BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
TINJAUAN
TEORI TENTANG ANTROPOLOGI SASTRA
2.1.1 Pengertian Antropologi Sastra
Ratna (2011:31) memaparkan bahwa,
antropologi sastra adalaha analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam
kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan dalam antropologi sastra dimaksudkan
pada hal yang lebih meluas. Hal tersebut juga mengikuti perkembangan sosiologi
sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya
sastra akan meluas sebagai masyarakat yang berperan sebagai penciptaan dan
penerimaan. Karya sastra dalam hal ini bukan hanya memantulkan kenyataan, akan
tetapi juga merefleksi, dan membelokkan sehingga berhasil menciptakan
keberagaman budaya secara lebih bermakna.
Kajian antropologi sastra
diantaranya mengupas sisi kemanusian dalam dinamika kehidupan khususnya
kebudayaannya yang mendasari sebuah cerita dalam karya sastra. Ratna (2011:81)
menjelaskan bahwa salah satu gejala yang dapat menghubungkan antara antropologi
dengan sastra sekaligus mengantarkannya kepemahaman antropologi sastra adalah
masa lampau, citra nostalgis, citra primordial, dan citra arketipe menurut
pemahaman lain. Masa lampau secara psikologis dibicarakan oleh Freud yang
disebut sebagai lapis ketidak sadaran. Masa lampau yang tidak hilang melainkan
terekam, tersimpan dalam ketidak sadaran manusia pada umumnya disebut memori
sebagai ilmu pengetahuan dan bahkan kepercayaan.
Antropologi masa lampau dapat
dihidupkan kembali. Masa lampau inilah yang di anggap sebagai energi kehidupan
manusia masa kini, bahkan juga masa yang akan datang. Kehidupan masa sekarang
adalah akumulasi kehidupan masa lampau sebagai pengalaman terdahulu. Manusia
bertambah besar, tinggi dan berat oleh pertumbuhan sel, menjadi dewasa oleh
bertambahnya umur tetapi perubahan yang jauh lebih penting adalah bertambahnya
pengalaman sebagai proses pembelajaran. Tanpa pengalaman manusia tidak memliki
arti. Kehiduapan yang dimaksudkan secara antropologis diakui sesudah
terbentuknya manusia berpikir, sebagai homo
sapiens. (Ratna 2011:84).
Ciri khas antropologi sastra adalah
keterlibatan manusia sebagai pengarang, demikian demikian juga pembaca
didalamnya keseluruhan aspek kebudayaan dan peradaban dimasukkan sebagai
indikator utama proses produksi, dengan catatan bahwa indicator yang
dimaksudkan merupakan segala kesumberkaitan dengan manusia yang dikemas dalam
karya. Antropologi sastra seolah olah merupakan gabungan antara psikologi dan
sosiologi sastra, antropologi sastra sebagai sosiopsikologi (Ratna 2011:85-86).
Penggabunggan antara sosiologi dan psikologi dalam antropologi tersebut
merupakan suatu kombinasi yang benar-benar terekam dalam peristiwa yang dialami
manusia dalam ceritanya yang bisa saja dikemas kedalam bentuk karya sastra.
2.1.2 Sistem Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan dianggap sebagai aspek kebudayaan yang paling luas. Antara
masyarakat dan kebudayaan sulit dipisahkan, perbedaannya dapat dikenali melalui
sudut pandang, intensitas, dan cara-cara lain yang dilakukan pada saat
terjadinya proses pemahaman (Ratna 2011:405). Dalam pembahasan ini masyarakat
tentu merupakan syarat pokok bagi manusia sebagai mahkluk sosial, karena
seperti yang kita ketahui bahwa seseorang tidak bisa hidup tanpa adanya orang
lain. Sistem kemasyarakatan hampir sama dengan sistem kebudayaan sistem
kemasyarakatan dalam hubungan ini dibatasi dalam bentuk kekerabatan dan
organisasi sosial politik lain yang dianggap masuk akal dan sinkron anatara
yang satu dan yang lainnya.
Sistem kekerabatan merupakan
bentuk-bentuk komunikasi dari kelompok manusia yang paling kecil sebagai tatap
muka hingga kelompok tatap muka yang paling besar, sebagai masyarakat itu
sendiri.
2.1.3
Madura,
Budaya Dan Masyarakat
2.1.3.1 Etika Dan Perilaku Bermasyarakat
Masyarakat Madura
secara demografis merupakan salah satu etnis ketiga terbesar setelah jawa dan Bali.
Suku Madura sendiri tersebar diberbagai daerah dinusantara seperti Kalimantan,
di tempat huhara di sampit dan sambas. orang Madura pada dasarnya adalah orang
yang suka merantau Karen akeadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani.
orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar pasar. selain itu ba yak
yang berkerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang barang
rongsokan lainnya. suhu dipulau Madura termasuk kategori yang panas karena
dikelilingi oleh laut, tal ayal bila sebagian dari daratan di pulau Madura
gersang meski demikian ada hal hal penting yang berlaku di Madura yang
menarikkarena berkaitan dengan hal hal perincipil dalam nilai nilai masyarakatnya
Pandangan
hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham
akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut
pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan
orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura
pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru
(ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut
birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat
standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal.
Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau
paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus
kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh
karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam.
Jika
makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur
tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura
harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada
kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu,
artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi,
patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah
jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga
harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru
itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada
figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnis lain?
Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah
pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.
Kepatuhan
pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat
ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali
tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat
dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya
adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam
bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur
kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh
aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua
orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang
harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan
mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.
Bagaimana
dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru?
Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan
masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura
sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi.
Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua
orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan
yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur
ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun
demikian, pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur
ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini
makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin
memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah
statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!
Dari paparan di atas, menjadi jelas
bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara tergesa-gesa
mengartikan makna ungkapan bhuppa’
bhabhu’ ghuru rato semata-mata sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur
tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab
jika demikian, makna ungkapan bhuppa’
bhabhu’ ghuru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk
selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan
sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang
Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam
konteks sebagai figur bhuppa’ bhabhu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur
yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi
anak-anaknya.
Pada figur ghuru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang
lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato
(dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai
birokrat di lingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain).
Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasitas diri
melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga
meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang
dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki
kekuasaan.
Bagaimana halnya dengan rato-rato di Madura, khususnya kepala
daerah atau bupati? Sejak era reformasi digulirkan jabatan ini telah dipegang
oleh figur-figur yang berlatar belakang kiai (ghuru). Bahkan untuk kabupaten
Sumenep sudah memasuki masa jabatan kedua sejak awal tahun ini. Satru-satunya
kabupaten yang baru akan melaksanakan pilkada secara langsung pada tahun ini
dengan calon-clon dari figur kiai adalah Sampang. Awalnya akan dilaksanakan
Agustus namun karena beberapa alasan ditunda akhir Nopember. Munculnya
figur-figur bupati yang berasal dari lingkungan sosial kiai, (sebut saja:
“bupati-kiai”) jelas akan menimbulkan perubahan (posisi) sosial sangat fundamental
dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura. Yakni yang semula posisi mereka
sebagai figur ghuru berubah ke posisi figur rato.
Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling
tidak menyangkut dua hal. Pertama, figur ghuru
dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur
panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek
moralitas dan keagamaan. Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view)
orang Madura figur ghuru lebih
merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi” (sacred world). Figur rato tiada lain sebagai representasi
dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya
kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor
politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di seluruh wiilayah
kabupaten Madura. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami
dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan
posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa
makna-makna kultural yang kemudian terimplementasi dalam perilaku-perilaku
simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak. Kedua, bagi masyarakat Madura
sudah pasti akan muncul respons kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan
konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas
mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika
sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur ghuru. Pada
saat dan situasi apa serta kepada figur yang mana mereka harus lebih taat dan
patuh, oleh karena dalam diri figur bupati-kiai melekat dua peran dan fungsi
yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami
“kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu
dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk
membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga
masyarakat. Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal
formal telah ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat
bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan
setting sosial-politik dan budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan
situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur ghuru dan pada saat dan
situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur
rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan
kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang
sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah
tidak akan berjalan secara efektif dan effisien. Namun tidak tertutup
kemungkinan para bupati-kiai justru bisa jadi menyikapinya dengan sikap dan
perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam sikap dan perilakunya berfungsi
dan berperan sebagai figur ghuru sekaligus sebagai rato dalam segala macam
situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik
formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat
diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi
antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi
pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah. Mungkin hal lain
yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan
kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan
aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan
leadership ini selain penting untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan
dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan
(dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat
demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan daerah Madura kedepan. Ini terkait dengan upaya menumbuh kembangkan
semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance.
Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga
masyarakat Madura yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan
dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga bathiniah. Terakhir
penting untuk diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon
bhagus, pabhagas, mon soghi pasogha’. Dalam pengertian luas, jika orang Madura
telah memiliki harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai
prestasi tertentu) hendaknya harus tetap santun dan berwibawa. Caranya
janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter,
tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang
dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan
dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu
adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki
kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor
(sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam
kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di
Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika
mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika,
berfalsafah, dan berbudaya Madura!
PRILAKU
Touwen-Bouwsma (1989:159) dengan
mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda tahun 1922 mengatakan
bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk
merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam
senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit ini dia tidak
lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” Senada
dengan hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura
dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut
balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.” Baik Touwen-Bouwsma
maupun De Jonge nampaknya sependapat bahwa penggunaan kekerasan fisik merupakan
hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan
diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas
Madura adalah carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang carok” (De Jonge
1993:1; Smith 1997:58). Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan
stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu
mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang
Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen
tinggi atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindakan kekerasan (De
Jonge 1995:13; Touwen-Bouwsma 1989:162). Pertanyaannya kemudian, benarkah orang
Madura keras? Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang,
baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar
yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan
dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura
keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang
hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak
berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau
berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling
tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya itu sungguh diluar nalar sehat.
Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura. Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol). Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk). Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal lauk buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental.
Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura. Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol). Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk). Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal lauk buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental.
Begitu pula dengan rasa manis. Rasa
yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai. Contoh lain
adalah ketika orang Madura akan membangun rumah. Mereka sangat memperhatikan
secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan
rumah jangan sampai mèsong (tidak
mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan
rumah yang posisi atau letaknya mèsong
dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatuhan. Bukan hanya letak dan posisi
bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam
kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada
anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’
kalakowan mèsong atau mon alako
pateppa’, jha’ song- mèsong (jika bekerja haruslah dengan cara-cara yang
benar, janganlah melakukan kegiatan yang menyimpang dari aturan-aturan atau
norma-norma).
Dengan mengemukakan masalah kesukaan
terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah
hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah
tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain
perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya).
Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan
dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku
”basa-basi”. Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika
mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang
Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan
secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan
basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang
terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan
kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.
Namun harus diakui, bahwa perangai,
sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian
terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini
kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan
yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun,
pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang
membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura
merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak
berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus
carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan
kondisi seperti ini.
Perangai, sikap dan perilaku ”keras”
yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya secara
kultural memang diakui adanya. Hal ini oleh karena adanya relasi dengan
kondisi-kondisi yang membentuknya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap
dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar
sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam
sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun
”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu
diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan
memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan
perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan
kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar
bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan
penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik
sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan
kekerasan yang konstruktif dan berwibawa. Untuk mewujudkan penilaian demikian,
bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah
suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial
budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai
”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan
terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak,
juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan
kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotip yang sangat merugikan
perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi
masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara
positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnis lain dalam bingkai
ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman,
tentram, dan sejahtera.
ETOS KERJA
Etos dapat diartikan sebagai sikap,
pandangan, pedoman atau tolok ukur yang ditentukan dari dalam diri sendiri
seseorang atau sekelompok orang dalam berkegiatan (Rifai, 2007:347). Dengan
demikian, etos merupakan dorongan yang bersifat internal. Namun dorongan ini
sudah melalui proses konstruksi dan rekonstruksi selama yang bersangkutan
menjalani kehidupan sosialnya. Padahal, nilai-nilai agama Islam senantiasa
menjadi dasar segala aspek kehidupan sosial budaya mereka. Itu sebabnya, etos
kerja orang Madura sangat erat dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
Etos kerja orang Madura yang telah
dikenal sangat tinggi karena secara naluriah bagi mereka bekerja merupakan
bagian daripada ibadahnya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianutnya. Oleh
karena itu tidak ada pekerjaan yang bakal dianggapnya hina selama kegiatannya
tidak tergolong maksiat sehingga hasilnya akan halal dan diridai Allah.
Kesempatan bisa bekerja akan dianggapnya sebagai rahmat Tuhan, sehingga
mendapat pekerjaan merupakan panggilan hidup yang bakal ditekuninya dengan sepenuh
hati (Rifai, 2007:347).
Etos kerja yang sangat tinggi ini
dibarengi dengan keuletan yang sama. Hal ini terbukti pada para migran atau
perantau Madura. Pengalaman saya meneliti konflik antara Dayak/Melayu dengan
Madura (lebih dikenal dengan Konflik Sambas, 1999) menunjukkan bahwa perantau
Madura yang menjadi korban dan ditampung di Stsdion Pontianak sebagai pengungsi
menunjukkan etos kerja dan keuletan yang sangat tinggi dalam bekerja. Pada
mulanya, kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena mereka hidup seadanya dan
hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan LSM-LSM. Namun apa yang terjadi
setelah sekitar tiga bulan mereka menjadi pengungsi, “mereka sudah mampu
membangun kios-kios di tempat pengungsian”. Bahkan beberapa di antaranya sudah
mampu membeli kendaraan bermotor. Salah seorang teman saya penduduk kota
Pontianak sempat menyatakan kegagumannya pada keuletan pengungsi Madura korban
konflik. “Saya tidak habis pikir, mereka pada awalnya benar-benar sangat
miskin, namun sekarang (maksudnya setelah tiga bulan setelah konflik) mereka
sudah mampu membangun rumah-rumah sederhana serta kios-kios dan juga membeli
kendaraan bermotor”, demikian dia berkata.
Motivasi untuk semakin giat dan ulet
bekerja semakin muncul ketika orang Madura berada di luar lingkungan
komunitasnya (baik di tingkat wilayah Madura, apalagi di luar wilayah Madura).
Alasannya, mereka dalam melakukan pekerjaan itu merasa ta’ ètangalè atau ta’
èkatèla’ orèng (tidak terlihat oleh sanak keluarga atau tetangga). Secara lebih
tegas dapat dikatakan bahwa orang Madura semakin ulet dan tekun ketika mereka
merasa bebas dari pengamatan lingkungan sosialnya. Itu sebabnya, pekerjaan apa
pun asalkan dianggap halal, pasti akan dilakukannya, lebih-lebih ketika mereka
berada di rantau. Untuk menggambarkan keuletan, kerajinan, dan semangat tinggi
orang Madura dalam melakukan pekerjaan, Rifai (2007:348) menyenarai beberapa
kata dalam bahasa Madura yang memiliki arti dan makna itu. Beberapa
diantaranya, adalah:
§ bharenteng (sangat giat),
§ bhajeng (rajin),
§ cakang (cekatan),
§ parèkas (penuh prakarsa), tangginas (cepat bertindak)
§ abhabbha’ (bekerja dengan mengerahkan semua kemampuan yang ada),
§ abhantèng tolang (membanting tulang),
§ acèko (giat bekerja dengan gerakan tangan yang sibuk),
§ acèmeng (sibuk bekerja hingga tidak bisa tinggal diam),
§ apokpak (sibuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan sekaligus),
§ asèpsap (bekerja sambil berlari kian ke mari).
Pada kenyataannya masih banyak lagi
kata-kata dalam bahasa Madura yang merujuk pada makna dan arti tentang etos kerja
yang ulet, rajian, penuh semangat, dan semacamnya. Sayangnya (atau: hebatnya!)
banyak dari kata-kata itu tidak ditemukan padanannya atau terjemahannya dalam
bahasa Indonesia atau bahasa lokal di daerah-daerah lain di negeri ini.
Selanjutnya Rifai (2007: 249) menuturkan bahwa ketika melakukan pekerjaan
pekerja Madura akan selalu menunjukkan sikap ce’ ngadhebbha da’ lalakonna (sangat bersungguh-sungguh
melaksanakan pekerjaannya), sehingga dengan rajin dan hati senang dapat
melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi semacam itu, ia akan sangat papa dha’
pangghabayan, artinya paham benar pada pekerjaannya sehingga dapat melaksanakan
dengan penuh percaya diri, tidak kenal lelah, tidak kikuk, atau gugup. Dengan
etos kerja demikian, orang Madura tidak akan takut untuk bekerja keras atau
harus menghadapi pekerjaan berat sekalipun. Semuanya akan dikerjakan sekuat
tenaga sampai berhasil. Hasil kerja keras semacam ini disebut hasèlla pello konèng (peluh kuning).
Karena sudah terbiasa bekerja keras, kalau ada kesulitan ia pasti akan abhalunteng (berupaya keras) untuk
mengatasi masalahnya serta mencapai keinginannya.
Cara kerja orang Madura sangat
dituntut agar tidak tergesa-gesa sehingga hasilnya justru sangat mengecewakan.
Keadaan seperti ini diungkapkan dalam pepatah gancang kala ka bilis atau gancang
ta’ nyapo’ ka bilis (cepat tetapi kalah pada semut). Sebaliknya, orang
Madura dalam bekerja hendaknya meniru rayap atau ngangguy èlmona raprap. Artinya meskipun kelihatan cara kerjanya
lamban namun hasilnya sungguh di luar dugaan dan sangat memuaskan.
Selain itu, orang Madura memang percaya bahwa bekerja itu harus efektif dan efisien. Orang tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia yang tidak ada gunanya sama sekali, seperti ditegaskan dengan pepatah aghulai maddhu, abujai saghara (menggulai madu, menggarami laut), atau ngokèr dhalika (mengukir geladak tempat tidur – yang hasilnya tidak akan dilihat orang sebab tertutup tikar atau kasur). Pekerjaan yang tidak membuahkan hasil sama sekali diibaratkan pula dengan peribahasa mara ketthang mèga’ balang (seperti kera menangkap belalang – dua ekor hasil tangkapan pertama dikepitnya di kedua ketiaknya; ketika menjulurkan lengannya buat menangkap yang ketiga dan keempat terlepaslah kedua belalang yang sudah dikepitnya; karena terkejut gagallah upayanya menambah tangkapannya itu, sehingga sia-sialah semua pekerjaannya).
Selain itu, orang Madura memang percaya bahwa bekerja itu harus efektif dan efisien. Orang tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia yang tidak ada gunanya sama sekali, seperti ditegaskan dengan pepatah aghulai maddhu, abujai saghara (menggulai madu, menggarami laut), atau ngokèr dhalika (mengukir geladak tempat tidur – yang hasilnya tidak akan dilihat orang sebab tertutup tikar atau kasur). Pekerjaan yang tidak membuahkan hasil sama sekali diibaratkan pula dengan peribahasa mara ketthang mèga’ balang (seperti kera menangkap belalang – dua ekor hasil tangkapan pertama dikepitnya di kedua ketiaknya; ketika menjulurkan lengannya buat menangkap yang ketiga dan keempat terlepaslah kedua belalang yang sudah dikepitnya; karena terkejut gagallah upayanya menambah tangkapannya itu, sehingga sia-sialah semua pekerjaannya).
Selain ulet, rajin juga merupakan
etos kerja orang Madura yang sudah dikenal oleh masyarakat luar. Ungkapan kar-karkar colpè’ (mengais terus
mematuk) sangat tepat melukiskan sifat rajin orang Madura. Makna ungkapan ini,
layaknya seekor ayam yang mencakar-cakar tanah (kar-karkar) mencari makanan
“sebutir demi sebutir”, kemudian butir demi butir hasil yang didapat dipatuk
(colpè’) dan ditelannya. Oleh karena keuletan yang disertai kerajinannya itu,
mudah dipahami jika orang Madura tidak mudah putus asa, meskipun hasilnya
sedikit mereka akan tekun bekerja sampai akhirnya memperoleh apa yang diinginkan.
Etos kerja lainnya sebagaimana
penuturan Rifai (2007: 446) adalah orang Madura tidak akan menyia-nyiakan
apalagi sampai membuang waktu dalam hidupnya yang pendek serta sangat berharga
sehingga tidak akan mèndu ghabay (menduakalikan pekerjaan). Sejalan dengan itu,
orang Madura sangat efisien terhadap waktu dalam bekerja sebagaimana terungkap
dalam pepatah atolo ngèras mandi (berkeramas sambil mandi). Malahan dalam
mengerjakan sesuatu orang Madura selalu bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk
menunduk memintal tali). Ungkapan ini bermakna bahwa meskipun kelihatan duduk
menunduk namun orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang
bermanfaat. Selanjutnya, orang Madura juga sangat yakin terhadap hasil sesuai
dengan apa yang dikerjakan: mon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang
bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan
memperoleh hasilnya).
SISTEM KEKERABATAN
Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan
terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah
maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya, ikatan
kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah
sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang Madura
mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah
(descending generations) dari ego.
Dalam sistem
kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat
(kinsmen), yaitu:
1. Taretan Dalem (kerabat inti atau core
kin),
2. Taretan Semma’ (kerabat dekat atau close
kin), dan
3. Taretan Jau (kerabat jauh atau
peripheral kin).
Di luar ketiga kategori
ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara".
Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar
tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya
karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan sosial yang
sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar
lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya
hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi
primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di
bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan
yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau
kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk
taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga
atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena
adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang
demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain
yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri
dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan
orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi
terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
Kategori
Kerabat:
Keterangan
Gambar :
1. Oreng towa
(orang tua : ayah/ibu atau parent : F dan M )
2. Kae/nyae (kakek/nenek
atau GF/GM)
3. Juju' (orang
tua dari kakek/nenek atau GGF/GGM)
4. Gharubhung
(orang tua dari juju' atau GGGF/GGGM)
5. Ana' (anak
kandung atau Son/S dan Daugther/D)
6. Kompoy (cucu
atau GS)
7. Peyo' (cicit
atau GGS)
8. Kareppek
(anak dari cicit atau GGGS)
9. Taretan (saudara
kandung atau Brother/B dan sister/Z)
10. Taretan
sapopo (saudara sepupuan atau first cousins)
11. Taretan
dupopo (saudara dua pupuan atau second cousins)
12. Taretan
tellopopo (saudara tiga pupuan atau third cousins)
13. Majhadi' (saudara
dari ayah/ ibu atau FB atau FZ dan MB atau MZ)
14. Ponakan (ponakan
atau FBS atau FZS dan MBS atau MZS)
Berdasarkan
kategori-kategori gambar tersebut, masyarakat Madura selalu membangun aktivitas-aktivitas
afiliasi dan tingkah laku (Affiliations and conducts Activities) dengan Tretan
dalem (Saudara dalam) yang mencakup keturunan mereka secara langsung
(Lineage), seperti orang tua (ayah-ibu), kakek-nenek, anak-cucu, Majhadi' (sepupu),
keponakan, Sapopo (saudara sepupu), dan Dupopo (saudara sepupu
generasi kedua). Selain itu, afiliasi-afiliasi juga dibangun dalam lingkungan Tretan
semma' (saudara dekat) yang mencakup anggota seketurunan dari kakek nenek (juju'/enju'),
Tellopopo (saudara sepupu generasi ketiga), dan orang-orang yang
seketurunan dari anak-cucu. Pa'popo (Saudara sepupu generasi keempat)
dimasukkan dalam kategori Tretan jhau (saudara jauh). Masing-masing
kategori mempunyai tingkatan atau keakraban yang berbeda yang berbeda.
Untuk menjaga keakraban
antar sesama kerabat agar tetap kuat, biasanya dilakukan aktivitas-aktivitas
sosial seperti saling mengunjungi, baik dalam suasana suka (perhelatan,
pertunangan, pernikahan) maupun duka (kerabat sakit, kematian, terkena
musibah). Bahkan untuk menjaga keutuhan dan menjalin menjalin kembali ikatan
kekerabatan yang dianggap telah mulai longgar atau hampir putus karena proses
perjalanan waktu, orang Madura mempunyai kebiasaan melakukan pernikahan antar
anggota keluarga (kin group endogamy). Kebiasaan yang sampai saat ini masih
tetap dipertahankan tampaknya telah berlangsung sejak jaman kerajaan, yaitu
sejak abad ke-13.Meskipun demikian dalam kebudayaan Madura, ada juga pernikahan
antar anggota keluarga yang harus dihindari, yaitu antara anak dari saudara
laki-laki sekandung (sepupu) atau antara anak dari dua perempuan sekandung
(sepupu) menurut kepercayaan orang Madura jika pernikahan itu dilangsungkanmaka
akan terjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.(Siddiq, 1992:28-33; Mansurnoor, 1990:80-86)
Pernikahan antar
keluarga sendiri diyakini tidak membawa malapetaka justru dapat tetap
memelihara, mempertahankan, dan melestarikan hubungan-hubungan kekerabatan oleh
orang Madura disebut Mapolong tolang (Mengumpulkan tulang yang
bercerai-berai). Bagi keluarga-keluarga kaya, pernikahan ini biasanya terselip
maksud yang bersifat ekonomi. Artinya, pernikahan antar anggota keluarga
dimaksudkan untuk menjaga agar harta kekayaan yang dimiliki tidak jatuh kepada Oreng
loar (orang lain).
Dalam realitas kultural
yang sangat ekstrim, biasanya masyarakat desa justru menjodohkan anaknya yang
masih berumur dibawah lima tahun (balita) denbgan anak dari anggota keluarga
yang lain pada usia yang sama. Bahkan ada pula sebagian dari mereka yang
menjodohkan anak-anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam kandungan
ibunya atau pada saat baru dilahirkan. Tujuan menjodohkan anak pada usia sangat
muda, selain telah disebutkan diatas, adalah untuk menjaga kehormatan keluarga
dari perasaan aib dan malu jika pada waktunya nanti anak perempuan mereka belum
menemukan jodoh. Menurut pandangan orang Madura, seorang perempuan seharusnya
sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur 12
sampai 15 tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan masih juga belum
menikah, semua orang akan mencemooh nya sebagai Ta' paju lakeh (perempuan
tidak laku). Pada saat itulah kedua orang tuanya serta anak perempuan yang
bersangkutan merasakan aib dan malu pada semua orang dilingkungan sosialnya.
Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi seperti itu, mudah dimengerti apabila
inisiatif menjodohkan anak dibawah umur hampir selalu datang dari pihak orang
tua anak perempuan. Inisiatif yang datang dari pihak orang tua anak laki-laki
pun punya maksud yang sama. sebab, sebagai satu keluarga besar, mereka pun akan
merasakan hal yang sama (aib dan malu) jika ada diantara anggota kerabatnya di
cemooh sebagai ta' paju lakeh (perempuan tidak laku).
Dalam konteks budaya
Madura, kebiasaan menjodohkan anak antar keluarga yang masih dibawah umur dan
bahkan ketika anak masih dalam kandungan ibunya mempunyai makna atau dapat
ditafsirkan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menghendaki seorang
perempuan hidup sendiri tanpa pendamping seorang laki-laki sebagai suami, yang
antara lain akan melindungi kehormatannya. Akan tetapi, karena sistem
kekerabatan dalam masyarakat Madura bersifat patriarkal, yang dalam kehidupan
keluarga dicerminkan oleh posisi superordinasi suami terhadap istri, salah satu
implikasinya adalah suami selalu mapas kepada isterinya. Sebaliknya,
istri senantiasa abhasa kepada suami sebagai ungkapan penghormatan.
Kalaupun ada sementara suami yang tidak menggunakan bahasa mapas, biasanya
hanya cukup menggunakan bahasa pada tingkatan menengah². lebih dari itu, posisi
superordinasi ini terimplementasikan pula dalam peran suami yang sangat dominan
hampir di segala segi kehidupan sehingga perlindungan istri cenderung
sangat berlebihan.
Peran tersebut secara
kultural tercermin pada pakaian adat madura pesa' (baju) dan
gombor (celana) pakaian tradisional ini model atau rancangannya
sangat longgar, sehingga pemakainya bebas bergerak dan dengan mudah dapat
memamerkan tubuhnya yang tegap. Sebaliknya, para istri orang Madura di pedesaan
harus menggunakan beggel (gelang kaki) terbuat dari bahan alpaka, yaitu
campuran perak dan tembaga yang beratnya berkisar antara 3 sampai 5 Kilogram. Beggel
ini dipakai di kedua kaki ketika mereka keluar rumah atau bepergian. Ketika
berjalan para istri tampak terseok-seok, yang menandakan tidak adanya kebebasan
bergerak sebagaimana para suami yang selalu berjalan mengiringi di belakang
sambil nyekep (menyelipkan Celurit
kedalam baju). Dengan demikian istri selalu berada dalam pengawasan sangat
ketat, yang mengindikasikan mereka sangat berarti dalam kehidupan suami. Setiap
bentuk gangguan terhadap kehormatan istri akan dimaknai sebagai pelecehan
terhadap harga diri suami(Wiyata,2002;64-69)
1.
Diceritakan dalam babad sumenep. Pangeran Saccadiningrat sebagai Raja di
Sumenep menikah dengan saudara sepupu ibunya bernama Dewi Sarini. Dari
perkawinan ini lahir seorang putri yang amat cantik dengan julukan Raden
Ayu Potre Koneng.
2. Pada dasarnya
penggunaan bahasa Madura hanya dibedakan menjadi dua, yaitu Abhasa
(penggunaan bahasa tinggi dan halus), dan Mapas (penggunaan bahasa kasar).
Penggunaan kedua jenis bahasa ini sebagai alat berkomunikasi antar anggota
keluarga ataun kerabat sangat tergantung pada posisi yang bersangkutan dalam
struktur kekerabatan. Misalnya, seorang anak harus abhasa kepada orang tuanya.