BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Pengertian Waris
Kata waris
berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “warisa” (ورث), “yarisu” ( يرث), “wirsan” (ورثا), isim failnya “warisun”
(وارث)yang artinya ahli waris.[1]
Sedangkan maknanya waris menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain.
Dalam literatur
fiqih Islam, kewarisan ( al-muwarist kata tunggalnya al-mirast)
lazim juga disebut dengan faraid yang merupakan jamak dari kata fard
yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard dalam terminology
syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahliwaris.
Adapun dalam
istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan
apa yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal
apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.[2]
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).[3]
Sedangkan makna
al-mirast menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.[4]
Dengan demikian
secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Di Indonesia
penyebutan fiqih al-mawaris (ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan
islam, hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya
terjemahan bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqih al-mawaris
menunjukkan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki
konotasi umum, bisa mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur
dalam kitab undang-undang hukum perdata.[5]
Kewajiban Ahli
Waris sebelum Warisan itu dibagikan. Menurut hukum kewarisan Islam, hak-hak
yang berkaitan dengan harta peninggalan pewaris diurutkan dengan tertib sebagai
berikut:
a)
Setiap Hak Yang berhubungan Langsung Dengan harta yang Ditinggalkan
Pewaris.
Misalnya harta warisnya berupa sapi 40 Ekor lebih, maka kita
tanyakan kepada ahli warisnya apakah sapi-sapi tersebut sudah dikeluarkan
zakatnya?, jika belum maka harus terlebih dahulu dikeluarkan zakatnya, karena
hak itu berhubungan lansung dengan harta waris yang berupa sapi. Begitu pula
harta lainnya.
Hak tersebut ditempatkan diposisi yang pertama, karena hak tersebut
berkaitan langsung dengan harta waris, dengan kata lain diantara harta waris
ada barang yang berkaitan hak tertentu dengan orang lain, maka orang lain
tersebut adalah orang yang paling berhak dengan barang itu sebelum lainnya
walaupun ahli waris karena haknya berkaitan langsung dengan barang peninggalan
pewaris tersebut.
b)
Biaya Penguburan Si pewaris
Sebelum harta waris dibagikan maka terlebih dahulu harus disisihkan
sejumlah uang yang cukup untuk biaya penguburan si pewaris dengan sewajarnya.
Maksudnya dengan melihat keadaan si pewaris, jika dia orang kaya maka disdiakan
biaya penguburan layaknya orang kaya begitupun sebaliknya.
Adapun yang dimaksud dengan biaya penguburan di sini mencakup
hal-hal di bawah ini:
1.
Biaya untuk membeli kain kafan, kapas, minyak untuk pewaris dan
lain-lain.
2.
Biaya untuk upah orang yang memandikannya jika tidak dilakukan oleh
ahli waris.
3.
Biaya untuk tanah perkuburan, upah penggalinya dan lain-lain.
Dan perlu di
ingat bahwa membuat tahlil untuk si pewaris bukan termasuk dari biaya
penguburan, jadi tidak boleh diambil dari harta warisan kecuali jika ahli waris
sepakat untuk itu tanpa mengurangi
bagian ahli waris yang mahjur ‘alaih jika ada, seperti anak
kecil, orang gila atau seorang yang idiot, itupun jika hartanya bisa mencukupi
hak-hak yang lain.
c)
Hutang si pewaris
Hak ketiga yang
berkaitan dengan harta waris adalah hutang. Berbicara tentang hutang piutang
pastilah yang terbesit dalam pikiran kita adalah sesuatu yang berkaitan dengan
barang dan uang yang di pinjam dengan dibebani kewajiban untuk membayar kembali
apa yang sudah diterima dengan yang sama.[6]
Maka dari itu dapat di tarik kesimpulan bahwa hutang adalah memberikan sesuatu
pinjaman kepada orang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.
Secara garis
besar Hutang orang yang meninggal itu dibagi menjadi dua macam yaitu dainulla
(hutang kepda Allah) dan Dainul Ibad (hutang terhadap sesama manusia). Hutang
terhadap sesama manusia dibagi pula menjadi dua yakni hutang dimasa sehat dan
hutang di masa sakit. Pembayaran hutang dimasa sehat harus lebih di dahulukan
pembayarannya dari pada hutang di masa sakit.[7]
Sebagian besar
Ulama’ berpendapat bahwasanya hutang terhadap Allah SWT, seperti hutang haji,
zakat yang belum di bayar hutang kafarat (denda) dari pada nazar dan lain
sebagainya, harus didahulukan pembayarannya dari pada membayar hutang kepada
sesama manusia. misalnya uang yang ditinggalkan Rp. 20.000.000 padahal dia
berhutang kepada Allah berupa kewajiban haji yang tidak dilakukan dimasa
hidupnya dan dia juga berhutangkepada manusia sejumlah uang yang ditinggalkan
tersebut, padahal jika si ahli waris melaksanakan haji badal ( haji untuk
menggantikan haji si pewaris) misalnya biayanya juga sebesar 20.000.000 maka
jika terjadi hal tersebut sejumlah uang Rp. 20.000.000 peninggalan pewaris tersebut digunakan untuk
haji badal bukan dibayarkan untuk hutangnya dia, dan jika setelah dibayarkan
untuk hak Allah ternyata ada sisa maka diberikan kepada orang yang mempunyai
hutang dengan cara persentase.
Hutang haruslah
didahulukan sebelum dibagikannya hak ke empat yaitu wasiat karna hutang wajib
dilunasi meski yang berhutang sudah meninggal dunia. Lain halnya wasiat yang
umumnya hukumnya sunnah dilakukan oleh pewaris. Jika si pewaris tidak mampu
untuk membayar hutang-hutangnya maka bukan kewajiban ahli waris untuk
membayarkannya akan tetapi termasuk kebaktian seoran anak kepada orang tuanya
jika melunasi hutang orang tuanya. Dan tidak boleh atas orang yang punya
piutang untuk menagih kepada ahli waris, karena bukan kewajiban mereka
membayarkan hutang si pewaris.[8]
d)
Wasiat si pewaris
Wasiat si
pewaris berkaitan dengan harta yang ditinggalkannya karena itu adalah hak si pewarisuntuk
bewasiat dengan hartanya. Dan tidak boleh untuk dilanggaratau tidak dikeluarkan
asalkan memenuhi dua syarat di bawah ini.
Syarat yang
pertama: wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta waris, dan jika lebih
maka selebihnya tergantung dari kesepakatan ahli waris, jika mereka
menyetujuinya maka sah hukumnya, jika tidak tidak disetujui maka sah yang 1/3
saja, dan selebihnya tidak sah jika ada
yang menyetujuinya dan adapula yang tidak menyetujuinya maka yang menyetujuinya
diambil haknya dari harta waris untuk melengkapi wasiat si pewaris sedangkan
yang tidak maka tidak dikurangi sepeserpun dari harta warisan yang
diperolehnya, begitupun dari bagian ahli waris yang mahjur alaih.
Syarat yang kedua: Wasiat tidak diperuntukkan untuk salah satu ahli
waris dan jika wasiat tersebut untuk salah satu dari ahli waris atau sebagian
dari mereka maka hukumnya sama seperti syarat yang pertama yaitu keabsahannya
tergantung kesepakatan semua ahli waris.[9]
B.
Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
1.
Al-Qur’an
Ketentuan-ketentuan
tentang ilmu waris, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan
telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Hal ini dapat ditemui dalam surah An-nisa’
ayat 59 yaitu:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[10]
Hal ini dapat
ditemukan pula dalam surat An-nisa’ ayat 7
ÉÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang Telah ditetapkan.[11]
2.
Hadis
عَنْ
اِبْنُ عَبَّاسْ رَضِيَ الله عَنْهُمَاعَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
اَلْحِقُواالفَرَائِضُ بِأَهْلِهَافَمَابَقِيَ فهو لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Dari ibn Abbas ra. dari nabi saw. Beliau bersabda: Serahkanlah
bagian-bagian harta peninggalan itu kepada orang-orang yang berhak. Kemudian
sisanya adalah untuk orang laki-laki yang terdekat (hubungan nasab kepada orang
yang meninggal dunia.[12]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ
مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
Dari Abu
Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW yang berkata: “ Saya adalah lebih utama dari
seseorang muslim dari diri mereka sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan
mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah
yang akan melunasinya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu
untuk ahli warisnya.[13]
3. Ahli waris Dan Harta Peninggalan
(Tirkah)
Tarikah
(Tirkah) adalah bahasa arab yang artinya harta peninggalan. Harta peninggalan
memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Menurut kalangan fuqaha dan hanafiah
Harta peninggalan adalah harta benda
yang ditinggalkan si mati yang tidak mempunyai hubungan dengan orang lain
(dengan pihak ketiga).
2.
Menurut
Ibn Hazm (Ahli Hukum Islam)
Harta peninggalan yang harus di
pusakakan itu ialah berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak
tidak dapat dipusakakan, kecuali kalau hak-hak tersebut mengikuti kepada
bendanya, seperti hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan diatas
tanah.
3.
Menurut
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah
Menurut Ulama-ulama ini yang dimaksud
harta peninggalan itu adalah segala hal yang ditinggalkan oleh si mati, baik
berupa harta benda, maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan
maupun bukan kebendaan.[14]
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
harta peninggalan itu terdiri dari: Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai
kebendaan, Hak-hak kebendaan, Hak-hak yang bukan kebendaan, benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang lain seperti benda-benda yang sedang digadaikan
oleh simati, barang-barang yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hidup
yang harganya sudah di bayar tetapi barangnya belum diterima.
Para ulama sepakat bahwa tirkah (harta
peninggalan pewaris), beralih kepemilikannya kepada Ahli waris sejak adanya
kematian pewaris.[15]
Sepanjang tidak ada hutang atau wasiat, mereka juga sepakat tentng beralihnya
kepemilikan atas kelebihan hutang dan wasiat kepada ahli waris. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam masalah bila jumlah hutang dan wasiat sama
besarnya dengan harta peninggalan: apakah ia pindah kepada ahli waris ataukah
tidak.
Hanafi mengatakan bagian yang nilainya
sama dengan jumlah hutang, tidak dimasukkan ke dalam milik ahli waris. Berdasar
itu, apabila harta peninggalan habis karena hutang, maka ahli waris tidak
menerima apa-apa. Akan tetapi mereka berhak meminta pembebasan dari pemilik
piutang dari hutang yang lebih besar dari jumlah tirkah. Sedangkan bila
harta tidak peninggalan tidahk habis oleh hutang maka para ahli waris menerima
sisanya yang tidak terkena hutang itu.[16]
Syafi’i dan mayoritas ulama hambali
mengatakan: pemilikan ahli waris masih tetap dalam tirkah, apakah hutang
itu mencakup semua tirkah, dan sebagai penjamin atasnya.
Kalimat Immamiyah terdapat perbedaan
pendapat, sebagian besar ulama berpendapat bahwa tirkah beralih kepada
ahli waris baik dalam hal yang habis oleh hutang maupun tidak, dan bahwasanya,
dari satu dan lain hal hutang tersebut terkait dengan tirkah, apakah itu dalam
bentuk hak gadai, hak pidana yang berhubungan dengan seorang budak pelaku
tindak pidana, maupun dalam bentuk yang berbeda dengan kedua bentuk diatas,
bagaimanapun hutang tidak menghalangi adanya hak kewarisan, namun menghalangi
penggunaan harta yang jumlahnyasama dengan hutang si pewaris. Pendapat ini
mirip dengan pendapat Syafi’i.[17]
Dampak perbedaan pendapat di atas nampak
jelas pada hasil yang muncul antara saat pembayaran hutang. Berdasar pendapat
Syafi’i Hambali, dan mayoritas Immamiyah, hasil tersebut menjadi hak ahli
waris, yang bisa mereka gunakan tanpa dihalangi oleh pemilik piutang atau orang
lain, sedangkan bila mengikuti pendapat Hanafi pertumbuhan (pertambahan)
tersebut merupakan bagian dari tirkah dalam hal adanya sangku paut dengan
hutang piutang.
4.
Rukun-rukun waris
Rukun waris itu
ada tiga, yaitu :[18]
1.
Muwarrits, adalah orang yang mewariskan dan meninggal dunia, baik meninggal
dunia secara hakiki atau karna keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan
beberapa sebab.
2.
Maurus adalah harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah
di kurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat, dan setelah digunakan untuk
melaksanakan wasiyat. Harta pusaka juga di sebut mirots, irts, turots, dan
tarikah.
3.
Warist adalah orang yang akan mewarisi, yang mempunyai hubungan
dengan si muwarrits, baik hubungan itu karna hubungan kekeluargaan atau
perkawinan.
5.
Syarat-syarat mendapat warisan
Waris mewarisi
itu menyangkut harta benda. Dan sebagaimana kita ketahui, harta benda itu
mempunyai pemilik. Jadi terjadi kepemilikan hak yang penuh. Sekarang dengan
jalan waris-mewarisi itu akan terjadi peraliha, perpindahan hak pemilikan atau
hak milik. Oleh karena itu untuk terjadi waris-mewarisi ini, menurut hukum
Islam terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
1. Matinya
muwarits, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati
secara hakiki.
2. Hidupnya waris
setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam
kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup.
3. Tidak adanya
penghalang untuk memperoleh warisan.[19]
6.
Pelunasan hutang Pewaris
Para fuqaha’
bersepakat bahwa penyelesaian wasiat atau hutang-hutang harus dibayar terlebih
dahulu sebelum harta peninggalan itu dibagikan karna itulah hak-hak pewaris
yang harus dituanikan. Namun demikian, pembayaran wasiat maupun hutang tidak
boleh menimbulkan kemudharatan (kesempitan) kepada ahli waris. Maksudnya bahwa
hutang-hutang orang yang meninggal dunia dibayarkan oleh ahli waris sepanjang
harta warisan itu mencukupi. Apabila harta warisan itu tidak mencukupi tidak
ada kewajiban hukum ahli waris untuk membayar hutang tersebut. Kecuali apabila
dengan pembayaran hutang itu tidak memberi kemudharatan bagi para ahli waris.
Perbedaan ulama
terjadi ketika memhami surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 terutama berkaitan dengan
pemenuhan hutang dan wasiat. Dalam teks surat an-Nisa’
.`ÏiB...... Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïy
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu.[20]
Apabila
dipelajari susunan kalimat dalam ayat diatas,
maka wasiat harus terlebih dahulu dibayar dari hutang-hutang orang meninggal
dunia. Akan tetapi berdasarkan hadis Rasulullah yang diceritakan oleh Ali bin
Abi Thalib ra berkata:
حَدَّ
ثَنَا بُنْدَارٌ, حَدَّ ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُونَ, اَخْبَرْ نَا سُفْيَا نُ, عَنْ
اَبِى اِسْحَا قَ, عَنِ الحَا رِثِ, عَنْ عَلِي اَنّهُ قال: اإنَّكُمْ تَقْرَءُونَ
هَذِهِ الْاَيَةِ (مِنْ بَعْدِ وَ صِيَّةٍ تُوْصُوْ نَ بِهِ اَوْ دَيْنٍ) وَاِنَّ رَسُولَاللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ قَضَ بِا الدَّ يْنِ قَبْلَ الْوَ صِيَّةِ
Bundar menyampaikan kepada kami dari yazid bin harun dari sufyan yang mengabarkan dari abu ishaq dari
haris dari ali Bahwa Rasulullah bersabda “Kalian membaca: “sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah di bayar hutang-hutangmu”. (An-Nisa’:
12), Apakah kalian tahu maksudnya? Rasulullah telah memutuskan bahwa seorang
(ahli waris) harus melunasi hutang si mayit sebelum menunaikan wasiatnya.[21]
Dari hadits di
atas terdapat beberapa bagian yang dapat diklasifikasikan. Diantaranya, hadits
diatas menerangkan tentang ayat yang berisi tentang ketentuan pelunasan hutang
dan pemenuhan wasiat. Keterangan yang disebutkan dalam ayat diatas sangat jelas
bahwa penyebutan wasiat didahulukan dari pada pelunasan hutang. Tetapi dari
penjelasan Ali di atas menyebutkan bahwa pelunasan hutang lebih diutamakan
daripada wasiat.
Selanjutnya
beliau mengatakan menurut hadis Ali bin Abi Thalib ra. berkata bahwa Rasulullah
telah menetapkan wasiat baru boleh dikeluarkan setelah semua hutang telah
dibayarkan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dari Misykat Al-Masabih). Setelah itu
sisanya berikanlah kepada zawil faraidh, zawil qarabat atau ashabah.
Dalam masalah ini telah sepakat para ahli hadist. Ahli waris tidak ada
kewajiban hukum untuk membayar hutang-hutang orang yang sudah meninggal dunia.
Ahli waris bertanggung jawab secara hukum sepanjang warisan itu cukup untuk
melunasi hutang-hutang orang yang meninggal dunia.[22]
Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni mengatakan “apabila pewaris atau orang yang meninggal tidak
meninggalkan warisan, maka ahli waris tidak berkewajiban apapun karana membayar
hutang pewaris itu tidak wajib bagi ahli waris saat si pewaris masih hidup
begitu juga tidak wajib saat sudah mati”
Namun dalam
Penyelesaian hutang Pewaris terhadap Allah SWT masih terdapat perbedaan antar
Ulama Madzhab yaitu menurut imam hanafi Ahli waris tidak wajib menunaikannya
sedangkan jumhur Ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta itu diwariskan pewaris dibagikan dan Imam Syafi’i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba
sedangkan madzhab maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah
wajib di tunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka wajib menunaikan utang
piutang pewaris terhadap sesama manusia.[23]
Menurut Imam
Syafii jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan memiliki hutang maka hutang
tersebut akan dibawa sampai ajalnya, sehingga tidak menjadikan hutang terebut
hilang (berhenti/terlunasi) setelah meninggalnya orang tersebut, dalam hal ini
juga dijelaskan bahwa beliau menolak bahwa hutang itu terlunasi semenjak
meniinggalnya pewaris tersebut serta menolak pendapat bahwa ahli waris
menanggung kelebihan hutang orang tuanya (pewaris).[24]
Artinya dalam hal ini pelunasan hutang pewaris hanya sebatas pada harta yang di
tinggalkannya. Landasan yang dijadikan dasar dalam tetapnya tanggungan
pelunasan hutang itu akan ditanggung oleh si mayit sampai dia melunasinya
sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi:
حَدَّ
ثَنَا اَبُوا مَرْوَا نُ الْعُثْمَا نِيُّ :
حَدَّ ثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ اَ بِيْهِ, عَنْ عُمَرَبْنِ اَبِى
سَلَمَةَ, عَنْ اَبِيْهِ, عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: (( نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ, حَتَّى يُقْضَي
عَنْهُ)).
Abu Marwan Al-Ustmani menyampaikan kepada kami dari Ibrohim bin
Sa’ad dari ayahnya dari Umar bin Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Ruh orang mukmin itu tertahan oleh hutangnya
sampai dibayarkan untuknya.”[25]
Dari hadis ini
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hutang itu wajib dilunasi karna meskipun
sudah meninggal tetap saja hutang itu mengikat, Namun, kewajiban menanggung
hutang orang yang sudah meninggal bukanlah timbul akibat perintah agama
melainkan karna disebabkan kesadaran meraka atas kekhawatiran masyarakat bahwa
mayit itu akan terbelenggu jiwanya karna hutang yang belum dilunasinyanya
sehingga atas dasar rasa belas kasih sayang terhadap orang tua yang sudah
meninggal maka tumbuhlah sebuah kewajiban untuk melunasi hutang orangtuanya
meski pewaris tidak meninggalkan harta sama sekali..
Dalam adat
istiadat setempat desa Pakong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan, kedudukan
dan kewajiban serta hak anak berkaitan dengan kewajiban orang tua yang mengurus
atau memelihara anaknya. Maksudnya, besar kewajiban anak dalam memberikan hak
orang tua itu adalah anak yang lebih banyak mendapatkan pemeliharaan atau
pengasuhan dari orang tuanya. Sehingga kebanyakan dari masyarakat desa Pakong
Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan menganggap anak yang semasa hidupnya
tinggal bersama mayit adalah yang lebih berhak untuk mendapatkan harta warisan
serta tanggungan hutang yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang lain.
Adab anak dalam hukum adat desa ini lebih pada hukum tak tertulis dan sudah ada
serta bertahan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun-temurun tanpa
diketahui sumber awal atau pembuat peraturan tersebut.
Disebutkan
dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Dr. H. Hilman
Hadikusuma, bahwa mengenai kedudukan anak terhadap orang tuanya tidak ada
ketentuan pasti dalam hukum islam yang menjelaskan secara spsesifik tentang
tugas dan kewajiban serta adab yang harus dilakukan oleh anak tersebut.[26] akan tetapi, al-Qur’an memberikan penjelasan secara umum dengan istilah birr
walidain yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Dalam ayat diatas terdapat perintah untuk berbuat baik kepada orang tua.
Dalam kitab tafsir ath-Thabari disebutkan spesifikasi dari kalimat وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانَا antara lain berbuat sesuatu yang sudah
diketahui kebaikannya kepada orang tua, dan bertutur kata yang baik, dan
menjaga masa senja mereka dengan penuh kasih sayang, dan mendoakan mereka
dengan baik.[27]
Ayat selanjutnya yang membahas tentang kewajiban anak kepada orang
tuanya terdapat dalam surat Al isra’ ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (23) Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil"(24)
Berbuat baik kepada orang tuanya ini pada saat orang tua tidak mampu
lagi membiayai hidupnya sendiri, maka anaknyalah yang berkewajiban untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan kewajiban tersebut menurut imam Syafi’i,
Hanafi dan Maliki tidak akan terputus walaupun orang tua mereka seorang kafir.[28]
Suatu ketika al-Hasan ditanyakan tentang apa makna dari birr walidain,
beliau menanggapinya dengan pendapatnya:
أَنْ تَبْذُلَ لَهُمَا
مَا مَلَكْتَ، وَأَنْ تُطِيعَهُمَا فِي مَا أَمَرَاكَ بِهِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ مَعْصِيَةً
Birr walidain adalah mengorbankan semua yang kamu
miliki dan taat atas segala perintahnya selama bukan kemaksiatan.[29]
Dalam pendapat di atas sangatlah jelas bahwa dengan mengorbankan semua
yang dimiliki anak kepada orang taunya merupakan bagian dari berbaik hati
kepada orang tua yang sangat dianjurkan dalam islam sehingga memberikan
sebagian harta untuk kepentingan atau kebutuhan orang tua termasuk juga birr
walidain. Selain itu, juga disebutkan tentang kepatuhan kepada perintah
orang tua, sehingga jika sebelum meninggal orang tua menyampaikan kepada
anaknya untuk membayarkan hutangnya, maka melaksanakannya bukan termasuk wasiat
akan tetapi termasuk perintah yang mena’atinya juga tergolong sebagai birr
walidain.
Adab anak kepada orang tua ini jika dikaitkan pada tindakan atau
kebiasaan masyarakat desa Pakong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan, terlihat
bahwa terdapat unsur yang disebutkan sebagai birr walidain dengan
membayarkan hutang mereka ketika mereka sudah tidak lagi mampu untuk membayar
hutangnya bahkan dibawa sampai akhir hayatnya. Dorongan untuk membayarkan
hutang mayit oleh ahli warisnya atau anak cucunya merupakan implementasi dari
berbuat ma’ruf kepada keduanya yaitu dengan membayarkan hutang mayit
maka secara tidak langsung ahli waris, telah menyelamatkan jiwa mayit dari
belenggu hutang yang akan dibawanya sampai hari pembalasan kelak. Selain itu,
kewajiban untuk membayar hutang ini dikaitkan pada tanggungan menafkahi semua
kebutuhan orang tua dengan ,menafkahi mereka, nafkah ini dapat pula tanggungan
pelunasan hutang. Sehingga dorongan-dorongan tersebut merupakan bagian dari
adab anak kepada orang tuanya.
Selain perintah
untuk berbuat baik kepada orang tua, terdapat pula beberapa keterangan dari
hadits nabi yang menjelaskan tentang keutamaan berbuat baik kepada orang tua
diantaranya hadits nabi SAW. yang menjelaskan keutamaan berbaik hati kepada orang tua dijadikan
sebagai amalan yang paling dicintai Allah setelah menjaga shalat di awal waktu.
حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ المَلِكِ،
قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ الوَلِيدُ بْنُ العَيْزَارِ: أَخْبَرَنِي
قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ، يَقُولُ: حَدَّثَنَا صَاحِبُ - هَذِهِ
الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ - عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ:
«الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا»، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ
الوَالِدَيْنِ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ»
قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Diceritakan dari Abu al-Walid Hisyam bin
Abdul Malik, dia berkata: Syu’bah menceritakan bahwa Walid bin al-‘Aizar
berkata: saya mendengar Abu Amr al-Syaibani berkata bahwa Abdullah bertanya
kepada Nabi Muhammad “amalan apa yang paling dicintai Allah ?” Nabi menjawab:
shalat pada waktunya. Dia bertanya lagi: lalu apa lagi ? Nabi Menjawab:
kemudian berbuat baik kepada kedua orang tua. Dia bertanya: lalu apa lagi ?.
Nabi menjawab: jihad di jalan Allah. [30]
Dalam hadtis ini sangatlah jelas bahw kedudukan dari berbuat baik kepada
orang tua sangatlah penting sampai disebutkan sebelum jihad fi
sabillillah. Sehingga keutamaan seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya
sangatlah diutamakan karena bersarnya kasih sayang yang diberikan kedua orang
tua baik yang berupa material seperti nafkah, pakaian, makanan dan lain
sebagainya. Ataupun kasih sayang berupa inmaterial seperti perhatian, kasih
sayang, cinta. Semua itu juga menjadi pertimbangan yang perlu mendapatkan
perhatian lebih untuk mengutamakan orang tua di atas semua titipan Allah di
dunia. Bukan hanya kasih sayang yang diberikan tetapi juga pengorbanan yang
diberikan seperti mengandung selama Sembilan bulan, menyusui sampai merawat
anak sampai anak beranjak dewasa merupakan pengorbanan yang tidak bisa diukur
dengan materi. Keutamaan ini oleh Allah dijanjikan banyak keutamaan seperti
sebagai penebus dosa-dosa.
بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ كَفَّارَةٌ لِلْكَبَائِرِ
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah
penebus dosa-dosa besar.[31]
Dalam sebuah hadist yang berbunyi
حَدَّ ثَنَا الْمَكِّي اِبْنُ اِبْرَاهِيْمِ:
حَدَّ ثَنَا يَزِيْدُ ابْنُ عُبَيْدٍ, عَنْ سَلَمَة الْاَ كْوَعِ رضي الله عنه قاَلَ:
كُنَّا جُلُوْ سًا عِنْدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذْ أُ تِيَ
بِجَنَا زَةِ فَقَالُوا: صَلَّى عَلَيْهَا, فَقَالَ: ((هَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قَالُوا:لَا,
قَالَ: ((فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟)) قَالُو: لَا, فَصَلَّى عَلَيْهِ, ثُمَّ أُ تِيَ
بِجَنَا زَةِ أُخْرَى فَقَالُوا: يَا رَسُوْلُ اللهُ, صَلَّى عَلَيْهَا, قَالَ:
((هَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قِيْلَ: نَعَمْ, قَالَ: : ((فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟))
قَالُو: ثَلَا ثَةَ دَ نَا نِيْرَ, فَصَلَّى عَلَيْهَا, ثُمَّ أُتِيَ بِا الثَّا لِثَةِ
فَقَالُوا: صَلَّى عَلَيْهَا, قَالَ: ((هَلْ تَرَكَ شَيْئًصا؟)) قَالُوا: لَا, قَالَ:
((فَهَلْ عَلَيْهِ دَ يْنٌ؟)) قَالُوا: ثَلَا ثَةَ دَ نَا نِيْرَ, قَالَ: ((صَلُّوا
عَلَى صَا حِبِكُمْ)) فَقَالُو اَبُو قَتَا دَةَ: صَلِّى عَلَيْهِ يَا رَ سُوْلَ
اللهِ وَ عَلَيَّ دَيْنُهُ, فَصَلَّى عَلَيْهِ (انظر: 2295)
Al-Makki bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Yazid bin Abu
Ubaid bahwa Salamah bin Al-akwa’ berkata: kami sedang duduk bersama Nabi Saw.
Lalu, ada orang yang membawa jenazah kehadapan beliau. Mereka berkata:
“shalatilah jenazah ini”, Beliau bertanya, “Apakah dia mempunyai hutang?”
Mereka menjawab, “Tidak”. Beliau
bertanya “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Mereka menjawab,
“Tidak.”Lalu beliaupun mensholati jenazah itu. Kemudian di datangkan jenazah
lain kehadapan beliau. Merekapaun berkata,”wahai Rasulullah, shalatilah jenazah
ini. Beliau bertanya, apakah dia mempunyai hutang?mereka menjawab”ya. Beliau
bertanya ‘apakah dia meninggalkan sesuatu?’mereka menjawab ‘ya 3
dinar.’Beliaupun mensholati jenazah itu. Kemudian di datangkan jenazah ke tiga
di hadapan beliau. Mereka berkata ‘Shalatilah jenazah ini.’Beliau bertanya ‘Apakah
dia meninggalkan sesuatu?.’Mereka menjawab ‘Tidak’ Beliau bertanya ‘Apakah dia
mempunyai hutang?.’Mereka menjawab ‘Ya 3 dinar.’Beliau berkata, shalatilah
jenazah sahabat kalian. Abu qotadah berkata, ‘Shalatilah dia, wahai
Rasulullah!. Aku akan menanggung hutangnya , beliaupun mensholati jenazah itu.
(Lihat hadis no.2295).[32]
Dalam hadis ini
di jelskan bahwa Rasulullah tidak mau mensholati mayit yang mempunyai hutang
namun kemudian seorang sahabat mau menanggung hutang si mayit tersebut dari
hadis ini dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pelunasan hutang orang yang sudah
meninggal tersebut tidak hanya dapat ditanggung pelunasannya oleh ahli waris
melainkan juga oleh orang lain, seperti halnya juga yang terdapat dalam kitab
terjemah bukhori bahwa pembayaran hutang orang yang fakir akan ditanggung oleh
negara atau orang-orang yang memiliki rasa empati untuk melunasi hutang orang
tersebut.
Dalam ketentuan
lain yang tercantum dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 175 No. 2 sebagai
berikut: Tanggung jawab Ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris
hanya terbatas pada jumlah atau harta peninggalannya.[33]
Jadi apabila harta peninggalan (Tirkah) tidak mencukupi untuk melunasi
hutang tersebut maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apapun untuk
melunasinya. Namun apabila ahli waris memiliki kelebihan harta dan bersedia
untuk melunasi hutang-hutangnya pewaris maka itu diperbolehkan sepanjang tidak
membawa kemodhorotan, seperti halnya masyarakat pakong yang terkadang akan
tetap berusaha melunasi hutang-hutang orang
tuanya meskipun harta yang ditinggalkan oleh si mayit tidak mencukupi untuk
melunasi hutang-hutang tersebut, hal ini umumnya di dasarkan pada suatu
kehormatan kepda orang yang sudah meninggal dunia, serta keyakinan bahwa
diharapkan pewaris dapat menghadap Allah dengan tenang tanpa sesuatu beban yang
akan dapat memberatkannya.
Selain pendapat
para fuqaha’, masalah pelunasan hutang orang yang sudah meninggal dunia dapat
dilihat dari sudut pandang kaidah fiqh, yaitu:
اَلضَّرَرُلَا يُزَالُ
بِاالضَّرَرِ
Artinya: Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan cara
melakukan kemudharatan yang lain.[34]
Dari kaidah ini
dijelaskan bahwa tidak boleh menghilangkan satu kemudharatan jika sekiranya
akan mendatangkan kemudhorotan yang lain jadi, dari penjelasan ini dapat di
tarik kesimpulan bahwa ahli waris diperbolehkan bahkan dianjurkan jika ahli
waris memang mempunyai kelebihan harta untuk membayarkan hutang pewaris tapi
berbeda halnya jika ahli waris juga dalam keadaan kekurangna maka jika
sekiranya akan memberikan kemudhorotan seperti halnya kemiskinan dan hal lain
maka ahli waris boleh menghindar dari menanggung hutang pewaris tersebut, karna
pada dasarnya ahli waris tidak punya tanggungan untuk melunasinya jika tirkah
(harta peninggalan) tersebut tidak mencukupi untuk melunasi
hutang-hutang tersebut.
1.
Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian
tentang warisan pernah dilakukan oleh Hendriyadi[35]dengan
fokus kajian tentang “Praktik Hibah sebagai harta warisan di Desa poreh
Kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep”. Dalam hal ini yang menjadi fokus
penelitian adalah Alasan apakah yang mendasari masyarakat desa Poreh memiliki
pemahaman bahwa hibah sebagai harta warisan, Bagaimana status hukum Hibah yang
dijadikan sebagai warisan dalam perspektif hukum islam.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa poreh memahami dan mempraktekkan
pemberian orang tua kepada anaknya adalah sebagai warisan, hal ini bertujuan
agar tidak terjadi perseteruan dikemudian hari ketika pewaris (orang tua)
meninggal dunia.
Penyebab
masyarakat mempraktekkan hibah sebagai harta warisan adalah karena masyarakat
Desa Poreh memahami bahwa pemberian dari orang tua kepada anaknya adalah
sebagai warisan. Problem yang muncul ketika praktek hibah dijadikan harta
warisan Ialah pewaris kehilngan hartanya sebelum waktunya dan para ahli waris
berebutan harta peninggalan dari orang tua karea pembagian hartanya tidak
jelas, artinya si orang tua hanya menunjuk hartnya diberikan kepada
anak-anaknya.
Namun, dilihat
dari hukum Islam bahwasanya pembagian warisan itu sudah jelas dalam al-Quran.
Pembagian wrisan dilakukan ketika si pewaris sudah meninggaldunia sehingga
tidak akan pernah terjadi pembgian warisan sebelumpewarisnya itu meninggal
dunia.
Dalam temuan
penelian laindi skripsinya ulfatus Shalihah[36]
yang berjudul “Pemahaman masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan Kabupaten
Pamekasan tentang wasiat sebagai warisan ”
Dalam hal ini
yang menjadi fokus penelitian adalah Apa yang menjadi alasan sehingga
masyarakat mempunyai pemahaman wasiat sebagai warisan dan bagaimana status
hukum wasiat yang dijadikan warisan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan
Kabupaten Pamekasan memiliki pemahaman yang keliru mengenai wasiat sebagai
warisan, karena minimnya pengetahuan hukum Islam utamanya tentang wasiat dan
warisan sehingga masyarakat Desa Tlanakan memiliki pemahaman yang keliru mengenai wasiat yang dijadikan warisan dengan
alasan, orang yang menerima wasiat tersebut dianggap termasuk ahli warisnya
Secara hukum
Islam wasiat tidak dapat diperhitungkan menjadi harta warisan, karna harta
warisan hanya diperuntukkan kepada ahli waris yaitu orang-orang yang memiliki
hubungan dengan orang yang meninggal baik hubungan kekerabatan dan hubungan
perkawinan. Staatus harta yang diberikan kepada orang yang menerima tidak dapat
dikatakan sebagai warisan karena itu sudah jelas merupakan wasiat dari orang
yang meninggal.di dalam hadist juga dijelaskan secara tegas bahwa tiak ada
wasiat untuk ahli waris.
Dalam temuan
penelitian lain di skripsinya Dian Yulianti Ningsih yang berjudul “Tradisi
Pebagian harta warisan di Desa Panglegur Kecamatan Tlanakan Kabupaten
Pamekasan”. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitiannya adalah Bagaimana
tradisi Pembagian harta warisan di Desa Panglegur Kecamatan Tlanakan Kabupaten
Pamekasan dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Tradisi tersebut.
Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa pembagian harta warisan di Desa Panglegur
dilakukan dengan cara yang sudah sejak lama terjadi dengan menggunakan
pembagian secara tradisi yang berlaku yaitu dilaksanakan secara musywarah, dan
bagian ahli waris atau saudara-saudara yang merawat lebih besar dari yang tidak
merawat hal itu dimaksudkan sebagai ucapan rasa terimakasih.
Menurut Hukum
Islam Pembagian yang dilakukan secara Musywarah itu boleh dikarenakan di dalam
Al-Quran surat Al-imron sudah dijelaskan, siapa yang menentukan harta wariis
tersebut adalah orang yang merawat hal itu tidak ada dalam Al-Quran, besar
bagiannya lebih besar ahli waris atau keluarga yang merawat jugatidak dijelaskan
dalam Al-Quran yang terakhir dari alasan pembagian tersebut sebagai ungkapan
terimakasih hal itu juga tidak dijelaskan di dalam hukum Islam.
Ketiga
penelitian yang telah disebutkan itu memiliki kesamaan dengan apa yang peneliti
lakukan yangberjudul “ Tinjauan Hukum Islam Tentang Penyelesaian sengketa
hutang pewaris oleh ahli waris di Desa Pakong Kecamatan pakong Kabupaten
Pamekasan”. Yaitu dalam segi pembahasannya yang berkaitan dengan kewarisan dan
juga adanya kesalahan persepsi yang berhubungan dengan hak-hak yang berkaitan
dengan Pewaris seperti halnya wasiat dan hibah. Namun, dalam penelitian yang
diteliti oleh penelitijuga terdapat perbedaan karna dalam hal ini peneliti
lebih menfokuskan kepada tradisi masyarakat mengenai penyelesaian hutang pewaris
yang tidak hanya sekedar kewajiban membayarkannya namun juga keikutsertaan
harta ahli waris dalam melunasi hutang-hutang tersebut saat pewaris telah
meninggal dunia, dari konteks tersebut peneliti menemukan kajian pokok yang
akan di teliti.
[1]Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) Cet Ket-8. hal. 496
[2]Beni Ahmad
saebani dan Syamsul falah, HukumPperdata Islam Di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), hlm. 171
[4]Muhammad Ali
Al-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hal. 34
[8] Segaf Hasan Baharun, Bagaimanakah anda membagikan Harta Warisa
dengan benar?, (Pasruan: Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah,
200), hlm. 3
[9]Ibid, hlm. 4
[11] Ibid
[12] Abu Daud
Sulaiman Bin Daud Al-Bisri, Musnad Abi Daud juz 4, (Mesir: Dar Hijr,
1999), hlm 337, Hadist No. 2731
[13]Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Ensiklopedia Hadist 2; Shahih Bukhori 2,
Terjemah: Dr. Subhan Abdullah (Jakarta: Al-Mahira, 2012), hlm. 687 Hadist No. 6731
[14]Elviana Saga, “Ketentuan
tentang Harta Peninggalan”, Jurnal Ilmiah “Advokasi”, Vol. 05, No. 01, (Maret
2017), hlm. 37.
[15]Sajuti Thalib, Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia (jakarta: sinar grafika, Ed. 1. Cet. 8, 2004),
hlm. 92
[16]Muhammad Jawad
Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentara Basritama, Cetakan
kelima, 2000), hlm. 539
[17]Ibid, hlm. 539
[19]Ibid, hlm. 17
[21] Muhammad Bin
Isa Al- Tirmidzi, Al- Jami’ Al- Sahih Sunan At-Tirmidzi juz 3, (Bairut:
Dar Al-Kotob Al- ilmiyah, 2011), hlm 163, Hadist No. 2094
[22]Ilyas,
”Tanggung jawab Ahil waris Terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum Islam”,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, NO. 55, Th. XIII (Desember, 2011), hlm. 133
[23]Muhammad Ali Al-Sabuni,
Pembagian Waris Menurut Islam, hlm. 35
[24]As-syafi’i abu
abdillah muhammad bin idris bin abbas, Al-umm lisysyafii Juz 3(Bairut:
Darul Ma’rifah: 1990), hlm. 216
[25] Abu Abdullah
Muhamad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadist 8: Sunan Ibnu
Majah, (Jakarta: AlMahira, 2013 )hlm. 806 No.2413
[26] Prof. H. Hilman Hadikusuma. S.H., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), hlm.,
127.
[27] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an, Vol. 2 (Bairut: Muassisah al-Risalah, 2000), hlm.,
292.
[29] Abu Bakr Abdurrazzaq bin Himam bin Nafi, al-Mushnaf, Vol. 5,
(Bairut: al-Maktab al-Islami, t.th.)., hlm., 176.
[30] Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori terjemah Masyhar (Jakarta:
Al-Mahira, 2011), hlm. 112, Hadits no. 527
[31] Abu Muhammad al-Harits bin Muhammad bin Dahir at-Tamimi, Bughyah
al-Bahits ‘an Zawaid Musnad al-Harits, Vol. 2, (Madinah: Markaz Khidmah
al-Sunnah, 1992), hlm., 847
[32] Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori (Jakarta: Al-Mahira,
2011), hlm. 508
[33] Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 175 (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), hlm. 52
[34] Abu Bakar bin
abu kosim, Al-faroidulbahiyah (Pasuruan: Pustaka sidogiri, 2009), hlm. 47
[35]Hendriyadi, Praktek
Hibah Sebagai Harta Warisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, (Skripsi:
STAIN Pamekasan, 2011)
[36]Ulfatus
Sholehah,Pemahaman masyarakat Desa Tlanakan Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan
tentang Wasiat sebagai Warisan, (Skripsi: STAIN Pamekasan, 2014)