Tuesday, 12 March 2019

TINJAUAN TEORI TENTANG ANTROPOLOGI SASTRA


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1        TINJAUAN TEORI TENTANG ANTROPOLOGI SASTRA
2.1.1     Pengertian Antropologi Sastra
Ratna (2011:31) memaparkan bahwa, antropologi sastra adalaha analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan dalam antropologi sastra dimaksudkan pada hal yang lebih meluas. Hal tersebut juga mengikuti perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya sastra akan meluas sebagai masyarakat yang berperan sebagai penciptaan dan penerimaan. Karya sastra dalam hal ini bukan hanya memantulkan kenyataan, akan tetapi juga merefleksi, dan membelokkan sehingga berhasil menciptakan keberagaman budaya secara lebih bermakna.
Kajian antropologi sastra diantaranya mengupas sisi kemanusian dalam dinamika kehidupan khususnya kebudayaannya yang mendasari sebuah cerita dalam karya sastra. Ratna (2011:81) menjelaskan bahwa salah satu gejala yang dapat menghubungkan antara antropologi dengan sastra sekaligus mengantarkannya kepemahaman antropologi sastra adalah masa lampau, citra nostalgis, citra primordial, dan citra arketipe menurut pemahaman lain. Masa lampau secara psikologis dibicarakan oleh Freud yang disebut sebagai lapis ketidak sadaran. Masa lampau yang tidak hilang melainkan terekam, tersimpan dalam ketidak sadaran manusia pada umumnya disebut memori sebagai ilmu pengetahuan dan bahkan kepercayaan.
Antropologi masa lampau dapat dihidupkan kembali. Masa lampau inilah yang di anggap sebagai energi kehidupan manusia masa kini, bahkan juga masa yang akan datang. Kehidupan masa sekarang adalah akumulasi kehidupan masa lampau sebagai pengalaman terdahulu. Manusia bertambah besar, tinggi dan berat oleh pertumbuhan sel, menjadi dewasa oleh bertambahnya umur tetapi perubahan yang jauh lebih penting adalah bertambahnya pengalaman sebagai proses pembelajaran. Tanpa pengalaman manusia tidak memliki arti. Kehiduapan yang dimaksudkan secara antropologis diakui sesudah terbentuknya manusia berpikir, sebagai homo sapiens. (Ratna 2011:84).
Ciri khas antropologi sastra adalah keterlibatan manusia sebagai pengarang, demikian demikian juga pembaca didalamnya keseluruhan aspek kebudayaan dan peradaban dimasukkan sebagai indikator utama proses produksi, dengan catatan bahwa indicator yang dimaksudkan merupakan segala kesumberkaitan dengan manusia yang dikemas dalam karya. Antropologi sastra seolah olah merupakan gabungan antara psikologi dan sosiologi sastra, antropologi sastra sebagai sosiopsikologi (Ratna 2011:85-86). Penggabunggan antara sosiologi dan psikologi dalam antropologi tersebut merupakan suatu kombinasi yang benar-benar terekam dalam peristiwa yang dialami manusia dalam ceritanya yang bisa saja dikemas kedalam bentuk karya sastra.       
2.1.2     Sistem Kemasyarakatan
                 Sistem kemasyarakatan dianggap sebagai aspek kebudayaan yang paling luas. Antara masyarakat dan kebudayaan sulit dipisahkan, perbedaannya dapat dikenali melalui sudut pandang, intensitas, dan cara-cara lain yang dilakukan pada saat terjadinya proses pemahaman (Ratna 2011:405). Dalam pembahasan ini masyarakat tentu merupakan syarat pokok bagi manusia sebagai mahkluk sosial, karena seperti yang kita ketahui bahwa seseorang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain. Sistem kemasyarakatan hampir sama dengan sistem kebudayaan sistem kemasyarakatan dalam hubungan ini dibatasi dalam bentuk kekerabatan dan organisasi sosial politik lain yang dianggap masuk akal dan sinkron anatara yang satu dan yang lainnya.
                 Sistem kekerabatan merupakan bentuk-bentuk komunikasi dari kelompok manusia yang paling kecil sebagai tatap muka hingga kelompok tatap muka yang paling besar, sebagai masyarakat itu sendiri. 
2.1.3     Madura, Budaya Dan Masyarakat
2.1.3.1 Etika Dan Perilaku Bermasyarakat
Masyarakat Madura secara demografis merupakan salah satu etnis ketiga terbesar setelah jawa dan Bali. Suku Madura sendiri tersebar diberbagai daerah dinusantara seperti Kalimantan, di tempat huhara di sampit dan sambas. orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau Karen akeadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar pasar. selain itu ba yak yang berkerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang barang rongsokan lainnya. suhu dipulau Madura termasuk kategori yang panas karena dikelilingi oleh laut, tal ayal bila sebagian dari daratan di pulau Madura gersang meski demikian ada hal hal penting yang berlaku di Madura yang menarikkarena berkaitan dengan hal hal perincipil dalam nilai nilai masyarakatnya
Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam.
Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnis lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.
Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.
Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru? Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian, pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!
Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara tergesa-gesa mengartikan makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato semata-mata sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab jika demikian, makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam konteks sebagai figur bhuppa’ bhabhu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya.
Pada figur ghuru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato (dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai birokrat di lingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain). Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan.
Bagaimana halnya dengan rato-rato di Madura, khususnya kepala daerah atau bupati? Sejak era reformasi digulirkan jabatan ini telah dipegang oleh figur-figur yang berlatar belakang kiai (ghuru). Bahkan untuk kabupaten Sumenep sudah memasuki masa jabatan kedua sejak awal tahun ini. Satru-satunya kabupaten yang baru akan melaksanakan pilkada secara langsung pada tahun ini dengan calon-clon dari figur kiai adalah Sampang. Awalnya akan dilaksanakan Agustus namun karena beberapa alasan ditunda akhir Nopember. Munculnya figur-figur bupati yang berasal dari lingkungan sosial kiai, (sebut saja: “bupati-kiai”) jelas akan menimbulkan perubahan (posisi) sosial sangat fundamental dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura. Yakni yang semula posisi mereka sebagai figur ghuru berubah ke posisi figur rato. Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling tidak menyangkut dua hal. Pertama, figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek moralitas dan keagamaan. Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi” (sacred world). Figur rato tiada lain sebagai representasi dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di seluruh wiilayah kabupaten Madura. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa makna-makna kultural yang kemudian terimplementasi dalam perilaku-perilaku simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak. Kedua, bagi masyarakat Madura sudah pasti akan muncul respons kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur ghuru. Pada saat dan situasi apa serta kepada figur yang mana mereka harus lebih taat dan patuh, oleh karena dalam diri figur bupati-kiai melekat dua peran dan fungsi yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga masyarakat. Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal telah ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik dan budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur ghuru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara efektif dan effisien. Namun tidak tertutup kemungkinan para bupati-kiai justru bisa jadi menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur ghuru sekaligus sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah. Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan leadership ini selain penting untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan (dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura kedepan. Ini terkait dengan upaya menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance. Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga masyarakat Madura yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga bathiniah. Terakhir penting untuk diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon bhagus, pabhagas, mon soghi pasogha’. Dalam pengertian luas, jika orang Madura telah memiliki harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi tertentu) hendaknya harus tetap santun dan berwibawa. Caranya janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika, berfalsafah, dan berbudaya Madura!
PRILAKU
Touwen-Bouwsma (1989:159) dengan mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda tahun 1922 mengatakan bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit ini dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” Senada dengan hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.” Baik Touwen-Bouwsma maupun De Jonge nampaknya sependapat bahwa penggunaan kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas Madura adalah carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang carok” (De Jonge 1993:1; Smith 1997:58). Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindakan kekerasan (De Jonge 1995:13; Touwen-Bouwsma 1989:162). Pertanyaannya kemudian, benarkah orang Madura keras? Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya itu sungguh diluar nalar sehat.
Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura. Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol). Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk). Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal lauk buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental.
Begitu pula dengan rasa manis. Rasa yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai. Contoh lain adalah ketika orang Madura akan membangun rumah. Mereka sangat memperhatikan secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan rumah jangan sampai mèsong (tidak mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan rumah yang posisi atau letaknya mèsong dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatuhan. Bukan hanya letak dan posisi bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’ kalakowan mèsong atau mon alako pateppa’, jha’ song- mèsong (jika bekerja haruslah dengan cara-cara yang benar, janganlah melakukan kegiatan yang menyimpang dari aturan-aturan atau norma-norma).
Dengan mengemukakan masalah kesukaan terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya). Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”. Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.
Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan kondisi seperti ini.
Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya secara kultural memang diakui adanya. Hal ini oleh karena adanya relasi dengan kondisi-kondisi yang membentuknya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan kekerasan yang konstruktif dan berwibawa. Untuk mewujudkan penilaian demikian, bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai ”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak, juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotip yang sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnis lain dalam bingkai ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman, tentram, dan sejahtera.
ETOS KERJA
Etos dapat diartikan sebagai sikap, pandangan, pedoman atau tolok ukur yang ditentukan dari dalam diri sendiri seseorang atau sekelompok orang dalam berkegiatan (Rifai, 2007:347). Dengan demikian, etos merupakan dorongan yang bersifat internal. Namun dorongan ini sudah melalui proses konstruksi dan rekonstruksi selama yang bersangkutan menjalani kehidupan sosialnya. Padahal, nilai-nilai agama Islam senantiasa menjadi dasar segala aspek kehidupan sosial budaya mereka. Itu sebabnya, etos kerja orang Madura sangat erat dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
Etos kerja orang Madura yang telah dikenal sangat tinggi karena secara naluriah bagi mereka bekerja merupakan bagian daripada ibadahnya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianutnya. Oleh karena itu tidak ada pekerjaan yang bakal dianggapnya hina selama kegiatannya tidak tergolong maksiat sehingga hasilnya akan halal dan diridai Allah. Kesempatan bisa bekerja akan dianggapnya sebagai rahmat Tuhan, sehingga mendapat pekerjaan merupakan panggilan hidup yang bakal ditekuninya dengan sepenuh hati (Rifai, 2007:347).
Etos kerja yang sangat tinggi ini dibarengi dengan keuletan yang sama. Hal ini terbukti pada para migran atau perantau Madura. Pengalaman saya meneliti konflik antara Dayak/Melayu dengan Madura (lebih dikenal dengan Konflik Sambas, 1999) menunjukkan bahwa perantau Madura yang menjadi korban dan ditampung di Stsdion Pontianak sebagai pengungsi menunjukkan etos kerja dan keuletan yang sangat tinggi dalam bekerja. Pada mulanya, kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena mereka hidup seadanya dan hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan LSM-LSM. Namun apa yang terjadi setelah sekitar tiga bulan mereka menjadi pengungsi, “mereka sudah mampu membangun kios-kios di tempat pengungsian”. Bahkan beberapa di antaranya sudah mampu membeli kendaraan bermotor. Salah seorang teman saya penduduk kota Pontianak sempat menyatakan kegagumannya pada keuletan pengungsi Madura korban konflik. “Saya tidak habis pikir, mereka pada awalnya benar-benar sangat miskin, namun sekarang (maksudnya setelah tiga bulan setelah konflik) mereka sudah mampu membangun rumah-rumah sederhana serta kios-kios dan juga membeli kendaraan bermotor”, demikian dia berkata.
Motivasi untuk semakin giat dan ulet bekerja semakin muncul ketika orang Madura berada di luar lingkungan komunitasnya (baik di tingkat wilayah Madura, apalagi di luar wilayah Madura). Alasannya, mereka dalam melakukan pekerjaan itu merasa ta’ ètangalè atau ta’ èkatèla’ orèng (tidak terlihat oleh sanak keluarga atau tetangga). Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa orang Madura semakin ulet dan tekun ketika mereka merasa bebas dari pengamatan lingkungan sosialnya. Itu sebabnya, pekerjaan apa pun asalkan dianggap halal, pasti akan dilakukannya, lebih-lebih ketika mereka berada di rantau. Untuk menggambarkan keuletan, kerajinan, dan semangat tinggi orang Madura dalam melakukan pekerjaan, Rifai (2007:348) menyenarai beberapa kata dalam bahasa Madura yang memiliki arti dan makna itu. Beberapa diantaranya, adalah:

§ bharenteng (sangat giat),
§ bhajeng (rajin),
§ cakang (cekatan),
§ parèkas (penuh prakarsa), tangginas (cepat bertindak)
§ abhabbha’ (bekerja dengan mengerahkan semua kemampuan yang ada),
§ abhantèng tolang (membanting tulang),
§ acèko (giat bekerja dengan gerakan tangan yang sibuk),
§ acèmeng (sibuk bekerja hingga tidak bisa tinggal diam),
§ apokpak (sibuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan sekaligus),
§ asèpsap (bekerja sambil berlari kian ke mari).
Pada kenyataannya masih banyak lagi kata-kata dalam bahasa Madura yang merujuk pada makna dan arti tentang etos kerja yang ulet, rajian, penuh semangat, dan semacamnya. Sayangnya (atau: hebatnya!) banyak dari kata-kata itu tidak ditemukan padanannya atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal di daerah-daerah lain di negeri ini. Selanjutnya Rifai (2007: 249) menuturkan bahwa ketika melakukan pekerjaan pekerja Madura akan selalu menunjukkan sikap ce’ ngadhebbha da’ lalakonna (sangat bersungguh-sungguh melaksanakan pekerjaannya), sehingga dengan rajin dan hati senang dapat melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi semacam itu, ia akan sangat papa dha’ pangghabayan, artinya paham benar pada pekerjaannya sehingga dapat melaksanakan dengan penuh percaya diri, tidak kenal lelah, tidak kikuk, atau gugup. Dengan etos kerja demikian, orang Madura tidak akan takut untuk bekerja keras atau harus menghadapi pekerjaan berat sekalipun. Semuanya akan dikerjakan sekuat tenaga sampai berhasil. Hasil kerja keras semacam ini disebut hasèlla pello konèng (peluh kuning). Karena sudah terbiasa bekerja keras, kalau ada kesulitan ia pasti akan abhalunteng (berupaya keras) untuk mengatasi masalahnya serta mencapai keinginannya.
Cara kerja orang Madura sangat dituntut agar tidak tergesa-gesa sehingga hasilnya justru sangat mengecewakan. Keadaan seperti ini diungkapkan dalam pepatah gancang kala ka bilis atau gancang ta’ nyapo’ ka bilis (cepat tetapi kalah pada semut). Sebaliknya, orang Madura dalam bekerja hendaknya meniru rayap atau ngangguy èlmona raprap. Artinya meskipun kelihatan cara kerjanya lamban namun hasilnya sungguh di luar dugaan dan sangat memuaskan.
Selain itu, orang Madura memang percaya bahwa bekerja itu harus efektif dan efisien. Orang tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia yang tidak ada gunanya sama sekali, seperti ditegaskan dengan pepatah aghulai maddhu, abujai saghara (menggulai madu, menggarami laut), atau ngokèr dhalika (mengukir geladak tempat tidur – yang hasilnya tidak akan dilihat orang sebab tertutup tikar atau kasur). Pekerjaan yang tidak membuahkan hasil sama sekali diibaratkan pula dengan peribahasa mara ketthang mèga’ balang (seperti kera menangkap belalang – dua ekor hasil tangkapan pertama dikepitnya di kedua ketiaknya; ketika menjulurkan lengannya buat menangkap yang ketiga dan keempat terlepaslah kedua belalang yang sudah dikepitnya; karena terkejut gagallah upayanya menambah tangkapannya itu, sehingga sia-sialah semua pekerjaannya).
Selain ulet, rajin juga merupakan etos kerja orang Madura yang sudah dikenal oleh masyarakat luar. Ungkapan kar-karkar colpè’ (mengais terus mematuk) sangat tepat melukiskan sifat rajin orang Madura. Makna ungkapan ini, layaknya seekor ayam yang mencakar-cakar tanah (kar-karkar) mencari makanan “sebutir demi sebutir”, kemudian butir demi butir hasil yang didapat dipatuk (colpè’) dan ditelannya. Oleh karena keuletan yang disertai kerajinannya itu, mudah dipahami jika orang Madura tidak mudah putus asa, meskipun hasilnya sedikit mereka akan tekun bekerja sampai akhirnya memperoleh apa yang diinginkan.
Etos kerja lainnya sebagaimana penuturan Rifai (2007: 446) adalah orang Madura tidak akan menyia-nyiakan apalagi sampai membuang waktu dalam hidupnya yang pendek serta sangat berharga sehingga tidak akan mèndu ghabay (menduakalikan pekerjaan). Sejalan dengan itu, orang Madura sangat efisien terhadap waktu dalam bekerja sebagaimana terungkap dalam pepatah atolo ngèras mandi (berkeramas sambil mandi). Malahan dalam mengerjakan sesuatu orang Madura selalu bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk menunduk memintal tali). Ungkapan ini bermakna bahwa meskipun kelihatan duduk menunduk namun orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang bermanfaat. Selanjutnya, orang Madura juga sangat yakin terhadap hasil sesuai dengan apa yang dikerjakan: mon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan memperoleh hasilnya).

SISTEM KEKERABATAN

Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal relatives). Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego.

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu:
1.      Taretan Dalem (kerabat inti atau core kin),
2.      Taretan Semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan
3.      Taretan Jau (kerabat jauh atau peripheral kin).
Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara". Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan). Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan, taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.


Kategori Kerabat:
Keterangan Gambar :
1. Oreng towa (orang tua : ayah/ibu atau parent : F dan M )
2. Kae/nyae (kakek/nenek atau GF/GM)
3. Juju' (orang tua dari kakek/nenek atau GGF/GGM)
4. Gharubhung (orang tua dari juju' atau GGGF/GGGM)
5. Ana' (anak kandung atau Son/S dan Daugther/D)
6. Kompoy (cucu atau GS)
7. Peyo' (cicit atau GGS)
8. Kareppek (anak dari cicit atau GGGS)
9. Taretan (saudara kandung atau Brother/B dan sister/Z)
10. Taretan sapopo (saudara sepupuan atau first cousins)
11. Taretan dupopo (saudara dua pupuan atau second cousins)
12. Taretan tellopopo (saudara tiga pupuan atau third cousins)
13. Majhadi' (saudara dari ayah/ ibu atau FB atau FZ dan MB atau MZ)
14. Ponakan (ponakan atau FBS atau FZS dan MBS atau MZS)
Berdasarkan kategori-kategori gambar tersebut, masyarakat Madura selalu membangun aktivitas-aktivitas afiliasi dan tingkah laku (Affiliations and conducts Activities) dengan Tretan dalem (Saudara dalam) yang mencakup keturunan mereka secara langsung (Lineage), seperti orang tua (ayah-ibu), kakek-nenek, anak-cucu, Majhadi' (sepupu), keponakan, Sapopo (saudara sepupu), dan Dupopo (saudara sepupu generasi kedua). Selain itu, afiliasi-afiliasi juga dibangun dalam lingkungan Tretan semma' (saudara dekat) yang mencakup anggota seketurunan dari kakek nenek (juju'/enju'), Tellopopo (saudara sepupu generasi ketiga), dan orang-orang yang seketurunan dari anak-cucu. Pa'popo (Saudara sepupu generasi keempat) dimasukkan dalam kategori Tretan jhau (saudara jauh). Masing-masing kategori mempunyai tingkatan atau keakraban yang berbeda yang berbeda.
Untuk menjaga keakraban antar sesama kerabat agar tetap kuat, biasanya dilakukan aktivitas-aktivitas sosial seperti saling mengunjungi, baik dalam suasana suka (perhelatan, pertunangan, pernikahan) maupun duka (kerabat sakit, kematian, terkena musibah). Bahkan untuk menjaga keutuhan dan menjalin menjalin kembali ikatan kekerabatan yang dianggap telah mulai longgar atau hampir putus karena proses perjalanan waktu, orang Madura mempunyai kebiasaan melakukan pernikahan antar anggota keluarga (kin group endogamy). Kebiasaan yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan tampaknya telah berlangsung sejak jaman kerajaan, yaitu sejak abad ke-13.Meskipun demikian dalam kebudayaan Madura, ada juga pernikahan antar anggota keluarga yang harus dihindari, yaitu antara anak dari saudara laki-laki sekandung (sepupu) atau antara anak dari dua perempuan sekandung (sepupu) menurut kepercayaan orang Madura jika pernikahan itu dilangsungkanmaka akan terjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.(Siddiq, 1992:28-33; Mansurnoor, 1990:80-86)
Pernikahan antar keluarga sendiri diyakini tidak membawa malapetaka justru dapat tetap memelihara, mempertahankan, dan melestarikan hubungan-hubungan kekerabatan oleh orang Madura disebut Mapolong tolang (Mengumpulkan tulang yang bercerai-berai). Bagi keluarga-keluarga kaya, pernikahan ini biasanya terselip maksud yang bersifat ekonomi. Artinya, pernikahan antar anggota keluarga dimaksudkan untuk menjaga agar harta kekayaan yang dimiliki tidak jatuh kepada Oreng loar (orang lain).
Dalam realitas kultural yang sangat ekstrim, biasanya masyarakat desa justru menjodohkan anaknya yang masih berumur dibawah lima tahun (balita) denbgan anak dari anggota keluarga yang lain pada usia yang sama. Bahkan ada pula sebagian dari mereka yang menjodohkan anak-anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam kandungan ibunya atau pada saat baru dilahirkan. Tujuan menjodohkan anak pada usia sangat muda, selain telah disebutkan diatas, adalah untuk menjaga kehormatan keluarga dari perasaan aib dan malu jika pada waktunya nanti anak perempuan mereka belum menemukan jodoh. Menurut pandangan orang Madura, seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur 12 sampai 15 tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan masih juga belum menikah, semua orang akan mencemooh nya sebagai Ta' paju lakeh (perempuan tidak laku). Pada saat itulah kedua orang tuanya serta anak perempuan yang bersangkutan merasakan aib dan malu pada semua orang dilingkungan sosialnya. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi seperti itu, mudah dimengerti apabila inisiatif menjodohkan anak dibawah umur hampir selalu datang dari pihak orang tua anak perempuan. Inisiatif yang datang dari pihak orang tua anak laki-laki pun punya maksud yang sama. sebab, sebagai satu keluarga besar, mereka pun akan merasakan hal yang sama (aib dan malu) jika ada diantara anggota kerabatnya di cemooh sebagai ta' paju lakeh (perempuan tidak laku).
Dalam konteks budaya Madura, kebiasaan menjodohkan anak antar keluarga yang masih dibawah umur dan bahkan ketika anak masih dalam kandungan ibunya mempunyai makna atau dapat ditafsirkan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menghendaki seorang perempuan hidup sendiri tanpa pendamping seorang laki-laki sebagai suami, yang antara lain akan melindungi kehormatannya. Akan tetapi, karena sistem kekerabatan dalam masyarakat Madura bersifat patriarkal, yang dalam kehidupan keluarga dicerminkan oleh posisi superordinasi suami terhadap istri, salah satu implikasinya adalah suami selalu mapas kepada isterinya. Sebaliknya, istri senantiasa abhasa kepada suami sebagai ungkapan penghormatan. Kalaupun ada sementara suami yang tidak menggunakan bahasa mapas, biasanya hanya cukup menggunakan bahasa pada tingkatan menengah². lebih dari itu, posisi superordinasi ini terimplementasikan pula dalam peran suami yang sangat dominan hampir di segala segi kehidupan sehingga  perlindungan istri cenderung sangat berlebihan.
Peran tersebut secara kultural tercermin pada pakaian adat madura pesa' (baju) dan gombor (celana) pakaian tradisional ini model atau rancangannya sangat longgar, sehingga pemakainya bebas bergerak dan dengan mudah dapat memamerkan tubuhnya yang tegap. Sebaliknya, para istri orang Madura di pedesaan harus menggunakan beggel (gelang kaki) terbuat dari bahan alpaka, yaitu campuran perak dan tembaga yang beratnya berkisar antara 3 sampai 5 Kilogram. Beggel ini dipakai di kedua kaki ketika mereka keluar rumah atau bepergian. Ketika berjalan para istri tampak terseok-seok, yang menandakan tidak adanya kebebasan bergerak sebagaimana para suami yang selalu berjalan mengiringi di belakang sambil nyekep (menyelipkan Celurit kedalam baju). Dengan demikian istri selalu berada dalam pengawasan sangat ketat, yang mengindikasikan mereka sangat berarti dalam kehidupan suami. Setiap bentuk gangguan terhadap kehormatan istri akan dimaknai sebagai pelecehan terhadap harga diri suami(Wiyata,2002;64-69)
1. Diceritakan dalam babad sumenep. Pangeran Saccadiningrat sebagai Raja di Sumenep menikah dengan saudara sepupu ibunya bernama Dewi Sarini. Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang amat cantik dengan julukan Raden Ayu Potre Koneng. 

2. Pada dasarnya  penggunaan bahasa Madura hanya dibedakan menjadi dua, yaitu Abhasa (penggunaan bahasa tinggi dan halus), dan Mapas (penggunaan bahasa kasar). Penggunaan kedua jenis bahasa ini sebagai alat berkomunikasi antar anggota keluarga ataun kerabat sangat tergantung pada posisi yang bersangkutan dalam struktur kekerabatan. Misalnya, seorang anak harus abhasa kepada orang tuanya.