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur, dan perilaku amoral lainnya.[26]
Segala persoalan dan problema yang terjadi pada masa remaja itu sebenarnya bersangkut paut dengan usia yang mereka lalui dan juga tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pemegang peranan terpenting untuk mengontrol sikap dan perilaku remaja supaya terhindar dari hal-hal yang menyimpang baik dari segi aturan maupun kedisiplinan tidak lain adalah agama. Namun sayang sekali, dunia modern kurang menyadari betapa penting dan berharganya agama dalam berkehidupan.
d.   Perkembangan Beragama Pada Remaja
Dalam teori perkembangan, anak remaja merupakan tahap progressif, yang mencakup pase Juvenilitas, Pubertas dan Nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani anak, maka agama para remaja menyangkut perkembangan ketiganya.[27]
Banyak anak mulai meragukan konsep dan keykinan religiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh karena itu, ada beberapa ciri dalam perkembangan minat agama anak remaja sebagai lanjutan dari perkembangan agama ketika masih anak-anak antara lain:
1)   Periode kesadaran religious
Pada saat remaja mempersiapkan diri untuk menjadi jemaah baik Kristen ataupun Islam yang dianut oleh orang tua, minat religiusnya meninggi, sehingga akibat dari meningkatnya minat itu, mereka mungkin menjadi semakin bersemangat mengenai agama, sampai mereka mempunyai keinginan tersendiri untuk menyerahkan kehidupannya kepada agama. Seringkali remaja membanding-bandingkan antara keyakinan sendiri dengan keyakinan orang lain atau teman-temannya dengan menganalisis keyakinan secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan remaja tersebut.
2)   Periode keraguan religious
Berdasarkan pada penelitian secara kritis terhadap keyakinan masa anak-anak, remaja sering bersikap kritis terhadap keyakinan pada saat ia menjadi anak-anak, remaja sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk religious, dan kemudian mulai meragukan isi religious, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan mengenai kehidupan setelah mati. Bagi remaja keraguan yang semacam ini membuat mereka kurang taat terhadap agama, sedangkan remaja lainnya mencari kepercayaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dari keyakinan yang dianutnya.
3)   Periode rekonstruksi agama
Remaja juga bisa dianggap sebagai masa Rekonstruksi Agama melalui nalar intelektualnya yang sesuai dengan jiwa kepribadiannya. Hal ini terjadi sedikit demi sedikit apabila remaja menemukan jawaban dari keraguan pada masa awal remajanya terhadap keyakinan agama yang dianutnya.[28]


e.    Suasana Religius di Sekolah
Seseorang agama hendaknya memiliki sikap religious, namun pada kenyataannya banyak orang yang tekun menjalankan ajaran agama namun, juga masih melanggar aturan dan ajaran agama lainnya, begitu pula sebaliknya, ada orang yang kurang mentaati agama, tapi ia memiliki rasa keadilan yang tinggi, ia membenci kemunafikan dan mendukung kebenaran, sehingga dapat dikatakan orang tersebut memiliki potensi untuk bersikap reeligius.
Dengan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk menerapkan kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah digarapkan mampu mencetak peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjdi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[29]
Sekolah dengan berbagai jenjang dan jenisnya merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan disekolah berlangsung secara formal dibawah pengawasaan pendidika. Sebagai lembaga kedua setelah keluarga, sekolah memiliki fungsi untuk mengembangkan kecerdasan dan juga memberikan pengetahuan terhadap peserta didiknya.[30]
Adapun suasana religious yang diciptakan disekolah bukan hanya melakukan aktivitas keagamaan, ritual (ibadah) yang bersifat lahiriyah saja seperti halnya 3S (senyum, sapa dan salam), saling hormat dan toleran, sholat duha dan tadarus Al-Qur’an melainkan kegiatan lainnya yang bisa dilakukan didalam hati, seperti berdzikir, puasa senin kamis, istighasah dan do’a bersama.
Dengan memiliki sikap religius setiap dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan dapat mengasah dan mengasuh jiwa seseorang untuk dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt dengan menjalin hubungan yang baik dengan Allah Swt. dan sesama manusia.
3.    Indikator Keberhasilan dalam Proses Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Pada Siswa
Dalam system pendidikan pengukuran pencapaian hasil dari proses pembelajaran hanyalah ditekankan pada hasil akhir yang telah dicapai yang kerap kali hasilnya tidak efektif. Dan untuk mencapai tingkat pengetahuan tertentu yang diperlukan justru tidak hanya sebuah proses namun juga pengertian tentang konsep yang dapat dicapai melalui aspek-aspek penting pada peserta didik yang sangat menunjang dalam proses pembelajaran terutama dalam proses transfer ilmu terhadap peserta didik supaya hasil yang diperoleh maksimal dan sesuai dengan harapan. Dan mengenai aspek-aspek tersebut diantaranya:
a.    Aspek Kognitif
Kognitif merupakan salah stau aspek penting perkembangan peserta didik yang berkaitan langsung dengan pembelajaran dan sangat menentukan keberhasilan mereka di sekolah.
Kognitif atau pemikiraan adalah istilah yang sering digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memperhatikan lingkungannya. Dengan kata lain, aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu aktifitas atau kemampuan otak dalam mengembangkan kemampuan rasional.

b.      Aspek Afektif
Ranah afektif merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap dan nilai seperti perasaan, penghargaan, semangat dan minat seseorang terhadap sesuatu serta sikap yang mampu merespon terhadap stimulus.
Afektif lebih mengarah kepada perbuatan yang dilakukan atas dorongan perasaan dan emosi individu. Dalam proses pendidikan afektif sering diterjemahkan sebagai minat, sikap dan penghargaan dalam proses pembelajaran. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku diantarnya:
1)      Peserta didik dapat menerima dan memperhatikan pelajaran selama proses pembelajaran berlangsung.
2)      Peserta didik dapat menanggapi apa yang telah didapatkan dan dirasa kurang efisien menurut pemikirannya.
3)      Peserta didik dapat memberikan penilaian terhadap apa yang telah didapatkannya.
4)      Peserta didik dapat mengatur dan mengorganisasikan sesuatu.
5)      Peserta didik dapat melakukan kompleksasi nilai.  
c.    Potensi Psikomotorik
Psikomotorik merupakan aspek yang berkaitan dengan keterampilan meliputi perilaku gerakan dan koordinasi jasmani, kemampuan motoric dan kemampuan fisik seseorang atau kemampuan bertindak setelah menerima pengalaman pembelajaran.
Psikomotorik ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif yang akan tampak dalam bentuk kecenderungan dalam bertingkah laku.[31]
Dalam menentukan indicator keberhasilan mengenai proses internalisasi nilai-nilai agama Islam pada siswa terdapat beberapa indicator kompetensi yaitu. Pertama, Potensi Kognitif yang berupa pengetahuan dan penguasaan terhadap materi yang termasuk dalam proses internalisasi sekaligus mampu melaksanakan secara mandiri terhadap pengetahuan yang telah diinternalisasikan. Kedua, aspek afektif yang berupa sikap mental yang berubah setelah menerima proses internalisasi sehingga mampu menciptakan kesadaran sendiri untuk melakukan hal-hal yang telah diterimanya disaat proses internalisasi dilakukan. Ketiga, dan aspek psikomotoriknya mengenai perubahan sikap keranah yang lebih baik dari yang sebelumnya memiliki sifat yang tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan.
4.    Faktor Penghambat Proses Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Pembentukan Sikap Religius Siswa
Pada garis besarnya sumber jiwa keberagaman itu berasal dari dua factor yaitu factor intern dan ekstern manusia. Pada hakikatnya pengaruh psikologi manusia memang tidak bisa dipisahkan dari agama karena akibat dari pengaruh psikologis ini pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya, keyakinan pada pola tingkah laku tersebut yang mendorong manusia untuk melahirkan norma-norma dan pranata keagamaan sebagai pedoman dan sarana kehidupan beragama pada masyarakat.[32]
Berbagai jenis pendekatan yang digunakan mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis berupa instinktif yaitu unsur bawaan yang siap pakai.  Jiwa keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan dan hambatan yang dapat mempengaruhi perkembangannya.


a.    Faktor Intern
Perkembangan jiwa keagamaan selain ditentukan oleh factor ekstern juga ditentukan oleh factor intern seseorang. Tetapi sebagian besar factor yang sangat berpengaruh terhadap terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah factor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1)   Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai factor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. 
2)   Tingkat Usia
Perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan yang termasuk didalamnya perkembangan berpikir yang ternyata anak yang memasuki usia berpikir kritis maka akan lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya pada usia remaja saat mereka memasuki usia kematangan seksual, pengaruh itupun menyertai perkembangan jiwa keagamaan pada mereka.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja saat ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan menurut Sturbuck memang benar pada usia adolesensi sebagai rentag umur tipikal terjadinya konversi agama. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan konversi agama dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja karena pada kenyataannya dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda.


3)   Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologis terdiri dari dua unsur yaitu hereditas dan pengaruh lingkungan. Adanya kedua unsur tersebut akan membentuk sebuah kepribadian yang akan menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Dalam kaitannya kepribadian sering disebut dengan identitas seseorang yang sedikit baanyak dapat menampilkan ciri-ciri sebagai pembeda dari individu dengan yang lainnya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian, dan perbedaan inilah yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap aspek-aspe kejiwaan termasuk juga didalamnya jiwa keagamaan pada diri seseorang.
4)   Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai factor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang terletak di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuhlah yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulus lingkungan yang dihadapinya saat itu.[33]
b.    Faktor Ekstern
Manusia sering disebut dengan homo religious. Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang harus dikembangkan sebagai manusia yang beragama. Potensi ini secara umum disebut dengan firah keagamaan yang merupakan kecenderungan bertauhid. Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam jiwa keagamaan jiwa seseorang dapat dilihat dimana seseorang itu tinggal dan hidup.
1)   Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan social yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Bagi anak, keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudh lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa anak tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Keluarga dinilai sebagai factor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2)   Lingkungan Instutisional
Lingkungan intitusional yang juga ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah, ataupun yang non formal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
3)   Lingkungan Masyarakat
Boleh dikatakan setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktunya jaganya dihabiskan disekolah dan masyarakat. Berbeda dengan situasi rumah dan sekolah, umumnya pergaulan dimasyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat. Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam segi positif maupun negtif.[34]
5.   Kajian Terdahulu
Dalam judul ini sebelumnya sudah ada orang-orang yang pernah meneliti tentang Internalisasi nilai-nilai di antaranya adalah:
Moh. Amin Kurdi, yang meneliti tentang Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam dalam Pembinaan Mental Siswa di MTS Al-Amien Glidigan Bugih Pamekasan, hasil yang diperoleh dilapangan adalah sebagai berikut:  nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan oleh para guru di MTS Al-Amien Glidigan Bugih Pamekasan mempunyai nilai yang berkaitan erat dengan tujuan pengajaran yang diberikan melalui pengetahuan agama yang ada disekolah melaui pelajaran Al-Qur’an, tauhid, hadits, tafsir, kebudayaan Islam, dan lain-lain. Seluruh materi disusun untuk menyempurnakan kondisi psikologis, social, spiritual, perilaku, dan penalaran siswa. Dan metode yang digunakan cukup beragam, seperti bercerita, Tanya jawab, demonstrasi, pemberian tugas dan lain-lain. Dan untuk mengetahui tingkat perkembangan maka dilakukan evaluasi pengamatan pada perkembangan masing-masing anak disetiap harinya atau pada hasil karya anak disetiap pembinaan mental yang diterapkan adalah dalam pembiasaan sehari-hari yaitu dalam semua aspek pengembangan.[35]
Mahsunah, yang meneliti tentang Internalisasi Niai-Nilai agama Islam Dalam Pembinaan Mental Melalui Pembiasaan dan Keteladanan di TK Al-Jufri VII Trasak Larangan Pamekasan, hasil yang diperoleh dilapangan adalah sebagai berikut: bahwa pelaksanaan internalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembinaan mental melalui pembiasaan dan keteladaan sudah terlaksana dengan baik. Adapu factor pendukung dijadikan sebagai motivasi untuk mengatasi kendala yang menghambat terlaksananya proses internalisasi, sedangkan para pengasuh dan pendidik selalu mengupayakan agar hambatan tersebut dapat diselesaikan dengan cepat dan baik.[36]
Dari hasil penelitian diatas menujukkan bahwa pada dasarny dari semua hasil penelitian sama-sama bagaimana cara menerapkan nilai-nilai, namum focus yang digunakan berbeda-beda. Sedangkan dalam penelitian sekarang lebih menfokuskan pada pembentukan sikap religius siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
H.    Metode Penelitian
1.    Pendekatan dan Jenis Penelitian
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.[37] Sejalan dengan hal tersebut Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode.[38]
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Sedangkan jenis penelitiannya menggunakan penelitian lapangan, peneliti mengambil jenis pendekatan ini, karena pendekatan ini dapat menyajikan secara langsung tentang bagaimana penelitian dengan subjek yang diteliti. Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan beberapa metode penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada, yang kiranya dapat mencapai sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Sehingga hasil penelitian ini nantinya benar-benar obyektif dan representative.
Pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari (1) pembahasan yang bersifat teoritis yaitu pembahasan yang menggunakan teori semata, berdasarkan pandangan para ahli yang diperoleh dari sumber bacaan, (2) pembahasan yang bersifat empiris, yaitu berdasarkan hasil-hasil penelitian lapangan dengan menggunakan metode observasi, interview dan dokumentasi.
2.    Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lapangan sangat penting dan mutlak dilakukan dalam pendekatan kualitatif. Karena Kehadiran peneliti selain bertujuan menjalin komunikasi dengan Informan yaitu juga untuk memperoleh data dan informasi terkait dengan masalah yang diteliti. Sehingga dengan kehadiran peneliti akan lebih tahu situasi dan kondisi dilapangan.
Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrument atau pengumpul data, sekaligus pengamat serta merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, dan penafsiran data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian disini tepat karena menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian.[39]
3.    Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang berbagai aspek yang berkenaan denagan masalah penelitian, maka peneliti memilih lokasi yang akan dijadikan sebagai objek penelitiann adalah SMP Negeri 1 Pamekasan. Salah satu yang menjadi pertimbangan peneliti karena di SMP Negeri 1 Pamekasan ini peneliti melihat fenomena menarik terkait proses penenaman dan penerapan nilai-nilai agama Islam yang menurut peneliti sangatlah menarik jika meakukan penelitian mengenai hal tersebut memang terlihat biasa namun menurut peneliti terdapat beberapa hal yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian.[40]
4.    Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan secara tertulis maupun lisan.[41] Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau yang di wawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis maupun perekam.[42]
Dengan demikian informan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru pengajar. Kepala sekolah dipilih sebagai sumber informasi dengan alasan bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi yang memegang peranan terpenting dalam mengelola lembaga pendidikan, disamping itu kepala sekolah juga lebih banyak mengetahui persoalan pembelajaran yang berkembang dilingkungan, guru mata pelajaran dipilih menjadi sumber informasi karena guru adalah selaku orang yang melakukan langsung proses belajar mengajar disekolah, yang dalam hal ini merupakan orang yang secara langsung menanamkan nilai-nilai agama Islam.
5.    Prosedur Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan mneggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi.
a.    Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan memiliki maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu: pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[43]
Dalam setiap wawancara, baik wawancara terstruktur, wawancara semi struktur dan wawancara tidak terstruktur pada umumnya menggunakan pedoman wawancara. Fungsi pedoman wawancara adalah memberikan tuntunan dalam mengkomunikasikan secara langsung pertanyaan-pertanyaan terhadap responden yang akan kita wawancarai.
Peneliti disini meggunakan jenis wawancara tidak terstruktur jadi bergantung pada spontanitas dalam mengajukan pertanyaan kepada terwawancara, dan lebih merasa rileks, sehingga data yang diberikan merupakan data yang benar dan sesuai dengan kejadian yang seenarnya.
Wawancara tidak terstruktur tidak membutuhkan pedoman wawancara yng detail tetapi semacam wawancara umum untuk menanyakan pendpatt atau komentar responden tentang suatu topik sesuai tujuan pewawancara. Wawancara semacam ini dilakukan jika informasi sulit diperoleh dari responden yang kita wawancarai.[44]
b.    Observasi
Menurut Purwanto observasi yang dikutip oleh Buna’i adalah “metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok”.[45]
Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan apabila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu Participant observation (observasi berperan serta) dan non participant observation.[46]
1)   Observasi berperan serta (Participant Observation)
Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya.
Dengan observasi participant ini maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Dalam suatu perusahaan atau organisasi pemerintah misalnya, peneliti dapat berperan sebagai karyawan, dapat mengamati bagaimana perilaku karyawan dalam bekerja, bagaimana semangat kerjanya, bagaimana hubungan satu karyawan dengan karyawan lain, hubungan karyawan dengan supervisor dan pimpinan, keluhan dalam melaksanakan pekerjaan dan lain-lain.
2)   Observasi non participant
Peneliti dalam observasi non participant ini tidak terlibat langsung dengan aktivitas orang yang diamati dan hanya sebagai pengamat independen, ini yang menjadi pembeda antara participant dan non participant.
Pada jenis observasi ini, peneliti mencatat, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat kesimpulan tentang perilaku orang-orang yang diteliti.[47]
Observasi yang dilaksanakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang sesuai dengan sifat penelitian yakni dengan menggunakan observasi non-Participant. Dimana dalam observasi ini peneliti tidak ikut serta dalam melakukan apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang akan diobservasi, peneliti hanya sebagai pengamat independen sehingga peneliti hanya mencatat dan menganalisis mengenai bagaimana proses internalisasi nilai-nilai agama Islam yang dilakukan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Pamekasan.
6.    Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja menggunakan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satu yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting, dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.[48]
Data yang diperoleh dari penelitian tersebut akan dianalisis menggunakan metode deskripsi analisis. Dalam penelitian ini data yang dianalisis adalah data yang terhimpun yang diperoleh dari lapangan, hasil wawancara, dan dokumen.
a.    Reduksi Data
Yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
b.    Penyajian Data
Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja.
c.    Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Merupakan akhir dari analisis data penelitian kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan pemaknaan melalui refleksi data. Hasil paparan data tersebut direfleksikan dengan melengkapi kembali atau menulis ulang catatan lapangan berdasarkan kejadian nyata dilapangan.
Dalam merefleksi, perlu kehati-hatian agar tidak mengarang cerita yang sebetulnya tidak ada di lapangan atau mengada-ngada dengan menambahkan data yang tidak penting dan tidak didukung. Selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi dengan menggolongkan ke proses kategorisasi/tema sesuai fokus penelitian.
7.    Pengecekan Keabsahan Data
Untuk megecek data yang sudah terkumpul dan mengetahui apakah data yang diperoleh sudah valid dan bisa dipertanggung jawabkan, maka peneliti melakukan peninjauan kembali secara cermat dan teliti (Crosceek) agar sumber data dari temuan-temuan ini tidak terkesan mengambang dan Validitas data lebih terjamin.
Oleh karenanya peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
a.    Perpanjangan Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan juga menuntut peneliti terjun ke lokasi dan dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data.[49]
b.    Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitannya dengan proses analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pengamatan bermaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.[50]
c.    Trianggulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.[51]
Mengacu pada pendapat Denzim yang dikutip oleh Imam Gunawan menjelaskan bahwa pelaksanaan pengujian keabsahan data dengan metode triangulasi terbagi menjadi empat, yaitu sumber, metode, peneliti, dan teoritik.
1)   Trianggulasi Sumber
Triangulasi sumber adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber memperoleh data. Dalam triangulasi dengan sumber yang terpenting adalah mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut.[52]
2)   Trianggulasi Metode
Triangulasi metode adalah usaha mengecek keabsahan data, atau mengecek keabsahan temuan peneliti. Menurut Rahardjo, triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda.[53]
Triangulasi metode dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama. Pelaksanaannya dapat juga dengan cara cek dan ricek.[54]
Contohnya membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang akan dikatakan didepan umum dengan yang akan dikatakan secara pribadi, membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada.
3)   Trianggulasi Peneliti
Triangulasi peneliti adalah menggunakan  lebih dari satu peeliti dalam mengadakan observasi atau wawancara.[55]
4)   Trianggulasi Teoritik
Triangulasi teoritik merupakan memanfaatkan dua teori atau lebih untuk diadu dan dipadu. Menurut Bachri, triangulasi teori mencakup penggunaan berbagai perspektif profesional untuk menerjemahkan satu, tunggal, atau sekumpulan data/informasi.[56]
Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode, karena dianggap lebih mudah dalam mengecek keabsahan data yang diperoleh dari lapangan.
8.    Tahap-Tahap Penelitian
a.    Tahap Pralapangan
Tahap pralapangan adalah menyiapkan segala sesuatu atau persiapan sebelum terjun langsung ke lapangan. Ada tujuh tahap kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu:
1)   Menyusun rancangan penelitian
2)   Memilih lapangan penelitian
3)   Mengurus perizinan
4)   Menjajaki dan menilai lapangan.
5)   Memilih dan memanfaatkan informan.
6)   Menyiapkan perlengkapan penelitian.
7)   Persoalan etika penelitian.[57]


b.    Tahap Pengerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian yaitu:
1)   Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
2)   Memasuki lapangan.
3)   Berperanserta sambil mengumpulkan data.[58]
c.    Tahap analisis data
1)   Reduksi data.
2)   Penyajia data.
3)   Kesimpulan/verifikasi.




















DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990
Titik Sunarti, “Iternalisasi dan AKtualisasi Nilai-Nilai Karakter”Jurnal Teknologi Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor 2. (2014)
Ahmadi,Abu . Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Taylor,Shelly E.Anne Peplau,Letitia. dan Sears,David O. Psikologi Sosial “Edisi kedua Belas” Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2009
Alif,Mohammad. Asrori,Mohammad. Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta Didik”. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2014
Siswanto.  Filsafat dan Pemikiran Pendidikn Islam. Surabaya: Pena Salsabila. 2018
Mu’in,Fatchul. Pendidikan Karakter “Konstruksi Teoritik dan Praktik”. Jakarta:Ar-Ruzz Media. 2011
Bachtiar S. Bachri, “Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif”, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol.10 No.1. (2010)
Latif,Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014
Sarwono. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. 2013
Mulyana,Rahmat. Pendidikan Islam “Memajukan Umat dan Memperkuat Kesadaran Bela Negara”. Jakarta: Kencana. 2016
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam “Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012  
Rosyadi,Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Assegaf,Rachman. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif.  Jakarta: Rajawli Pers. 2014
Widyastuti,Yeni. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014
Ali,Mohammad. Psikologi Ramaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2014
Frondizi,Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Gunawan,Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara. 2014
Anggoro,Toha. Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka. 2009
Buna’i. Metodologi Penelitian Pendidikan. Pamekasan: Stain Pamekasan Press. 2006
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2010
Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2013
Moleong,Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2014
Prastowo,Andi. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2014
Jalaluddin. Psikologi Agama Memahami Perilaku Dengan Prinsi-Prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers. 2012
Umar,Muntaha. Psikologi Agama. STAIN Pamekasan Press. 2016
Atiqullah. Dasar-dasar Psikologi Agama. STAIN Pamekasan Press. 2006
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara, 2010
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2015












[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990., hlm.336
[2] Titik Sunarti, “Iternalisasi dan AKtualisasi Nilai-Nilai Karakter”Jurnal Teknologi Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor 2,(2014). hlm182
[3] Siswanto. Filsafat dan Pemikiran pendidikan Islam. (Surabaya: Pena Salsabila) hal.85
[4] Ibid hal.88
[5] Ibid hal. 88-90
[6] Mohammad Alif dan Mohammad Asrori. Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta Didik” (Jakarta: PT Bumi Aksara) hal.142
[7]Mohammad Alif dan Mohammad Asrori. Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta Didik” (Jakarta: PT Bumi Aksara) hal.140
[8] Fathul Mu’in. Pendidikan KarakterKonstruksi Teoritik dan Praktik” (Jakarta: Ar-Ruzz Media) hal.170
[9] Abu Ahmadi. Psikologi Sosial (Jakarta: Rineka Cipta) hal.151
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989., hlm.336
[11] Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam “Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya) hlm.178
[12] Mahmud Ali. Filsafat Pendidikan. (Bandung:  PT Refika Aditama) hlm.101
[13] Siswanto. Filsafat dan Pemikiran pendidikan Islam. (Surabaya: Pena Salsabila) hlm.87
[14] Ibid. hlm.87
[15] Risieri Frondizi. Pengantar Filsafat Nilai ( Yogyakarta: Puustaka Pelajar) hal.137
[16] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,2010) hlm.124
[17] Siswanto. Filsafat dan Pemikiran pendidikan Islam. hlm 88
[18] Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Grafindo Persada) hal.232
[19] Ibid hlm.233
[20] Siswanto. Filsafat dan Pemikiran pendidikan Islam. hlm.89
[21] Mohammad Ali. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. (Jakarta: PT Bumi Aksara) hal.141
[22] Ibid hal.141
[23] Muntaha Umar. Psikologi Agama (STAIN Pamekasan:2006) hlm. 11
[24] Rusmin Tumanggor. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Prenada Group) hlm.91
[25] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004) hlm.282
[26] Syamsu Yusuf. Perkembangan Peserta Didik. ( Jakarta: Rajawali pers, 2011) hlm.106-107
[27] Atiqullah. Dasar-dasar Psikologi Agama. (STAIN: Pamekasan 2006) hlm.27
[28] ibid hlm.27-30
[29] Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2010) hlm.19
[30] Mohammad Kosim, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Prees) hlm.112
[31] Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya) hlm.98
[32] Jalaluddin. Psikologi Agama Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip Psikologi. (Jakarta: Rajawali Pers) hlm.303
[33] ibid hl.305-311
[34] ibid hl.311-313
[35] Moh.Amin Kurdi, Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam dalam Pembinaan Mental Siswa di MTS Al-Amien Glidigan Bgih Pamekasan. Skripsi, 2015
[36] Mahsunah, tentang Internalisasi Niai-Nilai agama Islam Dalam Pembinaan Mental Melalui Pembiasaan dan Keteladanan di TK Al-Jufri VII Trasak Larangan Pamekasan. Skripsi, 2018
[37] Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm., 22.
[38] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 5.
[39] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 168.
[40] Observasi dilakukan diluar kelas VII F SMP Negeri 1 Pamekasan (
[41] Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013) hlm.172
[42] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 157
[43] Ibid. hlm186
[44] Toha Anggoro. Metode Penelitian (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm.5.17
[45] Buna’i, Metodologi Penelitian Pendidikan (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006), hlm.,104.
[46] Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm., 145.

[47] Ibid., hlm., 145.
[48] Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif,  hlm. 248.
[49]Lexy J. Moleong, metodelogi penelitian Kualitatif, hlm., 327-328.
[50]Ibid, hlm., 329.
[51] Ibid, hlm. 330.
[52]Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif  (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm., 219.
[53]Ibid, hlm. 220.
[54]Bachtiar S. Bachri, “Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif”, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol.10 No.1, (April 2010)hlm. 56
[55]Ibid., 220
[56]Ibid., hlm. 221.
[57] Lexy J. Moleong, metodelogi penelitian Kualitatif, hlm.127
[58] Ibid,hlm 137