BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Setiap Manusia
memiliki metamorfosa kehidupan mulai dari proses kelahiran, proses perjalanan
hidup dan peristiwa kematian. Hal ini tentu akan memberikan akibat hukum pada lingkungan
hidup manusia, terutama pada orang-orang terdekat baik dekat dalam artian nasab
maupun sebab. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi setiap
manusia serta timbulnya hubungan hukum antar mereka (anak, orang tua,kerabat
dan masyarakat) di lingkungannya. Begitu pula dengan peristiwa kematian yang
juga akan membawa akibat hukum yaitu tentang tatacara kelanjutan pengurusan hak
dan kewajiban seseorang yang telah meninggal terhadap ahli warisnya.
Dalam suatu
kehidupan yang saat ini telah berkembang menjadi sedemikian kompleks, tak dapat
dipungkiri akan timbulnya berbagai persoalan tentang banyak hal diantaranya
persoalan kewarisan, yang dalam hal ini berkaitan dengan keadilan, persamaan
hak dimata hukum juga harta yang sering kali menimbulkan akibat-akibat yang
tidak menguntungkan bagi salah satu ahli warisnya. Maka dari itu,ilmu kewarisan
memiliki peranan yang sangat penting untuk dipelajari dan diamalkan, karena hal
ini sangat erat kaitannya dengan lingkup kehidupan manusia khususnya dalam
aspek kekeluargaan.
Hukum kewarisan
sebagai suatu pernyataan tekstual yang tercantum dalam Al-Quran merupakan sutu
hal yang absolute dan universal bagi setiap muslim untuk diwujudkan
dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal, hukum kewarisan
mengandung nilai-nilai abadi dan unsur yang berguna untuk senantiasa siap
mengatasi segala kesulitan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Al-Quran
mengajarkan hukum jauh lebih luas dari apa yang diartikan oleh ilmu hukum,
sebab hukum menurut Al-Quran Tidak hanya diartikan sebagai ketentuan-ketentuan
yang mengatur hidup bermasyarakat, tetapi juga mengatur segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta raya ini.[1]
Al-Quran
merupakan acuan utama hukum tentang penentuan pembagian warisan. Dalam syariat
Islam pada umumnya, tidak dijumpai hukum-hukum yang diuraikan oleh Al-Quran
secara jelas dan terperinci sebagaimana hukum waris. Dalam Al-Quran telah juga
dijelaskan dan diperinci secara detail tentang tata cara pembagian harta
warisan juga hukum-hukum yang berkaitan dengan kewarisan tanpa perlu mengabaikan hak seorangpun.Begitupun tentang
pembagian masing-masing ahli waris baik
itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya di dalam Al-Quran surat an-Nisa’ ayat 11, sebagaimana
firmannya:
ÞÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273],
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[2]
Pada dasarnya
jika kita cermati secara seksama ayat diatas tidak hanya membahahas
tentang ukuran-ukuran juga urutan
pembagian harta waris terhadap ahli warisnya, melainkan juga menyangkut kepada
kewajiban ahli waris yang merupakan hak pewaris yang perlu dan tentunya
sangatlah urgen untuk dilakasanakan sebelum warisan itu di bagikan, diantaranya
adalah pelunasan hutang dan pemenuhan wasiat.[3]
Bila dicermati
susunan kalimat dalam Al-Quran seperti yang disebutkan diatas maka wasiat harus
dibayar terlebih dahulu dari hutang-hutang orang yang meninggal dunia. Akan
tetapi, dalam pelaksanaannya hutanglah yang harus didahulukan sehingga jika
harta yang ditinggalkan hanya cukup untuk membayar hutangnya maka si ahli waris
tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan.[4]
Dalam hal ini,mufassir juga cendrung mendahulukan implementasi hutang
dari pada wasiat. Pertimbangan mereka didasarkan atas asumsi umum bahwa wasiat
dibagikan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan hutang dapat berakibat lain bagi
ahli waris. Rasyid Ridho menambahkan bahwa hutang di dahulukan dari pada wasiat
karena hutang mengandung dua unsur perjanjian dua pihak, sedangkan wasiat hanya
satu pihak yakni kerelaan pihak yang memberi wasiat.[5]
Hikmah
mendahulukan pembayaran hutang dibandingkan wasiat adalah karena hutang wajib
dibayar. Jika tidak dibayar maka di akhirat kelak Allah akan menagihnya. Orang
yang memberi hutangpun akan senantiasa menuntut, meskipun orang tuanya telah
meninggal dunia, maka ahli warisnyalah yang akan di tagih sehingga ia membayar.
Dapat disimpulkan bahwa pembayaran hutang harus terlebih dulu ditunaikan
ketimbang dengan wasiat sebab hutang merupakan kewajiban untuk dilunasi serta
selalu akan berkaitan dengan pihak yang menghutangi.
Meskipun
demikian, perlu ditekankan pula bahwa ahli waris tidak punya kewajiban hukum
untuk membayar hutang-hutang orang yang meninggal dunia. Ahli waris hanya
bertanggung jawab hukum sepanjang harta warisan itu cukup untuk melunasi
hutang-hutang orang yang meninggal dunia.[6]Maksudnya
bahwa hutang-hutang itu tidak boleh mendatangkan kemudharatan terhadap ahli
warisnya. Namun apabila dengan pembayaran hutang itu tidak membawa
kemudharatan atau kerugian bagi para
ahli waris maka itu diperbolehkan dan dihitung sebagai bentuk ketaatan seorang
anak terhadap orang tuanya. Hal ini juga tercantum jelas dalam kompilasi hukum
Islam pasal 175 No. 2 sebagai berikut:Tanggung jawab Ahli waris terhadap
hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau harta
peninggalannya.[7]
Berbeda dengan
fenomena yang terjadi di Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan,
tentang praktik Penyelesaian sengketa hutang pewaris oleh ahli waris. Praktik
ini sudah meluas pada seluruh lapisan masyarakat Dusun Pakong laok. Jika
dilihat diri sisi keagamaannya entah itu dalam bidang ubudiyah maupun amaliyah
masyarakat pakong cenderung agamis. Namun, untuk masalah pemahahaman tentang
hukum Islam seperti halnya dalam bidang kewarisan masyarakat di Desa Pakong
masih mempunyai pemahaman yang minim, dalam artian tidak menyuluruh dan
mendetail. Contoh dalam hal penyelesaian hutang orang yang sudah meninggal,
masyarakat memahami bahwa apabila ada seseorang yang meninggal maka pembayaran
hutang si pewaris itu dibebankan kepada ahli waris diikuti dengan pemahaman
bahwa harta yang dibayarkan haruslah juga menggunakan harta si ahli waris.
Masyarakat di
desa ini secara umum meyakini bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka
kewajiban menunaikan atau membayarkan hutang-hutang semasa hidupnya dibebankan
sepenuhnya kepada ahli warisnya. Begitupun dengan harta yang digunakan untuk
membayar hutang tersebut berasal dari harta ahli waris, hal ini timbul
berdasarkan kesalah pahaman mereka mengenai ucapan tokoh masyarakat yang
apabila ada seseorang yang meninggal berucap “kepada seluruh masyarakat apabila
si mayat mempunyai hutang makadi mohon untuk di minta kepada ahli warisnya”.
Contoh hal ini terdapat pada sebuah kasus yang terjadi di Desa Pakong pada
tahun 2015 yaitu pada suatu ketika ada seorang yang meninggal dunia
meninggalkan hutang yang begitu banyak, meliputi hutang kepada manusia) maupun
kepada Allah (Shalat dan Puasa) sementara itu harta yang ditinggalkan tidak
mampu mencukupi pembayaran hutang-hutang tersebut. karna merasa punya kewajiban
dan tanggung jawab untuk membayarnya karana takut ruh suaminya tertahan oleh
hutangnya maka sang Istripun sebagai ahli warisnya berusaha untuk untuk
melunasinya dengan cara mencari pinjaman untuk melunasi hutang suaminya
tersebut. Tentunya hal ini sangatlah bertolak belakang dengan apa yang
dipaparkan di atas bahwa seharusnya pembayaran hutang tersebut tidak membawa
kemudhorotan (kesempitan) bagi si ahli waris serta hal ini tidak selaras dengan
apa yang di jelskan oleh syariah.
Maka dari itu,
peneliti sangat tertarik untuk mngetahui secara lebih dalam dan detail tentang
realita sosial yang menurut saya terdapat perbedaan dengan ketentuan syariah di
Desa Pakong terkait dengan penyelesaian hutang pewaris oleh ahli waris yaitu
dalam hal pelunasannya yang seharusnya tidak boleh mendatangkan kemudharatan
terhadap ahli waris. Sehingga dengan demikian, judul dalam penelitian ini ialah
“Praktik Penyelesaian Hutang Pewaris Oleh Ahli Waris Di Desa Pakong
Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan”
B.
Fokus Penelitian
Dari konteks penelitian
diatas, penulis dapat menyajikan beberapa fokus penelitian dengan tujuan agar
dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis benar-benar mendapatkan data sesuai
dengan apa yang di harapkan fokus penelitian di bawah ini, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Bagaimana Cara Penyelesaian Hutang Pewaris Oleh Ahli Waris Di Desa
Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan?
2.
Apa Saja faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Praktik
Penyelesaian Hutang Pewaris Oleh Ahli Waris Di Desa Pakong Kecamatan Pakong
Kabupaten Pamekasan?
3.
Bagimana Pandangan Hukum Islam Mengenai Penyelesaian Hutang Pewaris
Oleh Ahli Warisdi di Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan?.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari
penelitian yang akan di teliti oleh peneliti merupakan sesuatu yang ingin
dicapai dalam sebuah kegiatan penelitian, berdasarkan uraian diatas, maka
tujuannya adalah:
1.
Untuk Mengetahui Cara Penyelesaian Sengketa Hutang Pewaris Oleh
Ahli Waris di Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
Penyelesaian Sengketa Hutang Pewaris Oleh Ahli WarisDi Desa Pakong Kecamatan
Pakong Kabupaten Pamekasan
3.
Untuk mengetahui Pandangan Hukum Islam Mengenai Penyelesaian
Sengketa Hutang Pewaris Oleh Ahli Warisdi Desa Pakong Kecamatan Pakong
Kabupaten Pamekasan.
D.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan
kajian ini, dapat dijelaskan dengan spesifikasi sebagai berikut:
1.
Bagi Para Anggota Pemustaka STAIN Pamekasan
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menembah referensi keilmuan
untuk kemudian dijadikan salah satu sumber kajian (bahan pustaka) terutama
dalam hal pengembngan wawasan keilmuan.
2.
Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu pengalaman yang akan
memperluas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikiran. Hal ini khususnya
tentang hal yang menyangkut dengan penelitian ini sehingga nantinya dapat
menerapkan ilmu yang di dapat baik selama
melakukan proses penelitian ataupun selama perkuliahan.
3.
Bagi Mahasiswa Syari’ah
Hasil penelitian ini, diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan,
yang dapat memperluas cakrawala pemikiran dan wawasan pengetahuan mahasiswa
Syariah
4.
Bagi Masyarakat Pakong
Sebagai Bahan informasi tentang Praktik Penyelesaian hutang pewaris
oleh Ahli waris di Desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.
E.
Definisi Istilah
Ada beberapa
istilah yang harus didefinisikan dalam penelitian ini, agar terbangun persepsi
yang sejalan dengan penulis, yaitu:
1.
Hukum Islam adalah seperangkat aturan yang ditetapkan secara
langsung dan tegas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengtur
hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya, dan manusia
dengan alam semesta.[8]
2.
Hutang Pewaris: Pinjaman yang dilakukan oleh Pemilik harta warisan
semasa hidupnya dan ia mati sebelum melunasinya.
3.
Ahli Waris: orang yang berhak menerima harta warisan
Dari penjelasan
definisi Istilah diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan
penyelesain suatu pinjaman yang pernah dilakukan oleh orang yang sudah
meninggal dan belum dilunasinya yang kemudian berpindah hak penyelesaiannya
terhadap orang yang menerima warisan di tinjau dari hukum Islam.
[1]Idris Djakfar
dan Taufik Yahya, Kompilasi Kewarisan Hukum Islam (Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1995), hlm. 1-2
[2]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[3]Ali parman, Kewarisan
dalam Al-Quran: suatu kajian hukum denganpendekatan tafsir tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995), hlm. 96
[4]M. Qurish
Shihab, Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2012), hlm. 345
[6]Idris Ramulyo, Perbandingan
Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hlm. 114
[8] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Depok: Gema Insani, 2006), hlm.87