Friday, 24 June 2016

Pengertian Qardh Menurut Imam Syafi�i


Secara etimologi atau bahasa qardh berasal dari kata qaradha  ) ??????) yang sinonimnya adalah qatha�a ( ?????? ) yang artinya terputus atau memotong.  Diartika terputus karena harta yang dihitungkan pada pihak lain dinamakan qardh karena harta tersebut terputus dari pemiliknya. Sedangkan maksud dari memotong adalah karena orang yang memberikan utang atau muqridh  itu memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang atau muqtaridh.


BAB I
PENDAHULUAN 
A.      Latar Belakang
            Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling mulia. Manusia merupakan makhluk sosial yaitu makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain, makhluk yang saling bergantung antara satu dengan yang lain untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya baik dalam bidang ekonomi maupun yang lainnya.
            Di dalam aspek ekonomi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian seseorang itu berbeda-beda. Ada yang termasuk ke dalam golongan yang memiliki perekonomian yang rendah dan ada pula golongan yang perekonomiannya tinggi, tergantung bagaimana mereka berusaha untuk mendapatkan dan meningkatkannya.
            Salah satu aktivitas yang dilakukan manusia dalam meningkatkan perekonomiannya itu adalah dengan mereka melakukan aktivitas bermuamalah seperti mereka melakukan aktivitas jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, pinjam-meminjam, bahkan mereka melakukan kerjasama baik dalam bentuk syirkah, mudharabah, murabahah dan lain sebagainya, yang tujuannya itu tidak lain adalah untuk meningkatkan perekonomian mereka serta mengangkat derajat mereka dari yang tadinya termasuk ke dalam golongan yang perekonomianya rendah menjadi golongan yang perekonomiannya tinggi.
            Seseorang yang termasuk ke dalam golongan yang perekonomiannya rendah yang mendapatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mereka akan berhutang kepada orang yang mampu atau orang yang lebih kaya dari mereka atau bahkan mereka akan berhutang kepada suatu badan atau lembaga keuangan untuk menyambung dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dan hal seperti itu dikenal dengan istilah qardh atau utang-piutang. Seorang muqtaridhatau yang berhutang dan muqridh atau yang memberikan utang akan melakukan suatu akad perjanjian atau kesepakatan baik itu dalam hal jumlah uang yang dipinjam atau yang diutangkan maupun dalam waktu pengembalian atau pelunasannya. Dan untuk kesempatan kali ini, penulis akan membahas atau menjelaskan mengenai pandangan Imam Syafi�i tentang qardh.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Qardh menurut Imam Syafi�i?
2.      Apa saja landasan syariah tentang qardh ?
3.      Apa saja rukun dan syarat qardh menurut Imam Syafi�i ?
4.      Bagaimana hukum qardh menurut Imam Syafi�i ?
5.      Hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak diiperbolehkan dalam qardh menurut Imam Syafi�i ?
6.      Apakah pengertian utang bersyarat menurut Imam Syafi�i ?
7.      Bagaimanakah berakhirnya qardh menurut Imam Syafi�i ?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Qardh menurut Imam Syafi�i.
2.      Untuk mengetahui landasan syariah tentang qardh.
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat qardh menurut Imam Syafi�i.
4.      Untuk mengetahui hukum qardh menurut Imam Syafi�i.
5.      Untuk mengetahui Hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak diiperbolehkan dalam qardh menurut Imam Syafi�i.
6.      Untuk mengetahui pengertian utang bersyarat menurut Imam Syafi�i.
7.      Untuk mengetahui berakhirnya qardh menurut Imam Syafi�i.
BAB II
PEMBAHASAN 
A.  Pengetian Qardh
            Secara etimologi atau bahasa qardh berasal dari kata qaradha  )  ?????? ) yang sinonimnya adalah qatha�a ( ?????? ) yang artinya terputus atau memotong.  Diartika terputus karena harta yang dihitungkan pada pihak lain dinamakan qardh karena harta tersebut terputus dari pemiliknya. Sedangkan maksud dari memotong adalah karena orang yang memberikan utang atau muqridh  itu memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang atau muqtaridh.[1]
Sedangkan Secara istilah, menurut Imam Syafi�i qardh adalah sebagai berikut:[2]
????????? ???????? ??????? ????????? ????????? ???????????
Yang artinya adalah �qardh adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang pada suatu saat harus dikembalikan�.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa qardh merupakan suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.[3]
Utang piutang itu merupakan bentuk dari muamalah yang bercorak ta�awwun atau pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan di dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur�an da Hadits sangat kuat dalam menyerukan prinsip hidup gotong-royong seperti yang telah disebutkan tadi.[4] 

B.  Landasan Syariah
       Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan pada Al-Qur�an, hadits riwayat Ibnu Majjah dan Ijma� para ulama. Karena sesungguhnya Alla Swt. telah mengajarkan kita agar meminjamkan sesuatu bagi �agama Allah�.[5]Salah satu ayat Al-Qur�an yang menjelaskan tentang qardh yaitu QS.Al-Hadid ayat 11, yang berbunyi:[6]

???? ??? ??????? ???????? ????? ?????? ??????? ???????????? ???? ?? ???? ?????? ???????? (11)

Artinya: � siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak�.
       Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita itu diseru atau dianjurkan untuk �meminjamkan kepada Allah�, dimana yang artinya itu adalah untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru atau dianjurkan untuk �meminjamkan kepada sesama manusia�, sebagaimana bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).[7]Selain dari Al-Qur�an, ada juga hadits yang menjelaskan mengenai qardh yaitu hadits  riwayat Ibnu Majjah, yang berbunyi: [8]

???? ?????? ?????????? ????? ?????????? ?????? ????? ???????? ?? ??????? ??? ?? ??? ???? ???????? ???????? ????????? ?????? ??????????? ?????? ????? ????????????? ???????
 Ibn Mas�ud meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: �tidak seorang muslim yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya senilai ibadah�.
Pada ayat dan hadits tersebut dapat dipahami bahwa qardh atau utang-piutang merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah Swt. dan akan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda oleh Allah Swt. karena perbutan tersebut merupakan perbuatan yang sangat tepuji karena bisa meringankan beban orang lain.[9]
       Dan mengenai ijma� Imam Syafi�i tentang qardh menyatakan bahwa ulama itu telah menyepakati bahwa qardh itu boleh dilakukan. Hal itu didasari oleh tabi�at manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

C.  Rukun dan Syarat Qardh
       Menurut Imam Syafi�i, rukun qardh ada tiga, yaitu sebagai berikut:[10]
1)      Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
2)      Ma�qud �Alaih yaitu uang atau barang
3)      Sighat, yaitu ijab dan qabul
Sedangkan syarat qardh menurut Imam Syafi�i yaitu:[11]
1)        �Aqid ialah dua orang orang yang berakad dalam arti pihak pertama adalah orang yang menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan pihak kedua adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima harta (meminjam).  Syafi�i memberikan persyaratan untuk muqridh yaitu ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru� dan mukhtar atau memiliki pilihan. Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur �alaih.
2)        Ma�qud �Alaih menurut Imam Syafi�i yang menjadi objek akad qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat), ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran) seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Dengan kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual-beli boleh pula dijadikan objek akad qardh.
 
Maudhu� al �aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda tujuan pokok akad, dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam akad jual beli ini akan mendapatkan keuntungan.  Berbeda  dengan perikatan atau akad qardh, dalam akad qardh tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan harta tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam pengembalian uangnya. Saratnya adalah ada itikad baik.
4)        Shighat  ialah ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, seperti dalam akad salam. Syaratnya adalah ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila orang yanh berijab menarin kembali ijabnya sebelum kabul, maka batalah ijabnya. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

D.  Hukum Qardh
       Menurut  Imam Syafi�i, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi�iyyah, muqtaridh mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal mitsli. Apabila barangnya mal qimi, maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya. [12]

Mazhab Syafi�i berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi� disebutkan bahwa Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang.
       Menurut Imam Syafi�i, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.[13]

E.  Hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam Qardh
       Madzhab Syafi�i menurut riwayat yang paling shahih berpebdapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi�i, muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal karena Rasulullah telah berhutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba�iyah seraya berkata: �sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar hutang�.[14]
       Sedangkan hal yang tidak boleh dilakukan dalam qardh menurut Syafi�iyah , dicontohkan jika A memberi hutang kepada B dengan syarat B menjual rumahnya kepada A, atau dengan syarat B mengembalikan pinjaman dengan jumlah lebih banyak, maka hal itu dilarang. Sebab, Nabi Muhammad SAW penggabungan melarang jual beli dengan hutang. Akad qardh adalah akad dalam rangka kebajikan, jika diisyaratkan ada manfaat maka ia keluar dari dari substansinya.[15]

F.   Utang Bersyarat
       Utang bersyarat adalah suatu akad utang yang disertai dengan syarat-syarat tertentu. Dan syarat-syarat itu ditentukan oleh orang yang berpiutang, Sedangkan orang yang berutang berkewajiban memenuhi syarat tersebut. Apabila orang yang berutang merasa keberatan dengan syarat yang diberikan oleh orang yang berpiutang, maka sebelum perjanjian itu disepakati, pihak yang berutang boleh membatalkannya.[16]
       Pada dasarnya pemberian syarat dalam perjanjian utang piutang adalah boleh, selama syarat itu tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat islam, misalnya mensyaratkan untuk mencatat utang tersebut atau memberikan barang jaminan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: �Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya�. Menurut ayat ini, dalam utang piutang diperlukan surat utang sebagai bukti untuk menghindari hal-hal yang mungkin timbul di kemudian hari.
       Imam Syafi�i memberikan beberapa ketentuan dalam hal utang piutang bersyarat ini, yaitu:[17]
1)        Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk  mengambil manfaat yang digunakan untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka dalam hal ini akad utangnya rusak dan hukum utangnya tidak sah atau haram.
2)  Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat untuk kepentingan orang yang berutang, maka dalam hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah. 
3) Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk kepercayaan, seperti disyaratkan bagi pihak yang berutang untuk memberikan sertifikat tanah sebagai jaminan utangnya kepada orang yang berpiutang, maka yang demikian ini dapat dibenarkan menurut hukum islam.

Dengan demikian utang piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam hukum islam, apabila syarat tersebut tidak mengambil manfaat untuk kepentingan salah satu pihak, seperti mensyaratkan adanya barang jaminan yang dapat di pegang apabila terjadi utang piutang.

G.  Berakhirnya Qardh
       Utang piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila waktu yang disepakati telah tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi utangnya. [18]Dalam keadaan yang demikian, maka seseorang yang berutang wajib menyegerahkan melunasi utang tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, dalam QS al-Isra� ayat 34 yang artinya: Dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
       Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah suatu kewajiban yang yang harus disegerahkan untuk diwujudkan apabila telah mencapai waktunya, karena setiap janji akan dimintai pertanggungjawannya baik di dunia dan di akhirat.
            Mengenai masalah utang piutang, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi menurut Imam Syafi�i antara lain sebagai berikut:[19]
     a) Pemberian perpanjangan waktu pelunasan utang
Apabila kondisi orang yang telah berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang berpiutang dianjurkan memberinya kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar utangnya.
     b) Sesuatu yang dikembalikan dalam  utang piutang
menurut pendapat Syafi�iyah, kepemilikan dalam utang piutang berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi�iyah, muqtarid mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal misli. Apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya.

BAB III
KESIMPULAN 
A.      Kesimpulan
       Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa Qardh adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang pada suatu saat harus dikembalikan. Menurut Imam Syafi�i, rukun qardh ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1)      Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
2)      Ma�qud �Alaih yaitu uang atau barang
3)      Sighat, yaitu ijab dan qabul
Imam Syafi�i berpendapat bahwa qardh yang mendatankan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dar mutu yang lebih baik atau dengan dikembalikan lebih banyak dari itu. Karena Nabi Saw. melarang hutang bersama jual-beli.
 Mazhab Syafi�i berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta biji-bijian. Utang piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila waktu yang disepakati telah tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi utangnya.

B.       Krtik & Saran
Berdasarkan penjelesan mengenai pandangan Imam Syafi�i tentang akad qardh, saya setuju dengan pandangan Imam Syafi�i tentang akad qardh tersebut. Karena menurut saya, berbagai pandangan yang telah disampaikan Imam Syafi�i sudah sesuai dengan ajaran agama Islam dan bisa memenuhi persyaratan yang ada dalam agama islam. Selain itu juga,dari pandangan Imam Syafi�i tersebut mudah dipraktekkan oleh kalangan kaum muslimin dan tidak memberatkan umat muslim.

Dari pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang bagaimana pandangan Imam Syafi�i mengenai akad qardh. Selain itu, para pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam melakukan praktek qardh dalam lingkungan sekitar yang tentunyai sesuai dengan ajaran agama islam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman.  Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur�an dan Terjemahannya. Jakarta: CV Pustaka Agung Harapan, 2001.
Mas�ud, Ibnu. Fiqh Madzhab Syafi�I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandng: CV. Pustaka Setia, 2000.
Nur Diana, Ilfi.  Hadis-Hadis Ekonomi. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT. Alma�arif, 1987.
Sakinah, Fiqih Muamalah. CV Salsabila Putra Pratama, 2013.
Suhendi, Hendi.  Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010.
Syafi�i Antonio, Muhammad. Islamic Banking: Bank Syari�ah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta: AMZAH, 2013.
Zaini, Moh. Fiqih Muamalah. Surabaya: CV.Salsabila Putra Pratama, 2013.


[1] Moh. Zaini, Fiqih Muamalah (Surabaya: CV.Salsabila Putra Pratama, 2013), hlm.53.
[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 60.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm.273.
[4] Sakinah, Fiqih Muamalah (CV Salsabila Putra Pratama, 2013), hlm.57.
[5] Muhammad Syafi�i Antonio, Islamic Banking: Bank Syari�ah Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 131.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur�an dan Terjemahannya (Jakarta: CV Pustaka Agung Harapan, 2001), hlm. 786.
[7] Antonio, Islamic Banking, hlm. 132.
[8] Ilfi Nu Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 159.
[9] Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 275-277.
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,  (Bandung: PT. Alma�arif, 1987), hlm.99.
[11] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010), hlm. 199.
[12] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II, hlm.62.
[13] Ibid. 62-63.
[14] Ibnu Mas�ud, Fiqh Madzhab Syafi�I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat ( Bandng: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm 102.
[15] Ibid. 103.
[16] Moh. Zaini, Fiqih Muamalah, hlm. 60.
[17] Ibnu Mas�ud, Fiqh Madzhab Syafi�I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, hlm. 104.
[18] Moh. Zaini, Fiqih Muamalah, hlm. 63.
[19] Ibnu Mas�ud , Fiqh Madzhab Syafi�I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, hlm. 106.