Unsur-Unsur Semantik: Konsep, Tanda (sign),
Lambang (symbol), Acuan, dan Penamaan (naming)
A. Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal
dari bahasa yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau
“lambang”). Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan
kata sema itu adalah tanda linguistic (Prancis: signe
linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1996),
yaitu yang terdiri dari komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk
bunyi bahasa, dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama
itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang
ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang
lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic
dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam
linguistic yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai
ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran
analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik. [1]
Semantik merupakan cabang linguistic yang mempunyai hubungan erat dengan
ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan juga dengan
filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantic karena
sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan
sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok yang menggunakannya. Sedangkan
antropologi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena analisis makna
sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya
pemakainya. Dalam analisis semantik harus juga disadari karena bahasa itu
bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat
pemakainya maka analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu
saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.[2]
B. Unsur-Unsur Semantik
1. Konsep
Ambillah satu kalimat “Saya pergi ke pasar.” Kalimat ini terdiri
dari empat kata. Marilah kita perhatikan kata saya. Kalau ada seseorang
berkata saya, apakah yang akan terbayang pada kita? Demikian pula dengan
kata pergi dan pasar. Kalau orang berkata pergi, terbayang
adalah kegiatan pergi, kegiatan pergi yang dilakukan seseorang yang disebut saya.
Kegiatan tersebut diarahkan ke pasar, bukan ke sekolah atau ke terminal
bus. Semuanya terbayang pada diri kita. Hal itu terjadi karena ada orang yang
mengujarkannya atau kata-kata tersebut tertulis. Bunyi ujaran atau lambang yang
tertulis dipahami karena makna tiap-tiap kata, ada di dalam otak kita. Begitu
ada rangsangan berupa kalimat yang terdiri dari kata-kata, maka makna tiap
satuan unsur bahasa yang disebut kata yang ada di dalam otak, secara otomatis
keluar dari persemayamannya. Dalam proses bahasa, maksudnya jika teradi
komunikasi, pada pihak pendengar terjadi proses pemecahan kode fonologis,
pemecahan kode gramatikal, dan pemecahan kode semantik.
Berdasrkan uraian ini, di dalam otak kita sebenarnya bersemayam
beribu-ribu, bahkan lebih dari itu, kata yang memiliki konsep yang siap
diujarkan jika dibutuhkan. Apabila hal ini dibandingkan dengan pita rekam pada
suatu alat rekam, dapat dibayangkan berapa gulungan pita rekam yang tersedia di
dalam otak kita yang tanpa disetel lebih dahulu keluar secara otomatis kalau
diperlukan. Konsep itu dapat dipahami melalui kemandirian kata atau melalui
relasi dengan kata yang lain.[3]
2. Tanda
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1993:1002) tanda
diartikan: 1) yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu: sirine tanda
bahaya; bendera putih tandanya menyerah; 2) gejala: sudah tampak tandanya; 3)
bukti: itulah tanda bahwa mereka tidak mau bekerja sama; 4) pengenal; lambang:
kontingen Indonesia mengenakan tanda Garuda Pancasila; 5) petunjuk: lampu
pengatur lalu lintas yang menyala merah tandanya harus berhenti.
Tanda dapat dikatakan leksem yang secara langsung dapat diikuti bentuk
lain, misalnya tanda baca, tanda bukti, tanda gambar, yakni gambar yang digunakan
sebagai tanda atau lambang suatu partai politik atau golongan masyarakat yang
tampil sebagai kontestan dalam pemilihan umum, tanda hubung, tanda koma, tanda
titik, tanda tanya, tanda waktu.[4]
Teori ini sebenarnya berkaitan dengan berbagai gejala yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari, yang pada umumnya mempunyai satu hal. Tanda-tanda
itu adalah tanda-tanda bagi sesuatu, menunjuk sesuatu di luar dirinya. Beberapa
tanda itu muncul secara spontan dan menjadi tanda jika ia diinterpretasikan
demikian, misalnya: awan di langit kita anggap sebagai petunjuk akan adanya
hujan. Ada tanda-tanda yang sangat beragam yang dipakai dalam komunikasi antar
manusia. Tanda-tanda yang dipakai oleh manusia itu bisa dibagi menjadi dua
kelompok. Yang pertama adalah lambang-lambang nonbahasa, seperti
gerakan-gerakan anggota badan, sinyal-sinyal dalam berbagai jenis, lampu lalu
lintas, rambu-rambu jalan, dan lain-lain. Sedangkan kelomok kedua adalah bahasa
sendiri, lisan atau tertulis, dan yang diturunkan dari bahasa itu, seperti
tulisan Morse, huruf Braille bagi orang tuna netra, lambang matematika dan
logika, dan sebagainya.[5]
3. Lambang
Lambang (symbol) dalam konsep Ogden dan Richards ialah elemen
kebahasaan, baik berupa kata, kalimat, dan sebagainya, yang secara
sewenang-wenang mewakili objek dunia luar maupun dunia pengalaman masyarakat
pemakainya.[6]
Lambang (symbol) adalah unsur bahasa yang bersifat arbitrer dan
konvensional yang mewakili hubungan objek dan signifikasinya. Kata-kata,
kalimat, dan tanda-tanda yang bersifat konvensional yang lain tergolong
lambang. Lambang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tanda
b. Mengganti atau mewakili
c. Berbentuk tertulis atau lisan
d. Bermakna
e. Aturan
f. Berisi banyak kemungkinan karena kadang-kadang tidak jelas
g. Berkembang, bertambah lambang berkembang terus sesuai dengan kebutuhan
manusia.
h. Individual
i.
Menilai, maksudnya apa yang dikatakan
semuanya berisi penilaian seseorang tentang sesuatu.
j.
Berakibat, maksudnya lambang-lambang yang
karena digunakan menimbulkan akibat tertentu.
k. Memperkenalkan, maksudnya lambang tersebut menjadi pengenal adanya
sesuatu.
Lambang bersifat abstrak, lambang bersifat arbitrer. Dikatakan arbitrer
karena untuk yang objeknya kuda, terlalu banyak lambang yang digunakan
sesuai dengan bahasa yang bersangkutan. Kebetulan objek yang namanya kuda;
dalam bahasa gorontalo disebut wadala, bahasa Indonesia disebut kuda,
dan bahasa inggrisnya dikatakan horse.[7]
4. Perbedaan Antara Tanda dan Lambang
Tanda memperlihatkan hubungan langsung dengan kenyataan,
sedangkan lambang memperlihatkan hubungan tidak langsung. tanda zigzag
memperlihatkan kenyataan bahwa jalan berbelok-belok, sedangkan lambang
berbelok-belok belum tentu mengacu kepada jalan yang berbelok-belok. Kebetulan
kata atau lambang berbelok-belok bermakna sesuatu yang berbelok-belok, misalnya
jalan. Namun, kalau seseorang berkata, “jawabannya berbelok-belok”, maka makna
berbelok-belok disini tidak persis sama dengan makna lambang berbelok-belok
pada kalimat jalan berbelok-belok. Terlihat disini, makna yang melekat pada tanda
tidak boleh ditafsirkan lain; maknanya sudah itulah, sedangkan makna yang
melekat pada lambang masih boleh ditafsirkan lain. Tanda, meskipun bersifat
konvensional tetapi tidak bersifat arbitrer, karena tanda zigzag
(berbelok-belok) berlaku di Indonesia atau di negara lain, bahkan dapat
dikatakan mendunia.
Tanda bersifat terbatas, lambat bertambah, sedangkan lambang berkembang
cepat sesuai dengan perkembangan pemikiran penutur bahasa yang bersangkutan.
Rambu-rambu lalu lintas dapat dihitung jumlahnya, tetapi lambang untuk mengatur
lalu lintas lebih banyak daripada jumlah rambu-rambu lalu lintas.
Lambang memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat
bicara manusia yang kemudian jika ingin dinyatakan dalam bentuk tertulis, maka
lambang-lambang tadi menggunakan grafem-grafem tertentu, sedangkan tanda tidak
seperti itu. Ingin diingatkan di dalam semiotik, lambang juga adalah tanda. Itu
sebabnya dikatakan, bahasa adalah sistem tanda. Dengan kata lain lambang
sebagai tanda berhubungan dengan bahasa.[8]
5. Acuan
Jika seseorang berkata kursi, kata kursi mengacu kepada benda
yang disebut kursi. Acuan, rujukan, referensi, objek adalah sesuatu yang
ditunjuk oleh tanda. Acuan menunjuk kepada hubungan antara unsur-unsur
linguistik berupa kata, kalimat, dan pengalaman. Acuan merupakan hal yang
mendasar di dalam semantik, sebab acuan tidak akan dimengerti apabila
pengertian tentang lambang dalam bentuk kata dan kalimat, tidak ada.
Kadang-kadang acuan dihubungkan dengan realitas, kenyataan atau
eksistensi sesuatu. Orang mengatakan kursi, yang acuannya adalah kursi
seperti yang kita kenal selama ini. Acuan ini ada di dalam dunia kita yang
nyata, meskipun realitasnya kadang-kadang hanya ada dalam bayangan atau
khayalan. Kata kursi, acuannya ada dalam dunia nyata. Tetapi kalau kita
mengatakan hantu, kemerdekaan, sulit bagi kita untuk menunjuk
acuan kata-kata tersebut. Dengan kata lain, sulit untuk menunjuk realitasnya,
eksistensinya.
Acuan menimbulkan anggapan tentang eksistensi sesuatu yang ditarik dari
pengalaman tentang objek dalam dunia fisik manusia. Karena itu, acuan dapat
melingkupi, antara lain benda, kegiatan dan proses. Acuan yang berhubungan
dengan benda, boleh saja mengacu ke bentuk konkret, dan boleh juga berkaitan
dengan benda abstrak. Acuan yang berhubungan dengan benda konkret menghasilkan
lambang berupa kata air, batu, dinding, kuda, manusia. Acuan yang berkaitan
dengan benda abstrak menghasilkan lambang berupa kata demokrasi, perasaan,
tulus.[9]
6. Hubungan Antara Konsep, Lambang, dan Acuan
Hubungan antara konsep, lambang dan acuan diperlihatkan Ogden dan
Richards yang diistilahkan dengan “teori segitiga makna”, digambarkan sebagai
berikut:
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
Simbol atau lambang adalah unsur linguistik berupa kata atau kalimat,
acuan adalah objek, peristiwa, fakta atau proses yang berkaitan dengan dunia
pengalaman manusia. Sedangkan konsep thought atau reference atau meaning
adalah apa yang ada di dalam mind tentang objek yang ditunjukkan oleh
lambang. Menurut teori ini tidak ada hubungan langsung antara lambang dengan
acuan, tidak ada hubungan antara bahasa dengan dunia fisik, hubungannya selamanya
melalui pikiran dalam wujud konsep-konsep yang bersemayam dalam otak.
Makna atau gagasan kata “sapi”. Adalah konsep sapi yang tersimpan dalam
otak kita dan dilambangkan dengan kata sapi. Gambar di atas menunjukkan bahwa
di antara lambang bahasa atau symbol dan konsep atau gagasan terdapat hubungan
langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau acuannya tidak
berhubungan langsung (digambarkan dengan garis-garis putus-putus) karena harus
melaui konsep/gagasan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik
mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep/gagasan dan tanda
bahasa (symbol) yang melambangkannya.[10]
7. Penamaan
Telah dikatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang digunakan untuk
berkomunikasi. Tanda yang dimaksud di sini berupa lambang. Lambang dalam bahasa
berisi dua, yakni bentuk dan makna. Salah satu pendapat tertua yang dikemukakan
oleh Plato di dalam suatu percakapan yang berjudul Cratylus atau Cratylos,
lambang adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang
kita hayati di dunia nyata berupa acuan yang ditunjukkan oleh lambang tersebut.
Karena itu, kata-kata dapat kita katakana sebagai nama, label setiap benda,
aktivitas, atau peristiwa. Tidak heran apabila seorang anak mengenal bahasa
dari proses belajar nama-nama tersebut. Kadang-kadang anak menamai sesuatu
melewati bunyi yang didengarnya dari ayah atau ibunya.
Karena kehidupan manusia beraneka ragam dan alam sekeliling manusia
berjenis-jenis, maka manusia sulit memberikan label-label terhadap benda-benda
yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian lahirlah nama kelompok, misalnya
binatang, buah-buahan, ikan, burung, rumput, tumbuh-tumbuhan.
Socrates, guru Plato, mengatakan bahwa nama harus sesuai dengan sifat
acuan yang diberi nama. Sebaliknya Aristoteles, murid Plato, mengatakan bahwa
pemberian nama adalah soal perjanjian, konvensi.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Semantik Pengantar Studi
Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013.
Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2001.
Sumarsono. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaaka
Pelajar, 2009.
[1] Abdul Chaer, Pengantar Semantik
Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 2
[2] Ibid. 4
[3] Mansoer Pateda, Semantik Leksikal
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hlm. 40-41
[4] Ibid. 43
[5] Sumarsono, Pengantar Semantik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 17-18
[6]
Aminuddin, Semantik Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2008), hlm. 81
[7] Pateda, Leksikal, hlm.50-51
[8] Ibid. 52
[9] Ibid. 54
[10] Ibid. 55-56
[11] Ibid. 62