Thursday, 14 March 2019

Unsur-Unsur Semantik: Konsep, Tanda (sign), Lambang (symbol), Acuan, dan Penamaan (naming) A. Pengertian Semantik


Unsur-Unsur Semantik: Konsep, Tanda (sign), Lambang (symbol), Acuan, dan Penamaan (naming)
A.    Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistic (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1996), yaitu yang terdiri dari komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistic yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik  dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik. [1]  
Semantik merupakan cabang linguistic yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantic karena sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok yang menggunakannya. Sedangkan antropologi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena analisis makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya. Dalam analisis semantik harus juga disadari karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya maka analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.[2]
B.     Unsur-Unsur Semantik
1.      Konsep
Ambillah satu kalimat “Saya pergi ke pasar.” Kalimat ini terdiri dari empat kata. Marilah kita perhatikan kata saya. Kalau ada seseorang berkata saya, apakah yang akan terbayang pada kita? Demikian pula dengan kata pergi dan pasar. Kalau orang berkata pergi, terbayang adalah kegiatan pergi, kegiatan pergi yang dilakukan seseorang yang disebut saya. Kegiatan tersebut diarahkan ke pasar, bukan ke sekolah atau ke terminal bus. Semuanya terbayang pada diri kita. Hal itu terjadi karena ada orang yang mengujarkannya atau kata-kata tersebut tertulis. Bunyi ujaran atau lambang yang tertulis dipahami karena makna tiap-tiap kata, ada di dalam otak kita. Begitu ada rangsangan berupa kalimat yang terdiri dari kata-kata, maka makna tiap satuan unsur bahasa yang disebut kata yang ada di dalam otak, secara otomatis keluar dari persemayamannya. Dalam proses bahasa, maksudnya jika teradi komunikasi, pada pihak pendengar terjadi proses pemecahan kode fonologis, pemecahan kode gramatikal, dan pemecahan kode semantik.
Berdasrkan uraian ini, di dalam otak kita sebenarnya bersemayam beribu-ribu, bahkan lebih dari itu, kata yang memiliki konsep yang siap diujarkan jika dibutuhkan. Apabila hal ini dibandingkan dengan pita rekam pada suatu alat rekam, dapat dibayangkan berapa gulungan pita rekam yang tersedia di dalam otak kita yang tanpa disetel lebih dahulu keluar secara otomatis kalau diperlukan. Konsep itu dapat dipahami melalui kemandirian kata atau melalui relasi dengan kata yang lain.[3]
2.      Tanda
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1993:1002) tanda diartikan: 1) yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu: sirine tanda bahaya; bendera putih tandanya menyerah; 2) gejala: sudah tampak tandanya; 3) bukti: itulah tanda bahwa mereka tidak mau bekerja sama; 4) pengenal; lambang: kontingen Indonesia mengenakan tanda Garuda Pancasila; 5) petunjuk: lampu pengatur lalu lintas yang menyala merah tandanya harus berhenti.
Tanda dapat dikatakan leksem yang secara langsung dapat diikuti bentuk lain, misalnya tanda baca, tanda bukti, tanda gambar, yakni gambar yang digunakan sebagai tanda atau lambang suatu partai politik atau golongan masyarakat yang tampil sebagai kontestan dalam pemilihan umum, tanda hubung, tanda koma, tanda titik, tanda tanya, tanda waktu.[4]
Teori ini sebenarnya berkaitan dengan berbagai gejala yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, yang pada umumnya mempunyai satu hal. Tanda-tanda itu adalah tanda-tanda bagi sesuatu, menunjuk sesuatu di luar dirinya. Beberapa tanda itu muncul secara spontan dan menjadi tanda jika ia diinterpretasikan demikian, misalnya: awan di langit kita anggap sebagai petunjuk akan adanya hujan. Ada tanda-tanda yang sangat beragam yang dipakai dalam komunikasi antar manusia. Tanda-tanda yang dipakai oleh manusia itu bisa dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah lambang-lambang nonbahasa, seperti gerakan-gerakan anggota badan, sinyal-sinyal dalam berbagai jenis, lampu lalu lintas, rambu-rambu jalan, dan lain-lain. Sedangkan kelomok kedua adalah bahasa sendiri, lisan atau tertulis, dan yang diturunkan dari bahasa itu, seperti tulisan Morse, huruf Braille bagi orang tuna netra, lambang matematika dan logika, dan sebagainya.[5]
3.      Lambang
Lambang (symbol) dalam konsep Ogden dan Richards ialah elemen kebahasaan, baik berupa kata, kalimat, dan sebagainya, yang secara sewenang-wenang mewakili objek dunia luar maupun dunia pengalaman masyarakat pemakainya.[6] Lambang (symbol) adalah unsur bahasa yang bersifat arbitrer dan konvensional yang mewakili hubungan objek dan signifikasinya. Kata-kata, kalimat, dan tanda-tanda yang bersifat konvensional yang lain tergolong lambang. Lambang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tanda
b.      Mengganti atau mewakili
c.       Berbentuk tertulis atau lisan
d.      Bermakna
e.       Aturan
f.       Berisi banyak kemungkinan karena kadang-kadang tidak jelas
g.      Berkembang, bertambah lambang berkembang terus sesuai dengan kebutuhan manusia.
h.      Individual
i.        Menilai, maksudnya apa yang dikatakan semuanya berisi penilaian seseorang tentang sesuatu.
j.        Berakibat, maksudnya lambang-lambang yang karena digunakan menimbulkan akibat tertentu.
k.      Memperkenalkan, maksudnya lambang tersebut menjadi pengenal adanya sesuatu.
Lambang bersifat abstrak, lambang bersifat arbitrer. Dikatakan arbitrer karena untuk yang objeknya kuda, terlalu banyak lambang yang digunakan sesuai dengan bahasa yang bersangkutan. Kebetulan objek yang namanya kuda; dalam bahasa gorontalo disebut wadala, bahasa Indonesia disebut kuda, dan bahasa inggrisnya dikatakan horse.[7]
4.      Perbedaan Antara Tanda dan Lambang
Tanda memperlihatkan hubungan langsung dengan kenyataan, sedangkan lambang memperlihatkan hubungan tidak langsung. tanda zigzag memperlihatkan kenyataan bahwa jalan berbelok-belok, sedangkan lambang berbelok-belok belum tentu mengacu kepada jalan yang berbelok-belok. Kebetulan kata atau lambang berbelok-belok bermakna sesuatu yang berbelok-belok, misalnya jalan. Namun, kalau seseorang berkata, “jawabannya berbelok-belok”, maka makna berbelok-belok disini tidak persis sama dengan makna lambang berbelok-belok pada kalimat jalan berbelok-belok. Terlihat disini, makna yang melekat pada tanda tidak boleh ditafsirkan lain; maknanya sudah itulah, sedangkan makna yang melekat pada lambang masih boleh ditafsirkan lain. Tanda, meskipun bersifat konvensional tetapi tidak bersifat arbitrer, karena tanda zigzag (berbelok-belok) berlaku di Indonesia atau di negara lain, bahkan dapat dikatakan mendunia.
Tanda bersifat terbatas, lambat bertambah, sedangkan lambang berkembang cepat sesuai dengan perkembangan pemikiran penutur bahasa yang bersangkutan. Rambu-rambu lalu lintas dapat dihitung jumlahnya, tetapi lambang untuk mengatur lalu lintas lebih banyak daripada jumlah rambu-rambu lalu lintas.
Lambang memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat bicara manusia yang kemudian jika ingin dinyatakan dalam bentuk tertulis, maka lambang-lambang tadi menggunakan grafem-grafem tertentu, sedangkan tanda tidak seperti itu. Ingin diingatkan di dalam semiotik, lambang juga adalah tanda. Itu sebabnya dikatakan, bahasa adalah sistem tanda. Dengan kata lain lambang sebagai tanda berhubungan dengan bahasa.[8]
5.      Acuan
Jika seseorang berkata kursi, kata kursi mengacu kepada benda yang disebut kursi. Acuan, rujukan, referensi, objek adalah sesuatu yang ditunjuk oleh tanda. Acuan menunjuk kepada hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata, kalimat, dan pengalaman. Acuan merupakan hal yang mendasar di dalam semantik, sebab acuan tidak akan dimengerti apabila pengertian tentang lambang dalam bentuk kata dan kalimat, tidak ada.
Kadang-kadang acuan dihubungkan dengan realitas, kenyataan atau eksistensi sesuatu. Orang mengatakan kursi, yang acuannya adalah kursi seperti yang kita kenal selama ini. Acuan ini ada di dalam dunia kita yang nyata, meskipun realitasnya kadang-kadang hanya ada dalam bayangan atau khayalan. Kata kursi, acuannya ada dalam dunia nyata. Tetapi kalau kita mengatakan hantu, kemerdekaan, sulit bagi kita untuk menunjuk acuan kata-kata tersebut. Dengan kata lain, sulit untuk menunjuk realitasnya, eksistensinya.
Acuan menimbulkan anggapan tentang eksistensi sesuatu yang ditarik dari pengalaman tentang objek dalam dunia fisik manusia. Karena itu, acuan dapat melingkupi, antara lain benda, kegiatan dan proses. Acuan yang berhubungan dengan benda, boleh saja mengacu ke bentuk konkret, dan boleh juga berkaitan dengan benda abstrak. Acuan yang berhubungan dengan benda konkret menghasilkan lambang berupa kata air, batu, dinding, kuda, manusia. Acuan yang berkaitan dengan benda abstrak menghasilkan lambang berupa kata demokrasi, perasaan, tulus.[9]

6.      Hubungan Antara Konsep, Lambang, dan Acuan
Hubungan antara konsep, lambang dan acuan diperlihatkan Ogden dan Richards yang diistilahkan dengan “teori segitiga makna”, digambarkan sebagai berikut:
Text Box: Gagasan (Thought or Reference)
Text Box: Acuan (Referent)
GAMBAR SAPI
Text Box: Symbol (symbol)
SAPI
 







Simbol atau lambang adalah unsur linguistik berupa kata atau kalimat, acuan adalah objek, peristiwa, fakta atau proses yang berkaitan dengan dunia pengalaman manusia. Sedangkan konsep thought atau reference atau meaning adalah apa yang ada di dalam mind tentang objek yang ditunjukkan oleh lambang. Menurut teori ini tidak ada hubungan langsung antara lambang dengan acuan, tidak ada hubungan antara bahasa dengan dunia fisik, hubungannya selamanya melalui pikiran dalam wujud konsep-konsep yang bersemayam dalam otak.
Makna atau gagasan kata “sapi”. Adalah konsep sapi yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata sapi. Gambar di atas menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa atau symbol dan konsep atau gagasan terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau acuannya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis-garis putus-putus) karena harus melaui konsep/gagasan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep/gagasan dan tanda bahasa (symbol) yang melambangkannya.[10]

7.      Penamaan
Telah dikatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang digunakan untuk berkomunikasi. Tanda yang dimaksud di sini berupa lambang. Lambang dalam bahasa berisi dua, yakni bentuk dan makna. Salah satu pendapat tertua yang dikemukakan oleh Plato di dalam suatu percakapan yang berjudul Cratylus atau Cratylos, lambang adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang kita hayati di dunia nyata berupa acuan yang ditunjukkan oleh lambang tersebut. Karena itu, kata-kata dapat kita katakana sebagai nama, label setiap benda, aktivitas, atau peristiwa. Tidak heran apabila seorang anak mengenal bahasa dari proses belajar nama-nama tersebut. Kadang-kadang anak menamai sesuatu melewati bunyi yang didengarnya dari ayah atau ibunya.
Karena kehidupan manusia beraneka ragam dan alam sekeliling manusia berjenis-jenis, maka manusia sulit memberikan label-label terhadap benda-benda yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian lahirlah nama kelompok, misalnya binatang, buah-buahan, ikan, burung, rumput, tumbuh-tumbuhan.
Socrates, guru Plato, mengatakan bahwa nama harus sesuai dengan sifat acuan yang diberi nama. Sebaliknya Aristoteles, murid Plato, mengatakan bahwa pemberian nama adalah soal perjanjian, konvensi.[11] 




DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013.
Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001.
Sumarsono. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaaka Pelajar, 2009.



[1] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 2
[2] Ibid. 4
[3] Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hlm. 40-41
[4] Ibid. 43
[5] Sumarsono, Pengantar Semantik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 17-18
[6] Aminuddin, Semantik Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), hlm. 81
[7] Pateda, Leksikal, hlm.50-51
[8] Ibid. 52
[9] Ibid. 54
[10] Ibid. 55-56
[11] Ibid. 62