Thursday 12 January 2017

Pandangan hukum islam terhadap perceraian





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hubungan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam masa pra-islam Arab tidak hanya ditandai dengan corak poligami yang tentu saja ada, tetpa juga frekuensi penceraian, keretakan perkawinan, dan seks bebas yang terkadang mennyulitkan untuk menarik garis batas antara pernikahan dan pronstitu. Terdapat perbedaan dalam hukum keluarga dan perkawinan di Makkah dan Madinah, dan tentu juga ditempat-tempat lain. Perbudakan dan mengambil gundik dari budak perempuan adalah suatu yang dianggap sebagai kebenaran.
Terdapat beberapa orang, selebriti atau dikalangan para artis indonesia sering cerai dan nikah lagi. Dalam satu buah pertalian yang serius antara sepasang kekasih tentu keduannya bakal mengharapkan bermuara ke kursi pelaminan. Demikian serta bagi para kalangan seleb yang jadi sorotan publik. Bakal namun sebab aspek apa, pernikahan tersebut seakan tak lagi bernuansa sakral dan tampak cuma diperlukan sebagai trend mendongkrak popularitas para selebriti yang sejak mulai meredup. Bisa jadi sanggup menjadi difungsikan untuk mempertahankan eksistensinya didunia hiburan, popularitas dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Apa pandangan hukum islam terhadap penceraian.
b.      Apa pandangan sosilogi islam tentang penceraian
c.       Apa pandangan al-Qur’an tentang talak ?
d.      Apa pandangan ilmu pendidikan terhadap talak?
C.    Tujuan Masalah
a.      Menjelaskan pandangan hukum islam terhadap penceraian.
b.      Menjelaskan pandangan soiologi islam tentang penceraian.
c.       Menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang talak.
d.      Menjelaskan pandangan imu pendidikan terhadap talak.


 
1Joseph Schachht, Hukum Islam (Bandung: Joko Supomo, 2010), hlm.33.
                                                                                                                                                   1
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Menurut Hukum Islam
Kasus yang biasa adalah talak yang dijatuhkan terhadap istri oleh suami, baik talak yang memungkinkan rujuk (raj’i) maupun talak yang tidak memungkinan rujuk (ba’in). Perbedaan antara keduanya bergantung pada cara talak dicetuskan; jika ungkapan yang biasa digunakan, maka dimungkinkan rujuk lagi, sebaliknya (dan juga jika talak dinyatakan sebelum terjadi persanggamaan atau karena suatu pertimbangan)maka itu adalah talak (ba’in). Dengan demikian, dan karena talak merupakan keputusan dengan akibat langsung, juga membedakan talak biasa dengan segala macam bentuknya, maka semua cara ungkapan diartikan secara kasustik. Talak raj’i tidak memutuskan hubungan perkawinan secara total, sehingga perkawinan baru antara keduanya harus dengan akad nikah baru apabila suami pertama dan istri berkehendak untuk bersatu lagi. Sesudah suami menalak istrinya tiga kali (dua kali apabila istrinya adalah budak), suami terdahulu (yang pertama) dan istri yang ditalak dapat kawin lagi hanya sesudah istri yang ditalak itu kawin dahulu dengan suami lain (suami kedua) lalu terjadi pergaulan suami-istri(dukhul)2. Oleh karena itu, talak ketiga menjadi bentuk biasa dari talak. Suami harus mengucapkan tiga talak terpisah selama tiga keadaan suci dari haid istrinya. Sudah menjadi alat terjadinya talak tiga dengan tiga kali pernyataan talak dalam satu waktu (talak tiga sekaliggus), tetati hal diamggap hal baru dan dilarang walaupun diakui sebagai talak tiga yang sah. Talak bersyarat (ta’liq ath-thalaq), diaman talak terjadi secara otomatis apabila terjadi  peristiwa tertentu, sudah sangat penting dalam praktik. Ada juga kemungkinan tafwidh, yaitu menyerahkan kekuasaan pada istri untuk menceraikan dirinya sendiri3. Pada pokoknya, kekuasaan ini diuji dalam suatu sidang (majlis) suami-istri, kecuali pernyataan tafwidhdinyatak menyatakan seballiknya, tetpi sebuah tafwidh dalam bentuk “engkau ditalak kapan saja engkau mau” adalah sah.



 
2Joseph Schacht, Hukum Islam (Bandung: Joko Supomo, 2010), hlm.234.
3Ibid.234.
           2
Untuk beberepa bentuk talak yang termasuk mubara’ah, penceraian dengan persetujuan kedua belah pihak melepaskan kewajiban finansial dan, yang lebih penting khulu’, diamana istri menebus dirinya dari perkawinan atas suatu pertimbangan. Dipihak istri, khul’dipandang sebagai sebuah pertukaran milik tetapi dipihak suami sebagai tindakan dibawah sumpah, sehingga ia tidak dapat menarik tawaran khulu’ yang telah dibuatnya.
Bentuk talak yang lain ialah ila’, yaitu penceraian suaami-istri karen sumpah suami bahwa ia tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan (dua bulan apabila istri seorang budak). Apabila suami melaksanakan sumpahnya, maka itu menyebabkan talak ba’in. Tetapi sumpah itu bisa dibatalkan, seperti sumpah yang lain, dengan membayar kaffarah,selama hal itu dimungkinkan4.
Barangkali, bentuk lama talak yang tidak diakui islam adalah zhihar, yaitu penggunaan pernyataan “engkau bagiku (tidak dapat disentuh) seperti punggug ibuku”. Hal ini tidak menyebabkan penceraian tetapi dianggap pernyatan fasik yang menentut kaffarh yang sangat berat, yang berbeda dengan kaffarah dalam kasus-kasus yang lain, dapat dipaksakan oleh qadhi.
Tafriq (secara harfiah berarti “pemisahan”; penceraian yang sebenarnya) biasanya diucapkan oleh qadhi atas inisiatinya sendiri atau atas kehendak salah satu pasangan suami-istri, terutama oleh istri dalam pelaksanaan hak pembatalannya dalam memerdekakan budak. Alasan-alasan yang menuntut penceraian melalui qadhi adalah penggunaan hak pembatalannya setelah dewasa, impotensi pada suami, dan menurut beberapa ahli, kegilaan dan penyakit kronisnya. Suami bisa menuntut penceraian melalui qadhidalam menggunakan hak pembatalannya pada usia selanjutnya, ia dapat selalu menngunakan hak pembatalannya. Qadhi menyatakan tafriq atas kehendaknya dalam kasus halangan serius pada perkawinan, seperti mengawini dua wanita bersaudara, dalam kasus-kasus lain ia hanya melarang pasangan suami-istri itu5. Penceraian juga bisa terjadi dengan li’an, yang merupakan bagian dari hukum pidana. Suami bersumpah bahwa istri sudahb melakukan zina dengan orang lain atau bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukan anaknya. Apabila ada kesempatan, istri boleh memberikan sunpah penyangkalan.


 
4Ibid.234.
5Ibid.235.

3
Pada akhirmya, perkawinan berakhir apabila menjadi tidak sah, baik dalam kemurtadan salah satu dari pasangan suami-istri maupun karena salah seorang dari menjadi budak atau menjadi milik orang lain.Kedudukan sah istri dalam sistem poligami tak pelak, kurang baik dibanding kedudukan suami, tetapi ia memiliki kemungkinan-kemungkinan tertentu dalam memperoleh pencerain, dan keadaanya sebenarnya cukup mengali perbaikan karena pengaruh-pengaruh rezim perkawinan  dan pemberian pembatalan bersyarat, dimana telah menjadi kebiasaan untuk diucapkan setelah selesai akad perkawinan6.
Setiap penceraian yang mana sudah terjadi persanggamaan bahkan “secara tidak benar”, yaitu  suami-istri itu berduaan mensyaratkan masa tunggu (iddah) istri sebelum ia boleh kawin lagi dengan suami yang lain. Masa iddah perempuan mengandung berakhrir sampai dia melahirkan kandungannya. Apabila dia tidak mengandung maka masa iddah-Nya empat bulan 10 hari apabila suami meninggal  dunia dan dia adalah seorang yang merdeka (separuhnya apabila seorang budak). Dalam semua kasus lain (juga sesudah dukhul), masa iddah ituadalah sampai tiga kali haid apabila ia peempuan merdeka atau seorang umum al-walad(dua kali menstruasi untuk perempuan budak yang lain) atau apabila ia tidak mengalami haid, tiga bulan (separuh waktu itu bagi perempuan budak selain umum al-walad)7.
Ada suatu masa serupa yangharus dilewati sebelum pemilik dapat dimulai mengngauli perempuan budak yang ia beli. Ini dimakan istibra’, dan secara normal berakhir sampai satu kali  menstruasi atau sebagai pilihan satu bulan. Ini tidak wajid, tetapi hanya disarankan apabila pemiliknya sebelumnya budak perempuan itu adalah sseorang perempuan.







 
6Joseph Schacht, Hukum islam (Bandung: Joko Supono, 2010), hlm.236.

   4
B.     Menurut pandangan sosiologi islam
Pada zaman Nabi saw dan Sahabat Abu Bakar, jika seoang laki-laki menjatuhkan talak tiga kali kepada istrinya pada satu majlis, maka talakn seperti itu dianggap jatuhh satu kali talak atau yang disebut talak raj’i. Begitulah ketentuan menurut sunah dan ijma’ ssahabat pun setelah itu. Meskipun demikian, pada yang sama Umar bin Khattab pernah memerintahkan agr supaya talak  sepertinya dianggap sebagai talak ba’in, mengingat kebiasaan sepertina seakan-akan menjadi tradisi. Makna dibalik perintah tersebut, aemata-mata sebagai sanksi mereka yang mempermainkan hukum di samping untuk mencegah kebiasaan yang terkutuk itu.
Dengan demikian, masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam mengucapkan talak tiga. Mengingat beratnya talak tersebut seperti yang telah disebutkakn Tuhan dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 230. Ahmad Muhammad Syakir berkenan dengan penjelasan keputusan Umar bin Khattab ini, mengatakana bahwa tindakan beliau itu adalah sebagai keputusan kepala negara yang bisa dikelompokkan sebagai kebijaksaan atau politik hukum8. Dari sini menunjukkan bahwab kepentinganan politik, hukum, dan kebijakan pemerintah, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap pembaruan hukumm islam. Meskkipun dipihak lain ketentuan hukum yang sudah ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah tidak boleh dirubah, atau diadakan penelitian antara ketentuan hukum itun dengan ketentuan hukum yang lain, baik perseorangan atau kesepakatan umat. Dalam sosilogi islam seorang suami yang akan menceraikan atau mentalak istrinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak teerhadapa istri yang akan diceraikannya.Kalangan ahli fikih konterporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah dan Ali Al-Khalif berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan penceraian. Para ahli fikih sebutkan diatas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembanga zaman, persoalan saksi semakin penting karena tanggung jawab religius masing-masing suami semakin melemah, shingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang9.



 
8Roibin, Sosiologi Hukum Islam (Malang: Ernaning Setiyowati, 2008), hlm.39.
9Ibid.40.
                                                                                                                                       5
Adapun solusi talak dalam sosilogo hukum islam:
a)      Sehingga sesuai acara yang berlaku bagi pandangan hakim dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yanng diajukan oleh pihak-pihak berpekara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk menngusahakan pendamaian secara maksimal. Apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas perkara atau upaya hakim dalam maendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri mrngingat anak-anaknya perlu perlu perhataian darib orang tuanya.
b)      Talak tiga yang disesuaikan denngan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami terhadap istrinya (diluar sidang Mahkamah Syari’ah atau pengadilan  Agama), iitu bukanlah wewenang Mahkamah Syari’ah teapi pengadilan tidak mentolerirnya, karena penceraian bisa terjadi bila dilakukan didepan sidang Mahkamah Syari’ah.
C.    Pandangan Al-Qur’an terhadap talak
Allah swt secara tegas dan dijelaskan tentang talak yang sebutkan dalam surat At-talat ayat 1 yang berbunyi;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ ... (1)

Artinya; Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitumglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu dan janganlah (diiznkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengatahui baragkali setelah itu Allah mengadakan ketentuan yang baru (Q,s-at-Talaq ayat-1)10.



 
10al-Qur’an, at-Talak (65): 1.

                                                                                                                                        6
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ...(2)

Artinya; Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu kepada Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah nniscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.(Q.S at-Talaq ayat 2).
Dan juga terdapat dalam ayat at-Talak ayat 3 yang artinya; dan Dia memberikan rezeki dari arah-arah yng tidak disanga-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, nisccaya Allah akan mencukkupkan  (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.(Q.S at-Talaq ayat 3)11.


وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا ...(4)

   Artinya; Perempan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-






 
11al-Qur’an, at-Talaq (65): 2, at-Talaq (65): 4.
7
istrimu jika kamu ragu-ragu (tenntang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-permempuan yang sedang hamil, waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusanya.
      Dan Allah berfirman yang artinya; Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang keedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukkum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang ditentukan-Nya kepada orang-orang yang berpengatahuan. Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Baran siapa melakukan demikan, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu, yaitu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu12. (Q.S al-Baqarah ayat 230-231).

D.    Pandangan Ilmu Pendidikan Terhadap Talak
Sebagai besar waktu yang digunakan anak-anak kita adalah tinggal dirumah, tatkala remaja memang agak banyak berada diluar rumah. Karena anak itu banyak tinggal dirumah, maka situasi rumah tangga banyak sekali mempengaruhi meereka. Bila setiap kali anak membuka matanya yang dilihatnya adalah pertengkaran, ia akan segera meninggalkan rumah, rumah itu dirasakannya pengap, sempit dan panas. Ia pergi ke rumah orang lain untuk mencari teman bermain dan berteduh. Sekiranya teman-teman itu kurang baik, hal tersebut akan mempengaruhi perang anak itu13.


 
12al-Qur’n, al-Baqarah (2): 230-231.
13Ahmad Tafsir,ilmu pendidikan islam (Bandung: Engkus Kswandi,2012),hlm.270.

                                                                                                                                          8
 Untuk memperoleh rumah tangga tentram, islam mengajarkan suatu tata cara yang dimulai dari tahap memilih calon suami-istri, cara melamar, memberi petunjuk cara berumah tangga yang mencakup tugas suami dan tugas istri.
           Cekcok ayah-ibu tidak sekedar membuat gelisah anak-anak, cekcok itu dapat menimbulkan dampak psikologis yang buruk pada anak-anak. Mereka erasa kurang aman karena peelindungnya tidak akur. Mereka mengidolakan ayah-ibunya, tetapi yang idola tersebut tidak harmonis. Mereka ingin belajar pada ayah ibunya, tetapi apa yang didapat bila ayah-ibu itu cekcok melulu. Mereka malu pada teman-temannya bila ketahuan ayah-ibunya terlalu banyak “berdiskuksi”. Rasa rendah diri, rasa malu, rasa tidak berharga, dan lain-lain dapat saja menghinggapi anak tersebut.
Sebenarnya percekcokan itu kadang-kadang memang harus terjadi. Bila memang begitu, usahakanlah pertenngkaran itu tidak sampai diketahui oleh anak-anak kita dan juga tidak diketahui orang lain. Bila mana suami dan istri benar-benar mamatuhi ajaran isla, seharusnnya mereka tidak pernah cekcok. Akan tetapi, ada orang yang mengtakan bahwa pertengkaran kecil kadang-kadang diperlukan oleh pasangan suami-istri untuk asm garan kehidupn rumah tangga. Kadang-kadanng cekcok berakhir dengan penceraiaan. Al-Qur’an memang mengatur hal ini, tetapi bukan berarti menganjurkan penceraian. Penceraian itu menggegerkan arasy Tuhan. Ia merupakan perbuatan yang boleh, tetapi paling dibenci Allah. Karena hal tersebut merupakan hal yang tidak baik bagi kehidupan dan juga berdapak bagi kaum wanita. Anak-anakpun tidak menyukai ayah dan ibu bercerai, apapun alasannya. Kekeliruan besar bila pasangan suami-istri sampai mengakhiri ikatan mereka dengan pencereain. Akan tetapi, kenyataanya penceraian sering juga terjadi, dan bahkan tidak jarang penceraian itu setelah ada anak. Ini luar biasa. Tentu ada penyebabnya. Penyebabnya mungkin saja suami dan attu istri tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya. Kebanyakan penyebab penceranian adalah kesalahpahaman, gampang terpengaruh oleh suara dari luar yang belum dicek kebenaranya. Kenyatannya, istri memang paling mudah salah paham, suami paling banyak membuat penyebab  salah paha. Jadi, kedua-duanya sama mempunyai kelemahann. Cobalah perhatikan tuntunan berikut untuk menghindari percekcokan dan penceraian14.


 
14Ibid.270-271.

                                                                                                                                          9
a.       Istri harus patuh kepada suami dengan cara yanag  baik (lihat lebih lanjut Ulwan , 1, 1990: 100-108). Diriwayatan oleh Al-Bazzar danThabrani bahwa pada suatu kali, pada saat Nabi, berkumpul sejumlah wanita. Salah seorang dari mereka diutus untuk menemui Rasul saw dan bertanya, “Wahai Rasul, kai adalah utusan kaum wanita yang ingin menghadap engkau. Mengapa jihad hanya diwajibkan Allah kepada kaum pria, lantas jika merreka menang, mendapat pahala ? Sebaliknya jika mereka kalah atau terbnuh, mereka teta[ hidup di sisi Tuhan dan mendapat rezeki.
b.      Istri harus memelihara suai dan dirinya, ini berdasarkan hadist nabi. Ketahuilah, akan kuberitahu kalian tentang simpanan terbaik bagi seorang suami, yaitu istri yang shaleh. Jika suami memandangnya, menggenbirakannya. Jika ia memerintahkan, ia menaatinya. Jika suami tidak ada  dirumah, ia dapat memelihara harta dan dirinya.
c.       Jika suami ingin mennggaulinya diranjanag, istri tidak boleh menolak. Ini berdasarkan hadist Nabi: Jika suami mengajak istrinya tidur bersama, lalun ia   tidak mau meladeninya dan suaminya tidur dalam keadaan kesal, maka malaikat melaknat istri itu hingga terbit matahari.(Bukhari dan Muslim15).



  


  



 
15Ibid.272.
                                                                                                                                                  10
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
 Kasus yang biasa adalah talak yang dijatuhkan terhadap istri oleh suami, baik talak yang memungkinkan rujuk (raj’i) maupun talak yang tidak memungkinan rujuk (ba’in). Perbedaan antara keduanya bergantung pada cara talak dicetuskan; jika ungkapan yang biasa digunakan, maka dimungkinkan rujuk lagi, sebaliknya (dan juga jika talak dinyatakan sebelum terjadi persanggamaan atau karena suatu pertimbangan)maka itu adalah talak (ba’in).
     Pada zaman Nabi saw dan Sahabat Abu Bakar, jika seoang laki-laki menjatuhkan talak tiga kali kepada istrinya pada satu majlis, maka talakn seperti itu dianggap jatuhh satu kali talak atau yang disebut talak raj’i. Begitulah ketentuan menurut sunah dan ijma’ ssahabat pun setelah itu. Meskipun demikian, pada yang sama Umar bin Khattab pernah memerintahkan agr supaya talak  sepertinya dianggap sebagai talak ba’in, mengingat kebiasaan sepertina seakan-akan menjadi tradisi.
      Dan Allah berfirman yang artinya; Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang keedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukkum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang ditentukan-Nya kepada orang-orang yang berpengatahuan.
Untuk memperoleh rumah tangga tentram, islam mengajarkan suatu tata cara yang dimulai dari tahap memilih calon suami-istri, cara melamar, memberi petunjuk cara berumah tangga yang mencakup tugas suami dan tugas istri.




                                                                                                                                                  11
DAFTAR RUJUKAN
                                                           
Schacht, Joseph. Hukum Islam. Bandung : Nuansa, 2010.
Roibin. Sosiologi Hukum Islam. Malang : Uin-Malang Press, 2008.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012.

















                                                                                                                                                  12