A.
Judul Penelitian
Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam
Pembentukan Sikap Religius Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
B.
Konteks Penelitian
Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai
media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak
menjadi lebih baik. Oleh karena
itu, pendidikan secara terus menerus dikembangkan agar dari proses
pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula dengan
pendidikan di Negara tercinta ini. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi sebuah
bangsa yang bodoh dan terbelakang. Terutama dalam menghadapi zaman yang terus
berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan daya
manusia yang cerdas, terampil, mandiri, religious dan berakhlak mulia terus
diupayakan melalui proses pendidikan.
Pendidikan
sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari
akan hal tersebut, pemerintah haruslah
sangat serius dalam menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem dan kualitas pendidikan yang baik diharapkan
muncul generasi penerus bangsa yang memiliki
kuantitas yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena agama
sangat berperan dalam pembentukan kepribadian siswa, sehingga untuk membentukan kepribadian siswa yang
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya
memerlukan pendidikan yang memadai. Untuk
membina
agar siswa memiliki sifat terpuji, tidaklah mungkin hanya dengan penjelasan dan
pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang terbaik dan diharapkan nantinya
akan mempunyai sifat-sifat
terpuji dan bisa menjauhi sifat tercela.
Pendidikan Agama Islam perlu dilaksanakan oleh
sekolah, karena dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas imtaq dan
pendidikan moral siswa, sekaligus dapat membina kepribadian siswa serta
mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang memiliki kualitas
keagamaan yang kuat. Sebagaimana pengertian Pendidikan Agama Islam merupakan
usaha sadar dan terencana yang dilakukan untuk menyiapkan siswa dalam meyakini,
memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau latihan dengan mempraktikkan tuntunan untuk saling menghormati antar
agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama.
Internalisasi merupakan
sebuah penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga membentuk
sebuah keyakinan dan kesadaran akan kebenaran dari suatu ajaran, atau doktrin
tersebut serta dapat membentuk nilai yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perilaku.[1]
Internalisasi merupakan
sutu proses karena penghayatan terhadap nilai yang mengandung makna mendalam
dan merasakan nilai-nilai tersebut dalam batinnya. Menghyati atau mempribadikan
nilai sama halnya dengan bagaimana benar-benar merasakan tentang kehadiran
nilai-nilai yang telah diterimanya untuk masuk kedalam hati sanubarinya supaya
bisa menumbuhkan kesadaran yang ada dalam dirinya untuk bisa melakukan nilai
yang telah didapatnya tersebut. Kesadaran akan pentingnya nilai tersebut bagi
kehidupannya tumbuh setelah ia menghayati nilai-nilai tersebut dan meyakini
akan kebenaran dan manfaat yang akan dirasakannya dari nilai-nilai tersebut.[2]
Perbincangan mengenai
masalah-masalah berkaitan dengan persoalan social termasuk internalisasi
sebenarnya tidak pernah lepas dari masalah-malah kepribadian. Jadi, dapat
disimpulkan bahwasanya, internalisasi merupakan rangkaian suatu penghayatan
terhadap sebuah doktrin baik itu berupa nilai-nilai yang berbentuk normatif
maupun ajaran-ajaran yang kemudian akan menumbuhkan kesadaran dalam diri
seseorang untuk mengaplikasikan hasil penghayatan dari doktrin tersebut dalam
bentuk sikap dan perilaku. Hakikat dari nilai itu sendiri dapat diartikan
sebagai sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna dan bertujuan bagi
kehidupan manusia, individu maupun kelompok. Pada umumnya manusia menimbang
nilai dengan kadar baik dan buruk (etika), indah atau jelek (estetika). Oleh
karena itu nilai sangat mengarahkan terhadap suatu tindakan, mendasari
perbuatan dan pada gilirannya akan membetuk “pereferensi nilai atau system
nilai”.[3]
Sesungguhnya nilai
bukanlah suatu asas yang dapat berlaku begitu saja tanpa adanya kesadaran manusia
akan fungsi dan makna nilai-nilai itu dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia
dengan nilai sama halnya dengan subyek dan isi kepribadian. Karena manusia yang
ideal adalah manusia yang berkepribadian setia dan menjunjung nilai-nilai yang
berlaku. Sebaliknya, manusia yang tidak baik justru dia yang akan mengingkari
nilai-nilai, atau setidaknya kurang loyal bahkan kurang aktif dalam
melaksanakan sesuatu yang telah dikehendaki oleh nilai-nilai.[4] Oleh karena itu integritas
kepribadian seseorang banyak ditentukan oleh hubungan antar nilai-nilai yakni
tingkat kesadaran nilai dan mutu pelaksanannya.
Nilai merupakan sesuatu
yang bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Nilai
juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan yang konkrit. Nilai juga bukan
semata-mata untuk memenuhi dorongan intelektual dan keinginan manusia. Karena
nilai merupakan sesuatu yang tak terbatas akan ruang lingkupnya sehingga sangat
sulit untuk ditentukan batasanya.
Demikian pula dengan
nilai-nilai Islam yang menjadi kumpulan prinsip hidup setiap umat Islam,
ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya di
dunia ini, yang mana antara satu prinsip dengan prinsip yang lainnya saling
memiliki keterkaitan dan membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan. Oleh Karena itu sebagai ajaran keagamaan yang lengkap Islam memberi
tempat pada dua jenis sumber nilai yang berlaku pada pranata kehidupan manusia
yang dapat dilihat dari nilai Ilahiyah dan
dzahiriyah. Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang dititahkan
Tuhan melalui para Rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, iman dan adil yang
diabadikan dalam wahyu Ilahi. Sedangkan nilai Insaniyah merupakan nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia
serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia, nilai ini juga bersifat
dinamis yang kebenarannya bersifat relative serta dibatasi oleh ruang dan waktu.[5] Oleh karena itu, Untuk
pembentukan sikap dan perilaku peserta didik salah satunya dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama
pada semua dimensi kehidupan. Satu tujuan yang hendak dicapai pada hakikatnya
adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi
manusia yang diinginkannya. Namun, tetap perlu diperhatikan bahwasanya salah
satu tugas dari pendidikan adalah harus bisa memadukan antara nilai-nilai baru
dengan nilai-nilai lama secara selektif dan inovatif serta akomodatif guna
mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi
nilai-nilai baru.
Nilai-nilai yang ideal
itu sangat mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, sehingga
menggejala pada pembentukan sikap dan perilaku dalam kesehariannya. Dengan kata
lain, sikap dapat diartikan sebagai salah satu aspek psikologi individu yang
sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berprilaku sehingga
akan banyak memberikan warna terhadap perilaku seseorang.[6]
Jadi, dapat ditarik kesimpulan dari seluruh
penjabaran diatas bahwasanya, internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri
seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai,
sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada diri seseorang. Sedangkan
nilai-nilai agama Islam adalah nilai luhur yang ditransfer dan diadopsi kedalam
diri seseorang. Jadi internalisasi nilai-nilai agam Islam adalah suatu proses
memasukkan nilai-nilai agama secara penuh kedalam hati, sehingga ruh dan jiwa
bergerak berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam. Internalisasi nilai-nilai agama
Islam itu terjadi melalui pemahaman ajaran agama secara utuh dan diteruskan
akan pentingnya agama Islam, serta dengan ditemukannya posibilitas untuk
merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
Sikap beragama merupakan fitrah bagi setiap umat
manusia sejak ia dilahirkan dan mengimani bahwa hanya Allah yang patut
disembah, sehingga manusia pada saat itu memiliki iman pada tahap awal yang
masih berupa pengertian dan pengetahuan tentang Allah. Hal ini perlu diadakan
peningkatan dan pengembangan melalui pengasahan dan pengasuhan melalui
pendidikan. Pentingnya sikap beragama bagi siswa adalah untuk mencapai ketenangan
dan ketentraman dengan mengaktualisasikannya dlam kehidupan sehari-hari dengan
cara beribadah dan mendekatkan diri kepa Allah Swt sebagai umat-Nya manusia
yang beriman dan berilmu.
Dalam
melaksanakan pendidikan untuk memahami nilai-nilai agama Islam tersebut, peran pendidikan sangat penting
dalam proses awal, karena
pendidikan yang bertangung jawab dan menentukan arah serta tujuan pendidikan tersebut. Karena pendidikan untuk
siswa ini bertujuan mengembangkan
potensi yang ada dalam siswa tersebut agar bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa setiap
siswa itu memiliki kepribadian yang berbeda-beda, karena setiap siswa tidaklah sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Mengenai definisi sikap, banyak ahli yang
mendefinisikan sikap sesuai dengan pandangan masing-masing. Fishbein
mendefinisikan sikap adalah sebagai bentuk dari predisposisi emosional yang
dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek, sikap yang
menurut variabel laten yang mendasari, mengarahkan, dan memengaruhi perilaku.
Sikap tidak identik dengan respon dalam berbentuk perilaku, tidak dapat
diamatai secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku
yang dapat diamati.[7]
Ditinjau dari komponen afectif sikap menunjukkan
pada dimensi emosional, yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek disini
dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bahkan
mempunyai kemungkinan atara rentangan suka dan tidak suka.[8] Jika ditinjau dari
kategori sikap tersebut, maka sikap seseorang terhadap suatu objek tertentu
dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut atau yang melatar belakangi
seseorang tersebut sebagai pengalaman hidupnya. Orang yang telah tertanam dan
terkristal nilai-nilai tertentu dalam mental atau kepribadiannya, tentunya
dalam menghadapi atau merespon sesutu akan diwarnai oleh nilai-nilai yang
diyakininya.[9]
Dengan demikian internalisasi nilai-nilai agama Islam kepada anak perlu
dilakukan sejak dini mungkin, karena akan sangat berpengaruh terhadap
pembentukan sikap religious anak khususnya pada peserta didik setelah dewasa
nanti.
Lembaga
pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian siswa.
Lembaga pendidikan juga mempunyai peranan penting untuk memberikan pemahaman
dan benteng pertahanan kepada peserta didik supaya terhindar dari jeratan
negative adanya media masa dan penggunan teknologi yang semakin canggih. Oleh
sebab itu, sebagai antisipasi terhadap hal negative tersebut, lembaga
pendidikan selain memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta
keterampilan berfikir kreatif juga harus mampu membentuk calon tunas-tunas
bangsa yang berkepribadian, bermoral, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang
Maha Esa.
Perkembangan
media masa saat ini disatu sisi merupkan gejala yang cukup positif untuk
mendukung tumbuh kembangnya kesadaran masyarakat akan demokrasi. Namun, disisi
lain perkembangan media masa juga membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan
kepribadian anak-anak sebagai tunas bangsa. Berbagai tayangan yang disajikan,
yang begitu fulgar, transparan, erotis dan sensual. Juga penggunaan teknologi
yang sudah sangat bebas yang sangat tidak pantas digunakan oleh kalangan anak-anak
sampai dewasa yang belum waktuya. Perlahan tapi pasti sudah mulai berdampak
pada rusaknya moral, sikap dan perilaku anak-anak terutama dikalangan peserta
didik. Yang sangat fatalnya lagi anak-anak dibawah umur sudah bebas dalam
penggunaan teknologi termasuk salah satu didalamnya penggunaan handphone.
Didalam fenomana saat ini banyak sekali pengaruh-pengaruh negative dari
kecanggihan teknologi tersebut terhadap pertumbuhan kepribadian siswa terutama
pada kalangan anak-anak dan remaja dimana mereka sudah tidak mendapat control yang
baik dalam penggunaan teknologi. Baik dari kalangan keluarga, lingkungan dan
masyarakat. Hal ini yang dapat menyebabkan moral, sikap danetika anak khususnya
peserta didik kurang terkontrol pula. Untuk itu, pola pembinaan yang tepat
dalam mendampingi anak seharusnya sudah menjadi perhatian serius dari segenap
elemen baik pendidik, orang tua dan lingkungan sekitar.
Berangkat
dari fenomena yang telah tersebut diatas dan juga peranan penting dari pendidikan
dalam pembentukan kepribadian, sikap, moral serta akhlak siswa yang bernuansa
agamis, terutama siswa yang berada dalam masa transisi menarik kiranya bagi
peneliti untuk melakukan penelitian tentang bagaimana proses internalisasi
nilai-nilai agama Islam yang dilakukan dan sekaligus hasil yang dicapai dalam
menanamkan nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan kepribadian, sikap, moral
serta akhlak siswa yang berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam
Pembentukan Sikap Religius Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan”.
C.
Fokus Penelitian
1. Bagaimana
Proses Internalisasi Nilai-nilai Agama Islam yang Dilakukan oleh Sekolah dalam
pembentukan Sikap Religious Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan?
2. Apa
Saja Indicator Keberhasilan dalam Proses Penanaman Nilai-nilai Agama Islam pada
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan?
3. Apa
Saja Faktor Penghambat Yang dihadapi dalam Proses Internalisasi Nilai-nilai
Agama Islam dalam Pembentukan Sikap religius Siswa kelas VII SMP Negeri 1
Pamekasan?
D.
Tujuan
Penelitian
Ketika seseorang
melakukan penelitian, tentunya seseorang tersebut memiliki tujuan yang hendak
dicapai, tujuan itu dirumuskan sebagai upaya yang akan ditempuh oleh peneliti,
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
tentang hal-hal apa saja yang dilakukan sekolah dalam membentuk sikap religious
siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan melalui proses internalisasi nilai-nilai
agama Islam.
2. Untuk
mengetahui indicator apa saja yang sangat menunjang untuk keberhasilan proses
intarnalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan sikap religius siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
3. Mengetahui
kendala yang dihadapi SMP Negeri 1 Pamekasan dalam pembentukan sikap religius
siswa kelas VII melalui proses internalisasi nilai-nilai Agama Islam.
E.
Kegunaan
Penelitian
Dengan adanya
tujuan-tujuan penelitian tersebut, sudah seharusnya penelitian dapat berguna dan
bermanfaat bagi semua elemen yang ada, khususnya bagi peneliti, objek yang
diteliti, dan dunia pendidikan, serta orang tua pada umumnya. Adapun manfaat
penelitian ini sebagai berikut:
1.
IAIN Madura
Manfaat
bagi IAIN Madura yakni dijadikan referensi tambahan dan sebagai pedoman untuk
adik tingkat yang nantiya juga akan menahadapi skripsi serta dijadikan sebagai
acuan untuk peelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul tersebut.
2.
Peneliti
a.
Untuk memenuhi
syarat
b.
Memeberikan
tambahan pengetahuan tentang Internalisasi nilai-nilai Agama Islam dalam
pembentukan sikap religious terhadap siswa.
c. Peneliti
dapat memahami, mengembangkan dan melaksanakan proses internalisasi nilai-nilai
agama Islam dengan lebih baik.
3.
Dunia Pendidikan
a.
Memberikan
kontribusi berupa teori-teori tambahan tentang internalisasi nilai-nilai agama
Islam, khususnya dalam pembentukan sikap religius siswa kelas VII.
b.
Menjadi alat
referensi tambahan serta pedoman untuk melakukan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan judul ini.
4. Orang
Tua
a. Menjadi
alat evaluasi bagi orang tua dalam pembinaan serta pembentukan sikap yang
bernuansa keagamaan terhadap anak.
b. Memperbaiki
pola asuh terhadap anak
c. Mengetahui
kekurangan, kelebihan dan potensi yang aada pada diri anak.
5.
SMP Negeri 1
Pamekasan
Untuk
lembaga itu sendiri supaya dijadikan sebagai motivasi dan juga sebagai bahan
evaluasi dalam pengembangan sebuah instansi pendidikan serta untuk memperkaya
pemahaman mengenai internalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan
sikap religious terhadap anak didiknya.
F. Definisi Istilah
Bagian
ini berisi tentang pemahasan yang perlu di definisikan secara operasional untuk
memudahkan dalam menyamakan persepsi pembaca dalam memahami isi skripsi. Adapun
istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
1. Internalisasi
merupakan sebuah rangkaian suatu
penghayatan terhadap sebuah doktrin baik itu berupa nilai-nilai yang berbentuk
normatif maupun ajaran-ajaran yang kemudian akan menumbuhkan kesadaran dalam
diri seseorang untuk mengaplikasikan hasil penghayatan dari doktrin tersebut
dalam bentuk sikap dan perilaku.
2.
Nilai
merupakan sesuatu yang bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh
panca indra.
3. Agama Islam merupakan
4. Sikap religious adalah
sumerukap sikap ketaatan seseorang terhdap agamanya yang diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Adapun
maksud dari keseluruhan definisi tersebut adalah bagaimana proses internalisasi
tersebut sesuai dengan nilai-nilai agama Islam yang bertujuan untuk membentuk
dan membina sikap religious pada siswa.
G.
Kajian
Pustaka
1. Tinjauan Tentang
Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam
a. Pengertian Internalisasi
Secara
etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia
akhiran-isasi mempunyai definisi proses. Sehingga interna lisasi dapat di
definisikan sebagai suatu proses.
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia Internalisasi diartikan sebagai penghayatan,
pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan,
bimbingan dan sebagainya.[10]
Jadi,
teknik penanaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang dilakukan
melalui proses internalisasi adalah dengan melakukan penghayatan dengan
memasukkan nilai-nilai agama
secara penuh dan dipadukan dengan nilai-nilai pendidikan kedalam hati, sehingga
ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang sasarannya
menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi suatu control
terhadap proses pembentukan sikap dan perilaku peserta didik.
Dalam proses
internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik ada 3 tahapan yang terjadi yaitu:
1)
Tahap
tranformasi nilai: Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan
nilainilai yang baik dan kuran baik. Pada tahap ini hanya terjadi komuniasi verbal antara guru dan siswa.
2)
Tahap
Transaksi nilai: suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi
antara siswa dengan pendidik yang bersifat timbal balik.
3)
Tahap transinternalisasi tahap ini
jauh lebih mendalam dari tahap
transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan
kepribadian.[11]
b.
Nilai-Nilai
Agama Islam
Rujukan
pembelajaran mengenai nilai masih sangat sulit untuk didapatkan dalam buku
sumber pendidikan nilai, khususnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Beda
halnya dengan teori nilai, kita dapat menemukan banyak pilihan rujukan tentang
penjelasan aksiologis nilai yang nyaris semuanya bersifat utopis. Padahal, yang
kita butuhkan saat ini adalah bagaimana kita dapat mengajarkan nilai-nilai
kehidupan yang baik pada generasi muda khususnya peserta didik sehingga mereka
bisa memiliki karakter yang baik dan mampu membentuk sikap serta perilaku yang
baik pula.
Pada
dasarnya nilai itu memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga selalu
memiliki uraian dengan beragam makna. Nilai juga dapat diartikan dalam makna
benar dan salah, baik dan buruk, manfaat atau berguna, indah dan jelek, dan
lain sebagainya.[12] Oleh karena itu nilai sangat mengarahkan terhadap
suatu tindakan, mendasari perbuatan dan pada gilirannya akan membetuk sebuah
“pereferensi nilai atau system nilai”. Aneka ragam pengertian nilai yang
dihasilkan oleh sebagian para ahli sengaja dihadirkan dalam bahasan ini dalam
rangka untuk memperoleh pengertian yang lebih utuh.
Nilai dalam pandangan Brubacher -sebagaimana dikutip
oleh Muhaimin- tak terbatas ruang lingkupnya, nilai tersebut sangat erat dengan
pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks sehingga sulit ditentukan
batasannya. Nilai adalah suatu potensi kesadaran manusia, variasi kesadaran
manusia sesuai dengan individualitas dan keunikan kepribadiannya.[13]
Sedang Muttahari mengemukakan bahwa nilai adalah
konsepsi abstrak didalam diri manusia atau masyarakat mengenai hal-hal yang
dianggap baik dan benar dan hal-hal yang dianggap buruk dan salah. Disamping
itu ada kecenderungan alami didalam diri manusia kearah kebenaran dan wujud
suci tertentu yang juga bisa berkembang lebih jauh.[14]
Menurut Scheler nilai ditemukan didalam pereferensi,
yang kehadirannya sangat dekat dengan nilai mutlak, Nampak dalam arahnya
sebagai yang tertinggi dalam intuisi langsung. Scheler juga percaya bahwa
persepsi langsung tentang relatifitas itu ada, yang sama sekali bebas dari
pertimbangan dan refleksi. Jadi nilai mutlak itu jelas tanpa memperhatikan
penalaran logis maupun fakta empiris.[15]
Dari beberapa pengertian nilai diatas dapat difahami
bahwa nilai itu merupakan sesuatu yang relative, abstrak, dinamis, ideal dan
menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki dan memeberikan corak
pada pola pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku manusia. Dengan demikian
untuk melacak sebuah nilai haruslah terlebih dahulu melalui pemaknaan terhadap
kenyataan lain yang berupa hasil dari tindakan, tingkah laku, pola pikir dan
sikap seseorang atau sekelompok orang.
Dengan
demikian nilai dapat dirumuskan sebagai sifat yang
terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini manjadikan sesuatu itu dicari dan
dicintai, baik dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama’ mempunyai nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai dan sebagainya.
terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini manjadikan sesuatu itu dicari dan
dicintai, baik dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama’ mempunyai nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai dan sebagainya.
Islam memandang adanya nilai mutlak dan nilai
intrinsic yang berfungsi sebagai pusat dan muara semua nilai. Nilai tersebut
adalah tauhid (uluhiyah dan rububiyah)
yang merupakan tujuan semua aktifitas hidup muslim. Semua niai-nilai lain yang
termasuk amal shaleh dalam Islam merupakan nilai instrumental yang berfungsi
sebagai alat dan prasyarat untuk meraih nilai tauhid.
Dalam praktik kehidupan justru niai-nilai
instrumental itulah yang banyak dihadapi oleh manusia, seperti perlunya nilai
amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan kemanusiaan, etos kerja dan disiplin.
Oleh karena itu, Islam menekankan perlunya nilai-nilai tersebut terus dibangun
pada diri seseorang sebagai jalan untuk terbentuknya pribadi yang tauhidi.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik nilai dasar
maupun instrumental sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam
dapat dielaborasi dari:
1) Nilai-nilai yang banyak
disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis yang semuanya terangkum
dalam ajaran akhlak yang meliputi akhlak dalam hubungannya dengan Allah, dengan
dirinya sendiri, dengan sesame manusia, dengan alam dan makhluk lainnya.
2) Nilai-nilai universal
yang diakui adanya dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia karenahakekatnya
sesuai dengan fitrah manusia seperti, cinta damai, mengharga hak asasi manusia,
keadilan, demokrasi, kepedulian social dan kemanusiaan.[16]
Jadi pengertian
nilai Agama Islam dalam pembahasan diskripsi ini
adalah suatu upaya mengembangkan pengetahuan dan potensi yang ada mengenai masalah dasar yaitu berupa ajaran yang bersumber kepada wahyu Allah yang meliputi keyakinan, pikiran, akhlak dan amal dengan orientasi pahala dan dosa, sehingga ajaran-ajaran Islam tersebut dapat merasuk kedalam diri manusia sebagai pedoman dalam hidupnya
adalah suatu upaya mengembangkan pengetahuan dan potensi yang ada mengenai masalah dasar yaitu berupa ajaran yang bersumber kepada wahyu Allah yang meliputi keyakinan, pikiran, akhlak dan amal dengan orientasi pahala dan dosa, sehingga ajaran-ajaran Islam tersebut dapat merasuk kedalam diri manusia sebagai pedoman dalam hidupnya
Nilai-nilai
agama Islam memuat aturan-aturan Allah yang antara lain
meliputi aturan yang
mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan. Manusia akan mengalami ketidak-nyamanan,
ketidak-harmonisan, ketidak-tentraman, atau pun mengalami permasalahan dalam
hidupnya, jika dalam menjalin hubungan-hubungan tersebut terjadi ketimpangan atau tidak
mengikuti aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah.
c. Aspek
Nilai-Nilai Ajaran Islam
Aspek nilai-nilai ajaran Islam pada intinya dapat dibedakan
menjadi
tiga jenis, yaitu:
tiga jenis, yaitu:
1) Nilai-Nilai Aqidah
Nilai-nilai
aqidah mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah Yang Maha Esa dan
Maha Kuasa sebagai Sang Pencipta alam semesta, yang akan
senantiasa mengawasi dan memperhitungkan segala perbuatan manusia di dunia. Dengan merasa sepenuh hati bahwa Allah itu ada
dan Maha Kuasa, maka manusia akan lebih taat untuk menjalankan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan takut untuk
berbuat dhalim atau kerusakan di muka bumi ini
2)
Nilai-Nilai
Ibadah
Nilai-nilai
ibadah mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya
senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai rido Allah.
Pengamalan konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan
manusia-manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya.
3)
Nilai-Nilai
Akhlak
Nilai-nilai
akhlak mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan berperilaku yang
baik sesuai dengan norma atau adab yang benar dan baik, sehingga akan
membawa pada kehidupan manusia yang tenteram, damai, harmonis, dan
seimbang.
d. Sumber-Sumber
Nilai dalam Islam
Sumber-sumber nilai yang berlaku dalam pranata social
kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1)
Nilai
Ilahiyah
Nilai Ilahiyah
merupakan nilai yang dititahkan Tuhan melalui para Rasul-Nya, yang berbentuk
taqwa, iman dan adil yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai-nilai Ilahiyah selamanya tidak mengalami
perubahan. Nilai-nilai yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan
manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat serta tidak
berkecenderungan untuk merubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah
sesuai dengan tuntutan social dan tuntutan individual. Konfigurasi nilai-nilai
Ilahiyah mungkin berubah, namun secara instriksinya tetap tidak berubah. Hal ini
karena bila nilai instrinsik nilai tersebut berubah, maka kewahyuwan (refillatif) dari sumber nilai yang berupa
kitab suci Al-Qur’an akan mengalami kerusakan.[17] Al-Qur’an dalam kaitan
ini, disamping mengakui adanya kemampuan manusia baik sebagai individu maupun
social sebagai sesuatu yang dapat menentukan nilai, juga mengakui bahwa kebenaran,
berarti penentuan norma dan nilai, yang sebenarnya adalah dari Allah Swt.
Dengan demikian, Islam memandang persoalan nilai dari dua sisi, yang pertama, yaitu nilai yang relative yakni
berasal dari individu atau social, dimana nilai disni berkembang dan berubah
sesuai zaman. Dan kedua, nilai yang
absolut, yakni berasal dari Allah Swt.[18]
Disamping itu
Al-Qur’an menyebutkan bahwa nilai dan kebenaran mutlak (absolut) adalah berasal
dari Allah Swt. Seperti halnya Allah menunjukkan manusia ke jalan yanag benar
dan lurus atau kearah kebaikan yang terdapat dalam Q.S. Al-Insan 76:3[19]
اِنَّاهَدَيْنَهُ
لسَّبِيْلَ اِمَّاشَاكِرًاوَّاِمَّاكَفَوْرًا (٣)
Artinya “Sungguh, kami telah menunjukkan kepadanya
jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan adapula yang kufur”.
2)
Nilai
Insaniyah
Nilai Insaniyah tumbuh atas kesepakatan
manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini besifat
dinamis. Sedangkan keberlakuan dan kebenarannya relative yang dibatasi oleh
ruang dan waktu. Nilai-nilai Insaniyah
yang kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi yang diwariskan turun temurun
dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai, kenyataan
ikatan-ikatan tradisional sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan
kemajuan manusia.[20] Al-Quran menjelaskan bahwa
sebagian nilai bisa ditemukan oleh masyarakat, dengan demikian masyarakat mampu
menetukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang disepakati dan mana
yang tidak disepakati. Sebagai fakta sosiologis menurutnya, Nabi Muhammad SAW.
Pernah merasa takut yang terdapat dalam Q.S Al-Azhab ayat 33: 37.
وَاِذْتَقُولُ
لِلَّذِي اَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللهُ مُبْدِ يْهِ وَ تَخْشَى النَّاسَۚ
وَاللهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٓىهُ ۗ فَلَمَّاقَضٓى
زَيْدٌمِنْهَا وَطَرازَوَّجْنٓكٓهٓا لِكَيْ لايَكُوْنُ عَلَى الْمُٶْمِنِيْنَ حَرَجٌ
فِيْ اَزوَاجِ اَدْعِيَآ ىِٔهِمْ اِذَاقَضَوْامِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكاَنَ اَمْرُاللهِ
مَفْعُوْلاً
Artinya
“ Dan (ingatlah), ketika engkau
(Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau
(juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus isterimu dan
bertaqwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan dalm hatimu apa yang
akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah
lebih berhak untuk engkau takuti. Maka ketika zaid telah mengakhiri keperluuan
terhadap istrinya (menceraikannya), kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab)
agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
terhadap istrinya. Da ketetapan Allah itu pasti terjadi “.
Yang itu berarti masyarakat sekitar yang telah mempengaruhinya.
Dari kemampuan manusia untuk mengakomodasikan antara nilai yang relative dan
absolut atau yang biasa disebut dengan nilai Insaniyah dan nilai Ilahiyah
bersumber dari watak manusia itu sendiri, yakni dorongan dari dalam diri
sendiri yang menuntut untuk pembebasan jiwa dan beban batin akibat perbuatan
dosa yang bertentangan dengan perintah Ilahi.
Atas dorongan batin tersebut manusia dengan
fitrahnya mersa wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk sesamanya. Itulah sebabnya jiwa manusia secara natural mampu
melaksanakan nilai-nilai wahyu yang bersifat mutlak (absolut) karena Allah Swt
menciptakannya dengan memberi kelengkapan psikologis berupa potensi dan
disposisi untuk mengembangkan nilai-nilai Islami tersebut dalam bentuk
pengaplikasiannya terhadap sikap dan tingkah laku kehidupan individual dan
sosialnya.
2. Tinjauan Tentang
Sikap Religius
a. Pengertian Sikap
Terdapat
beberapa teori yang membantu untuk memahami bagaimana sikap dibentuk dan
bagaimana sikap itu bisa berubah. Sikap cenderung kompleks secara kognitif
tetapi relative secara efaluatif. Ketika kompleksitas kognitif dipasangkan
dengan kesederhanaan evaluative maka, salah satu akibatnya individu mungkin
akan mudah mengubah sikap, namun jika evaluasi dilakukan secara keseluruhan
terhadap objek maka pada umumnya sulit untuk berubah.
Mengenai
definisi sikap, banyak ahli yang mengemukakan sesuai dengan sudut pandang
masing-masing. Aneka ragam pengertian
sikap yang dihasilkan oleh sebagian para ahli sengaja dihadirkan dalam bahasan
ini dalam rangka untuk memperoleh pengertian yang lebih utuh.
Fishbein, mendefinisikan sikap adalah sebagai
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap
suatu objek. Sikap merupakan variable laten yang mendasari, mengarahkaan dan
mempengaruhi tingkah laku, secara opperasional sikap dapat diekspresikan dalam
bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respon reaksi dari sikapnya
terhadap objek baik berupa orang, peristiwa, atau bahkan situsi.[21]
Sementara itu, menurut Chalpin dalam Dictionary of Psychology menyatakan
sikap dengan pendirian. Yang selanjutnya dia mendefinisikan sikap sebgagai
predisposisi atau kecenderungan yang relative stabil yang berlangsung terus
menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang
lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu baik positif ataupun negative.[22]
Dari beberapa
pengertian tentang sikap maka dapat ditafsirkan bahwanya sikap seseorang
biasanya merupakan bagian dari karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan
dari karakter seseorang tersebut. Namun, tentu saja tidak sepenuhnya benar,
tapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatau yang ada dihadapannya
biasanya menunjukkan bagaimana karakternya.
b. Ciri-ciri Anak
Remaja
Masa remaja
merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Secara fisik
mereka seperti orang dewasa, secara jasmaniah telah jelas apakah mereka dalam
bentuk lak-laki atau perempuan yang semestinya. Namun, dari segi lain masih
belum matang, baik dari segi emosional dan socialnya masih sangat memerlukan
waktu untuk berkembang menuju kedewasaan. Kedewasaaanya berkembang pesat,
pendapatnya juga ingin didengar dan dihargai dan diterima oleh orang yang
mendengarnya. Menurut pemikiran dan pandangan mereka, mereka ingin hidup
mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang lain.[23]
Usia anak disekolah menengah sekitar 13-17
tahun dan menurut ahli psikologi, usia 13-17 tahun sudah memasuki masa remaja
awal yang merupakan peralihan menuju dewasa. Mereka sudah mulai merasa bahwa
dirinya sedang berada dalam tingkatan yang sama dengan orang dewasa dan
mengalami masa pubertas.[24]
Selain
itu mereka juga mengalami perubahan intelektual, hal ini dapat dilihat dari
sikap mereka yang mulai kritis terhadap permasalahan yang dihadapi dan dilihat
dalam kehidupan sehari-hari, ini disebabkan karena mereka sudah mengalami
kematangan mental, emosional, social dan fisik yang sudah mengalami perubahan
yang mencolok. Ciri-ciri remaja yang membedakan dari masa sebelum dan masa
sesudahnya:
1)
Masa remaja
merupakan periode yang penting, karena pada masa ini mereka mulai mengalami
perubahan fisik dan psikisnya, oleh sebab itu mereka perlu penyesuaian mental
dan pembentukan sikap serta nilai dan minat baru dalam menghadapi kehidupan
yang akan datang.
2)
Masa remaja
sebagai masa peralihan, dari perubahan fisik yang mereka alami menyebabkan
terjadinya keragu-raguan terhadap apa yang harus mereka lakukan karena mereka
sudah bukan anak kecil lagi namun belum dewasa, sehingga status mereka belum
jelas.
3)
Masa remaja
sebagai periode perubahan, pada masa ini remaja cenderug mengalami perubahan
perilaku dan sikap dengan cepat dan pesat. Seperti emosionalnya, perubahan
minatnya, tingkah lakunya, tutur bahasanya, penuntutan kebebasan dan lain
sebagainya.
4) Sebagai
usia yang bermasalah dan tidak realistis, pada usia remaja mereka sering
mengalami masalah yang tidak dapat diatasi berdasarkan keyakinan mereka. Hal
ini, disebabkan oleh kebiasaan yang dialami pada masa kanak-kanak yang apabila
ada masalah selalu diatasi oleh guru, orang yang lebih tua ataupun bahkan orang
tua. Remaja sering bersikap realistis karena mereka selalu memandang dirinya
dan orang lain sesuai dengan keinginannya sehingga mereka cenderung memiliki
kekecewaan karena tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan atau tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
c. Agama Pada Masa
Remaja
Dizaman yang
penuh dengan kecanggiha teknologi dan peradaban manusia yang mengalami kemajuan
menyebabkan sebagian oang mengingkari bahwa apa yang mereka peroleh dan rasakan
serta dapat menikmatinya saat ini semata-mata karena kekuasaan Allah Swt mereka
merasa hebat, sombong dan angkuh dengan tidak mensyukuri atas apa yang telah
Allah berikan.
Padahal
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini dan diperintahkan
hanya untuk menyembah dan taat kepada-Nya. Dan untuk menjalankan tugasnya
sebagai khalifah, manusia diberikan alat untuk dapat mengenal dirinya dan mampu
membina hubungan yang baik dengan Allah melalui agamnya.
Dalam
aspek psikologi, manusia sebagai makhluk yang memiliki hubungan dengan
kehidupan bermasyarakat dihadapkan dengan hal-hal yang dapat membuat hatinya tidak
tenang dan tidak tentram sehingga diperlukan adanya pegangan hidup yang disebut
agama, karena dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt sehingga dapat merasakan
ketenangan dan ketentraman.
Agama
merupakan peraturan Tuhan yang diberikan kepada manusia dan berisi tentang
kepercayaan, penyembahan dan ketaatan terhadap pekerjaan yang suci dan
kebenaran yang berasal dari Allah sehingga akan memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan suci yakni membawa keyakinan dengan
perjanjian bahwa hanya Allah pemelihara dan penjaga dirinya. Dalam diri manusia
terdapat berbagai macam fitrah yaitu fitrah agama, fitrah suci, fitrah
berakhlak, fitrah kebenaran, dan fitrah kasih sayang. [25]
Pada
masa remaja yang merupakan masa transisi, remaja selalu cenderung mengalami
perubahan yang penuh kegelisahan, kegoncangan dan keraguan. Hal ini disebabkan
karena pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikisnya yang begitu cepat
berlangsung. Kegoncangan yang dialami oleh remaja ini mungkin muncul karena
disebabkan oleh dua factor yakni:
1) Factor
internal terkait dengan Pertama
matangnya organ-organ seks yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, namun dia tahu perbuatan itu dilarang oleh agama. Kondisi ini yang
menimbulkan konflik pada diri remaja yang pabila tidak secepatnya terselesaikan
maka mungkin remaja itu akan terjerumus kedalam perilaku yang nista. Kedua berkembangnya sikap independen,
keinginan untuk hidup bebas tidak mau terikat dengan norma-norma keluarga,
sekolah ataupun agama. Namun apabila orang tua atau guru kurang memahami dan
mendekatinya secara bijak maka sikap negative akan muncul seperti halnya
membandel, menetang, menyendiri, atau bahkan acuh tak acuh.
2) Factor
Eksternal terkait dengan. Pertama, aspek-aspek
perkemabangan kehidupan social budaya dalam masyarakat yang tidak jarang untuk
bertentangan dengan nilai-nilai agama, namun beredarnya film-film, VCD, atau
foto-foto yang terlalu fulgar, pejualan minuman keras dan obat-obat terlarang
yang terlalu bebas. Kedua, perilaku
orang dewasa, orang tua sendiri, orang yang dianggap lebih tua, para pejabat,
dan masyarakat yang life stylenya
kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur, dan perilaku amoral
lainnya.[26]
Segala persoalan dan
problema yang terjadi pada masa remaja itu sebenarnya bersangkut paut dengan
usia yang mereka lalui dan juga tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, pemegang peranan terpenting untuk mengontrol sikap dan
perilaku remaja supaya terhindar dari hal-hal yang menyimpang baik dari segi
aturan maupun kedisiplinan tidak lain adalah agama. Namun sayang sekali, dunia
modern kurang menyadari betapa penting dan berharganya agama dalam
berkehidupan.
d. Perkembangan Beragama
Pada Remaja
Dalam teori
perkembangan, anak remaja merupakan tahap progressif, yang mencakup pase Juvenilitas, Pubertas dan Nubilitas. Sejalan dengan perkembangan
jasmani dan rohani anak, maka agama para remaja menyangkut perkembangan
ketiganya.[27]
Banyak
anak mulai meragukan konsep dan keykinan religiusnya pada masa kanak-kanak dan
oleh karena itu, ada beberapa ciri dalam perkembangan minat agama anak remaja
sebagai lanjutan dari perkembangan agama ketika masih anak-anak antara lain:
1)
Periode
kesadaran religious
Pada
saat remaja mempersiapkan diri untuk menjadi jemaah baik Kristen ataupun Islam
yang dianut oleh orang tua, minat religiusnya meninggi, sehingga akibat dari
meningkatnya minat itu, mereka mungkin menjadi semakin bersemangat mengenai
agama, sampai mereka mempunyai keinginan tersendiri untuk menyerahkan kehidupannya
kepada agama. Seringkali remaja membanding-bandingkan antara keyakinan sendiri
dengan keyakinan orang lain atau teman-temannya dengan menganalisis keyakinan
secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan remaja tersebut.
2)
Periode keraguan
religious
Berdasarkan
pada penelitian secara kritis terhadap keyakinan masa anak-anak, remaja sering
bersikap kritis terhadap keyakinan pada saat ia menjadi anak-anak, remaja
sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk religious, dan kemudian mulai
meragukan isi religious, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan mengenai
kehidupan setelah mati. Bagi remaja keraguan yang semacam ini membuat mereka
kurang taat terhadap agama, sedangkan remaja lainnya mencari kepercayaan
lainnya untuk memenuhi kebutuhan dari keyakinan yang dianutnya.
3)
Periode
rekonstruksi agama
Remaja
juga bisa dianggap sebagai masa Rekonstruksi Agama melalui nalar intelektualnya
yang sesuai dengan jiwa kepribadiannya. Hal ini terjadi sedikit demi sedikit
apabila remaja menemukan jawaban dari keraguan pada masa awal remajanya
terhadap keyakinan agama yang dianutnya.[28]
e. Suasana
Religius di Sekolah
Seseorang
agama hendaknya memiliki sikap religious, namun pada kenyataannya banyak orang
yang tekun menjalankan ajaran agama namun, juga masih melanggar aturan dan
ajaran agama lainnya, begitu pula sebaliknya, ada orang yang kurang mentaati
agama, tapi ia memiliki rasa keadilan yang tinggi, ia membenci kemunafikan dan
mendukung kebenaran, sehingga dapat dikatakan orang tersebut memiliki potensi
untuk bersikap reeligius.
Dengan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional untuk menerapkan kurikulum Pendidikan Agama Islam di
sekolah digarapkan mampu mencetak peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjdi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[29]
Sekolah dengan berbagai jenjang dan jenisnya merupakan lembaga
pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan disekolah berlangsung secara formal
dibawah pengawasaan pendidika. Sebagai lembaga kedua setelah keluarga, sekolah
memiliki fungsi untuk mengembangkan kecerdasan dan juga memberikan pengetahuan
terhadap peserta didiknya.[30]
Adapun suasana religious yang diciptakan disekolah bukan hanya melakukan
aktivitas keagamaan, ritual (ibadah) yang bersifat lahiriyah saja seperti
halnya 3S (senyum, sapa dan salam), saling hormat dan toleran, sholat duha dan
tadarus Al-Qur’an melainkan kegiatan lainnya yang bisa dilakukan didalam hati, seperti
berdzikir, puasa senin kamis, istighasah dan do’a bersama.
Dengan memiliki sikap religius
setiap dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan dapat mengasah dan mengasuh jiwa
seseorang untuk dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt
dengan menjalin hubungan yang baik dengan Allah Swt. dan sesama manusia.
3. Indikator Keberhasilan dalam Proses
Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Pada Siswa
Dalam system
pendidikan pengukuran pencapaian hasil dari proses pembelajaran hanyalah
ditekankan pada hasil akhir yang telah dicapai yang kerap kali hasilnya tidak
efektif. Dan untuk mencapai tingkat pengetahuan tertentu yang diperlukan justru
tidak hanya sebuah proses namun juga pengertian tentang konsep yang dapat
dicapai melalui aspek-aspek penting pada peserta didik yang sangat menunjang
dalam proses pembelajaran terutama dalam proses transfer ilmu terhadap peserta
didik supaya hasil yang diperoleh maksimal dan sesuai dengan harapan. Dan
mengenai aspek-aspek tersebut diantaranya:
a.
Aspek Kognitif
Kognitif merupakan salah stau aspek
penting perkembangan peserta didik yang berkaitan langsung dengan pembelajaran
dan sangat menentukan keberhasilan mereka di sekolah.
Kognitif atau pemikiraan adalah istilah yang sering digunakan
oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan
dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang
memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, merencanakan masa depan, atau semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari,
memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan
memperhatikan lingkungannya. Dengan kata lain, aspek kognitif merupakan aspek
yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu aktifitas atau
kemampuan otak dalam mengembangkan kemampuan rasional.
b.
Aspek Afektif
Ranah afektif
merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap dan nilai seperti
perasaan, penghargaan, semangat dan minat seseorang terhadap sesuatu serta
sikap yang mampu merespon terhadap stimulus.
Afektif lebih
mengarah kepada perbuatan yang dilakukan atas dorongan perasaan dan emosi
individu. Dalam proses pendidikan afektif sering diterjemahkan sebagai minat,
sikap dan penghargaan dalam proses pembelajaran. Ciri-ciri hasil belajar
afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku diantarnya:
1)
Peserta didik
dapat menerima dan memperhatikan pelajaran selama proses pembelajaran
berlangsung.
2)
Peserta didik
dapat menanggapi apa yang telah didapatkan dan dirasa kurang efisien menurut
pemikirannya.
3)
Peserta didik
dapat memberikan penilaian terhadap apa yang telah didapatkannya.
4)
Peserta didik
dapat mengatur dan mengorganisasikan sesuatu.
5)
Peserta didik
dapat melakukan kompleksasi nilai.
c.
Potensi Psikomotorik
Psikomotorik
merupakan aspek yang berkaitan dengan keterampilan meliputi perilaku gerakan
dan koordinasi jasmani, kemampuan motoric dan kemampuan fisik seseorang atau
kemampuan bertindak setelah menerima pengalaman pembelajaran.
Psikomotorik ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil
belajar kognitif dan afektif yang akan tampak dalam bentuk kecenderungan dalam
bertingkah laku.[31]
Dalam menentukan indicator keberhasilan mengenai proses
internalisasi nilai-nilai agama Islam pada siswa terdapat beberapa indicator
kompetensi yaitu. Pertama, Potensi
Kognitif yang berupa pengetahuan dan penguasaan terhadap materi yang termasuk
dalam proses internalisasi sekaligus mampu melaksanakan secara mandiri terhadap
pengetahuan yang telah diinternalisasikan. Kedua, aspek afektif yang berupa sikap
mental yang berubah setelah menerima proses internalisasi sehingga mampu
menciptakan kesadaran sendiri untuk melakukan hal-hal yang telah diterimanya
disaat proses internalisasi dilakukan. Ketiga, dan aspek psikomotoriknya mengenai perubahan sikap
keranah yang lebih baik dari yang sebelumnya memiliki sifat yang tidak
mencerminkan nilai-nilai keagamaan.
4. Faktor Penghambat Proses
Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam Pembentukan Sikap Religius Siswa
Pada garis
besarnya sumber jiwa keberagaman itu berasal dari dua factor yaitu factor
intern dan ekstern manusia. Pada hakikatnya pengaruh psikologi manusia memang
tidak bisa dipisahkan dari agama karena akibat dari pengaruh psikologis ini
pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan manusia, baik dalam
kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya, keyakinan pada pola tingkah laku
tersebut yang mendorong manusia untuk melahirkan norma-norma dan pranata
keagamaan sebagai pedoman dan sarana kehidupan beragama pada masyarakat.[32]
Berbagai
jenis pendekatan yang digunakan mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan
merupakan aspek psikis berupa instinktif yaitu unsur bawaan yang siap
pakai. Jiwa keagamaan juga mengalami
proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian jiwa
keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan dan hambatan yang dapat
mempengaruhi perkembangannya.
a.
Faktor Intern
Perkembangan
jiwa keagamaan selain ditentukan oleh factor ekstern juga ditentukan oleh
factor intern seseorang. Tetapi sebagian besar factor yang sangat berpengaruh
terhadap terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah factor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1)
Faktor
Hereditas
Jiwa
keagamaan memang bukan secara langsung sebagai factor bawaan yang diwariskan
secara turun-temurun melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya
yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif.
2)
Tingkat Usia
Perkembangan
agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut
dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan yang termasuk didalamnya
perkembangan berpikir yang ternyata anak yang memasuki usia berpikir kritis
maka akan lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Selanjutnya pada usia
remaja saat mereka memasuki usia kematangan seksual, pengaruh itupun menyertai
perkembangan jiwa keagamaan pada mereka.
Tingkat
perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja saat ini menimbulkan
konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan
menurut Sturbuck memang benar pada usia adolesensi sebagai rentag umur tipikal
terjadinya konversi agama. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan konversi
agama dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan
perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja karena
pada kenyataannya dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada
tingkat usia yang berbeda.
3)
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologis terdiri dari dua unsur yaitu hereditas dan
pengaruh lingkungan. Adanya kedua unsur tersebut akan membentuk sebuah
kepribadian yang akan menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Dalam
kaitannya kepribadian sering disebut dengan identitas seseorang yang sedikit
baanyak dapat menampilkan ciri-ciri sebagai pembeda dari individu dengan yang
lainnya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki
perbedaan dalam kepribadian, dan perbedaan inilah yang diperkirakan memiliki
pengaruh terhadap aspek-aspe kejiwaan termasuk juga didalamnya jiwa keagamaan
pada diri seseorang.
4)
Kondisi
Kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai factor intern. Ada beberapa
model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang
dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh
konflik yang terletak di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi
sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut pendekatan biomedis,
fungsi tubuhlah yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Kemudian
pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia.
Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulus lingkungan yang
dihadapinya saat itu.[33]
b.
Faktor
Ekstern
Manusia
sering disebut dengan homo religious. Pernyataan ini menggambarkan bahwa
manusia memiliki potensi dasar yang harus dikembangkan sebagai manusia yang
beragama. Potensi ini secara umum disebut dengan firah keagamaan yang merupakan
kecenderungan bertauhid. Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam jiwa
keagamaan jiwa seseorang dapat dilihat dimana seseorang itu tinggal dan hidup.
1)
Lingkungan
Keluarga
Keluarga merupakan satuan social yang
paling sederhana dalam kehidupan manusia. Bagi anak, keluarga merupakan
lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga
menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Pengaruh
kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam
sudh lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan
jiwa anak tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Keluarga
dinilai sebagai factor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi
perkembangan jiwa keagamaan.
2)
Lingkungan
Instutisional
Lingkungan intitusional yang juga
ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal
seperti sekolah, ataupun yang non formal seperti berbagai perkumpulan dan
organisasi.
3)
Lingkungan
Masyarakat
Boleh dikatakan setelah menginjak
usia sekolah, sebagian besar waktunya jaganya dihabiskan disekolah dan
masyarakat. Berbeda dengan situasi rumah dan sekolah, umumnya pergaulan
dimasyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi
secara ketat. Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat bahkan,
terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam
segi positif maupun negtif.[34]
5. Kajian Terdahulu
Dalam
judul ini sebelumnya sudah ada orang-orang yang pernah meneliti tentang
Internalisasi nilai-nilai di antaranya adalah:
Moh. Amin Kurdi, yang meneliti tentang Internalisasi
Nilai-Nilai Agama Islam dalam Pembinaan Mental Siswa di MTS Al-Amien Glidigan
Bugih Pamekasan, hasil yang diperoleh dilapangan adalah sebagai berikut: nilai-nilai pendidikan Islam yang ditanamkan
oleh para guru di MTS Al-Amien Glidigan Bugih Pamekasan mempunyai nilai yang
berkaitan erat dengan tujuan pengajaran yang diberikan melalui pengetahuan
agama yang ada disekolah melaui pelajaran Al-Qur’an, tauhid, hadits, tafsir,
kebudayaan Islam, dan lain-lain. Seluruh materi disusun untuk menyempurnakan
kondisi psikologis, social, spiritual, perilaku, dan penalaran siswa. Dan
metode yang digunakan cukup beragam, seperti bercerita, Tanya jawab,
demonstrasi, pemberian tugas dan lain-lain. Dan untuk mengetahui tingkat
perkembangan maka dilakukan evaluasi pengamatan pada perkembangan masing-masing
anak disetiap harinya atau pada hasil karya anak disetiap pembinaan mental yang
diterapkan adalah dalam pembiasaan sehari-hari yaitu dalam semua aspek
pengembangan.[35]
Mahsunah,
yang meneliti tentang Internalisasi Niai-Nilai agama Islam Dalam Pembinaan
Mental Melalui Pembiasaan dan Keteladanan di TK Al-Jufri VII Trasak Larangan
Pamekasan, hasil yang diperoleh dilapangan adalah sebagai berikut: bahwa
pelaksanaan internalisasi nilai-nilai agama Islam dalam pembinaan mental
melalui pembiasaan dan keteladaan sudah terlaksana dengan baik. Adapu factor
pendukung dijadikan sebagai motivasi untuk mengatasi kendala yang menghambat
terlaksananya proses internalisasi, sedangkan para pengasuh dan pendidik selalu
mengupayakan agar hambatan tersebut dapat diselesaikan dengan cepat dan baik.[36]
Dari hasil penelitian
diatas menujukkan bahwa pada dasarny dari semua hasil penelitian sama-sama
bagaimana cara menerapkan nilai-nilai, namum focus yang digunakan berbeda-beda.
Sedangkan dalam penelitian sekarang lebih menfokuskan pada pembentukan sikap
religius siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan.
H. Metode
Penelitian
1. Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Bogdan dan Taylor mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati.[37]
Sejalan dengan hal tersebut Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode.[38]
Penelitian ini menggunakan
pendekatan Kualitatif. Sedangkan jenis penelitiannya menggunakan penelitian
lapangan, peneliti mengambil jenis pendekatan ini, karena pendekatan ini dapat
menyajikan secara langsung tentang bagaimana penelitian dengan subjek yang
diteliti. Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam penelitian
ini, maka peneliti menggunakan beberapa metode penelitian dalam mengungkapkan
permasalahan-permasalahan yang ada, yang kiranya dapat mencapai sasaran atau
tujuan yang hendak dicapai. Sehingga hasil penelitian ini nantinya benar-benar
obyektif dan representative.
Pembahasan dalam
skripsi ini terdiri dari (1) pembahasan yang bersifat teoritis yaitu pembahasan
yang menggunakan teori semata, berdasarkan pandangan para ahli yang diperoleh
dari sumber bacaan, (2) pembahasan yang bersifat empiris, yaitu berdasarkan
hasil-hasil penelitian lapangan dengan menggunakan metode observasi, interview
dan dokumentasi.
2.
Kehadiran
Peneliti
Kehadiran
peneliti di lapangan sangat penting dan mutlak dilakukan dalam pendekatan
kualitatif. Karena Kehadiran peneliti selain bertujuan menjalin
komunikasi dengan Informan yaitu juga untuk memperoleh data dan informasi
terkait dengan masalah yang diteliti. Sehingga dengan kehadiran peneliti akan
lebih tahu situasi dan kondisi dilapangan.
Peneliti
dalam hal ini bertindak sebagai instrument atau pengumpul data, sekaligus
pengamat serta merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, dan
penafsiran data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil
penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian disini tepat karena
menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian.[39]
3. Lokasi
Penelitian
Untuk memperoleh
informasi yang akurat tentang berbagai aspek yang berkenaan denagan masalah
penelitian, maka peneliti memilih lokasi yang akan dijadikan sebagai objek
penelitiann adalah SMP Negeri 1 Pamekasan. Salah satu yang menjadi pertimbangan
peneliti karena di SMP Negeri 1 Pamekasan ini peneliti melihat fenomena menarik
terkait proses penenaman dan penerapan nilai-nilai agama Islam yang menurut
peneliti sangatlah menarik jika meakukan penelitian mengenai hal tersebut
memang terlihat biasa namun menurut peneliti terdapat beberapa hal yang sangat
menarik untuk dilakukan penelitian.[40]
4.
Sumber
Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah
subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner
atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden
yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan
secara tertulis maupun lisan.[41]
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau yang di wawancarai
merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis
maupun perekam.[42]
Dengan
demikian informan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru pengajar.
Kepala sekolah dipilih sebagai sumber informasi dengan alasan bahwa kepala
sekolah sebagai pemimpin tertinggi yang memegang peranan terpenting dalam
mengelola lembaga pendidikan, disamping itu kepala sekolah juga lebih banyak
mengetahui persoalan pembelajaran yang berkembang dilingkungan, guru mata
pelajaran dipilih menjadi sumber informasi karena guru adalah selaku orang yang
melakukan langsung proses belajar mengajar disekolah, yang dalam hal ini
merupakan orang yang secara langsung menanamkan nilai-nilai agama Islam.
5.
Prosedur
Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis yaitu
dengan mneggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi.
a.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan
memiliki maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu:
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.[43]
Dalam setiap wawancara, baik wawancara terstruktur,
wawancara semi struktur dan wawancara tidak terstruktur pada umumnya
menggunakan pedoman wawancara. Fungsi pedoman wawancara adalah memberikan
tuntunan dalam mengkomunikasikan secara langsung pertanyaan-pertanyaan terhadap
responden yang akan kita wawancarai.
Peneliti disini meggunakan jenis wawancara tidak
terstruktur jadi bergantung pada spontanitas dalam mengajukan pertanyaan kepada
terwawancara, dan lebih merasa rileks, sehingga data yang diberikan merupakan
data yang benar dan sesuai dengan kejadian yang seenarnya.
Wawancara tidak terstruktur tidak membutuhkan
pedoman wawancara yng detail tetapi semacam wawancara umum untuk menanyakan
pendpatt atau komentar responden tentang suatu topik sesuai tujuan pewawancara.
Wawancara semacam ini dilakukan jika informasi sulit diperoleh dari responden
yang kita wawancarai.[44]
b.
Observasi
Menurut Purwanto observasi yang dikutip
oleh Buna’i adalah “metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau
mengamati individu atau kelompok”.[45]
Teknik pengumpulan data dengan observasi
digunakan apabila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja,
gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dari
segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi dua
yaitu Participant observation
(observasi berperan serta) dan non
participant observation.[46]
1) Observasi berperan serta (Participant
Observation)
Dalam observasi ini, peneliti terlibat
dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan
sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut
melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka
dukanya.
Dengan observasi participant ini maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam,
dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Dalam
suatu perusahaan atau organisasi pemerintah misalnya, peneliti dapat berperan
sebagai karyawan, dapat mengamati bagaimana perilaku karyawan dalam bekerja,
bagaimana semangat kerjanya, bagaimana hubungan satu karyawan dengan karyawan
lain, hubungan karyawan dengan supervisor dan pimpinan, keluhan dalam
melaksanakan pekerjaan dan lain-lain.
2) Observasi non participant
Peneliti dalam observasi non participant ini tidak terlibat langsung
dengan aktivitas orang yang diamati dan hanya sebagai pengamat independen, ini
yang menjadi pembeda antara participant dan non participant.
Pada jenis
observasi ini, peneliti mencatat, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat
kesimpulan tentang perilaku orang-orang yang diteliti.[47]
Observasi yang dilaksanakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data yang sesuai dengan sifat penelitian yakni dengan menggunakan
observasi non-Participant. Dimana dalam observasi ini peneliti tidak ikut serta
dalam melakukan apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang akan diobservasi, peneliti
hanya sebagai pengamat independen sehingga peneliti hanya mencatat dan
menganalisis mengenai bagaimana proses internalisasi nilai-nilai agama Islam
yang dilakukan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap siswa kelas
VII di SMP Negeri 1 Pamekasan.
6. Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja menggunakan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satu yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting,
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.[48]
Data yang diperoleh dari penelitian
tersebut akan dianalisis menggunakan metode deskripsi analisis. Dalam
penelitian ini data yang dianalisis adalah data yang terhimpun yang diperoleh
dari lapangan, hasil wawancara, dan dokumen.
a.
Reduksi Data
Yaitu merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan.
b. Penyajian Data
Setelah data di reduksi, maka langkah
selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian
data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart dan sejenisnya.
Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Merupakan akhir dari analisis data penelitian kualitatif. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan pemaknaan melalui refleksi data. Hasil paparan data
tersebut direfleksikan dengan melengkapi kembali atau menulis ulang catatan
lapangan berdasarkan kejadian nyata dilapangan.
Dalam merefleksi, perlu kehati-hatian agar
tidak mengarang cerita yang sebetulnya tidak ada di lapangan atau mengada-ngada
dengan menambahkan data yang tidak penting dan tidak didukung. Selanjutnya
yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi dengan menggolongkan ke proses
kategorisasi/tema sesuai fokus penelitian.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk megecek data yang
sudah terkumpul dan mengetahui apakah data yang diperoleh sudah valid dan bisa
dipertanggung jawabkan, maka peneliti melakukan peninjauan kembali secara
cermat dan teliti (Crosceek) agar sumber data dari temuan-temuan ini
tidak terkesan mengambang dan Validitas data lebih terjamin.
Oleh
karenanya peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
a.
Perpanjangan
Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan
dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam
waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar
penelitian. Perpanjangan keikutsertaan juga menuntut peneliti terjun ke lokasi
dan dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi
yang mungkin mengotori data.[49]
b. Ketekunan
Pengamatan
Ketekunan pengamatan berarti mencari
secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitannya dengan
proses analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pengamatan bermaksud
untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan
dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada
hal-hal tersebut secara rinci.[50]
c. Trianggulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.[51]
Mengacu pada pendapat Denzim yang dikutip
oleh Imam Gunawan menjelaskan bahwa pelaksanaan pengujian keabsahan data dengan
metode triangulasi terbagi menjadi empat, yaitu sumber, metode, peneliti, dan
teoritik.
1) Trianggulasi Sumber
Triangulasi
sumber adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber
memperoleh data. Dalam triangulasi dengan sumber yang terpenting adalah
mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut.[52]
2)
Trianggulasi
Metode
Triangulasi metode adalah usaha mengecek keabsahan data,
atau mengecek keabsahan temuan peneliti. Menurut Rahardjo, triangulasi metode
dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang
berbeda.[53]
Triangulasi
metode dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan
data untuk mendapatkan data yang sama. Pelaksanaannya dapat juga dengan cara
cek dan ricek.[54]
Contohnya
membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang akan
dikatakan didepan umum dengan yang akan dikatakan secara pribadi, membandingkan
hasil wawancara dengan dokumen yang ada.
3)
Trianggulasi Peneliti
Triangulasi peneliti adalah menggunakan lebih dari satu peeliti dalam mengadakan
observasi atau wawancara.[55]
4) Trianggulasi
Teoritik
Triangulasi
teoritik merupakan memanfaatkan dua teori atau lebih untuk diadu dan dipadu.
Menurut Bachri, triangulasi teori mencakup penggunaan berbagai perspektif
profesional untuk menerjemahkan satu, tunggal, atau sekumpulan data/informasi.[56]
Penelitian
ini menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode, karena dianggap
lebih mudah dalam mengecek keabsahan data yang diperoleh dari lapangan.
8.
Tahap-Tahap
Penelitian
a. Tahap
Pralapangan
Tahap
pralapangan adalah menyiapkan segala sesuatu atau persiapan sebelum terjun
langsung ke lapangan. Ada tujuh tahap kegiatan yang harus dilakukan oleh
peneliti, yaitu:
1)
Menyusun
rancangan penelitian
2)
Memilih lapangan
penelitian
3)
Mengurus
perizinan
4)
Menjajaki dan
menilai lapangan.
5)
Memilih dan
memanfaatkan informan.
6)
Menyiapkan
perlengkapan penelitian.
7)
Persoalan etika
penelitian.[57]
b.
Tahap Pengerjaan
Lapangan
Uraian tentang
tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian yaitu:
1)
Memahami latar
penelitian dan persiapan diri.
2)
Memasuki
lapangan.
3)
Berperanserta
sambil mengumpulkan data.[58]
c.
Tahap analisis
data
1)
Reduksi data.
2)
Penyajia data.
3)
Kesimpulan/verifikasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1990
Titik Sunarti, “Iternalisasi dan AKtualisasi Nilai-Nilai
Karakter”Jurnal Teknologi Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor
2. (2014)
Ahmadi,Abu . Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Taylor,Shelly E.Anne Peplau,Letitia. dan Sears,David O. Psikologi Sosial “Edisi kedua Belas” Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. 2009
Alif,Mohammad. Asrori,Mohammad. Psikologi Remaja “Perkembangan Peserta Didik”. Jakarta: PT Bumi
Aksara. 2014
Siswanto. Filsafat
dan Pemikiran Pendidikn Islam. Surabaya: Pena Salsabila. 2018
Mu’in,Fatchul. Pendidikan Karakter “Konstruksi Teoritik dan
Praktik”. Jakarta:Ar-Ruzz Media. 2011
Bachtiar
S. Bachri, “Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian
Kualitatif”, Jurnal Teknologi Pendidikan,
Vol.10 No.1. (2010)
Latif,Mukhtar.
Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat
Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014
Sarwono. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. 2013
Mulyana,Rahmat. Pendidikan Islam “Memajukan Umat dan
Memperkuat Kesadaran Bela Negara”. Jakarta: Kencana. 2016
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam “Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah”. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012
Rosyadi,Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004
Assegaf,Rachman. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif.
Jakarta: Rajawli Pers. 2014
Widyastuti,Yeni. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2014
Ali,Mohammad. Psikologi Ramaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Bumi Aksara. 2014
Frondizi,Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2001
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Gunawan,Imam. Metode
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara. 2014
Anggoro,Toha.
Metode Penelitian. Jakarta:
Universitas Terbuka. 2009
Buna’i. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Pamekasan: Stain Pamekasan Press. 2006
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2010
Arikunto,Suharsimi.
Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta. 2013
Moleong,Lexy J. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2014
Prastowo,Andi. Metode
Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian Yogjakarta:
Ar-Ruzz Media. 2014
Jalaluddin. Psikologi
Agama Memahami Perilaku Dengan Prinsi-Prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali
Pers. 2012
Umar,Muntaha. Psikologi
Agama. STAIN Pamekasan Press. 2016
Atiqullah. Dasar-dasar
Psikologi Agama. STAIN Pamekasan Press. 2006
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara, 2010
Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2015
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1990., hlm.336
[2] Titik Sunarti, “Iternalisasi dan AKtualisasi Nilai-Nilai
Karakter”Jurnal Teknologi Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor
2,(2014). hlm182
[4] Ibid hal.88
[5] Ibid hal. 88-90
[6] Mohammad Alif dan Mohammad
Asrori. Psikologi Remaja “Perkembangan
Peserta Didik” (Jakarta: PT Bumi Aksara) hal.142
[7]Mohammad Alif dan Mohammad
Asrori. Psikologi Remaja “Perkembangan
Peserta Didik” (Jakarta: PT Bumi Aksara) hal.140
[8] Fathul Mu’in. Pendidikan Karakter “Konstruksi Teoritik dan Praktik”
(Jakarta: Ar-Ruzz Media) hal.170
[9] Abu Ahmadi. Psikologi Sosial (Jakarta: Rineka Cipta) hal.151
[11] Muhaimin.
Paradigma Pendidikan Islam “Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”.(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya) hlm.178
[25] Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam, Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2004) hlm.282
[29] Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2010) hlm.19
[32]
Jalaluddin. Psikologi Agama
Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip Psikologi. (Jakarta: Rajawali
Pers) hlm.303
[35] Moh.Amin
Kurdi, Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam dalam Pembinaan Mental Siswa di
MTS Al-Amien Glidigan Bgih Pamekasan. Skripsi, 2015
[36] Mahsunah, tentang
Internalisasi Niai-Nilai agama Islam Dalam Pembinaan Mental Melalui Pembiasaan
dan Keteladanan di TK Al-Jufri VII Trasak Larangan Pamekasan. Skripsi, 2018
[37] Andi Prastowo, Metode
Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014), hlm., 22.
[38] Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 5.
[39] Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, hlm. 168.
[45] Buna’i, Metodologi Penelitian
Pendidikan (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006), hlm.,104.
[46] Sugiono, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.,
145.
[47] Ibid., hlm., 145.
[48] Lexy J. Moleong, Metodologi
penelitian Kualitatif, hlm. 248.
[49]Lexy J. Moleong, metodelogi
penelitian Kualitatif, hlm., 327-328.
[50]Ibid, hlm., 329.
[51] Ibid, hlm. 330.
[52]Imam Gunawan, Metode
Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi
Aksara, 2014), hlm., 219.
[53]Ibid, hlm. 220.
[54]Bachtiar S. Bachri, “Meyakinkan
Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif”, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol.10
No.1, (April 2010)hlm. 56
[55]Ibid., 220