Saturday, 16 March 2019

Pengertian Remaja


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Remaja
            Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adoloscentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Kata tersebut mengandung aneka kesan, ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang potensinya dapat dimanfaatkan dan kelompok yang bertanggung jawab terhadap bangsa dalam masa depan. Masa remaja merupakan masa perkembangan seperti orang dewasa. Pada periode ini menuju kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional. Masa remaja kadang panjang kadang pendek tergantung lingkungan dan budaya di mana remaja itu hidup.
            Kehidupan remaja itu sendiri merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia. Fase ini adalah masa transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan. Disebut masa  transisi karena terjadi berbagai perubahan, baik fisik maupun non fisik. Pada masa ini terjadi saling pengaruh antara aspek jiwa dengan aspek yang lain, yang kesemuanya akan mempengaruhi keadaan kehidupan remaja.[1]
            Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan perkembangan kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.
            Selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk mampu menampilkan tingkah laku yang pantas atau sesuai bagi orang-orang seusianya. Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut remaja memperluas lingkungan sosialnya di luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakat lain.[2]
            Pada sejarahnya posisi remaja berada dalam tempat marginal, karena untuk dikatakan dewasa membutuhkan banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa dikategorikan dewasa, sehingga remaja lebih mudah dikategorikan sebagai anak dari pada dewasa. Kemudian pada abad ke-18 barulah masa remaja dipandang sebagai periode tertentu yang lepas dari periode kanak-kanak. Batasan usia remaja berkisar antara usia 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun msa remaja awal, 15-18 tahun remaja pertengahan, 18-21 tahunmasa remaja akhir.[3]
            Masa remaja adalah masa yang seolah-olah tidak memiliki tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak juga tidak termasuk golongan dewasa. Karena remaja belumlah mampu menguasai fungsi fisik maupun psikisnya, oleh karena itu masa remaja biasa kita dengar sebagai masa transisi atau masa peralihan. Kata remaja didefenisikan sebagai tahap perkembangan transisi yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini umumnya dimulai sekitar usia 12 tahun hingga akhir masa pertumbuhan fisik, yaitu sekitar usia 20 tahun. Usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria.
            Zakiah Daradjat menyebutkan bahwa para ahli jiwa tidak mempunyai kata sepakat tentang berapa panjangnya masa remaja tersebut. Mereka hanya sepakat dalam menentukan permulaan masa remaja, yaitu dengan dimulainya kegoncangan, yang ditandai dengan datangnya haid (menstruasi) pertama bagi wanita dan mimpi basah pada pria. Kejadian yang menentukan ini tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya. Ada yang dimulai pada umur 12 tahun, ada yang sebelum itu dan ada pula yang sesudah umur 13 tahun. Demikian pula tentang akhir masa remaja para ahli jiwa tidak memiliki kata sepakat. Ada yang mengatakan umur 15 tahun, ada juga yang menentukan umur 18 tahun, bahkan dalam bidang kemantapan beragama oleh ahli jiwa agama diperpanjang lagi sampai umur 24 atau 25 tahun. Meskipun berbeda dalam menentukan umur remaja, namun para ahli memberikan patokan umur antara 13 sampai 21 tahun adalah umur remaja. Sedang Mengenai perkembangan jiwa agama berkisar antara umur 13 sampai 24 tahun. Zakiah Darajat menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa.
            Dari penjelasan diatas, setidaknya dapat disimpulkan pada umumnya masa remaja dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Masa remaja awal
            Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang lain.
b. Masa remaja pertengahan
            Pada masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan dirinya sendiri.
c. Masa remaja akhir
            Pada masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa.[4]
B.     Masa Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja
            Menurut Alizabeth, sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib danJusuf Mudzakir mengatakan bahwa perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perubahan ini bersifat kualitatif mengenai suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek. Sementara itu J.P. Chaplin mengumpulkan 4 (empat) arti perkembangan; (1) perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, mulai lahir sampai mati; (2) pertumbuhan; (3) perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional; (4) kedewasaan atau kemunculan pola-pola dari tingkahlaku yang tidak dipelajari.[5]
            Perkembangan lebih menunjukkan suatu proses tertentu, yaitu suatu proses yang menuju ke depan dan tidak dapat diulang kembali. Dalam perkembangan manusia terjadi perubahan-perubahan yang sedikit banyak bersifat tetap dan tidak dapat diulangi. Perkembangan menunjukkan pada perubahan-perubahan dalam suatu arah yang bersifat tetap dan maju. Perkembangan adalah suatu proses perubahan yang lebih dapat mencerminkan sifat-sifat mengenai gejala psikologis yang tampak.[6]
            Dari uraian pengertian-pengertian diatas, perkembangan bisa diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai meninggal dunia. Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja-remaja itu, sebenarnya merupakan bagian atau berkaitan dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan dimana mereka hidup. Dalam hal itu, suatu faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam kehidupan remaja adalah agama. namun, dunia modern kurang menyadari betapa penting dan hebatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, terutama pada orang-orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa, dimana umur remaja terkenal dengan umur goncang, karena pertumbuhan yang dilaluinya dari segala bidang dan segi kehidupan.
            Masa remaja merupakan periode dimana individualisme semakin menampakkan wujudnya, pada masa tersebut memungkinkan mereka untuk menerima tanggung jawab atas perilaku mereka sendiri dan menjadi sadar terlibat pada perkara hal, keinginan, cita-cita yang mereka pilih. Masa muda merupakan tahap yang penting dalam pertumbuhan religius.
            Terkait tentang fase perkembangan jiwa pada masa remaja, dalam beberapa buku psikologi ada perbedaan. Ada yang mengelompokkan menjadi empat fase, yaitu pra-remaja (13-16 tahun), remaja awal (16-18 tahun), remaja akhir (18-20 tahun) dan masa adolescence (21 tahun). Ada yang  menjelaskan ada dua fase, yaitu remaja awal (13-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Dalam pembahasan perkembangan jiwa remaja yang dipaparkan dalam buku Baharuddin dan Mulyono, dibagi menjadi tiga fase, yaitu masa pra-remaja (13-16 tahun), remaja awal (16-18 tahun), serta remaja akhir (18-21 tahun).[7]
a. Masa Remaja Awal (13-16 tahun)
            Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang- kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
            Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahubahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma/aturan keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan sikap keras, maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif, seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.[8]
b. Masa Remaja Pertengahan (16-18 tahun)
            Gejala masa remaja pada tahap ini ialah mengidolakan sesuatu (mendewa- dewakan). Di dalam fase atau masa negatif untuk pertama kalinya remaja sadar akan kesepian yang tidak pernah dialaminya pada masa-masa sebelumnya. Kesepian di dalam penderitaan, yaitu tidak ada orang yang dapat mengerti dan memahaminya dan tidak ada yang dapat memenangkannya. Reaksi pertama-tama terhadap sekitarnya yang dirasanya sebagai sikap menelantarkan dan memusuhinya. Langkah yang selanjutnya ialah kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya, teman yang seide dengannya. Di sini mulai tumbuh dalam diri remaja dorongan untuk mencari pedoman hidup, mencari sesuatu yang dapat dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi, dan dipuja-puja. Pada masa ini remaja mengalami kegoncangan batin, sebab dia tidak mau lagi menggunakan sikap dan pedoman hidup kanak-kanaknya, tetapi belum mempunyai pedoman hidup yang baru.
c. Masa Remaja Akhir ( 19-21 tahun)
            Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan, yang berarti bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan. Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang telah mendekati sempurna. Kegoncangan jiwa pada remaja akhir terjadi karena tidak seimbangnya nilai-nilai yang mulai ditemukan dan dianutnya dengan realitas kehidupan di sekelilingnya.[9]
            Dalam istilah agama mungkin dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-macam guru sesuai dengan bidang keahlian, mereka masing-masing telah memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya yang sedang bertumbuh pesat itu.
            Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama remaja. Perkembangan agama yang terjadi pada remaja terjadi dalam beberapa aspek, antara lain menurut W. Starbuck sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin adalah:
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental.
            Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak- kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama, merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Dalam hal ini, agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif- dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi keagamaan mereka.
b. Perkembangan Perasaan.
            Berbagai perasaan berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati prikehidupan yang terbiasa dalam lingkungan kehidupan agamis akan cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat ke arah hidup agamis. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah terjerumus kepada hal-hal negatif.
c. Pertimbangan Sosial.
            Corak keagamaan pada remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material, remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis yang meliputi kepentingan keuangan, kebahagiaan diri, kehormatandiri dan masalah kesenangan diri lainnya. Sangat sedikit remaja yang terpengaruh oleh pertimbangan sosial dalam masyarakat, demikian pula dalam hal agama dan akhirat.
d. Perkembangan Moral
            Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1) Self-directive, taat akan agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi;
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik;
3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama;
4) Unadjusted, belum menyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral;
5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan dan moral masyarakat.
            Perkembangan moral ini sangat berperan penting dalam jiwa agama, sebagian orang berpendapat bahwa moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini. Sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan dan bertentangan dengan kehendak dan pandangan masyarakat.
e. Sikap dan Minat
            Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan bisa dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).[10]
            Ada beberapa ciri dalam perkembangan minat agama anak remaja sebagai kelanjutan dari perkembangan agama ketika masih anak-anak, sebagaimana pendapat Hurlock yang dikutip oleh Atiqullah, sebagai berikut:
1.      Periode Kesadaran Religius
            Pada masa remaja mempersiapkan diri untuk untuk menjadi anggota jemaat (Kristen), jemaah (Islam) yang dianut oleh orang tua, minat religiusnya meninggi, sehingga akibat meningkatnya minat ini, ia mungkin menjadi bersemangat mengenai agama, sampai ia mempunyai keinginan untuk menyerahkan kehidupan untuk agama malah meragukan keyakinan yang diterima mentah-mentah selama anak-anak. Sering kali remaja membandingkan keyakinannya dengan keyakinan orang lain (teman-teman), menganalisis keyakinan secara kritis sesuai dengan meningkatnya pengetahuan remaja.
2.      Periode Keraguan Religius
            Remaja sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk reigius (seperti doa, dan upacara ceremonial keagamaan yang formal), dan kemudian mulai meragukan isi religius, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati, sehingga membuat mereka kurang taat terhadap agama, sedangkan remaja lainnya mencari kepercayaan lain yang bisa memenuhi kebutuhan dari pada keyakinan yang dianut sebelumnya. Sebagaimana penafsiran Hurlock tentang sikap remaja dalam beragama, ia menyatakan bahwa; “Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual, bukan menerimanya begitu saja. mereka meragukan agama bukan berarti mereka ingin menjadi agnostic atau ateis, tetapi mereka ingin menerima agama sebagi satu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan kekebasan sendiri.
            Berdasarkan hasil penelitian W. Strabuck, faktor yang menyebabkan keraguan dalam beragama pada masa remaja, antara lain:
a.       Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
      Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat  Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. misalnya, seseorang memohon penyembuhan terhadap kesembuhan salah satu anggota keluarganya yang sakit. jika doanya tidak terkabul, maka akan timbul keraguan dalam hatinya mengenai kebenaran sifat ketuhanan tersebut. hal yang demikian ini akan lebih membekas pada diri remaja yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat.
faktor lain yang menentukan keraguan beragama yaitu jenis kelamin dan kematangan. Wanita yang lebih cepat matang perkembangannya lebih cepat menunjukkan keraguan jika dbandingkan dengan remaja pria. Tetapi sebaliknya, dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. keraguan wanita lebih bersifat alami, sedangkan pria bersifat intelek.
b.      Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
            Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya peetentangan dalam  ajarannya. Hal ini menyebabkan timbunya keraguan para remaja. Fanatisme keagamaan yang sering timbul dalam lembaga atau organisasi keagamaan, akan memberikan bias teologi tersendiri bagi para anggotanya. mereka terkadang merasa kelompok paling benar dan cenderung nenyalahkan kelompok lain, bahkan mengkafirkan kelompok lain. Demikian pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menurut tuntutan agama. Padahal pemuka agama adalah orang yang bertanggungjawab terhadap kehidupan dan kemaslahatan serta konsistensi keberagamaan itu.
c.       Pernyataan Kebutuhan Manusia
      Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan ada dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Ia terdorong unuk mempelajari agamanya dan jika dia menemukan perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang ia fahami, maka akan timbul keraguan dalam diri remaja tersebut.
d.      Kebiasaan
            Secara teologis, seseorang sulit menerima ajaran baru jika ajaran agama yang lama telah mapan menurut pandangan dirinya sendiri, sehingga ia ragu menerima kebenaran ajaran yang baru.
e.       Pendidikan
            Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agama, terutama yang banyak mengandung ajaran dogmatis. Apalagi jika ia mempunyai kemampuan menafsirkan ajaran agama yang dianutnyaa secara lebih rasional.
f.       Percampuran Agama dan Mistik
      Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agamanya dengan hal mistik. sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tidak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik. Pernyatuan unsur ini menyebabkan dilema yang kabur bagi para remaja.
secara individu keraguan yang timbul pada remaja sering kali disebabkan oleh hal-hal berikut:
a.       Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai trinitas.
b.      Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.
c.       Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rasio dalam Kristen.
d.      fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.
e.       Pemuka agama, biarawan dan biarawati.
f.       perbedaan aliran keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau mazhab (Islam).
3.      Rekonstruksi Agama
            Remaja juga bisa dianggap sebagai masa rekonstruksi agama, melalui nalar intelektualnya, sesuai dengan perkembangan jiwa dan kepribadiaanya. Hal ini terjadi sedikit demi sedikit apabila remaja menemukan jawaban keraguan di masa awal remaja terhadap keyakinan agama. Ketidakpuasan terhadap keyakinan selama waktu anak-anak dan waktu remaja itulah, remaja mencari kepercayaan baru  (rekonstruksi kepercayaan) pada orang-orang terdekat, sahabatnya, atau kepercayaan pada salah satu kultus agama baru,  dimana kultus ini muncul di berbagai negara dan mempunyai daya tarik yang kuat bagi dan pemuda yang kurang mempunyai ikatan religius sedangkan pemuda adalah cenderung menjadi konsumen bagi kultus religius yang berbeda atau baru (hidonisme).[11]
            Beberapa pakar ilmu jiwa telah banyak membicarakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa agama pada remaja. Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan adalah faktor keturunan (warisan) dan faktor lingkungan.
1. Faktor Keturunan
            Keturunan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Dimana ia lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua ibu- bapak atau nenek dan kakek. Warisan (turunan atau pembawaan) tersebut yang terpenting, antara lain bentuk tubuh, raut muka, warna kulit, intelegensi, bakat, sifat-sifat atau watak dan penyakit. Warisan atau turunan yang dibawa anak sejak dari kandungan sebagian besar berasal dari kedua orang tuanya dan selebihnya berasal dari nenek dan moyangnya kedua belah pihak (ibu dan ayahnya). Dalam hal ini mencakup bentuk tubuh dan warna kulit, sifat- sifat, intelegensi, bakat minat dan kondisi tubuh.
2. Faktor Lingkungan
            Lingkungan sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan itu adalah keluarga yang mengasuh dan membesarkan anak, sekolah tempat mendidik, masyarakat tempat anak bergaul juga bermain sehari-hari dan keadaan alam sekitar dengan iklimnya, flora dan faunanya. Besar kecilnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada keadaan lingkungan anak itu sendiri serta jasmani dan rohaninya.
a. Keluarga
            Keluarga tempat anak diasuh dan dibesarkan, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya, misalnya tingkat pendidikan orang tua besar pengaruhnya terhadap perkembangan rohaniah anak, terutama kepribadian dan kemajuan pendidikannya.
b. Sekolah
            Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama untuk kecerdasannya. Anak yang tidak pernah sekolah akan tertinggal dalam berbagai hal.
c. Masyarakat
            Masyarakat adalah lingkungan tempat tinggal anak. Mereka juga termasuk teman-teman anak diluar sekolah. Kondisi orang-orang di desa atau kota tempat tinggal ia juga turut mempengaruhi perkembangan jiwanya.
d. Keadaan Alam Sekitar
            Keadaan alam sekitar tempat anak tinggal juga berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Keadaan alam sekitar adalah lokasi tempat anak bertempat tinggal, di desa atau di kota, tepi pantai atau pengunungan.[12]
            Adapun pembinaan jiwa agama bagi anak remaja, bahwa pembinaan kehidupan beragama tidak dapat dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Karena kehidupan beragama merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, sikap atau tindakan seseorang dalam hidupnya tidak lain daripantulan pribadinya yang bertumbuh dan berkembang sejak ia lahir, bahkan telah mulai sejak dalam kandungan. Semua pengalaman yang dilalui sejak dalam kandungan, mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi. Pengalaman yang dimaksudkan itu adalah semua pengalaman yang dilalui, baik pengalaman yang didapat melalui pendengaran, penglihatan atau perlakuan yang diterima sejak lahir.
C.    Sikap Beragama Masa Remaja
            Perasaan remaja dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah tetap. Kadang- kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang. Motivasi beragama dalam diri remaja adalah bermacam-macam dan banyak yang bersifat personal. Adakalanya didorong oleh kebutuhan akan Tuhan sebagai pengendali emosional, adakalanya karena takut akan perasaan bersalah, dan pengaruh dari teman-teman dimana ia berkelompok. Terdapat empat sikap beragama pada yang dialami remaja, yaitu:
1.      Percaya Ikut-ikutan
            Remaja percaya pada Tuhan dan menjalankan ajaran agama karena mereka terdidik dalam keluarga beragama dan lingkungan yang beragama pula. Cara beragama seperti ini merupakan lanjutan dari cara beragama di masa kanak-kanak, seolah-olah tidak terjadi perubahan apa-apa pada pikiran mereka  terhadap agama. Mereka mengikuti apa yang dikerjakan orang tua atau masyarakat dalam upacara keagamaan, belum disadari keyakinan yang mantap. Sehingga menyebabkan mereka apatis, tidak aktif dalam kegiatan dan kurang perhatian untuk meningkatkan agama. Percaya ikut-ikutan ini biasanya tidak berlangsung lama, dan banyak terjadi pada masa-masa remaja pertama usia 13-16 tahun. Sesudah itu biasanya berkembang secara kritis dan lebih sadar.
2.      Percaya dengan Kesadaran
            Kesadaran agama atau semangat agama pada masa remaja, mulai dengan meninjau dan meneliti kembali cara beragama pada waktu masa kecil. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, dan tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. Semangat agama tersebut tidak terjadi sebelum umur 17 atau 18 tahun, semangat agama mempunyai dua bentuk yaitu semangat positif dan semangat negatif.
            Semangat agama yang positif adalah semangat agama yang berusaha melihat agama dengan pandangan yang kritis, tidak lagi mau menerima hal-hal yang bercampur dengan bid’ah dan khurafat dari agama. Semangat mereka bersifat kritis terhadap dogma-dogma keagamaan yang ada dalam masyarakat dan berusaha meluruskan yang tidak masuk akal, dengan segala kemampuan mereka. Maka sikap remaja yang bersemangat positif ialah sikap yang ingin membersihkan agama dari segala macam hal yang mengurangi kemurnian agama. Sedangkan semangat negatif agama dan keyakinannya biasanya lebih cenderung kepada mengambil unsur-unsur luar yang bercampur ke dalam agama misalnya khurafat, bid’ah dan kepercayaan lainnya.
3.      Kebimbangan Beragama
            Kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah dialaminya tanpa kritik waktu kecilnya, merupakan pertanda bahwa kesadaran beragama telah dirasa oleh remaja. Biasanya, kebimbangan mulai menyerang remaja setelah kecerdasannya mencapai kematangan, sehingga ia dapat mengkritik, menerima dan menolak apa yang dapatkan.
            Kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan yang cepat bisa diatasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama. Kebimbangan itu tidak terlepas dari pengalaman dan semua proses pendidikan yang dialalui sejak kecil.
4.       Tidak Percaya kepada Tuhan
            Salah satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari adanya wujud Tuhan sama sekali dan mengganti dengan keyakinan lain. Perkembangan remaja ke arah tidak mempercayai adanya Tuhan, sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari Hal kecil.[13]
            Secara garis besar, penyebab terjadinya ketidak percayaan terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
  1. Pengalaman yang dibawa sejak kecil sebagai akibat perlakuan orang tua yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pendidikan beragama anak. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, dan selanjutnya akan menentang kekuasaan siapapun, termasuk kekuasaan Tuhan.
  2. Pengaruh kebudayaan dan filsafat yang melingkunginya
            Keadaan dan peristiwa yang terjadi dan dialami dalam kehidupan masyarakat terhadap ide-ide dan keyakinan baru yang dapat menggantikan ide-ide dan keyakinan agama bagi para remaja. Pengetahuan dan filsafat baru yang diketahuinya dapat merubah pemikirannya apalagi bila di dalamnya dapat ditemukan hal-hal yang dapat memuaskan hatinya. Pendapat tokoh-tokoh pengetahuan dapat meguasai jiwanya, sebagai pengganti kitab suci.
  1. Dorongan seksual yang tidak terbendung
            Dorongan-dorongan seksual yang tidak terpenuhi akan membuat remaja kecewa.  Nilai-nilai agama dan norma akhlak dianggap sebagai penghambat mereka mendapatkan  kepuasan seksual di luar pernikahan yang selalu menekannya. Akibatnya, mereka berusaha mempertahankan akhlaknya, akan tetapi kemungkinan besar hal itu akan dikalahkan oleh keinginan seksualnya. Kekalahan ini yang akan membuat remaja kehilangan banteng akhlaknya dan menganggap hubungan di luar nikah sebagai sebagai hal yang lumrah. Remaja yang mengalami kerusakan akhlak akan menjauhi agama dan berakibat timbulnya rasa anti agama atau anti Tuhan (atheis).[14]






















[1] Tati Nurhayati, “Perkembangan Rasa Keagamaaan pada Usia Remaja,” Jurnal al-Tarbiyah, edisi XX, Vol.1 (Juni, 2007)  hlm. 60.
[2] Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 28.
[3] Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), hlm. 288.
[4] Daradjat,  Ilmu Jiwahlm. 69-70.
[5] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikolog Agama (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2002), hlm. 91-92.
[6] Abu Ahmadi, Munawar  Soleh, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Renika Cipta, 2005), hlm. 7.
[7] Baharuddin, Mulyono, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 121-122.
[8] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 204-205.
[9] Baharuddin,  Psikologi Agama, hlm. 126.
[10] Jalaluddin, Psikologi, hlm. 74-76.
[11] Atiqullah, Psikologi Agama (Surabaya: Pena Sabila, 2011), hlm. 22-27.
[12] Ahmadi, Psikologi, hlm. 47-56.
[13] Umar, Psikologi, hlm. 20-25.
[14] Ibid. 25-27.