Saturday 22 September 2018

agama sebagai fenomena budaya




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Agama sering dipahami sebagai sumber-sumber gambaran yang sesungguhnya tentang dunia ini, sebab agama diyakini sebagai wahyu yang diturunkan untuk semua manusia. Namun agama kerapkali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala kebutuhan manusia, kemudian sebagian dari kritik itu, manusia mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan antara agama dengan masalah-masalah yang berada di masyarakat.
Agama sering dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya menjadi lambang kesalehan atau berhenti disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara paling efektif dalam memecahkan masalah.
Pada hakikatnya Islam itu masih bersifat universal dan masih memerlukan objek pengkajian dan penelitian yang mendalam baik dari sisi agama, sosial dan budaya. Tapi ironisnya, sekarang banyak umat Islam khususnya para golongan pemuda-pemuda tidak peduli, bahkan tidak mau tahu apa  saja objek-objek kajian yang mencerminkan karakter Islam yang sesungguhya, bahkan enggan untuk bertindak sesuai apa yang telah diajarkan nabi Muhammad SAW. Mereka hanya menerima Islam tanpa melakukan dan mencari tahu apa saja yang terkandung dalam objek-objek pengkajian dan penelitiannya.
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan tentang Islam sebagai objek kajian dan penelitian.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan agama sebagai fenomena budaya?
2.    Apa yang dimaksud dengan agama sebagai fenomena sosial?
3.    Apa yang dimaksud Islam sebagai agama dan wahyu?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui maksud agama sebagai fenomena budaya
2.    Untuk mengetahui maksud sebagai fenomena sosial.
3.    Untuk mengetahui Islam sebagai agama dan wahyu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Agama Sebagai Fenomena Budaya
Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalmnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut bergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang gaib tersebut.
Pemikiran di atas dapat dilihat dengan adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempat aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke genarasi lain. Kelima aspek sumbernya , yaitu Kitab Suci.
Kebudayaan adalah penjelmaan akal dan rasa manusia. Ini berarti bahwa manusia yang menciptakan kebudayaan. Kebudayaan Islam, berarti menyaring kebudayaan yang tidak melenceng dari ajaran Islam. Menurut bahasa, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari  buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab kata kebudayaan itu disebut Al-Tsaqafah.[1]
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang (pola hidup menyeluruh), dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.  Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk di dalamnya yaitu : Sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas (pakaian, bangunan) dan seni. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Budaya memiliki pandangan keistimewaan tersendiri. Budaya menjadi pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis.Budaya erat kaitannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.
B.  Agama Sebagai Fenomena Sosial
Agama sebagai fenomena sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan ini, sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat, bagaimana agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.[2]
Oleh karena itu, dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada masjid. Kalau kita tidak pernah kelihatan shalat jum’at di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat jum’at di masjid kota itu, kita tidak dianggap kurang saleh dalam beragama. Sebab, indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang Desa dan Kota. Kehidupan kota telah menyebabkan pergeseran itu perkembangan masyarakat telah mempengaruhi cara perpikir orang mengenai penilaian kesalehan.
Atho Mudzhar mencatat adanya lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau seseorang hendak mempelajari suatu agama. Pertama scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau para pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembagalembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katholik, Gereja Protestan dan lain-lain.[3]
Lebih jauh ia menegaskan bahwa penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala tersebut di atas. Orang boleh mengambil tokohnya, boleh alatnya, terserah dari sudut mana kita menelitinya. Alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian, namun perlu diperhatikan bahwa ada yang betul-betul alat agama, ada yang sebenarnya hanya dianggap sebagai alat agama. Di dalam Islam juga terjadi hal yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak ada yang sacral, di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai  hubungan seorang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar bin Khattab mengatakan: Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang lain. Maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak dalam kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensakralkan wahyu Allah, tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan yang dibacakan ataukah isinya.[4]
Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong menolong, nasehat menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan kebersamaan.[5]
Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaan-nya yang ditunjukkan oleh potensi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini maka dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosisl tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.[6]
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar dari pada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi Masjid tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat dilihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka boleh ibadah diperpendek atau ditangguhkan (diqosor atau dijamak dan bukan ditinggalkan). Bahkan Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama–sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi dari pada shalat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat.[7]
Dalam hal itu, Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalat, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat tahajud. Orang yang berbuat dhalim atau aniaya terhadap sesamanya tidak akan hilang dosanya dengan tebusan membaca dzikir seribu kali dan seterusnya. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima oleh Allah, bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah.[8]
Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut di atas menjadi penting jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di zaman modern. Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera, serba cepat, instan dan otomatis. Kadang-kadang kita merasa bahwa situasi yang penuh dengan problematika di dunia modern justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri.[9]
Dengan ilmu sosial, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat meredam berbagai kerusuhan sosial dan tindakan kriminal lainnya yang saat ini banyak mewarnai kehidupan. Fenomena kerusuhan, tindakan anargis, tindakan kekerasan, tindakan kriminal, pemerkosaan, bencana alam dan kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas yang menelan ribuan nyawa manusia, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, penyimpangan sosial, tindakan nekat, perampasan hak-hak asasi manusia dan masalah sosial lainnya yang terus berkembang. Secara sosiologis, seluruh gejala dan peristiwa tersebut bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan semua itu merupakan produk system dan pola pikir, pandangan yang menyimpang dan sebagainya. Pemecahan terhadap masalah tersebut salah satu alternatifnya adalah dengan memberikan nuansa keagamaan pada ilmu sosial.[10]
Melalui pendekatan sosiologi agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu akan dapat dijelaskan secara detail apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama Islam itu diturunkan.[11]
C.  Islam Sebagai Agama dan Wahyu
Agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga sebagai agama langit, agama prophetis, yaitu agama yang berasal dari wahyu Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang termasuk dalam kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Namun dalam kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi. Dalam bentuknya yang asli (ketika masing-masing diturunkan kepada nabi Musa dan nabi Isa) keduanya (agama Yahudi dan Nasrani) merupakan agama samawi, dalam pandangan al-Qur’an keduannya ini adalah Islam. Karena nabi Musa dan Isa adalah seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan agama Allah (Islam) kepada umat-Nya.[12]
Islam sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an diantaranya dalam surah al-Baqarah ayat 131, surah Yunus ayat 72 dan surah al-Hajj ayat 78. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad saw.
Adapun ciri-ciri dari islam sebagai agama dan wahyu adalah sebagai berikut:
1.      Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa ajarannya telah tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah swt. sendiri yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah untuk umat-Nya. Mengenai Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari segi pembawa ajaran Islam (Nabi dan Rasul).
2.      Disampaikan melalui utusan Tuhan.
Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang disampaikan kepada umat manusia dari Allah swt. melalui para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad 
3.      Ajaran ketuhanannya monoteisme mutlak (tauhid)
Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang merupakan salah satu rukun Islam.
4.      Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari campur tangan manusia
Kitab suci umat Islam adalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (al-Qur’an) diturunkan bersih dari campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah
5.      Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu
Segala macam bentuk ajaran dalam Islam merupakan bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah ibadah, yang merupakan realisasi dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta adalah Allah, konsekuensinya ia harus beibadah hanya kepada Allah.[13]

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Jika dilihat dari segi munculnya, ada lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia atau agama kebudayaan. Kedua aspek tujuannya, yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci. Keempat aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke genarasi lain. Kelima aspek sumbernya , yaitu Kitab Suci.
2.    Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi nilai tolong menolong, nasehat menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan egaliter (kesamaan derajat) tenggang rasa dan kebersamaan.
3.    Islam sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an diantaranya dalam surah al-Baqarah ayat 131, surah Yunus ayat 72 dan surah al-Hajj ayat 78. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad SAW.

B.  Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini para pembaca dapat mengambil hikmah yang sebesar-besarnya dan menjadikan modal untuk lebih bertoleransi dengan pendapat orang lain. Dan apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam makalah ini, penulis menerima atas masukan dan kritikan untuk dijadikan bahan evaluasi yang lebih baik ke depannya.



























[1] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 16
[2] M Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm 16 .
[3] Ibid, hlm 13-14
[4] Ibid, hlm 15
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 89.
[6] Ibid
[7] Aswadi, “Islam Sebagai Hasil Hubungan Sosial”, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 2, No.1, 2012, hlm 122
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 90
[9] Aswadi, “Islam Sebagai Hasil Hubungan Sosial”, hlm 123
[10] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm 55
[11] Ibid, hlm 40-41
[12] Didiek Ahmad Supadie, Pengantar studi Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 44
[13] Ibid, hlm 44-49