Monday 17 September 2018

Hakikat Manusia


KATA PENGANTAR
بسم ا لله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan nikmatnya, sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Konsepsi Manusia Dalam Pendidikan. Dengan maksimal. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. Keluarga, sahabat, serta umat beliau sampai akhiruz zaman.
Dalam makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada para pembaca, tetapi kami sebagai makhluk biasa yang tidak lepas dari kesalahan, baik segi teknik penulisan ataupun bahasa, akan tetapi kami memberikan yang semaksimal mungkin untuk menyusun dengan sempurna.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini khususnya Bapak Siswanto yang telah membimbing kami dengan sabar demi keselesaian makalah ini. Kami berharap makalah yang sederhana ini dapat menjadi tambahan bahan ajar bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang Konsepsi Manusia Dalam Pendidikan.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca pada umumnya. Kami berharapa kritik, saran, dari berbagai pihak yang sifatnya membangun terhadap hasil makalah kami.

                 Pamekasan, 01, September, 2018


   Penyusun Kelompok I




DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................        i   
Daftar Isi........................................................................................................        ii  
BAB    I    PENDAHULUAN......................................................................        1
A.  Latar Belakang........................................................................        1
B.  Rumusan Masalah...................................................................        1
C.  Tujuan Penulisan.....................................................................        1
BAB   II    PEMBAHASAN.........................................................................        2
A.  Hakikat Manusia.....................................................................        2
B.  Hakikat Manusia Dengan Demensi-demensinya....................        5
C.  Kebutuhan Dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan              7
BAB  III   PENUTUP...................................................................................        12
Kesimpulan..................................................................................        12
Saran ...........................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................        13
 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan dua hal identik yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hubungan keduanya ibarat tubuh dengan jiwa manusia, jiwa berpotensi menggerakkan tubuh, sementara kehidupan manusia digerakkan oleh “bandul” pendidikan menuju tujuan hidup yang didambakan. Dengan pendidikan, manusia memperoleh wawasan pengetahuan dari mana asal usul kehidupan dan kejelasan orientasi kehidupannya. Tanpa pendidikan, bisa dipastikan manusia akan kehilangan ruh penggerak kehidupannya. Dengan kata lain, hidup dan tujuan hidup dapat diraih jika pendidikan benar-benar hidup.
Pendidikan merupakan pilar utama kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting untuk memajukan sebuah bangsa. Sebagai usaha untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan maka setiap pendidik harus mengetahui tentang pendidikan khususnya hakikat manusia dan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut maka seorang pendidik harus mengetahui tentang ilmu pendidikan. Pada akhir pembahasan ini hiharapkan tercapai deskripsi tentang hakikat manusia dan pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Hakikat Manusia?
2.      Bagaiman Hakikat Manusia Dengan Demensi-demensinya?
3.      Bagaimana Kebutuhan Dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Apa Hakikat Manusia.
2.      Menjelaskan Hakikat Manusia Dengan Demensi-demensinya.
3.      Menjelaskan Kebutuhan dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hakikat Manusia
Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan pengertian itu. Namun memahami hakikat tidak tepat hanya dengan mengacu pada pengertian sederhana. Hakikat dapat dan semestinya memang dipahami secara hakikat pula.
Dengan ringkas diformulasikan, hakikat merupakan syarat eksistensi. Beradanya suatu keadaan karena syarat-syarat tertentu. Secara negatif bermakna, tanpa syaratnya seharusnya ada, maka keberadaan pun tidak ada. Dalam bahasa lebih luas dapat dinyatakan yang dimaksud dengan hakikat tidak lain adalah sesuatu yang mesti ada pada sesuatu yang jikalau sesuatu itu tidak ada maka sesuatu itu pun tidak wujud.
Baik dengan memahami hakikat seperti itu, maka kemudian dapat ditegakkan apa sesungguhnya yang menjadi hakikat manusia? Dalam kalimat lain dapat dikatakan, apa itu manusia? Pertanyaan singkat ini sesungguhnya telah sejak lama menarik perhatian manusia. Ini adalah sebuah pertanyaan besar yang jawabannya setelah diupayakan perumusan beratus bahkan beribu tahun silam. Namun, sampai sekarang tetap penting dan menarik perhatian banyak orang untuk menelaah manusia.[1]
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa, dan jika dilihat dari kata dasarnya yaitu “al-uns” yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya.
            Seperti dalam kenyataanya manusia adalah makhluk yang berjalan diatas dua kaki, dan mempunyai kemampuan berfikir. Kemampuan berfikir tersebut yang menentukan akan hakikat manusia. Manusia juga memiliki karya yang menghasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam setting sejarah dan setting psikologis situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai makhluk hidup yang menciptakan sejarah.[2]
            Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba-zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi.
            Kedua, aliran serba-ruh. Aliran ini berbendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh. Hakikat manusia juga adalah ruh. Sementara zat adalah manifestasi dari ruh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain ruh) dan hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh. Dasar aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi.
            Ketiga, aliran dualisme. Aliran menganggap bahwa manusia itu hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh. Antara badan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling memengaruhi.
            Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualism, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.
            Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang berasal dari tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah ruh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
            Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespo prodjo mengemukakan bahwa:
1.      Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, baigian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa).
2.      Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada manusia.[3]
Demikian pula halnya dengan ilimu-ilmu tentang manusia. Sisi “negatif” (kalau boleh dikatakan demikian) dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama tampak dari ruang lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia bersangkut paut hanya dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan atau eksperimental.[4]


B.     Hakikat Manusia Dengan Demensi-demensinya
Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia. Menurut Mudyahardjo dan Umar Tirtarahardja dimensi-dimensi manusia adalah sebagai berikut:
1.      Manusia Sebagai Makhluk Individu
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang,” sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in clevide). Menurut M.j Langeveld bahwa setiap anak manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi.
Kesadaran manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan individu kualitas manusia. Kesadaran diri sendiri yang dimulai dengan kesadaran pribadi diantara segala kesadaran terhadap segala sesuatu. Manusia sebagai individu, sebagai pribadi adalah sesuatu kenyataan yang paling riel dalam kesadaran manusia.
Makin manusia sadar akan dirinya sendiri sesungguhnya manusia makin sadar akan kemestaan, karena posisi manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari semista. Antar hubungan dan interaksi pribadi itulah pula yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti hak asasi dan kewajiban norma-norma moral, nilai-nilai sosial, bahkan juga nilai-nilai super natural berfungsi untuk manusia. Dengan demikian kesadaran manusia sebagai pribadi merupakan kesadaran yang paling dalam.[5]
2.      Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosial. Artianya setiap orang dapat saling berkomonikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Adanya demensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
Immanuel Kant menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia. Tidak seorang manusia yang mampu hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat kemanusiaanya ditempat terasing yang terisolir.
Manusia sebagai makhluk sosial disamping berarti bahwa manusia hidup bersama, maka sifat independensi dalam arti material ekonomis demi kebutuhan-kebuthan biologis jasmaniah melainkan lebih-lebih mengandung makna spikologis, yakni dorongan-dorongan cinta dimana kebahagiaan terutama tercetak dalam kepuasan rohani.
3.      Manusia Sebagai Makhluk Susila
Susila berasal dari kata Su dan Sila yang artinya “kepantasan yang lebih tinggi:” akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat pantas jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung, karena itu maka pengertian Susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi “kebaikan yang lebih.”
4.      Manusia Sebagai Makhluk Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya kekuatan supra natural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomonikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut, dilakukan bermacam-macam upacara mneyediakan sesajen-sesajen dan lain-lain.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragam merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. [6]
Pribadi manusia yang hidup bersama itu melakukan hubungan dan antar aksi baik langsung maupun tidak langsung. Didalam proses antar hubungan dan antar aksi itu tiap pribadi membawa identitas, kepribadian masing-masing. Oleh karena itu keadaan yang cukup heterogen akan terjadi sebagai konsekuensi tindakan masing-masing pribadi.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa.
Tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral. Atau dengan kata-kata “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial”. Hubungan sosial harus dimaknai dalam makna luas dan hakiki.
Ketiga esensia tersebut diatas dikatakan sebagai satu kesatuan integritas adalah kodrat hakikat manusia secara potensial artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi tersebut dapat berkembang menjadi realita atau sebaliknya tidak terlaksana. Inilah sebabnya ada kriteria didalam masyarakat antara pribadi yang baik, yang ideal, dengan pribadi yang dianggap buruk atau asusila, tingkah laku yang kurang dikehendaki.[7]
C.    Kebutuhan dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan renungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan ilmu pengetahuannya dalam perilaku sehari-hari.[8]
Keberadaan manusia dari sejak kelahirannya terus mengalami perubahan-perubahan, baik secara fisik maupun psikologis. Manusia yang merupakan makhluk hidup dengan akal budi memiliki potensi untuk terus melakukan pengembangan. Sifat pengembangan manusia menunjukkan sisi dinamisnya, artinya perubahan terjadi terus menerus pada manusia. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Salah satu pengembangan manusia, yaitu melalui pendidikan.
Melalui pendidikan manusia berharap nilai-nilai kemanusiaan diwariskan, bukan sekedar diwariskan melainkan menginternalisasi dalam watak dan kepribadian. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi penuntun manusia untuk hidup berdampingan dengan manusia lain. Upaya pendidikan melalui internalisasi nilai-nilai kemanusiaan menuntun untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kebutuhan manusia.
Kebutuhan akan pendidikan menjadi satu hal yang tidak terletakkan pada setiap fase sejarah peradaban manusia. Pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan sangat dibutuhkan menjadi pendapat setiap individu dan masyarakat di setiap bangsa atau Negara beradab. Melalui pemikiran dan perubahan peradaban, manusia sepakat bahwa pendidikan itu penting, walaupun dengan latar belakang dan cara pendang berbeda dalam melihat keutamaanya.[9]
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut, serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam sesuatu proses pendidikan. Karena itu, bagaimanapun peradapan suatu masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi sesuatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.
Dengan kata lain, pendidikan dapat diartikan sebagai hasil peradapan bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri, yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya.
Selanjutnya, sebagai akibat adanya penyesuaian timbal balik tadi, maka pendidikan berfungsi untuk memberikan arah terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia dan lingkungannya. Pertumbuhan, perkembangan dan perubahan tersebut harus terorganisasi dan diarahkan sedemikian rupa menuju kepada tujuan akhir pendidikan sebagaimana yang telah ditetapkan.
Demikian pula semua usaha pengarahan dan organisasi untuk pengembangan potensi manusia, harus berupa pembentukan kebiasaan dan perbuatan baik yang dikelola menggunakan alat dan sarana yang dapat menolong diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa ciri atau unsur umum dalam pendidikan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya, baik sebagai seorang individu maupun sebagai warga Negara atau warga masyarakat.
2.      Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana untuk memilih isi (bahan materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.
3.      Kegiatan tersebut dapat diberikan dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, berupa pendidikan jalur sekolah dan pendidikan jalur luar sekolah. [10]
Sedangkan tanggung jawab yang demikian itu terbentuk nilai keadilan. Adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan lebih-lebih terhadap alam dimana hidup dan kehidupan ini berlangsung. Karena tanpa diri dan atau kepribadiannya, seorang tidak mungkin bisa memerankan arti dan fungsinya sebagai manusia, tanpa sesama manusia lainnya, sesama manusia tidak mungkin mampu berada dan melangsungkan keberadaannya dan lebih-lebih tanpa potensi alam.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan dididik oleh orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam pengelola kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran itu diselenggarakan mulai dengan cara-cara konversional (alami) menurut pengalaman hidup, sampai pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional (pendidikan sekolah), menurut kemampuan konseptik rasional.
Pada pokoknya persoalan pendidikan adalah persoalan yang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Masalaha pendidikan secara kodrati melekat pada dalam diri manusia. Secara langsung atau tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi pendidikan. Dengan pendidkan, manusia melakukan kegiatan makan, minum, bekerja, beristirahat, bermasyarakat, beragama dan sebagainya. Dengan demikian, anatara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kasualitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada, dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.[11]
Dalam dunia yang secara nyaris sepenuhnya telah berisi instituasi pendidikan, kajian tentang filsafat pendidikan tentu saja menjadi kajian yang begitu penting serta fundamen. Selain membantu proses penyelenggaraan pendidikan untuk menghindari hal-hal yang kontraprodukif, kajian tentang filsafat pendidikan akan pula membawa kita pada temuan-temuan mengenai formula pendidikan secara holistik tentang apa dan bagaimana sebuah pendidikan mesti dilakukan. Dengan demikian, pendidikan benar-benar sesuatu kegiatan yang dapat dipahami makna relevansi bagi kehidupan.[12]
Sudah merupakan suatu kenyataan dalam proses kehidupan manusia, bahwa mereka harus melaksanakan tugas-tugas hidup yang dilaksakan dan ditunaikan dengan baik dan sempurna, sejak zaman kehidupan mereka yang sederhana, dihutan rimba dan digua ratu, atau ditempat lainnya, sampai kehidupan umat abad ini. Didalam kehidupan manusia yang sederhana, mereka bersusah payah dan penuh kesulitan yang beragam dalam menghadapi perjuangan hidup, bersama dengan hewan dan makhluk lainnya dalam memperebutkan makanan dan tempat tinggal. Dalam hati mereka, mungkin juga timbul pertanyaan sebagaimana dilukiskan oleh H.V. Loon secara filosofis dalam bukunya, The Story of Mankink, sebagi berikut:
Kita hidup dibawah bayangan suatu tanda Tanya yang sangat besar. Siapakah kita? Dari mana kita datang? Kemana kita akan pergi? Perlahan-lahan, tetapi dengan keberanian yang gigih kita telah berusaha mendorong tanda tanya itu, terus dan terus kearah garis yang lebih jauh lagi, melampaui garis ufuk, diman kita mengharapkan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kita.[13]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa, dan jika dilihat dari kata dasarnya yaitu “al-uns” yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba-zat. Kedua, aliran serba-ruh. Ketiga, aliran dualisme. Dan keempat, aliran eksistensialisme.
Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia, yakni: (1) Manusia sebagai makhluk pribadi/individu, (2) Manusia sebagai makhluk sosial, (3) Manusia sebagai makhluk susiala/moral.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan dididik oleh orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam pengelola kelangsungan hidupnya.
B.     Saran
            Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Dari penjelasan diatas, kita bisa mengetahui hakikat kita sendiri dalam pendidikan, dengan mengetahui hakikat manusia dan demensi-demensinya kita bisa mengoptimalkan dalam kehidupan, untuk itu kami menghimbau kepada pembaca makalah ini untuk memahami isi makalah dengan sebaik-baik mungkin, sehingga dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR RUJUKAN
Abdul Latief Juraid, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2015.
Abidin Zainal, filsafat Manusia, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Anwar Muhammad, Filsafat Pendidikan, Jakarta, PrenadaMedia Group, 2015.
Gandhi Teguh Wangsa, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2016.
Ghufron Moh, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Kalimedia, 2017.
Jalaluddin, Idi Abdullah, Filsafat Pendidikan, Jakarta, PT RajaGrafindo, 2013.
Kristiawan Muhammad, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta, Valia Pustaka, 2016.
Triwiyanto Teguh, Pengantar Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2014.






[1] Juraid Abdul Latief Manusia, Filsafat, dan Sejarah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015), hlm. 14

[2] Moh. Ghufron, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hlm. 35
[3] Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), hlm. 128
[4] Zainal Abidin, filsafat Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 5
[5] Muhammad Kristiawan, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Valia Pustaka, 2016), hlm. 86
[6] Ibid, hlm. 88
[7] Moh. Ghufron, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hlm. 42
[8] Moh. Ghufron, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hlm. 49
[9] Teguh Triwiyanto, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 20
[10] Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015), hlm. 25
[11] Moh. Ghufron, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hlm. 51
[12] Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2016), hlm. 84
[13] Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015), hlm. 83