Wednesday 8 May 2019

KAJIAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM




KAJIAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
DISUSUN OLEH
HALIMATUS ZAHRAH
20160701010053
RIMA AYU SEFTA VINDORA
20160701010155

ABSTRAK
            Tujuan penulisan ini untuk membahas akhlak dan etika dalam islam. Banyak kita lihat generasi sekarang sudah kurang memperhatikan bagaimna mengimplementasikan akhlak yang mulia dalam pergaulan sehari-hari. Akhlak dan etika merupakan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang telah melekat pada diri seseorang. Akhlak menyangkut hal yg berhubungan dengan perbuatan baik, buruk, benar dan salah dalam tindakan seseorang manusia yang panutannya bersumber dari Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. Sedangkan etika bersumber dari hasil budaya dan adat istiadat suatu tempat yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Kunci: Aksiologis, Etika, Akhlak.

PENDAHULUAN
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama, sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan semua insan. Menurut Richard Bender; suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyumbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah[1]
Perbedaan antara nilai sesuaru itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau tidak abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kembali pada ilmu pengetahuan, kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika.
Teori nilai pada filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika memiliki dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia, dan predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.[2]
Dalam aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.

A.    DEFINISI ETIKA
            Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan, dan perbuatan yang baik. Sedangkan dalam bahasa arab kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.
            K Bertens dalam buku etikanya menjelaskan lebih jelas lagi. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah kebiasaan. Etika  sering diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama-sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Etika berarti ilmu yang mempelajari baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik dan buruk.[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eyika diartikan sebagai; (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
            Secara terminology etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya adalah teori tentang nila. Dalam islam teori nilai mengenal kategori baik-buruk, yaitu baik sekali,baik,netral,buruk,dan buruk sekali. Etika disebut juga ilmu normative, karena didalammnya mengandung norma dan nilai-nilai yang dapat di gunakan dalam kehidupan.[4]
Etika juga merupakan cabang aksiologi yang mempersoalkan predikat baik buruk dalam arti susila, atau tidak susila. Sebagai masalah khusus, etika juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berhak untuk disebut susila atau bijak. Sifat-sifat tersebut dinamakan “kebajikan” lawannya “keburukan”.[5]
Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral,. Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Bahasan etika dalam filsafat barat, telah ada sejak zaman Sokrates (470-399). Dalam pembahasannya, etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak (Rapar, 1996).
Studi tentang etika, para ahli ada yang membedakannya menjadi dua kelompok, yaitu etika deskriptif dan etika normatif. Ada pula yang membagi ke dalam tiga bidang kajian, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika (Rapar, 1996).
1.      Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral (suara batin) dari norma-norma dan konsep-konsep etis secara deskriptif (Hamersma, 1985: rapar, 1996). Pengalaman moral disini memiliki arti luas, misalnya adat istiadat, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Semuanya di deskripsikan secara ilmiah dan ia tidak memberikan penilaian. Karenanya, etika deskriptif ini tergolong dalam bidang ilmu pengetahuan empiris serta terlepas dari filsafat. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika deskriptif berupaya untuk menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultr maupun subkultur. Dalam hal ini, etika deskriptif berhubungan erat dengan sosiologi, antropologi, psikologi, maupun sejarah.
  
2.      Etika Normatif
Etika normatif sering disebut filsafat moral (moral philosophy) atau etika filsafati (philosophical ethics). Etika normatif dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori nilai (theories of value) dan teori keharusan (theories of obligation).
Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan. Sifat teori ini ada dua, yaitu monistis dan pluralis. Yang termasuk dalam monistis adalah hedonisme spiritualis maupun hedonistis materialis sensualis. Sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku. Teori-teori yang tergolong dalah theories of obligation adalah aliran egoisme dan formalisme.
3.      Metaetika
Metaetika merupakan kajian analitis terhadap etika. Metaetika baru muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan (Rapar, 1995) istilah-istilah normatif yang mendapatkan perhatian khusus adalah baik dan buruk, benar dan salah, yang terpuji dan tidak terpuji, yang adil dan tidak adil, dll.
Sebagai bidang kajian etika, metaetika ini menawarkan beberapa teori yang cukup terkenal. Beberapa teori itu adalah naturalis, teori intuitif, teori kognitivis, teori subjektif, teori emotif, teori imperatif, dan teori skeptis (Rapar, 1996)
B.     ETIKA DAN AKHLAK
            Dalam pembahasan kefilsafatan islam istilah etika disejajarkan dengan istilah akhlak. Dalam pemikiran akhlaknya Ibnu Majjah membagi perbuatan-perbuatan manusia kedalam dua jenis, yaitu:
a.       Perbuatan yang timbul dari motivasi naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengan-Nya, baik dekat ataupun jauh.
b.      Perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang lurus dan yang bersih dan tinggi, bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia”.
Fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk) akan tetapi dalam praktiknya etika banyak sekali mendapat kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidak terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa didunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
            Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu:
1.      Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
2.      Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
3.      Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri.
4.      Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan ada sanksi etika.
            Akhlak berasal dari bahasa jama’ dari bentuk mufradatnya “khuluqun” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk (benar atau salah), mengatur pergaulan manusia, dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan pekerjaannya. Akhlak pada dasarnya melekat dalam diri seseorang, bersatu dengan perilaku atau perbuatan. Jika perilaku yang melekat itu buruk maka disebut akhlak yang buruk atau akhlak mazmumah. Sebaliknya, apabila perilaku tersebut baik disebut dengan akhlak mahmudah.
Dalam khazanah pemikiran islam, etika di artikan sebagai al-akhlak.  Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa arab, jama’  dari bentuk mufrodnya khuluqun yang diartikan; budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan khulqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan khaliq  yang berarti pencipta, makhluk yang berarti pencipta.[6]
            Selain akhlak digunakan pula istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa yunani”ethes” artinya adat. Etika adalah ilmu yang menyelidiki baik dan buruk dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh yang diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan moral berasal dari bahas latin”mores” yang berarti kebiasaan. Persamaan antara akhlak dan etika adalah keduanya membahas masalah baik dan buruk tingkah laku manusia. Sedangkan akhlak berdasarkan ajaran Allah dan Rasulnya.
            Akhlak merupakan perilaku yang tampak (terlihat) dengan jelas baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang memotivasi oleh dorongan karena Allah. Namun demikian, banyak pula aspek yang berkaitan dengan sikap batin ataupun pikiran, seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan berbagai aspek, yaitu pola perilakunkepada Allah, sesame manusia, dan pola perilaku kepada alam. akhlak memiliki dua sasaran yaitu: akhlak kepada Allah dan akhlak kepada sesama makhluk. Oleh karena itu, tidak benar jika masalah akhlak hanya dikaitkan dengan masalah hubungan antar manusia saja. Atas dasar itu, maka benar akan akhlak adalah akidah dan pohonnya adalah syariah. Akhlak itu sudah menjadi buahnya. Buah itu akan rusak juga pohonnya rusak, dan pohonnya akan rusak juka akarnya rusak. Oleh karena itu akar, pohon, dan buah harus dipelihara dengan baik. Bagi Nabi Muhammad SAW, Al-Quran sebagai cerminan berakhlak, orang yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah termasuk meneladani akhlak Rasulullah. Oleh karena itu setiap mukmin hendaknya selalu membaca Al-Quran kapan ada waktunya sebagi pedoman dan menjadi tuntutan yang baik dalam dalam berperilaku sehari hari, insya Allah akan terbina akhlak yang mulia bagi dirinya.[7]
            Adapun hal-hal yang perlu dibiasakan sebagai akhlak yang terpuji dalam islam, antara lain:
1.      Berani dalam kebaikan, berkata benar serta menciptakan manfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain
2.      Adil dalam memutuskan hokum tanpa membedakan kedudukan,status social ekonomi maupun kekerabatan
3.      Arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan
4.      Pemurah dan suka menafkahkan rezeki baik ketika lapang maupun sempit
5.      Ikhlas dan beramal semata-mata demi meraih ridha allah
6.      Jujur dan amanah
7.      Penuh kasih sayang
8.      Tidak berkeluh kesah dalam menghadapi masalah hidup
9.      Malu melakukan hal yang tidak baik
10.  Rela berkorban untuk kepentingan umat dan dalam membela agama Allah.
           
C.    PERAN ETIKA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pada hakikatnya pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, melatih, membimbing, menilai, dan mengevaluasi. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan segala nilai. Selain itu, pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia pada aspek rohaniah, dan jasmaniah, juga berlangsung secara bertahap. sebab tidak ada satupun makhluk ciptaan Allah yang secara langsung tercipta denagn sempurna tanpa melalui suatu proses.
Dalam dunia pendidikan, tentu saja semua orang yang berada dalam lingkungan pendidikan tertentu harus terlebih dahulu memiliki etika. Jika pendidikan yang dimaksudkan di institusi secara formal, maka guru, siswa, dan semua personil lainnya harus memiliki etika yang baik dalam bertingkah laku. Contoh-contoh perilaku yang nyata yang sangat mempengaruhi suasana di lingkunagn sekolah. Bagaimana seorang peserta didik menyapa guru, guru menegur siswa, bagaimana seorang anak yang satu berkomunikasi dengan anak lainnya, semua harus sesuai dengan norma yang berlaku. Jika semua tingkah laku yang terjadi sudah lari dari etika, maka bermuncullah berbagai macam persoalan.
Antara ilmu pendidikan dengan etika mempunyai hubungan erat. Masalah moral tidak dapat dilepas dengan tekat manusia, untuk menemukan kebenaran dan mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral. Sulit membayangkan jika perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tanpa diserati adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Etika sangat besar mempengaruhi pendidikan, sebab tujuan pendidikan itu adalah untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta didik. segala sesuatu yang memiliki sisi keterkaitan, dengan nilai atau memiliki relevan etis dapat dipandang sebagai etika. Dari terwujudnya moral seperti itu, menunjukkan terwujudnya target pengembangan sistem pendidikan.  
Proses internalisasi etika dalam diri siswa tidak dapat dilkukan secara instant, namun melalui proses sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani siswa. Prses internalisasi dimulai dengan pengenalan nilai-nilai didalam keluarga oleh orangtua maupun sanak famili yang serumah. Jika anak sudah bergaul dengan linkungan sosial masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai disekitarnya. Dan jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai akan semakin banyak dan beragam yang dibawa oleh teman-teman sekolah, guru dan juga orang yang hadir disekolah. Nilai-nilai yang diterima siswa ada yang berbeda bahkan bertolak belakang atau berlawanan dengan nilai-nilai yang dikenalkan dirumah dan disekolah, ada nilai baru yang belum dikenalkan dirumah dan atau disekolah. Terhadap masuknya nilai tersebutmungkin diterima melalui saringan atau filter orangtua dan atau lewat guru, tetapi juga ada nilai yang diterima tanpa filter.
Pertentangan nilai dalam diri siswa dapat terjadi, yang dapat menjadikan siswa memiliki standar ganda. Misal jika dirumah dan disekolah siswa terlihat sopan, alim, baik, dan takwa. Tetapi di masyarakat/ kelompok eng nya mereka akan berperilaku yang sangat berbeda. Misal minum-minuman keras, narkoba, pesta seks, dll.  Maka dari itu pentingnya penguatan etika yang ada didalam sekolah.[8]







KESIMPULAN
Secara terminology etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya adalah teori tentang nila. Dalam islam teori nilai mengenal kategori baik-buruk, yaitu baik sekali,baik,netral,buruk,dan buruk sekali. Etika disebut juga ilmu normative, karena didalammnya mengandung norma dan nilai-nilai yang dapat di gunakan dalam kehidupan.
Antara ilmu pendidikan dengan etika mempunyai hubungan erat. Masalah moral tidak dapat dilepas dengan tekat manusia, untuk menemukan kebenaran dan mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral. Sulit membayangkan jika perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tanpa diserati adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Etika sangat besar mempengaruhi pendidikan, sebab tujuan pendidikan itu adalah untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta didik. segala sesuatu yang memiliki sisi keterkaitan, dengan nilai atau memiliki relevan etis dapat dipandang sebagai etika. Dari terwujudnya moral seperti itu, menunjukkan terwujudnya target pengembangan sistem pendidikan. 

DAFTAR PUSTAKA
Abadi,Totok wahyudi. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol 4. No.2
Bagus, Loren. kamus filsafat. Jakarta: PT Gramedia pustaka. 2000.
Bakry,Hasbullah. sistematika filsafat. Jakarta: penerbit buku kompas. 2002.
Salam, Burhanuddin. logika materi, filsafat ilmu pengetahuan. Jakarta: Raneka Cipta. 1997.
Zahruddin AR. Pengantar Filsafat Nilai. Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Zubair, Achmad Charris. kuliyah etika. Jakarta: CV Rajawali. 1990.



[1] Burhanuddin salam, logika materi, filsafat ilmu pengetahuan, (Jakarta: Raneka Cipta, 1997), cet ke-1, hal 168.
[2] Totok wahyudi abadi, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 4, No.2
[3] Loren bagus, kamus filsafat,(Jakarta: PT Gramedia pustaka,2000), hal.217
[4] Hasbullah Bakry, sistematika filsafat, (Jakarta: penerbit buku kompas, 2002),hal.2
[5] Drs. Achmad Charris Zubair, kuliyah etika, (Jakarta: CV Rajawali, 1990), hlm. 91.
[6] Zahruddin AR, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 21.
[7] Vol. 1 No. 4, Oktober 2015, hal 73-87
[8] Ibid. Wahyudi. Vol.2