Thursday 20 September 2018

Pengertian Waris


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.      Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “warisa” (ورث), “yarisu” ( يرث), “wirsan” (ورثا), isim failnya “warisun” (وارث)yang artinya ahli waris.[1] Sedangkan maknanya waris menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.
Dalam literatur fiqih Islam, kewarisan ( al-muwarist kata tunggalnya al-mirast) lazim juga disebut dengan faraid yang merupakan jamak dari kata fard yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahliwaris.
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[2] Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).[3]
Sedangkan makna al-mirast  menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.[4]
Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Di Indonesia penyebutan fiqih al-mawaris (ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan islam, hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqih al-mawaris menunjukkan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki konotasi umum, bisa mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata.[5]
Kewajiban Ahli Waris sebelum Warisan itu dibagikan. Menurut hukum kewarisan Islam, hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan pewaris diurutkan dengan tertib sebagai berikut:
a)      Setiap Hak Yang berhubungan Langsung Dengan harta yang Ditinggalkan Pewaris.
Misalnya harta warisnya berupa sapi 40 Ekor lebih, maka kita tanyakan kepada ahli warisnya apakah sapi-sapi tersebut sudah dikeluarkan zakatnya?, jika belum maka harus terlebih dahulu dikeluarkan zakatnya, karena hak itu berhubungan lansung dengan harta waris yang berupa sapi. Begitu pula harta lainnya.
Hak tersebut ditempatkan diposisi yang pertama, karena hak tersebut berkaitan langsung dengan harta waris, dengan kata lain diantara harta waris ada barang yang berkaitan hak tertentu dengan orang lain, maka orang lain tersebut adalah orang yang paling berhak dengan barang itu sebelum lainnya walaupun ahli waris karena haknya berkaitan langsung dengan barang peninggalan pewaris tersebut.
b)   Biaya Penguburan Si pewaris
Sebelum harta waris dibagikan maka terlebih dahulu harus disisihkan sejumlah uang yang cukup untuk biaya penguburan si pewaris dengan sewajarnya. Maksudnya dengan melihat keadaan si pewaris, jika dia orang kaya maka disdiakan biaya penguburan layaknya orang kaya begitupun sebaliknya.
Adapun yang dimaksud dengan biaya penguburan di sini mencakup hal-hal di bawah ini:
1.      Biaya untuk membeli kain kafan, kapas, minyak untuk pewaris dan lain-lain.
2.      Biaya untuk upah orang yang memandikannya jika tidak dilakukan oleh ahli waris.
3.      Biaya untuk tanah perkuburan, upah penggalinya dan lain-lain.
Dan perlu di ingat bahwa membuat tahlil untuk si pewaris bukan termasuk dari biaya penguburan, jadi tidak boleh diambil dari harta warisan kecuali jika ahli waris sepakat untuk itu tanpa mengurangi  bagian ahli waris yang mahjur ‘alaih jika ada, seperti anak kecil, orang gila atau seorang yang idiot, itupun jika hartanya bisa mencukupi hak-hak yang lain.
c)    Hutang si pewaris
Hak ketiga yang berkaitan dengan harta waris adalah hutang. Berbicara tentang hutang piutang pastilah yang terbesit dalam pikiran kita adalah sesuatu yang berkaitan dengan barang dan uang yang di pinjam dengan dibebani kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah diterima dengan yang sama.[6] Maka dari itu dapat di tarik kesimpulan bahwa hutang adalah memberikan sesuatu pinjaman kepada orang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.
Secara garis besar Hutang orang yang meninggal itu dibagi menjadi dua macam yaitu dainulla (hutang kepda Allah) dan Dainul Ibad (hutang terhadap sesama manusia). Hutang terhadap sesama manusia dibagi pula menjadi dua yakni hutang dimasa sehat dan hutang di masa sakit. Pembayaran hutang dimasa sehat harus lebih di dahulukan pembayarannya dari pada hutang di masa sakit.[7]
Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwasanya hutang terhadap Allah SWT, seperti hutang haji, zakat yang belum di bayar hutang kafarat (denda) dari pada nazar dan lain sebagainya, harus didahulukan pembayarannya dari pada membayar hutang kepada sesama manusia. misalnya uang yang ditinggalkan Rp. 20.000.000 padahal dia berhutang kepada Allah berupa kewajiban haji yang tidak dilakukan dimasa hidupnya dan dia juga berhutangkepada manusia sejumlah uang yang ditinggalkan tersebut, padahal jika si ahli waris melaksanakan haji badal ( haji untuk menggantikan haji si pewaris) misalnya biayanya juga sebesar 20.000.000 maka jika terjadi hal tersebut sejumlah uang Rp. 20.000.000  peninggalan pewaris tersebut digunakan untuk haji badal bukan dibayarkan untuk hutangnya dia, dan jika setelah dibayarkan untuk hak Allah ternyata ada sisa maka diberikan kepada orang yang mempunyai hutang dengan cara persentase.
Hutang haruslah didahulukan sebelum dibagikannya hak ke empat yaitu wasiat karna hutang wajib dilunasi meski yang berhutang sudah meninggal dunia. Lain halnya wasiat yang umumnya hukumnya sunnah dilakukan oleh pewaris. Jika si pewaris tidak mampu untuk membayar hutang-hutangnya maka bukan kewajiban ahli waris untuk membayarkannya akan tetapi termasuk kebaktian seoran anak kepada orang tuanya jika melunasi hutang orang tuanya. Dan tidak boleh atas orang yang punya piutang untuk menagih kepada ahli waris, karena bukan kewajiban mereka membayarkan hutang si pewaris.[8]
d)   Wasiat si pewaris
Wasiat si pewaris berkaitan dengan harta yang ditinggalkannya karena itu adalah hak si pewarisuntuk bewasiat dengan hartanya. Dan tidak boleh untuk dilanggaratau tidak dikeluarkan asalkan memenuhi dua syarat di bawah ini.
Syarat yang pertama: wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta waris, dan jika lebih maka selebihnya tergantung dari kesepakatan ahli waris, jika mereka menyetujuinya maka sah hukumnya, jika tidak tidak disetujui maka sah yang 1/3 saja, dan selebihnya tidak sah  jika ada yang menyetujuinya dan adapula yang tidak menyetujuinya maka yang menyetujuinya diambil haknya dari harta waris untuk melengkapi wasiat si pewaris sedangkan yang tidak maka tidak dikurangi sepeserpun dari harta warisan yang diperolehnya, begitupun dari bagian ahli waris yang mahjur alaih.
Syarat yang kedua: Wasiat tidak diperuntukkan untuk salah satu ahli waris dan jika wasiat tersebut untuk salah satu dari ahli waris atau sebagian dari mereka maka hukumnya sama seperti syarat yang pertama yaitu keabsahannya tergantung kesepakatan semua ahli waris.[9]
B.       Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
1.      Al-Qur’an
Ketentuan-ketentuan tentang ilmu waris, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Hal ini dapat ditemui dalam surah An-nisa’ ayat 59 yaitu:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[10]

Hal ini dapat ditemukan pula dalam surat An-nisa’ ayat 7
ÉÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.[11]

2.      Hadis
عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ رَضِيَ الله عَنْهُمَاعَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ اَلْحِقُواالفَرَائِضُ بِأَهْلِهَافَمَابَقِيَ فهو لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Dari ibn Abbas ra. dari nabi saw. Beliau bersabda: Serahkanlah bagian-bagian harta peninggalan itu kepada orang-orang yang berhak. Kemudian sisanya adalah untuk orang laki-laki yang terdekat (hubungan nasab kepada orang yang meninggal dunia.[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ     
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW yang berkata: “ Saya adalah lebih utama dari seseorang muslim dari diri mereka sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.[13]

3.   Ahli waris Dan Harta Peninggalan (Tirkah)
Tarikah (Tirkah) adalah bahasa arab yang artinya harta peninggalan. Harta peninggalan memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1.    Menurut kalangan fuqaha dan hanafiah
Harta peninggalan adalah harta benda yang ditinggalkan si mati yang tidak mempunyai hubungan dengan orang lain (dengan pihak ketiga).
2.    Menurut Ibn Hazm (Ahli Hukum Islam)
Harta peninggalan yang harus di pusakakan itu ialah berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat dipusakakan, kecuali kalau hak-hak tersebut mengikuti kepada bendanya, seperti hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan diatas tanah.
3.    Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah
Menurut Ulama-ulama ini yang dimaksud harta peninggalan itu adalah segala hal yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda, maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.[14]
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harta peninggalan itu terdiri dari: Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, Hak-hak kebendaan, Hak-hak yang bukan kebendaan, benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain seperti benda-benda yang sedang digadaikan oleh simati, barang-barang yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hidup yang harganya sudah di bayar tetapi barangnya belum diterima.
Para ulama sepakat bahwa tirkah (harta peninggalan pewaris), beralih kepemilikannya kepada Ahli waris sejak adanya kematian pewaris.[15] Sepanjang tidak ada hutang atau wasiat, mereka juga sepakat tentng beralihnya kepemilikan atas kelebihan hutang dan wasiat kepada ahli waris. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah bila jumlah hutang dan wasiat sama besarnya dengan harta peninggalan: apakah ia pindah kepada ahli waris ataukah tidak.
Hanafi mengatakan bagian yang nilainya sama dengan jumlah hutang, tidak dimasukkan ke dalam milik ahli waris. Berdasar itu, apabila harta peninggalan habis karena hutang, maka ahli waris tidak menerima apa-apa. Akan tetapi mereka berhak meminta pembebasan dari pemilik piutang dari hutang yang lebih besar dari jumlah tirkah. Sedangkan bila harta tidak peninggalan tidahk habis oleh hutang maka para ahli waris menerima sisanya yang tidak terkena hutang itu.[16]
Syafi’i dan mayoritas ulama hambali mengatakan: pemilikan ahli waris masih tetap dalam tirkah, apakah hutang itu mencakup semua tirkah, dan sebagai penjamin atasnya.
Kalimat Immamiyah terdapat perbedaan pendapat, sebagian besar ulama berpendapat bahwa tirkah beralih kepada ahli waris baik dalam hal yang habis oleh hutang maupun tidak, dan bahwasanya, dari satu dan lain hal hutang tersebut terkait dengan tirkah, apakah itu dalam bentuk hak gadai, hak pidana yang berhubungan dengan seorang budak pelaku tindak pidana, maupun dalam bentuk yang berbeda dengan kedua bentuk diatas, bagaimanapun hutang tidak menghalangi adanya hak kewarisan, namun menghalangi penggunaan harta yang jumlahnyasama dengan hutang si pewaris. Pendapat ini mirip dengan pendapat Syafi’i.[17]
Dampak perbedaan pendapat di atas nampak jelas pada hasil yang muncul antara saat pembayaran hutang. Berdasar pendapat Syafi’i Hambali, dan mayoritas Immamiyah, hasil tersebut menjadi hak ahli waris, yang bisa mereka gunakan tanpa dihalangi oleh pemilik piutang atau orang lain, sedangkan bila mengikuti pendapat Hanafi pertumbuhan (pertambahan) tersebut merupakan bagian dari tirkah dalam hal adanya sangku paut dengan hutang piutang.


4.      Rukun-rukun waris
Rukun waris itu ada tiga, yaitu :[18]
1.    Muwarrits, adalah orang yang mewariskan dan meninggal dunia, baik meninggal dunia secara hakiki atau karna keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
2.    Maurus adalah harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah di kurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat, dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiyat. Harta pusaka juga di sebut mirots, irts, turots, dan tarikah.
3.    Warist adalah orang yang akan mewarisi, yang mempunyai hubungan dengan si muwarrits, baik hubungan itu karna hubungan kekeluargaan atau perkawinan.

5.      Syarat-syarat mendapat warisan
Waris mewarisi itu menyangkut harta benda. Dan sebagaimana kita ketahui, harta benda itu mempunyai pemilik. Jadi terjadi kepemilikan hak yang penuh. Sekarang dengan jalan waris-mewarisi itu akan terjadi peraliha, perpindahan hak pemilikan atau hak milik. Oleh karena itu untuk terjadi waris-mewarisi ini, menurut hukum Islam terdapat syarat-syarat sebagai berikut:



1.      Matinya muwarits, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati secara hakiki.
2.      Hidupnya waris setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup.
3.      Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.[19]
6.    Pelunasan hutang Pewaris
Para fuqaha’ bersepakat bahwa penyelesaian wasiat atau hutang-hutang harus dibayar terlebih dahulu sebelum harta peninggalan itu dibagikan karna itulah hak-hak pewaris yang harus dituanikan. Namun demikian, pembayaran wasiat maupun hutang tidak boleh menimbulkan kemudharatan (kesempitan) kepada ahli waris. Maksudnya bahwa hutang-hutang orang yang meninggal dunia dibayarkan oleh ahli waris sepanjang harta warisan itu mencukupi. Apabila harta warisan itu tidak mencukupi tidak ada kewajiban hukum ahli waris untuk membayar hutang tersebut. Kecuali apabila dengan pembayaran hutang itu tidak memberi kemudharatan bagi para ahli waris.
Perbedaan ulama terjadi ketika memhami surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 terutama berkaitan dengan pemenuhan hutang dan wasiat. Dalam teks surat an-Nisa’
.`ÏiB...... Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.[20]

Apabila dipelajari susunan kalimat dalam ayat diatas, maka wasiat harus terlebih dahulu dibayar dari hutang-hutang orang meninggal dunia. Akan tetapi berdasarkan hadis Rasulullah yang diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib ra berkata:
حَدَّ ثَنَا بُنْدَارٌ, حَدَّ ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُونَ, اَخْبَرْ نَا سُفْيَا نُ, عَنْ اَبِى اِسْحَا قَ, عَنِ الحَا رِثِ, عَنْ عَلِي اَنّهُ قال: اإنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْاَيَةِ (مِنْ بَعْدِ وَ صِيَّةٍ تُوْصُوْ نَ بِهِ اَوْ دَيْنٍ) وَاِنَّ رَسُولَاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ قَضَ بِا الدَّ يْنِ قَبْلَ الْوَ صِيَّةِ
Bundar menyampaikan kepada kami dari yazid bin harun dari  sufyan yang mengabarkan dari abu ishaq dari haris dari ali Bahwa Rasulullah bersabda “Kalian membaca: “sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah di bayar hutang-hutangmu”. (An-Nisa’: 12), Apakah kalian tahu maksudnya? Rasulullah telah memutuskan bahwa seorang (ahli waris) harus melunasi hutang si mayit sebelum menunaikan wasiatnya.[21]

Dari hadits di atas terdapat beberapa bagian yang dapat diklasifikasikan. Diantaranya, hadits diatas menerangkan tentang ayat yang berisi tentang ketentuan pelunasan hutang dan pemenuhan wasiat. Keterangan yang disebutkan dalam ayat diatas sangat jelas bahwa penyebutan wasiat didahulukan dari pada pelunasan hutang. Tetapi dari penjelasan Ali di atas menyebutkan bahwa pelunasan hutang lebih diutamakan daripada wasiat.
Selanjutnya beliau mengatakan menurut hadis Ali bin Abi Thalib ra. berkata bahwa Rasulullah telah menetapkan wasiat baru boleh dikeluarkan setelah semua hutang telah dibayarkan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dari Misykat Al-Masabih). Setelah itu sisanya berikanlah kepada zawil faraidh, zawil qarabat atau ashabah. Dalam masalah ini telah sepakat para ahli hadist. Ahli waris tidak ada kewajiban hukum untuk membayar hutang-hutang orang yang sudah meninggal dunia. Ahli waris bertanggung jawab secara hukum sepanjang warisan itu cukup untuk melunasi hutang-hutang orang yang meninggal dunia.[22]
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan “apabila pewaris atau orang yang meninggal tidak meninggalkan warisan, maka ahli waris tidak berkewajiban apapun karana membayar hutang pewaris itu tidak wajib bagi ahli waris saat si pewaris masih hidup begitu juga tidak wajib saat sudah mati”
Namun dalam Penyelesaian hutang Pewaris terhadap Allah SWT masih terdapat perbedaan antar Ulama Madzhab yaitu menurut imam hanafi Ahli waris tidak wajib menunaikannya sedangkan jumhur Ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta itu diwariskan pewaris dibagikan dan Imam Syafi’i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba sedangkan madzhab maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib di tunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka wajib menunaikan utang piutang pewaris terhadap sesama manusia.[23]
Menurut Imam Syafii jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan memiliki hutang maka hutang tersebut akan dibawa sampai ajalnya, sehingga tidak menjadikan hutang terebut hilang (berhenti/terlunasi) setelah meninggalnya orang tersebut, dalam hal ini juga dijelaskan bahwa beliau menolak bahwa hutang itu terlunasi semenjak meniinggalnya pewaris tersebut serta menolak pendapat bahwa ahli waris menanggung kelebihan hutang orang tuanya (pewaris).[24] Artinya dalam hal ini pelunasan hutang pewaris hanya sebatas pada harta yang di tinggalkannya. Landasan yang dijadikan dasar dalam tetapnya tanggungan pelunasan hutang itu akan ditanggung oleh si mayit sampai dia melunasinya sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi:
حَدَّ ثَنَا اَبُوا مَرْوَا نُ الْعُثْمَا نِيُّ :  حَدَّ ثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ اَ بِيْهِ, عَنْ عُمَرَبْنِ اَبِى سَلَمَةَ, عَنْ اَبِيْهِ, عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (( نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَي عَنْهُ)).                             
Abu Marwan Al-Ustmani menyampaikan kepada kami dari Ibrohim bin Sa’ad dari ayahnya dari Umar bin Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Ruh orang mukmin itu tertahan oleh hutangnya sampai dibayarkan untuknya.”[25]
Dari hadis ini dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hutang itu wajib dilunasi karna meskipun sudah meninggal tetap saja hutang itu mengikat, Namun, kewajiban menanggung hutang orang yang sudah meninggal bukanlah timbul akibat perintah agama melainkan karna disebabkan kesadaran meraka atas kekhawatiran masyarakat bahwa mayit itu akan terbelenggu jiwanya karna hutang yang belum dilunasinyanya sehingga atas dasar rasa belas kasih sayang terhadap orang tua yang sudah meninggal maka tumbuhlah sebuah kewajiban untuk melunasi hutang orangtuanya meski pewaris tidak meninggalkan harta sama sekali..
Dalam adat istiadat setempat desa Pakong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan, kedudukan dan kewajiban serta hak anak berkaitan dengan kewajiban orang tua yang mengurus atau memelihara anaknya. Maksudnya, besar kewajiban anak dalam memberikan hak orang tua itu adalah anak yang lebih banyak mendapatkan pemeliharaan atau pengasuhan dari orang tuanya. Sehingga kebanyakan dari masyarakat desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan menganggap anak yang semasa hidupnya tinggal bersama mayit adalah yang lebih berhak untuk mendapatkan harta warisan serta tanggungan hutang yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang lain. Adab anak dalam hukum adat desa ini lebih pada hukum tak tertulis dan sudah ada serta bertahan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun-temurun tanpa diketahui sumber awal atau pembuat peraturan tersebut.
Disebutkan dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Dr. H. Hilman Hadikusuma, bahwa mengenai kedudukan anak terhadap orang tuanya tidak ada ketentuan pasti dalam hukum islam yang menjelaskan secara spsesifik tentang tugas dan kewajiban serta adab yang harus dilakukan oleh anak tersebut.[26] akan tetapi, al-Qur’an memberikan penjelasan secara umum dengan istilah birr walidain yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Dalam ayat diatas terdapat perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Dalam kitab tafsir ath-Thabari disebutkan spesifikasi dari kalimat وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانَا   antara lain berbuat sesuatu yang sudah diketahui kebaikannya kepada orang tua, dan bertutur kata yang baik, dan menjaga masa senja mereka dengan penuh kasih sayang, dan mendoakan mereka dengan baik.[27]
Ayat selanjutnya yang membahas tentang kewajiban anak kepada orang tuanya terdapat dalam surat Al isra’ ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"(24)
Berbuat baik kepada orang tuanya ini pada saat orang tua tidak mampu lagi membiayai hidupnya sendiri, maka anaknyalah yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan kewajiban tersebut menurut imam Syafi’i, Hanafi dan Maliki tidak akan terputus walaupun orang tua mereka seorang kafir.[28]
Suatu ketika al-Hasan ditanyakan tentang apa makna dari birr walidain, beliau menanggapinya dengan pendapatnya:
أَنْ تَبْذُلَ لَهُمَا مَا مَلَكْتَ، وَأَنْ تُطِيعَهُمَا فِي مَا أَمَرَاكَ بِهِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ مَعْصِيَةً
Birr walidain adalah mengorbankan semua yang kamu miliki dan taat atas segala perintahnya selama bukan kemaksiatan.[29]
Dalam pendapat di atas sangatlah jelas bahwa dengan mengorbankan semua yang dimiliki anak kepada orang taunya merupakan bagian dari berbaik hati kepada orang tua yang sangat dianjurkan dalam islam sehingga memberikan sebagian harta untuk kepentingan atau kebutuhan orang tua termasuk juga birr walidain. Selain itu, juga disebutkan tentang kepatuhan kepada perintah orang tua, sehingga jika sebelum meninggal orang tua menyampaikan kepada anaknya untuk membayarkan hutangnya, maka melaksanakannya bukan termasuk wasiat akan tetapi termasuk perintah yang mena’atinya juga tergolong sebagai birr walidain.
Adab anak kepada orang tua ini jika dikaitkan pada tindakan atau kebiasaan masyarakat desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan, terlihat bahwa terdapat unsur yang disebutkan sebagai birr walidain dengan membayarkan hutang mereka ketika mereka sudah tidak lagi mampu untuk membayar hutangnya bahkan dibawa sampai akhir hayatnya. Dorongan untuk membayarkan hutang mayit oleh ahli warisnya atau anak cucunya merupakan implementasi dari berbuat ma’ruf kepada keduanya yaitu dengan membayarkan hutang mayit maka secara tidak langsung ahli waris, telah menyelamatkan jiwa mayit dari belenggu hutang yang akan dibawanya sampai hari pembalasan kelak. Selain itu, kewajiban untuk membayar hutang ini dikaitkan pada tanggungan menafkahi semua kebutuhan orang tua dengan ,menafkahi mereka, nafkah ini dapat pula tanggungan pelunasan hutang. Sehingga dorongan-dorongan tersebut merupakan bagian dari adab anak kepada orang tuanya.
Selain perintah untuk berbuat baik kepada orang tua, terdapat pula beberapa keterangan dari hadits nabi yang menjelaskan tentang keutamaan berbuat baik kepada orang tua diantaranya hadits nabi SAW. yang menjelaskan keutamaan berbaik hati kepada orang tua dijadikan sebagai amalan yang paling dicintai Allah setelah menjaga shalat di awal waktu.
حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ المَلِكِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ الوَلِيدُ بْنُ العَيْزَارِ: أَخْبَرَنِي قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ، يَقُولُ: حَدَّثَنَا صَاحِبُ - هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ - عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا»، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Diceritakan dari Abu al-Walid Hisyam bin Abdul Malik, dia berkata: Syu’bah menceritakan bahwa Walid bin al-‘Aizar berkata: saya mendengar Abu Amr al-Syaibani berkata bahwa Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad “amalan apa yang paling dicintai Allah ?” Nabi menjawab: shalat pada waktunya. Dia bertanya lagi: lalu apa lagi ? Nabi Menjawab: kemudian berbuat baik kepada kedua orang tua. Dia bertanya: lalu apa lagi ?. Nabi menjawab: jihad di jalan Allah. [30]
Dalam hadtis ini sangatlah jelas bahw kedudukan dari berbuat baik kepada orang tua sangatlah penting sampai disebutkan sebelum jihad fi sabillillah. Sehingga keutamaan seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya sangatlah diutamakan karena bersarnya kasih sayang yang diberikan kedua orang tua baik yang berupa material seperti nafkah, pakaian, makanan dan lain sebagainya. Ataupun kasih sayang berupa inmaterial seperti perhatian, kasih sayang, cinta. Semua itu juga menjadi pertimbangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih untuk mengutamakan orang tua di atas semua titipan Allah di dunia. Bukan hanya kasih sayang yang diberikan tetapi juga pengorbanan yang diberikan seperti mengandung selama Sembilan bulan, menyusui sampai merawat anak sampai anak beranjak dewasa merupakan pengorbanan yang tidak bisa diukur dengan materi. Keutamaan ini oleh Allah dijanjikan banyak keutamaan seperti sebagai penebus dosa-dosa.
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ كَفَّارَةٌ لِلْكَبَائِرِ
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah penebus dosa-dosa besar.[31]
Dalam sebuah hadist yang berbunyi
حَدَّ ثَنَا الْمَكِّي اِبْنُ اِبْرَاهِيْمِ: حَدَّ ثَنَا يَزِيْدُ ابْنُ عُبَيْدٍ, عَنْ سَلَمَة الْاَ كْوَعِ رضي الله عنه قاَلَ: كُنَّا جُلُوْ سًا عِنْدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذْ أُ تِيَ بِجَنَا زَةِ فَقَالُوا: صَلَّى عَلَيْهَا, فَقَالَ: ((هَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قَالُوا:لَا, قَالَ: ((فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟)) قَالُو: لَا, فَصَلَّى عَلَيْهِ, ثُمَّ أُ تِيَ بِجَنَا زَةِ أُخْرَى فَقَالُوا: يَا رَسُوْلُ اللهُ, صَلَّى عَلَيْهَا, قَالَ: ((هَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قِيْلَ: نَعَمْ, قَالَ: : ((فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟)) قَالُو: ثَلَا ثَةَ دَ نَا نِيْرَ, فَصَلَّى عَلَيْهَا, ثُمَّ أُتِيَ بِا الثَّا لِثَةِ فَقَالُوا: صَلَّى عَلَيْهَا, قَالَ: ((هَلْ تَرَكَ شَيْئًصا؟)) قَالُوا: لَا, قَالَ: ((فَهَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قَالُوا: ثَلَا ثَةَ دَ نَا نِيْرَ, قَالَ: ((صَلُّوا عَلَى صَا حِبِكُمْ)) فَقَالُو اَبُو قَتَا دَةَ: صَلِّى عَلَيْهِ يَا رَ سُوْلَ اللهِ وَ عَلَيَّ دَيْنُهُ, فَصَلَّى عَلَيْهِ (انظر: 2295)                                                                                                                       
Al-Makki bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Yazid bin Abu Ubaid bahwa Salamah bin Al-akwa’ berkata: kami sedang duduk bersama Nabi Saw. Lalu, ada orang yang membawa jenazah kehadapan beliau. Mereka berkata: “shalatilah jenazah ini”, Beliau bertanya, “Apakah dia mempunyai hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Mereka menjawab, “Tidak.”Lalu beliaupun mensholati jenazah itu. Kemudian di datangkan jenazah lain kehadapan beliau. Merekapaun berkata,”wahai Rasulullah, shalatilah jenazah ini. Beliau bertanya, apakah dia mempunyai hutang?mereka menjawab”ya. Beliau bertanya ‘apakah dia meninggalkan sesuatu?’mereka menjawab ‘ya 3 dinar.’Beliaupun mensholati jenazah itu. Kemudian di datangkan jenazah ke tiga di hadapan beliau. Mereka berkata ‘Shalatilah jenazah ini.’Beliau bertanya ‘Apakah dia meninggalkan sesuatu?.’Mereka menjawab ‘Tidak’ Beliau bertanya ‘Apakah dia mempunyai hutang?.’Mereka menjawab ‘Ya 3 dinar.’Beliau berkata, shalatilah jenazah sahabat kalian. Abu qotadah berkata, ‘Shalatilah dia, wahai Rasulullah!. Aku akan menanggung hutangnya , beliaupun mensholati jenazah itu. (Lihat hadis no.2295).[32]
Dalam hadis ini di jelskan bahwa Rasulullah tidak mau mensholati mayit yang mempunyai hutang namun kemudian seorang sahabat mau menanggung hutang si mayit tersebut dari hadis ini dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pelunasan hutang orang yang sudah meninggal tersebut tidak hanya dapat ditanggung pelunasannya oleh ahli waris melainkan juga oleh orang lain, seperti halnya juga yang terdapat dalam kitab terjemah bukhori bahwa pembayaran hutang orang yang fakir akan ditanggung oleh negara atau orang-orang yang memiliki rasa empati untuk melunasi hutang orang tersebut.
Dalam ketentuan lain yang tercantum dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 175 No. 2 sebagai berikut: Tanggung jawab Ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau harta peninggalannya.[33] Jadi apabila harta peninggalan (Tirkah) tidak mencukupi untuk melunasi hutang tersebut maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apapun untuk melunasinya. Namun apabila ahli waris memiliki kelebihan harta dan bersedia untuk melunasi hutang-hutangnya pewaris maka itu diperbolehkan sepanjang tidak membawa kemodhorotan, seperti halnya masyarakat pakong yang terkadang akan tetap  berusaha melunasi hutang-hutang orang tuanya meskipun harta yang ditinggalkan oleh si mayit tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutang tersebut, hal ini umumnya di dasarkan pada suatu kehormatan kepda orang yang sudah meninggal dunia, serta keyakinan bahwa diharapkan pewaris dapat menghadap Allah dengan tenang tanpa sesuatu beban yang akan dapat memberatkannya.
Selain pendapat para fuqaha’, masalah pelunasan hutang orang yang sudah meninggal dunia dapat dilihat dari sudut pandang kaidah fiqh,  yaitu:
اَلضَّرَرُلَا يُزَالُ بِاالضَّرَرِ
Artinya: Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang lain.[34]
Dari kaidah ini dijelaskan bahwa tidak boleh menghilangkan satu kemudharatan jika sekiranya akan mendatangkan kemudhorotan yang lain jadi, dari penjelasan ini dapat di tarik kesimpulan bahwa ahli waris diperbolehkan bahkan dianjurkan jika ahli waris memang mempunyai kelebihan harta untuk membayarkan hutang pewaris tapi berbeda halnya jika ahli waris juga dalam keadaan kekurangna maka jika sekiranya akan memberikan kemudhorotan seperti halnya kemiskinan dan hal lain maka ahli waris boleh menghindar dari menanggung hutang pewaris tersebut, karna pada dasarnya ahli waris tidak punya tanggungan untuk melunasinya jika tirkah (harta peninggalan) tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutang tersebut.
1.        Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang warisan pernah dilakukan oleh Hendriyadi[35]dengan fokus kajian tentang “Praktik Hibah sebagai harta warisan di Desa poreh Kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep”. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah Alasan apakah yang mendasari masyarakat desa Poreh memiliki pemahaman bahwa hibah sebagai harta warisan, Bagaimana status hukum Hibah yang dijadikan sebagai warisan dalam perspektif hukum islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa poreh memahami dan mempraktekkan pemberian orang tua kepada anaknya adalah sebagai warisan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi perseteruan dikemudian hari ketika pewaris (orang tua) meninggal dunia.
Penyebab masyarakat mempraktekkan hibah sebagai harta warisan adalah karena masyarakat Desa Poreh memahami bahwa pemberian dari orang tua kepada anaknya adalah sebagai warisan. Problem yang muncul ketika praktek hibah dijadikan harta warisan Ialah pewaris kehilngan hartanya sebelum waktunya dan para ahli waris berebutan harta peninggalan dari orang tua karea pembagian hartanya tidak jelas, artinya si orang tua hanya menunjuk hartnya diberikan kepada anak-anaknya.
Namun, dilihat dari hukum Islam bahwasanya pembagian warisan itu sudah jelas dalam al-Quran. Pembagian wrisan dilakukan ketika si pewaris sudah meninggaldunia sehingga tidak akan pernah terjadi pembgian warisan sebelumpewarisnya itu meninggal dunia.
Dalam temuan penelian laindi skripsinya ulfatus Shalihah[36] yang berjudul “Pemahaman masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan tentang wasiat sebagai warisan ”
Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah Apa yang menjadi alasan sehingga masyarakat mempunyai pemahaman wasiat sebagai warisan dan bagaimana status hukum wasiat yang dijadikan warisan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan memiliki pemahaman yang keliru mengenai wasiat sebagai warisan, karena minimnya pengetahuan hukum Islam utamanya tentang wasiat dan warisan sehingga masyarakat Desa Tlanakan memiliki pemahaman yang keliru  mengenai wasiat yang dijadikan warisan dengan alasan, orang yang menerima wasiat tersebut dianggap termasuk ahli warisnya
Secara hukum Islam wasiat tidak dapat diperhitungkan menjadi harta warisan, karna harta warisan hanya diperuntukkan kepada ahli waris yaitu orang-orang yang memiliki hubungan dengan orang yang meninggal baik hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan. Staatus harta yang diberikan kepada orang yang menerima tidak dapat dikatakan sebagai warisan karena itu sudah jelas merupakan wasiat dari orang yang meninggal.di dalam hadist juga dijelaskan secara tegas bahwa tiak ada wasiat untuk ahli waris.
Dalam temuan penelitian lain di skripsinya Dian Yulianti Ningsih yang berjudul “Tradisi Pebagian harta warisan di Desa Panglegur Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan”. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitiannya adalah Bagaimana tradisi Pembagian harta warisan di Desa Panglegur Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Tradisi tersebut.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pembagian harta warisan di Desa Panglegur dilakukan dengan cara yang sudah sejak lama terjadi dengan menggunakan pembagian secara tradisi yang berlaku yaitu dilaksanakan secara musywarah, dan bagian ahli waris atau saudara-saudara yang merawat lebih besar dari yang tidak merawat hal itu dimaksudkan sebagai ucapan rasa terimakasih.
Menurut Hukum Islam Pembagian yang dilakukan secara Musywarah itu boleh dikarenakan di dalam Al-Quran surat Al-imron sudah dijelaskan, siapa yang menentukan harta wariis tersebut adalah orang yang merawat hal itu tidak ada dalam Al-Quran, besar bagiannya lebih besar ahli waris atau keluarga yang merawat jugatidak dijelaskan dalam Al-Quran yang terakhir dari alasan pembagian tersebut sebagai ungkapan terimakasih hal itu juga tidak dijelaskan di dalam hukum Islam.
Ketiga penelitian yang telah disebutkan itu memiliki kesamaan dengan apa yang peneliti lakukan yangberjudul “ Tinjauan Hukum Islam Tentang Penyelesaian sengketa hutang pewaris oleh ahli waris di Desa Pakong Kecamatan pakong Kabupaten Pamekasan”. Yaitu dalam segi pembahasannya yang berkaitan dengan kewarisan dan juga adanya kesalahan persepsi yang berhubungan dengan hak-hak yang berkaitan dengan Pewaris seperti halnya wasiat dan hibah. Namun, dalam penelitian yang diteliti oleh penelitijuga terdapat perbedaan karna dalam hal ini peneliti lebih menfokuskan kepada tradisi masyarakat mengenai penyelesaian hutang pewaris yang tidak hanya sekedar kewajiban membayarkannya namun juga keikutsertaan harta ahli waris dalam melunasi hutang-hutang tersebut saat pewaris telah meninggal dunia, dari konteks tersebut peneliti menemukan kajian pokok yang akan di teliti.






[1]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) Cet Ket-8. hal. 496
[2]Beni Ahmad saebani dan Syamsul falah, HukumPperdata Islam Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 171
[3] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 (Bandung: CV Nuansa Ilahi, 2013), hlm. 50
[4]Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 34
[5]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 4
[6]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Al-Gasindo, 2014), hlm. 306
[7]Hasniah Hasan, Hukum Warisan dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), hlm 20
[8] Segaf Hasan Baharun, Bagaimanakah anda membagikan Harta Warisa dengan benar?, (Pasruan: Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, 200), hlm. 3
[9]Ibid, hlm. 4
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya
[11] Ibid
[12] Abu Daud Sulaiman Bin Daud Al-Bisri, Musnad Abi Daud juz 4, (Mesir: Dar Hijr, 1999), hlm 337, Hadist No. 2731
[13]Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Ensiklopedia Hadist 2; Shahih Bukhori 2, Terjemah: Dr. Subhan Abdullah (Jakarta: Al-Mahira, 2012), hlm. 687  Hadist No. 6731
[14]Elviana Saga, “Ketentuan tentang Harta Peninggalan”, Jurnal Ilmiah “Advokasi”, Vol. 05, No. 01, (Maret 2017), hlm. 37.
[15]Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (jakarta: sinar grafika, Ed. 1. Cet. 8, 2004), hlm. 92
[16]Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentara Basritama, Cetakan kelima, 2000), hlm. 539
[17]Ibid, hlm. 539
[18]Asymuni Ahmad Rahman dkk, Ilmu Fiqh, hlm. 17
[19]Ibid, hlm. 17
[20] Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya.
[21] Muhammad Bin Isa Al- Tirmidzi, Al- Jami’ Al- Sahih Sunan At-Tirmidzi juz 3, (Bairut: Dar Al-Kotob Al- ilmiyah, 2011), hlm 163, Hadist No. 2094
[22]Ilyas, ”Tanggung jawab Ahil waris Terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, NO. 55, Th. XIII (Desember, 2011), hlm. 133
[23]Muhammad Ali Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, hlm. 35
[24]As-syafi’i abu abdillah muhammad bin idris bin abbas, Al-umm lisysyafii Juz 3(Bairut: Darul Ma’rifah: 1990), hlm. 216
[25] Abu Abdullah Muhamad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadist 8: Sunan Ibnu Majah, (Jakarta: AlMahira, 2013 )hlm. 806 No.2413
[26] Prof. H. Hilman Hadikusuma. S.H., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), hlm., 127.
[27] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Vol. 2 (Bairut: Muassisah al-Risalah, 2000), hlm., 292.
[28] Prof. H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm., 128.
[29] Abu Bakr Abdurrazzaq bin Himam bin Nafi, al-Mushnaf, Vol. 5, (Bairut: al-Maktab al-Islami, t.th.)., hlm., 176.
[30] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori terjemah Masyhar (Jakarta: Al-Mahira, 2011), hlm. 112, Hadits no. 527
[31] Abu Muhammad al-Harits bin Muhammad bin Dahir at-Tamimi, Bughyah al-Bahits ‘an Zawaid Musnad al-Harits, Vol. 2, (Madinah: Markaz Khidmah al-Sunnah, 1992), hlm., 847
[32] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori (Jakarta: Al-Mahira, 2011), hlm. 508
[33] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 175 (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), hlm. 52
[34] Abu Bakar bin abu kosim, Al-faroidulbahiyah (Pasuruan: Pustaka sidogiri, 2009), hlm. 47
[35]Hendriyadi, Praktek Hibah Sebagai Harta Warisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, (Skripsi: STAIN Pamekasan, 2011)
[36]Ulfatus Sholehah,Pemahaman masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan tentang Wasiat sebagai Warisan, (Skripsi: STAIN Pamekasan, 2014)