Wednesday 8 May 2019

Kode Etik Bimbingan dan Konseling







Kode Etik Bimbingan dan Konseling

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Bimbingan dan Konseling Yang dibina oleh Ibu Emna Laisa. M.Pd.



Disusun Oleh Kelompok V:
Rima Ayu Sefta Vindora
20160701010155
Widatul Mukarromah
20160701010197





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA  ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
MASA AKADEMIK 2019






KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.    
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas segalalimpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “Kode Etik Bimbingan dan Konseling” ini tepat pada waktunya.
       Kami menyadari bahwa didalam pembuatan tugas ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah tentang “Kode Etik Bimbingan dan Konseling “ ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                                                                                       
Pamekasan, 01 Mei 2019

Penyusun








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A.  Latar Belakang..................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................ 1
C.  Tujuan ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................    2
A. Pengertian Kode Etik Bimbingan dan Konseling................................. 2    
B.  Tujuan Dan Peran Penting Kode Etik Bimbingan dan Konseling.... .. 3
C. Perkembangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling........................    5

BAB III PENUTUP..................................................................................   12
A.  Kesimpulan ....................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 13










BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kode etik bimbingan dan konseling merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan dan pekerjaan guru bimbingan dan konseling (konselor). Setiap konselor sejak di bangku kuliah sudah dibekali kode etik profesi konselor baik secara teoritik dan praktik. Ketika calon konselor praktik dikelas, di laboratorium, di sekolah, di luar sekolah mereka harus melaksanakan kode etik tersebut sehingga terinternalisasikan dalam setiap kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat oleh American Counselling Association (ACA) oleh Donald Super yang disetujui pada tahun 1961 berdasarkan kode etik American Psychological Assosiation yang asli (Allen, 1986 dalam Gladding, 2012: 69). Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat saat konveksi yang diselenggarakan di Malang pada tahun 1975 oleh Organisasi Profesi Bimbingan dinamakan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) (sekarang, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, atau ABKIN) yang mengikat anggota pada mutu standar dan tanggung jawab sebagai anggota organisasi profesi (Tim Dosen PBB FIP UNY, 2000: 4). Setiap kali diadakannya konveksi Organisasi Profesi, kode etik sebaiknya dikembangkan dan dikaji kembali agar dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat-saat tertentu sehingga para anggota profesi dapat menjalankan tugas dan peranannya tanpa melanggar kode etik yang telah ditetapkan secara tertulis dalam kode etik profesi tersebut.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Kode Etik Bimbingan dan Konseling
2.      Apa tujuan dan peran Kode Etik Bimbingan dan Konseling
3.      Bagaimana perkembangan Kode Etik Bimbingan Dan Konseling
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian kode etik bimbingan dan konseling
2.      Untuk mengetahui tujuan dan peran kode etik bimbingan dan konseling
3.      Untuk mengetahui perkembangan kode etik bimbingan dan konseling
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Sebelum membahas Kode Etik Bimbingan dan Konseling, perlu kita ketahui terlebih dahulu pengertian Kode Etik adalah seperangkat standar, pedoman dan nilai yang mengatur mengarahkan pembuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota dengan masyarakat. Kode etik bimbingan dan konseling adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bidang bimbingan dan konseling demi untuk kebaikan.
Kode etik dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan dan konseling tetap dalam keadaan baik, serta diharapkan akan menjadi semakin baik, lebih-lebih di Indonesia dimana bimbingan dan konseling masih relatif baru.
Untuk menjaga Standar mutu pelayanan bimbingan dan konseling telah ditetapkan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling di Indonesia (Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, 2010). Kode etik profesional adalah landasan moral dan pedoman perilaku profesional yang dijunjung tinggi, ditetapkan, dan dijamin oleh setiap anggota organisasi profesional bimbingan dan konseling di Indonesia, yaitu ABKIN. Kode etik profesi tersebut wajib dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/kota. Termasuk didalamnya merupakan norma-norma yang harus diindahkan dan dipatuhi oleh setiap konselor dalam menjalankan tugas profesinya dalam kehidupannya di masyarakat. norma-norma yang tercantum dalam kode etik profesi ini berisi apa yang tidak boleh, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang diharapkan dari tenaga profesi konselor. Substansi yang mencakup tiga hal sebagaimana dimaksudkan itu melekat pada tenaga profesional dalam bidang bimbingan dan konseling, yaitu konselor. Kinerja konselor dalam pelayanan bimbingan dan konseling, dan juga aspek-aspek kependidikan dan kepribadian konselor yang terkait langsung dengan pelayanan bimbingan dan konseling, sepenuhnya berada dalam fokus diberlakukannya kode etik profesi yang dimaksudkan.[1]
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kode etik profesi bimbingan dan konseling merupakan pedoman dan landasan moral yang berisi aturan bagi anggota profesi bimbingan dan konseling mencakup tingkah laku, sikap, akhlak, dan perbuatan yang wajib dipatuhi dan diamalkan oleh setiap anggota organisasi profesi bimbingan dan konseling dengan harapan dapat bertanggungjawab dalam menjalani tugasnya sebagai seorang profesional.[2]

B.     Tujuan dan Pentingnya Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Tujuan adanya kode etik profesi adalah untuk anggota dan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum, menurut R. Hermawan S (1979) dalam Soetjipto & Raflis Kosasi (2011: 31-32) tujuan kode etik profesi yaitu:
1.      Untuk menjunjung tinggi martabat profesi, dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan.
2.      Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, yang dimaksud kesejahteraan disini meliputi baik kesejahteraan lahir (material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental)
3.      Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi, tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota prrofesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
4.      Untuk meningkatkan mutu profesi, untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
5.      Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
Menurut ABKIN (2010: 2-3), kode etik profesi bimbingan dan konseling Indonesia memiliki lima tujuan, yaitu:
1.        Memberikan panduan perlaku yang berkarakter dan profesional bagi anggota organisasi dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling
2.        Membantu anggota organisasi dalam membangun kegiatan pelayanan yang profesional
3.        Mendukung misi organisasi profesi, yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
4.        Menjadi landasan dan arah dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang datang dari dan mengenal diri anggota profesi.
5.        Melindungi anggota asosiasi dan sasaran layanan atau konseling.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi bimbingan dan konseling, membantu menjaga dan memelihara kesejahteraan anggota profesi bimbingan dan konseling dalam membangun kegiatan pelayanan yang profesional,  memberikan panduan perilaku yang berkarakter dan profesional bagi anggota profesi dalam meningkatkan dan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling, meningkatkan mutu organisasi profesi, yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, dan melindungi anggota profesi dan sasaran layanan atau konseling dengan meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
Pentingnya kode etik profesi bimbingan dan konseling bagi seorang konselor dalam menjalankan tugasnya menurut Mungin Eddy Wibowo (2005: 53), yaitu:
1.      Memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak menjalankan tugas profesi konseling.
2.      Memberikan perlindungan kepada konseli (individu pengguna).
3.      Mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor dengan konseli, rekan sejawat, dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan, lembaga tempat bekerja.
4.      Memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang dilakukannya.
5.      Menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat (public trust) dengan mengusahakan standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak atau tidak patut/pantas.
6.      Memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika menghadapi dilema etis
7.      Menunjukkan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pentingnya kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah dapat melindungi dan memperkuat kepercayaan publik (public trust) dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, mengatur hubungan konselor dengan konseli, teman sejawat, lembaga tempat bekerja, pimpinan, dan profesi lain yang ada hubungannya dengan profesi bimbingan dan konseling dan mengontrol anggota profesi bimbingan dan konseling ketika bertingkah laku tidak sesuai dengan etika yang diharapkan oleh masyarakat.[3]
C.     Perkembangan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
Pengaturan konseling oleh badan profesi disebagian besar negara semakin meningkat. Salah satu fungsi organisasi profesional seperti British Association for Counselling and Psychoterapy atau British Psychological Society adalah untuk menegaskan standar etika praktik. Untuk mencapai tujuan ini, kedua badan tersebut telah mengeluarkan kode etik bagi praktisi, disertai dengan prosedur dalam menghadapi keluhan berkenaan dengan perilaku tidak etis. Di Amerika Serikat, kode etik dipublikasikan oleh American Psychiatric Association, American Psychological Association, American Association for Marital and Family Therapy, dan American Association and for Counselling and Development. Selain itu, beberapa dewan legislatif negara di bagian AS telah merancang kode etik sebagaimana yang dimiliki oleh berbagai kelompok dan agen profesi lainnya.  Semua konselor yang terlatih dan kompeten yang sekarang melakukan praktik harus mampu menunjukkan kode etik tertentu kepada klien nya. Sampai musim gugur 2001, British Association for Counselling and Psychoterapy (BACP) menjalankan Code of Ethics and Practice for Counsellors, yang mencakup karakteristik konseling, tanggung jawab, kompetensi, manajemen kerja, kerahasiaan dan iklan. BACP mengganti kode etik ini dengan Ethical Framework for Good Practice in Counselling and Pshychotherapy (2001), yang memberikan penekanan lebih besar kepada moralitas dan nilai positif.
Walaupun berbagai kode etik ini tidak diragukan lagi sangat membantu dalam menyatakan kesatuan pandangan terhadap berbagai dilema etik dalam konseling, namun masih ada ambiguitas di sana. Tabel 15.2 mempresentasikan pernyataan soal kerahasiaan yang diambil dari kode etik BAC/BACP dan AACD. Sangat jelas, bahwa tiap kode menekankan (dan mengecualikan) serangkaian isu yang berbeda. Ini menunjukkan betapa sulitnya memformulasikan kode etik yang dapat mencakup semua aspek.
Penting untuk di catat bahwa kode etik ini dikembangkan bukan hanya untuk melindungi klien dari pelecehan atau malapraktik yang dilakukan oleh konselor, tetapi juga untuk melindungi profesi konseling dari campur tangan pemerintah dan menguatkan klaimnya untuk mengontrol bidang kepakaran profesional tertentu. Komite kode etik dan kode praktik berfungsi menunjukkan kepada dunia luar bahwa konseling berjalan sesuai aturan, bahwa konselor dapat diandalkan untuk memberikan pelayanan profesional.[4]

Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat oleh American Counselling Association (ACA) oleh Donald Super yang disetujui pada tahun 1961 berdasarkan kode etik American Psychological Assosiation yang asli (Allen, 1986 dalam Gladding, 2012: 69). Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat saat konveksi yang diselenggarakan di Malang pada tahun 1975 oleh Organisasi Profesi Bimbingan dinamakan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) (sekarang, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, atau ABKIN) yang mengikat anggota pada mutu standar dan tanggung jawab sebagai anggota organisasi profesi (Tim Dosen PBB FIP UNY, 2000: 4). Setiap kali diadakannya konveksi Organisasi Profesi, kode etik sebaiknya dikembangkan dan dikaji kembali agar dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat-saat tertentu sehingga para anggota profesi dapat menjalankan tugas dan peranannya tanpa melanggar kode etik yang telah ditetapkan secara tertulis dalam kode etik profesi tersebut.
ABKIN (2006:94) mengemukakan bahwa penegasan identitas profesi Bimbingan dan Konselingharus diwujudkan dalam implementasi kode etik dan supervisinya. Sunaryo Kartadinata (2011:15) menjelaskan bahwa penegakan dan penerapan kode etik bertujuan untuk: (1) menjunjung tinggi martabat profesi, (2) melindungi masyarakat dari perbuatan malapraktik (3) meningkatkan mutu profesi (4) menjaga standar mutu dan status profesi, dan (5) penegakan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandangnya.
Kode etik Bimbingan dan Konseling di Indonesia sebagaimana disusun oleh ABKIN (2006:69) memuat hal-hal berikut:
1.      Kualifikasi, bahwa konselor wajib memiliki; a) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidan Bimbingan dan Konseling, b) memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.
2.      Informasi, testing dan riset; a) penyimpanan dan penggunaan informasi, b) testing, diberikan kepada konselor yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya, c) riset, menjaga prinsip-prinsip sasaran riset serta kerahasiaan.
3.      Proses pada pelayanan; a) hubungan pada pemberian pada pelayanan, b) hubungan dengan klien.
4.      Konsultasi dan hubungan dengan rekan sejawat atau ahli lain; a) pentingnya berkonsultasi dengan sesama rekan sejawat; b) alih tangan kasus apabila tidak bisa memberikan bantuan kepada klien tersebut.
5.      Hubungan kelembagaan; memuat mengenai aturan pelaksanaan konseling yang berhubungan dengan kelembagaan.
6.      Praktik mandiri dan laporan dengan pihak lain; 1) konselor praktik mandiri, menyangkut aturan dalam melaksanakan konseling secara private, 2) laporan kepada pihak lain.
7.      Ketaatan terhadap profesi; 1) pelaksanaan hak dan keawjiban, serta 2) pelanggaran terhadap kode etik.[5]
Untuk menjadi konselor profesional tidak cukup hanya memiliki ilmu, keterampilan dan kepribadian belaka, akan tetapi harus pula memahami dan mengaplikasikan kode etik konseling (KEK). Pada saat ini konselor se-dunia menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Counselor Association (ACA). Akan tetapi banyak negara yang mengadopsi KEK dari Amerika Serikat tersebut lalu mengadakan penyesuaian dengan kondisi negaranya, terutama dalam hal aspek-aspek agama, budaya dan kondisi masyarakatnya.
Hal itu juga terjadi di Indonesia dimana KEK dari ACA tersebut kita saring dan kita sesuaikan denagn kondisi negara kita. namun demikian masyarakat konseling harus mempelajarai KEK dari ACA tersebut karena mengandung dasar-dasar penting didalam konseling.
Berikut ini kami kutipkan beberapa aspek penting KEK dari ACA terutama untuk memantapkan hubungan konseling.
1.      Mengenai Hubungan Konseling
Hubungan konseling amat menentukan terhadap keberhasilan proses konseling. Hubungan konseling ditentukan oleh kepribadian, pengetahuan, dan skill konselor. Ketiga aspek ini menyatu dalam diri konselor. Sehingga dia mampu mengelola proses konseling dengan menciptakan hubungan konseling yang dapat melibatkan klien unntuk selalu mengeluarkan isi hati, cita-cita, kebutuhan, tekanan-tekanan psikis, serta rencana hidup yang ingin dia bangun. Maka tujuan konseling mudah-mudahan tercapai, yaitu kesejahteraan klien (client welfare).
Dengan kata lain tanggung jawab utama konselor adalah kesejahteraan klien. Tanggung jawab utama lainnya adalah menghormati martabat klien (client dignity). Martabat klien adalah suatu yang bernilai yang harus dihormati, misalnya jenis kelamin. Seorang wanita harus dihormati martabat kewanitaannnya. Seorang pria mungkin yang menjadi martabatnya adalah kedudukannya sebagai bapak, sebagai seorang pengusaha, atau sebagai pejabat tertentu negara.
Disamping itu ada yang paling penting lagi yaitu martabat seorang sebagai penganut agam tertentu. Konselor harus pandai-pandai menghormati martabat keagamaan seseorang, dengan cara tidak melecehkan ataupun menghinanya.
Konselor harus membantu meningkatkan kesejahteraan klien artinya ksesjahteraan jasmani dan rohani. Aspek jasmani misalnya kseshatan badan, peningkatan oenghasilan, menaikkan kemampuan intelektual sehingga menghasilkan suatu produk benda atau jasa yang menghasilkan uang. Dengan kata lain hubungan konseling harus mencapai hasil berupa kemajuan diri klien di bidang martabat dan kesejahteraan, sehingga jati diri klien mencapai puncak.[6]
2.      Menghormati Perbedaan
a)      Nondiskriminasi.
Konselor tidak boleh membeda-bedakan klien tentang agama, ras, warna kulit, usia, jabatan, derajat, jenis kelamin, status perkawinan dan sebagainya. Adalah merupakan tindak negatif dan amat tercela jika konselor melakukan hal seperti ini. Sebab perbuatan diskriminasi akan menuai celaan dan menjauhi profesi ini oleh klien-klien lainnya. Sebagai contoh, jika konselor hana akan melayani orang kaya, maka dia akan dianggap sebagai konselor materialistis yang serakah.
Manfaat tindakan nondiskriminatif akan meningkatkan popularitas profesi dan penghargaan masyarakat terhadap profesi konseling akan naik. Dengan kata lain akuntabilitas konselor menjadi menanjak.
Kasus kebencian orang Amerika hitam terhadap orang kulit putih sudah umum diketahui. Demikian pula sebaliknya. Sesekali muncul pembunuhan orang kulit hitam oleh polisi kulit putih. Dengan kata lain sifat diskriminasi amat potensial di Amerika. Saat ini negara yang merasa amat demokratis itu, meningkatkan kebenciannya terhadap islam dengan menuduh sebagai teroris. Tujuan negara AS mungkin minyak dan mungkin pula penghancuran islam.
Dengan kata lain diskriminasi ras dan agama tidak akan berhenti di dunia ini. Karena itu kasus kebencian klien kulit hitam terhadap konselor kulit putih merupakan cacat terhadap demokrasi di negara yang merasa amat demokratis itu. Berdasarkan hal ini, maka hubungan konseling tidak boleh dikotori dengan sifat diskriminasi.
b)      Menghormati perbedaan
Disamping nondiskriminasi, konselor harus pula menghormati perbedaannya dengan klien dalam hal budaya, ras, agama, status sosial ekonomi, dan politik. Dan yang penting dalam hal kepercayaan dan atau agama, supaya konselor menjaga jangan sampai dia memaksakan agamanya kepada klien. Sebab hal itu jelas akan melanggar hak asasi manusia.
Sekalipun demokrasi seperti Amerika, jelas tidak dapat menghargai perbedaan. Terbukti dia tela melanggar hak asasi manusia dengan menyerang Irak dengan tanpa alasan yang jelas kecuali untuk minyak dan meluaskan wilayah Israel anak kandung AS. Negara AS telah menjadi teroris terbesar abad ini.

3.      Menghormati Hak-Hak Klien
Ada dua hak klien yang penting dalam hubungan konseling; pertama, keterbukaan konselor terhadap klien; kedua, kebebasan klien untuk memilih.
Keterbukaan konselor amat penting. Maksudnya seorang konselor tidak dibenarkan tertutup kepada klien yang disebabkan aroganisasinya misalnya merasa diri tinggi, sehingga begitu kaku, tertutup, dan jarang mengenalkan identitasnya.
Sikap seperti ini akan berdampak terhadap klien sehingga klien itupun tertutup, kurang mau berkomunikasi. Padahal di dalam proses konseling, keterbukaan klien adalah amat penting. Sebab dengan jalan demikian dia akan mudah mengungkapkan rahasia batin yang selama ini disimpannya.
Mengenai kebebasan klien untuk memilih (freedom of choice) adalah hal yang sering didiskusikan. Kebebasan ini amat tergantung kepada konselor. Jika konselor kurang demokratis maka kebanyakan klien diatur untuk mencapai tujuan yang memuaskan konselor. Biasanya melalui mekanisme nasehat.[7]
Selanjutnya Uman Suherman (2017) menegaskan bahwa seorang konselor hendaknya memiliki sikap dan perilsku sebagai berikut: (1) berusaha menciptakan suasana dan hubungan konseling yang kondusif; (2) berusaha menjaga sikap objektif terhadap klien; (3) mengekspolari faktor penyebab masalah-masalah psikologis, baik masalalu maupun masakini; (4) menentukan kerangka rujukan atau perangkat kognitif terhadap kesulitan klien dengan cara yang dapat dimengerti klien; (5) konseling memiliki strategi untuk mengubah kembali perilaku sesuai keyakinan irasional, gangguan emosi dan menyalahkan diri sendiri; (6) mempertahankan transfer pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan klien dalam kehidupan sehari-harinya; (7) menjadi model atau contoh sosok yang meiliki sikap sehat dan normal; (8) menyadari kesalahan yang pernah dibuat dan resiko yang dihadapi; (9) dapat dipercaya dan mampu menjaga kerahasiaan; (10) memiliki orientasi diri yang selalu berkembang; dan (11) ikhlas dalam menjalankan profesinya.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dipahami bahwa seorang konselor tidak hanya dituntut secara tekhnis menguasai keseluruhan aspke teoritis dan praktis Bimbingan dan Konseling, namun juga harus memiliki segenap aspek kepribadian yang positif. Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat menyebabkan kerugian bagi diri konselor sendiri maupun pihak yang dilayani. Bahkan ABKIN menegaskan bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). [8]













BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Kode etik profesi bimbingan dan konseling merupakan pedoman dan landasan moral yang berisi aturan bagi anggota profesi bimbingan dan konseling mencakup tingkah laku, sikap, akhlak, dan perbuatan yang wajib dipatuhi dan diamalkan oleh setiap anggota organisasi profesi bimbingan dan konseling dengan harapan dapat bertanggungjawab dalam menjalani tugasnya sebagai seorang profesional.
2.      Tujuan kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi bimbingan dan konseling, memberikan panduan perilaku yang berkarakter dan profesional bagi anggota profesi dalam meningkatkan dan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling. Sedangkan pentingnya kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah dapat melindungi dan memperkuat kepercayaan publik (public trust) dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, mengatur hubungan konselor dengan konseli, teman sejawat, lembaga tempat bekerja, pimpinan, dan profesi.
3.      Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat saat konveksi yang diselenggarakan di Malang pada tahun 1975 oleh Organisasi Profesi Bimbingan dinamakan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) (sekarang, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, atau ABKIN) yang mengikat anggota pada mutu standar dan tanggung jawab sebagai anggota organisasi profesi (Tim Dosen PBB FIP UNY, 2000: 4).

B.     SARAN
Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, maka dari itu saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar kami bisa memperbaikinya di lain kesempatan.





DAFTAR PUSTAKA

McLEOD, John. Pengantar Konseling Teori & Studi Kasus. Jakarta: Kencana. 2010.
Rahardjo, Susilo. Jurnal Konseling. Vol. 3 No. 2. Juli-Desember 2017.
Sujadi, Eko. Jurnal Tarbawi. Vol 14. No. 02. 02 Desember 2018
Willis, Sofyan. Konseling individual teori dan praktek. Bandung: Alfabeta. 2017.



[1] Susilo Rahardjo, Jurnal Konseling, Vol. 3 No. 2, Juli-Desember 2017.
[2] Eko Sujadi, Jurnal Tarbawi, Vol 14. No. 02. 02 Desember 2018
[3] Ibid. Eko Sujadi. Vol.14.
[4] John McLEOD, Pengantar Konseling Teori & Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), Hlm. 442, cet ke-3.
[5] Ibid. Eko Sujadi. Vol. 14.
[6] Prof. Dr. Sofyan S. Willis, Konseling individual teori dan praktek, (Bandung: Alfabeta, 2017), Hlm. 228.
[7] Ibid. Sofyan. 228.
[8] Ibid. Eko Sujadi. Vol 14.