BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Remaja
Istilah remaja
berasal dari kata latin adolescere
(kata bendanya adoloscentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan
fisik. Kata tersebut mengandung aneka kesan,
ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang potensinya dapat
dimanfaatkan dan kelompok yang bertanggung jawab terhadap bangsa dalam masa
depan. Masa remaja merupakan masa perkembangan seperti orang dewasa. Pada periode ini
menuju kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional. Masa remaja
kadang panjang kadang pendek tergantung lingkungan dan budaya di mana remaja
itu hidup.
Kehidupan remaja itu sendiri
merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia. Fase ini adalah masa
transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan. Disebut masa transisi
karena terjadi berbagai perubahan,
baik fisik maupun non fisik. Pada masa ini terjadi saling pengaruh
antara aspek jiwa dengan aspek yang lain, yang kesemuanya akan mempengaruhi
keadaan kehidupan remaja.[1]
Perubahan
yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga
mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan perkembangan
kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai
mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja mulai
melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai
orang dewasa.
Selain perubahan yang terjadi dalam
diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua
atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya.
Kondisi ini merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk
mampu menampilkan tingkah laku yang pantas atau sesuai bagi orang-orang seusianya.
Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan
remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut remaja memperluas lingkungan sosialnya di
luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan
masyarakat lain.[2]
Pada sejarahnya posisi remaja berada
dalam tempat marginal, karena untuk dikatakan dewasa membutuhkan banyak
persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa dikategorikan dewasa, sehingga
remaja lebih mudah dikategorikan sebagai anak dari pada dewasa. Kemudian pada abad ke-18
barulah masa remaja dipandang sebagai periode tertentu yang lepas dari periode
kanak-kanak. Batasan usia remaja berkisar antara usia 12-21 tahun, dengan
perincian 12-15 tahun msa remaja awal, 15-18 tahun remaja pertengahan, 18-21 tahunmasa
remaja akhir.[3]
Masa remaja adalah masa yang
seolah-olah tidak memiliki tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak
juga tidak termasuk golongan dewasa. Karena remaja belumlah mampu menguasai
fungsi fisik maupun psikisnya, oleh karena itu masa remaja biasa kita dengar
sebagai masa transisi atau masa peralihan. Kata remaja didefenisikan sebagai
tahap perkembangan transisi yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Masa ini umumnya dimulai sekitar usia 12 tahun hingga akhir masa
pertumbuhan fisik, yaitu sekitar usia 20 tahun. Usia remaja berada dalam usia
12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria.
Zakiah Daradjat menyebutkan bahwa
para ahli jiwa tidak mempunyai kata sepakat tentang
berapa panjangnya masa remaja tersebut. Mereka hanya sepakat dalam menentukan
permulaan masa remaja, yaitu dengan dimulainya kegoncangan, yang ditandai
dengan datangnya haid (menstruasi) pertama bagi wanita dan mimpi basah pada
pria. Kejadian yang menentukan ini tidak sama antara satu anak dengan anak
lainnya. Ada yang dimulai pada umur 12 tahun, ada yang sebelum itu dan ada pula
yang sesudah umur 13 tahun. Demikian pula tentang akhir masa remaja para ahli
jiwa tidak memiliki kata sepakat. Ada yang mengatakan umur 15 tahun, ada juga
yang menentukan umur 18 tahun, bahkan dalam bidang kemantapan beragama oleh
ahli jiwa agama diperpanjang lagi sampai umur 24 atau 25 tahun. Meskipun
berbeda dalam menentukan umur remaja, namun para ahli memberikan patokan umur
antara 13 sampai 21 tahun adalah umur remaja. Sedang Mengenai perkembangan jiwa
agama berkisar antara umur 13 sampai 24 tahun. Zakiah Darajat menyebutkan bahwa
masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari
kanak-kanak menuju dewasa.
Dari penjelasan diatas, setidaknya
dapat disimpulkan pada umumnya masa remaja dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Masa remaja
awal
Pada
masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang
unik dan tidak tergantung pada orang lain.
b. Masa remaja
pertengahan
Pada
masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang
penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan
dirinya sendiri.
c. Masa remaja akhir
B. Masa Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja
Menurut Alizabeth, sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib
danJusuf Mudzakir mengatakan bahwa perkembangan berarti serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perubahan
ini bersifat kualitatif mengenai suatu proses integrasi dari banyak struktur
dan fungsi yang komplek. Sementara itu J.P. Chaplin mengumpulkan 4 (empat) arti
perkembangan; (1) perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam
organisme, mulai lahir sampai mati; (2) pertumbuhan; (3) perubahan dalam bentuk
dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke
dalam bagian-bagian fungsional; (4) kedewasaan atau kemunculan pola-pola dari
tingkahlaku yang tidak dipelajari.[5]
Perkembangan lebih menunjukkan suatu
proses tertentu, yaitu suatu proses yang menuju ke depan dan tidak dapat
diulang kembali. Dalam perkembangan manusia terjadi perubahan-perubahan yang
sedikit banyak bersifat tetap dan tidak dapat diulangi. Perkembangan
menunjukkan pada perubahan-perubahan dalam suatu arah yang bersifat tetap dan
maju. Perkembangan adalah suatu proses perubahan yang lebih dapat mencerminkan
sifat-sifat mengenai gejala psikologis yang tampak.[6]
Dari uraian pengertian-pengertian
diatas, perkembangan bisa diartikan sebagai perubahan yang progresif dan
kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai
meninggal dunia. Segala
persoalan dan problema yang terjadi pada remaja-remaja itu, sebenarnya
merupakan bagian atau berkaitan dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh lingkungan dimana mereka hidup. Dalam hal itu, suatu
faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam kehidupan remaja
adalah agama. namun,
dunia modern kurang menyadari betapa penting dan hebatnya pengaruh agama dalam
kehidupan manusia, terutama pada orang-orang yang sedang mengalami kegoncangan
jiwa, dimana umur remaja terkenal dengan umur goncang, karena pertumbuhan yang
dilaluinya dari segala bidang dan segi kehidupan.
Masa remaja merupakan periode dimana
individualisme semakin menampakkan wujudnya, pada masa tersebut memungkinkan
mereka untuk menerima tanggung jawab atas perilaku mereka sendiri dan menjadi
sadar terlibat pada perkara hal, keinginan, cita-cita yang mereka pilih. Masa muda merupakan tahap
yang penting dalam pertumbuhan religius.
Terkait tentang fase perkembangan
jiwa pada masa remaja, dalam beberapa buku psikologi ada perbedaan. Ada yang
mengelompokkan menjadi empat fase, yaitu pra-remaja (13-16 tahun), remaja awal
(16-18 tahun), remaja akhir (18-20 tahun) dan masa adolescence (21
tahun). Ada yang menjelaskan ada dua
fase, yaitu remaja awal (13-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Dalam
pembahasan perkembangan
jiwa remaja yang dipaparkan
dalam buku Baharuddin dan Mulyono, dibagi
menjadi tiga fase, yaitu masa pra-remaja (13-16 tahun), remaja awal (16-18
tahun), serta remaja akhir (18-21 tahun).[7]
a. Masa Remaja Awal (13-16 tahun)
Pada
masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya
kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan,
kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula
mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan
tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang
kadang- kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohani cenderung
skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan
ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini
mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahubahwa perbuatannya itu
dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor
internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan
untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma/aturan keluarga (orangtua).
Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara baik,
bahkan dengan sikap keras, maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku
negatif, seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak
acuh.[8]
b. Masa Remaja Pertengahan (16-18 tahun)
Gejala masa remaja pada tahap ini
ialah mengidolakan sesuatu (mendewa- dewakan). Di dalam fase atau masa negatif
untuk pertama kalinya remaja sadar akan kesepian yang tidak pernah dialaminya
pada masa-masa sebelumnya. Kesepian di dalam penderitaan, yaitu tidak ada orang
yang dapat mengerti dan memahaminya dan tidak ada yang dapat memenangkannya.
Reaksi pertama-tama terhadap sekitarnya yang dirasanya sebagai sikap
menelantarkan dan memusuhinya. Langkah yang selanjutnya ialah kebutuhan akan
adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut
merasakan suka dan dukanya, teman yang seide dengannya. Di sini mulai tumbuh
dalam diri remaja dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang
dapat dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi, dan dipuja-puja. Pada masa
ini remaja mengalami kegoncangan batin, sebab dia tidak mau lagi menggunakan
sikap dan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum mempunyai pedoman hidup
yang baru.
c. Masa Remaja
Akhir ( 19-21 tahun)
Masa
remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan
kecerdasan telah mendekati kesempurnaan, yang berarti bahwa
tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan
telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya
saja yang perlu diperhatikan. Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani,
serta kecerdasan yang telah mendekati sempurna. Kegoncangan jiwa pada remaja akhir terjadi karena tidak
seimbangnya nilai-nilai yang mulai ditemukan dan dianutnya dengan realitas
kehidupan di sekelilingnya.[9]
Dalam
istilah agama mungkin dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal,
maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Di
samping itu pengetahuan remaja juga telah berkembang pula, berbagai ilmu
pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-macam guru sesuai dengan bidang
keahlian, mereka masing-masing telah memenuhi otak remaja. Remaja saat itu
sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka
mereka juga ingin mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya
yang
sedang bertumbuh pesat itu.
Kendatipun
kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran agama yang dia
terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan
orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam sikap dan tindak
agama remaja. Perkembangan
agama yang terjadi pada remaja terjadi dalam beberapa aspek, antara lain
menurut W. Starbuck sebagaimana dikutip
oleh
Jalaluddin adalah:
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental.
Ide dan dasar keyakinan beragama
yang diterima remaja dari masa kanak- kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi
mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama, merekapun
sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma
kehidupan lainnya. Dalam hal ini, agama yang ajarannya bersifat lebih
konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada
ajaran agamanya. Sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif- dogmatis
dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para
remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi keagamaan mereka.
b. Perkembangan
Perasaan.
Berbagai perasaan berkembang pada
masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk
menghayati prikehidupan yang terbiasa dalam lingkungan kehidupan agamis akan
cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat ke arah hidup agamis. Sebaliknya
bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih
mudah terjerumus kepada hal-hal negatif.
c. Pertimbangan
Sosial.
Corak keagamaan pada remaja juga
ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka
timbul konflik antara pertimbangan moral dan material, remaja sangat bingung
menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan
akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis
yang meliputi kepentingan keuangan, kebahagiaan diri, kehormatandiri dan
masalah kesenangan diri lainnya. Sangat sedikit remaja yang terpengaruh oleh
pertimbangan sosial dalam masyarakat, demikian pula dalam hal agama dan
akhirat.
d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja
bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral
yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1) Self-directive, taat akan agama atau
moral berdasarkan pertimbangan pribadi;
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan
tanpa mengadakan kritik;
3) Submissive, merasakan adanya keraguan
terhadap ajaran moral dan agama;
4) Unadjusted, belum menyakini akan
kebenaran ajaran agama dan moral;
5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan
dan moral masyarakat.
Perkembangan moral ini sangat
berperan penting dalam jiwa agama, sebagian orang berpendapat bahwa moral bisa
mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini. Sehingga ia tidak
melakukan hal-hal yang merugikan dan bertentangan dengan kehendak dan pandangan
masyarakat.
e. Sikap dan
Minat
Sikap dan minat remaja terhadap
masalah keagamaan bisa dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari
kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar
kecil minatnya).[10]
Ada
beberapa ciri dalam perkembangan minat agama anak remaja sebagai kelanjutan
dari perkembangan agama ketika masih anak-anak, sebagaimana pendapat Hurlock
yang dikutip oleh Atiqullah, sebagai berikut:
1.
Periode
Kesadaran Religius
Pada
masa remaja mempersiapkan diri untuk untuk menjadi anggota jemaat (Kristen),
jemaah (Islam) yang dianut oleh orang tua, minat religiusnya meninggi, sehingga
akibat meningkatnya minat ini, ia mungkin menjadi bersemangat mengenai agama,
sampai ia mempunyai keinginan untuk menyerahkan kehidupan untuk agama malah meragukan keyakinan yang diterima
mentah-mentah selama anak-anak. Sering kali remaja
membandingkan keyakinannya dengan keyakinan orang lain (teman-teman),
menganalisis keyakinan secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan
remaja.
2.
Periode Keraguan
Religius
Remaja
sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk reigius (seperti doa, dan
upacara ceremonial keagamaan yang formal), dan kemudian mulai meragukan isi
religius, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati, sehingga membuat mereka kurang taat
terhadap agama, sedangkan
remaja lainnya mencari kepercayaan lain yang bisa memenuhi kebutuhan dari pada keyakinan yang dianut sebelumnya. Sebagaimana
penafsiran Hurlock tentang sikap remaja dalam beragama, ia menyatakan bahwa;
“Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional
dan intelektual. para pemuda
ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual, bukan menerimanya begitu saja. mereka meragukan agama
bukan berarti mereka ingin menjadi agnostic atau ateis, tetapi
mereka ingin menerima agama sebagi satu yang
bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan kekebasan
sendiri.
Berdasarkan
hasil penelitian W. Strabuck, faktor yang menyebabkan keraguan dalam beragama
pada masa remaja,
antara lain:
a. Kepribadian, yang
menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
Bagi seseorang
yang memiliki kepribadian introvert, kegagalan dalam mendapatkan
pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. misalnya, seseorang memohon penyembuhan
terhadap kesembuhan salah satu anggota keluarganya yang sakit. jika doanya
tidak terkabul, maka akan timbul keraguan dalam hatinya mengenai kebenaran
sifat ketuhanan tersebut. hal yang demikian ini akan lebih membekas pada diri
remaja yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat.
faktor lain yang menentukan keraguan beragama yaitu jenis
kelamin dan kematangan. Wanita yang lebih cepat matang perkembangannya lebih
cepat menunjukkan keraguan jika dbandingkan dengan remaja pria. Tetapi
sebaliknya, dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil
jumlahnya. keraguan wanita lebih bersifat alami, sedangkan pria bersifat
intelek.
b.
Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan,
organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya
peetentangan dalam ajarannya. Hal ini
menyebabkan timbunya keraguan para remaja. Fanatisme keagamaan yang sering
timbul dalam lembaga atau organisasi keagamaan, akan memberikan bias teologi
tersendiri bagi para anggotanya. mereka terkadang merasa kelompok paling benar
dan cenderung nenyalahkan kelompok lain, bahkan mengkafirkan kelompok lain. Demikian
pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menurut tuntutan agama. Padahal
pemuka agama adalah orang yang bertanggungjawab terhadap kehidupan dan
kemaslahatan serta konsistensi keberagamaan itu.
c.
Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia
memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan ada dorongan curiosity
(dorongan ingin tahu). Ia terdorong unuk mempelajari agamanya dan jika dia
menemukan perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang ia fahami, maka akan
timbul keraguan dalam diri remaja tersebut.
d.
Kebiasaan
Secara teologis, seseorang sulit menerima ajaran baru jika ajaran agama yang lama
telah mapan
menurut pandangan dirinya sendiri, sehingga ia ragu
menerima kebenaran
ajaran yang baru.
e.
Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki
seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya
terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran
agama, terutama yang banyak mengandung ajaran dogmatis. Apalagi jika ia
mempunyai kemampuan menafsirkan ajaran agama yang dianutnyaa secara lebih
rasional.
f.
Percampuran Agama dan Mistik
Para remaja
merasa ragu untuk menentukan antara unsur agamanya dengan hal mistik. sejalan
dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tidak disadari tindak
keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik. Pernyatuan
unsur ini menyebabkan dilema yang kabur bagi para remaja.
secara individu keraguan yang timbul pada remaja sering kali
disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Kepercayaan,
menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas.
b. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.
c. Alat
perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rasio dalam Kristen.
d. fungsi
dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
e. Pemuka agama, biarawan dan biarawati.
f. perbedaan
aliran keagamaan,
sekte (dalam agama
Kristen) atau mazhab (Islam).
3.
Rekonstruksi
Agama
Remaja juga bisa dianggap sebagai
masa rekonstruksi agama, melalui nalar intelektualnya, sesuai dengan perkembangan jiwa dan kepribadiaanya.
Hal ini terjadi sedikit demi sedikit apabila remaja menemukan jawaban keraguan
di masa awal remaja terhadap keyakinan agama. Ketidakpuasan terhadap keyakinan
selama waktu anak-anak dan waktu remaja itulah, remaja mencari kepercayaan
baru (rekonstruksi kepercayaan)
pada orang-orang terdekat, sahabatnya, atau kepercayaan
pada salah satu kultus agama baru,
dimana kultus ini muncul di berbagai negara dan mempunyai daya tarik
yang kuat bagi dan pemuda yang kurang mempunyai ikatan religius sedangkan
pemuda adalah cenderung menjadi konsumen bagi kultus religius yang berbeda atau
baru (hidonisme).[11]
Beberapa
pakar ilmu jiwa telah banyak membicarakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa agama
pada remaja. Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh,
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan adalah faktor keturunan (warisan) dan faktor
lingkungan.
1. Faktor
Keturunan
Keturunan
memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Dimana ia lahir ke dunia ini membawa
berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua ibu- bapak atau nenek dan kakek.
Warisan (turunan atau pembawaan) tersebut yang terpenting, antara lain bentuk tubuh, raut muka,
warna kulit, intelegensi, bakat, sifat-sifat atau watak dan penyakit. Warisan atau turunan yang
dibawa anak sejak dari kandungan sebagian besar berasal
dari kedua orang tuanya dan selebihnya berasal dari nenek dan moyangnya kedua belah pihak (ibu dan ayahnya). Dalam hal
ini mencakup bentuk tubuh dan warna kulit, sifat- sifat, intelegensi, bakat
minat dan kondisi tubuh.
2. Faktor
Lingkungan
Lingkungan
sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan itu adalah keluarga yang
mengasuh dan membesarkan anak, sekolah tempat mendidik,
masyarakat tempat anak bergaul juga bermain sehari-hari dan keadaan alam
sekitar dengan iklimnya, flora dan faunanya.
Besar kecilnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan
dan perkembangannya bergantung pada keadaan lingkungan anak itu sendiri serta jasmani dan rohaninya.
a. Keluarga
Keluarga
tempat anak diasuh dan dibesarkan, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangannya, misalnya tingkat pendidikan orang tua besar pengaruhnya
terhadap perkembangan rohaniah anak, terutama kepribadian dan kemajuan
pendidikannya.
b. Sekolah
Sekolah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama untuk
kecerdasannya. Anak yang tidak pernah sekolah akan
tertinggal dalam berbagai hal.
c. Masyarakat
Masyarakat
adalah lingkungan tempat tinggal anak. Mereka juga termasuk teman-teman anak diluar sekolah. Kondisi
orang-orang di desa atau kota tempat tinggal
ia juga turut mempengaruhi perkembangan jiwanya.
d. Keadaan Alam
Sekitar
Keadaan
alam sekitar tempat anak tinggal juga berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Keadaan alam
sekitar adalah lokasi tempat anak bertempat tinggal,
di desa atau di kota, tepi pantai atau pengunungan.[12]
Adapun
pembinaan jiwa agama bagi anak remaja, bahwa pembinaan kehidupan beragama tidak
dapat dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Karena
kehidupan beragama merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, sikap atau
tindakan seseorang dalam hidupnya tidak lain daripantulan pribadinya yang
bertumbuh dan berkembang sejak ia lahir, bahkan telah mulai sejak dalam
kandungan. Semua pengalaman yang dilalui sejak dalam kandungan,
mempunyai pengaruh
terhadap pembinaan pribadi. Pengalaman yang dimaksudkan itu adalah semua pengalaman yang dilalui, baik pengalaman
yang didapat melalui pendengaran, penglihatan atau
perlakuan yang diterima sejak lahir.
C. Sikap Beragama Masa Remaja
Perasaan
remaja dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah tetap. Kadang- kadang
sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh
tak acuh bahkan menentang. Motivasi beragama
dalam diri remaja adalah bermacam-macam dan banyak
yang bersifat personal. Adakalanya didorong oleh kebutuhan akan Tuhan sebagai pengendali emosional, adakalanya karena
takut akan perasaan bersalah, dan pengaruh dari teman-teman
dimana ia berkelompok. Terdapat
empat sikap beragama pada yang dialami remaja, yaitu:
1.
Percaya Ikut-ikutan
Remaja
percaya pada Tuhan dan menjalankan ajaran agama karena mereka terdidik dalam
keluarga beragama dan lingkungan yang beragama pula. Cara beragama seperti ini
merupakan lanjutan dari cara beragama di masa kanak-kanak, seolah-olah tidak
terjadi perubahan apa-apa pada pikiran mereka
terhadap agama. Mereka mengikuti apa yang dikerjakan orang tua atau
masyarakat dalam upacara keagamaan, belum disadari keyakinan yang mantap.
Sehingga menyebabkan mereka apatis, tidak aktif dalam kegiatan dan kurang
perhatian untuk meningkatkan agama. Percaya ikut-ikutan ini biasanya tidak
berlangsung lama, dan banyak terjadi pada masa-masa remaja pertama
usia 13-16 tahun. Sesudah itu biasanya berkembang secara kritis dan lebih
sadar.
2.
Percaya dengan Kesadaran
Kesadaran
agama atau semangat agama pada masa remaja, mulai dengan meninjau dan meneliti kembali cara
beragama pada waktu masa kecil. Mereka ingin menjadikan
agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, dan tidak mau lagi beragama sekedar
ikut-ikutan saja. Semangat agama tersebut tidak terjadi sebelum umur 17 atau 18 tahun, semangat
agama mempunyai dua bentuk yaitu semangat
positif dan semangat negatif.
Semangat
agama yang positif adalah semangat agama yang berusaha melihat agama dengan pandangan yang kritis,
tidak lagi mau menerima hal-hal yang bercampur
dengan bid’ah dan khurafat dari agama. Semangat mereka bersifat kritis terhadap dogma-dogma
keagamaan yang ada dalam masyarakat dan berusaha meluruskan yang tidak masuk
akal, dengan segala kemampuan mereka. Maka sikap remaja yang bersemangat positif ialah sikap
yang ingin membersihkan agama dari segala
macam hal yang mengurangi
kemurnian agama. Sedangkan
semangat negatif agama dan keyakinannya biasanya lebih cenderung kepada
mengambil unsur-unsur luar yang bercampur ke dalam agama misalnya khurafat,
bid’ah dan kepercayaan lainnya.
3.
Kebimbangan Beragama
Kebimbangan terhadap ajaran agama
yang pernah dialaminya tanpa kritik waktu kecilnya, merupakan pertanda bahwa
kesadaran beragama telah dirasa oleh remaja. Biasanya, kebimbangan mulai
menyerang remaja setelah
kecerdasannya mencapai kematangan, sehingga ia dapat mengkritik, menerima dan
menolak apa yang dapatkan.
Kebimbangan
remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda antara satu dengan yang lainnya,
sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan yang cepat bisa
diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah
agama. Kebimbangan itu tidak
terlepas dari pengalaman dan semua proses pendidikan yang dialalui sejak kecil.
4.
Tidak Percaya
kepada Tuhan
Salah
satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari
adanya wujud Tuhan sama sekali dan mengganti dengan keyakinan lain. Perkembangan
remaja ke arah tidak mempercayai adanya Tuhan, sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari Hal kecil.[13]
Secara garis besar, penyebab
terjadinya ketidak percayaan terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
- Pengalaman yang dibawa sejak
kecil sebagai akibat perlakuan orang tua yang kurang memperhatikan atau
mengabaikan pendidikan beragama anak. Apabila seorang anak merasa tertekan
oleh kekuasaan
atau kezaliman orang tua kepadanya, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan
orang tua, dan selanjutnya
akan menentang kekuasaan siapapun, termasuk kekuasaan Tuhan.
- Pengaruh
kebudayaan dan filsafat yang melingkunginya
Keadaan dan peristiwa yang terjadi dan dialami dalam
kehidupan masyarakat terhadap ide-ide dan keyakinan baru yang dapat
menggantikan ide-ide dan keyakinan agama bagi para remaja. Pengetahuan dan filsafat baru yang diketahuinya
dapat merubah pemikirannya apalagi bila di dalamnya dapat ditemukan hal-hal
yang dapat memuaskan hatinya. Pendapat tokoh-tokoh pengetahuan dapat meguasai
jiwanya, sebagai pengganti kitab suci.
- Dorongan
seksual yang tidak terbendung
Dorongan-dorongan seksual yang tidak terpenuhi akan
membuat remaja kecewa. Nilai-nilai agama
dan norma akhlak dianggap sebagai penghambat mereka mendapatkan kepuasan seksual di luar pernikahan yang
selalu menekannya. Akibatnya, mereka berusaha mempertahankan akhlaknya, akan
tetapi kemungkinan besar hal
itu akan
dikalahkan oleh keinginan seksualnya. Kekalahan ini yang akan membuat remaja
kehilangan banteng akhlaknya dan menganggap hubungan di luar nikah sebagai
sebagai hal yang lumrah. Remaja yang mengalami kerusakan akhlak akan menjauhi
agama dan berakibat timbulnya rasa anti agama atau anti Tuhan (atheis).[14]
[1] Tati
Nurhayati, “Perkembangan Rasa Keagamaaan pada Usia Remaja,” Jurnal al-Tarbiyah,
edisi XX, Vol.1 (Juni, 2007) hlm. 60.
[3] Siti Rahayu
Haditono, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2006), hlm. 288.
[5] Abdul Mujib,
Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikolog Agama (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2002), hlm. 91-92.
[7] Baharuddin,
Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hlm. 121-122.
[8] Syamsu
Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 204-205.
[14]
Ibid. 25-27.