KATA
PENGANTAR
بسم
ا لله الرحمن الرحيم
Segala
puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan nikmatnya,
sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
Konsepsi Manusia Dalam Pendidikan. Dengan maksimal. Sholawat dan salam semoga
tetap tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. Keluarga, sahabat, serta
umat beliau sampai akhiruz zaman.
Dalam makalah ini penulis telah
berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada para pembaca,
tetapi kami sebagai makhluk biasa yang tidak lepas dari kesalahan, baik segi
teknik penulisan ataupun bahasa, akan tetapi kami memberikan yang semaksimal
mungkin untuk menyusun dengan sempurna.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan
makalah ini khususnya Bapak Siswanto yang telah membimbing kami dengan sabar
demi keselesaian makalah ini. Kami berharap makalah yang sederhana ini dapat
menjadi tambahan bahan ajar bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh
tentang Konsepsi Manusia Dalam Pendidikan.
Demikian
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca pada
umumnya. Kami berharapa kritik, saran, dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun terhadap hasil makalah kami.
Pamekasan, 01, September, 2018
Penyusun Kelompok I
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A.
Latar Belakang........................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan..................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
A.
Hakikat Manusia..................................................................... 2
B.
Hakikat Manusia Dengan Demensi-demensinya.................... 5
C.
Kebutuhan Dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan 7
BAB III PENUTUP................................................................................... 12
Kesimpulan.................................................................................. 12
Saran
........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan
dua hal identik yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hubungan keduanya
ibarat tubuh dengan jiwa manusia, jiwa berpotensi menggerakkan tubuh, sementara
kehidupan manusia digerakkan oleh “bandul” pendidikan menuju tujuan hidup yang
didambakan. Dengan pendidikan, manusia memperoleh wawasan pengetahuan dari mana
asal usul kehidupan dan kejelasan orientasi kehidupannya. Tanpa pendidikan,
bisa dipastikan manusia akan kehilangan ruh penggerak kehidupannya. Dengan kata
lain, hidup dan tujuan hidup dapat diraih jika pendidikan benar-benar hidup.
Pendidikan merupakan pilar utama kemajuan
sebuah bangsa. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting untuk memajukan
sebuah bangsa. Sebagai usaha untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan maka
setiap pendidik harus mengetahui tentang pendidikan khususnya hakikat manusia
dan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut maka seorang pendidik
harus mengetahui tentang ilmu pendidikan. Pada akhir pembahasan ini hiharapkan
tercapai deskripsi tentang hakikat manusia dan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat Manusia?
2. Bagaiman Hakikat
Manusia Dengan Demensi-demensinya?
3. Bagaimana Kebutuhan
Dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Apa Hakikat
Manusia.
2. Menjelaskan Hakikat
Manusia Dengan Demensi-demensinya.
3. Menjelaskan Kebutuhan
dan Pola Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakikat
Manusia
Secara sederhana hakikat sering disamakan
sebagai sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki,
yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan pengertian itu.
Namun memahami hakikat tidak tepat hanya dengan mengacu pada pengertian
sederhana. Hakikat dapat dan semestinya memang dipahami secara hakikat pula.
Dengan ringkas diformulasikan, hakikat
merupakan syarat eksistensi. Beradanya suatu keadaan karena syarat-syarat
tertentu. Secara negatif bermakna, tanpa syaratnya seharusnya ada, maka
keberadaan pun tidak ada. Dalam bahasa lebih luas dapat dinyatakan yang
dimaksud dengan hakikat tidak lain adalah sesuatu yang mesti ada pada sesuatu
yang jikalau sesuatu itu tidak ada maka sesuatu itu pun tidak wujud.
Baik dengan memahami hakikat seperti itu,
maka kemudian dapat ditegakkan apa sesungguhnya yang menjadi hakikat manusia?
Dalam kalimat lain dapat dikatakan, apa itu manusia? Pertanyaan singkat ini
sesungguhnya telah sejak lama menarik perhatian manusia. Ini adalah sebuah pertanyaan
besar yang jawabannya setelah diupayakan perumusan beratus bahkan beribu tahun
silam. Namun, sampai sekarang tetap penting dan menarik perhatian banyak orang
untuk menelaah manusia.[1]
Manusia secara bahasa disebut juga insan,
yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa,
dan jika dilihat dari kata dasarnya yaitu “al-uns” yang berarti jinak. Kata
insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan
jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di
sekitarnya.
Seperti dalam
kenyataanya manusia adalah makhluk yang berjalan diatas dua kaki, dan mempunyai
kemampuan berfikir. Kemampuan berfikir tersebut yang menentukan akan hakikat
manusia. Manusia juga memiliki karya yang menghasilkan sehingga berbeda dengan
makhluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam setting
sejarah dan setting psikologis situasi emosional dan intelektual yang
melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan
ia sebagai makhluk hidup yang menciptakan sejarah.[2]
Ilmu yang mempelajari
tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat
aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba-zat. Aliran ini mengatakan yang
sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau
materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat
atau materi.
Kedua, aliran
serba-ruh. Aliran ini berbendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia
ini ialah ruh. Hakikat manusia juga adalah ruh. Sementara zat adalah
manifestasi dari ruh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain ruh) dan
hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh. Dasar
aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada
materi.
Ketiga, aliran dualisme.
Aliran menganggap bahwa manusia itu hakikatnya terdiri dari dua substansi,
yaitu jasmani dan ruhani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal
dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba
dua, jasad dan ruh. Antara badan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling
memengaruhi.
Keempat, aliran
eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia
merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat
atau serba ruh atau dualism, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.
Filsafat berpandangan
bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas
mengatakan bahwa badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah
makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material.
Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang
berasal dari tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah ruh semata. Tanpa
kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Terkait dengan hakikat
manusia tersebut, Poespo prodjo mengemukakan bahwa:
1. Hakikat manusia
haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, baigian esensial
manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan
dan jiwa).
2. Hakikat manusia harus
diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin antara
bagian-bagian dan kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga
keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan
makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan
makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada manusia.[3]
Demikian pula halnya dengan ilimu-ilmu
tentang manusia. Sisi “negatif” (kalau boleh dikatakan demikian) dari ilmu-ilmu
tentang manusia, pertama-tama tampak dari ruang lingkupnya yang serba terbatas.
Ilmu-ilmu tentang manusia bersangkut paut hanya dengan aspek-aspek atau
dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara empiris
dan dapat diselidiki secara observasional dan atau eksperimental.[4]
B. Hakikat Manusia Dengan
Demensi-demensinya
Secara filosofis hakikat manusia merupakan
kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia.
Menurut Mudyahardjo dan Umar Tirtarahardja dimensi-dimensi manusia adalah
sebagai berikut:
1. Manusia Sebagai
Makhluk Individu
Lysen mengartikan individu sebagai
“orang-seorang,” sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi (in clevide). Menurut M.j Langeveld bahwa setiap anak
manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang
lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang
identik di muka bumi.
Kesadaran manusia akan diri sendiri
merupakan perwujudan individu kualitas manusia. Kesadaran diri sendiri yang
dimulai dengan kesadaran pribadi diantara segala kesadaran terhadap segala
sesuatu. Manusia sebagai individu, sebagai pribadi adalah sesuatu kenyataan
yang paling riel dalam kesadaran manusia.
Makin manusia sadar akan dirinya sendiri
sesungguhnya manusia makin sadar akan kemestaan, karena posisi manusia adalah
bagian yang tak terpisahkan dari semista. Antar hubungan dan interaksi pribadi
itulah pula yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti hak asasi dan
kewajiban norma-norma moral, nilai-nilai sosial, bahkan juga nilai-nilai super
natural berfungsi untuk manusia. Dengan demikian kesadaran manusia sebagai
pribadi merupakan kesadaran yang paling dalam.[5]
2. Manusia Sebagai
Makhluk Sosial
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi
sosial. Artianya setiap orang dapat saling berkomonikasi yang pada hakikatnya
terkandung unsur saling memberi dan menerima. Adanya demensi kesosialan pada
diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya
dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
Immanuel Kant menyatakan manusia hanya
menjadi manusia jika berada diantara manusia. Tidak seorang manusia yang mampu
hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat kemanusiaanya ditempat terasing
yang terisolir.
Manusia sebagai makhluk sosial disamping berarti
bahwa manusia hidup bersama, maka sifat independensi dalam arti material
ekonomis demi kebutuhan-kebuthan biologis jasmaniah melainkan lebih-lebih
mengandung makna spikologis, yakni dorongan-dorongan cinta dimana kebahagiaan
terutama tercetak dalam kepuasan rohani.
3. Manusia Sebagai
Makhluk Susila
Susila berasal dari kata Su dan Sila
yang artinya “kepantasan yang lebih tinggi:” akan tetapi, didalam kehidupan
bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat pantas jika didalam yang pantas
atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung, karena itu maka
pengertian Susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi “kebaikan
yang lebih.”
4. Manusia Sebagai
Makhluk Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk
religius. Sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam
yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya
kekuatan supra natural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat
berkomonikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah
mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut,
dilakukan bermacam-macam upacara mneyediakan sesajen-sesajen dan lain-lain.
Kemudian setelah ada agama maka manusia
mulai menganutnya. Beragam merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah
makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan
agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran
vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan
agama. [6]
Pribadi manusia yang hidup bersama itu
melakukan hubungan dan antar aksi baik langsung maupun tidak langsung. Didalam
proses antar hubungan dan antar aksi itu tiap pribadi membawa identitas,
kepribadian masing-masing. Oleh karena itu keadaan yang cukup heterogen akan
terjadi sebagai konsekuensi tindakan masing-masing pribadi.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai
makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara
apriori adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai pula
bila kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa.
Tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral.
Atau dengan kata-kata “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada
hubungan susila tanpa hubungan sosial”. Hubungan sosial harus dimaknai dalam
makna luas dan hakiki.
Ketiga esensia tersebut diatas dikatakan
sebagai satu kesatuan integritas adalah kodrat hakikat manusia secara potensial
artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi tersebut dapat
berkembang menjadi realita atau sebaliknya tidak terlaksana. Inilah sebabnya
ada kriteria didalam masyarakat antara pribadi yang baik, yang ideal, dengan
pribadi yang dianggap buruk atau asusila, tingkah laku yang kurang dikehendaki.[7]
C. Kebutuhan dan Pola
Hubungan Antar Manusia Sebagai Insan Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran
dan renungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Dengan
kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan
hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan ilmu pengetahuannya dalam perilaku
sehari-hari.[8]
Keberadaan manusia dari sejak kelahirannya
terus mengalami perubahan-perubahan, baik secara fisik maupun psikologis.
Manusia yang merupakan makhluk hidup dengan akal budi memiliki potensi untuk
terus melakukan pengembangan. Sifat pengembangan manusia menunjukkan sisi
dinamisnya, artinya perubahan terjadi terus menerus pada manusia. Tidak ada
yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Salah satu pengembangan
manusia, yaitu melalui pendidikan.
Melalui pendidikan manusia berharap
nilai-nilai kemanusiaan diwariskan, bukan sekedar diwariskan melainkan
menginternalisasi dalam watak dan kepribadian. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi
penuntun manusia untuk hidup berdampingan dengan manusia lain. Upaya pendidikan
melalui internalisasi nilai-nilai kemanusiaan menuntun untuk memanusiakan
manusia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kebutuhan manusia.
Kebutuhan akan pendidikan menjadi satu hal
yang tidak terletakkan pada setiap fase sejarah peradaban manusia. Pendapat
yang menyatakan bahwa pendidikan sangat dibutuhkan menjadi pendapat setiap
individu dan masyarakat di setiap bangsa atau Negara beradab. Melalui pemikiran
dan perubahan peradaban, manusia sepakat bahwa pendidikan itu penting, walaupun
dengan latar belakang dan cara pendang berbeda dalam melihat keutamaanya.[9]
Dalam pengertian yang sederhana dan umum,
makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut, serta mewariskannya kepada
generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi
dalam sesuatu proses pendidikan. Karena itu, bagaimanapun peradapan suatu
masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi sesuatu proses pendidikan
sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.
Dengan kata lain, pendidikan dapat
diartikan sebagai hasil peradapan bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan
hidup bangsa itu sendiri, yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau
sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya.
Selanjutnya, sebagai akibat adanya
penyesuaian timbal balik tadi, maka pendidikan berfungsi untuk memberikan arah
terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia dan lingkungannya. Pertumbuhan,
perkembangan dan perubahan tersebut harus terorganisasi dan diarahkan
sedemikian rupa menuju kepada tujuan akhir pendidikan sebagaimana yang telah
ditetapkan.
Demikian pula semua usaha pengarahan dan
organisasi untuk pengembangan potensi manusia, harus berupa pembentukan
kebiasaan dan perbuatan baik yang dikelola menggunakan alat dan sarana yang
dapat menolong diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan
yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa ciri atau unsur umum dalam
pendidikan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendidikan mengandung
tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan dirinya berkembang
sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya, baik sebagai seorang individu
maupun sebagai warga Negara atau warga masyarakat.
2. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana untuk
memilih isi (bahan materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang
sesuai.
3. Kegiatan tersebut
dapat diberikan dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, berupa
pendidikan jalur sekolah dan pendidikan jalur luar sekolah. [10]
Sedangkan tanggung jawab yang demikian itu
terbentuk nilai keadilan. Adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia,
dan lebih-lebih terhadap alam dimana hidup dan kehidupan ini berlangsung.
Karena tanpa diri dan atau kepribadiannya, seorang tidak mungkin bisa
memerankan arti dan fungsinya sebagai manusia, tanpa sesama manusia lainnya,
sesama manusia tidak mungkin mampu berada dan melangsungkan keberadaannya dan
lebih-lebih tanpa potensi alam.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung
terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga,
dilatih, dan dididik oleh orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat
kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam
pengelola kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran itu
diselenggarakan mulai dengan cara-cara konversional (alami) menurut pengalaman
hidup, sampai pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional
(pendidikan sekolah), menurut kemampuan konseptik rasional.
Pada pokoknya persoalan pendidikan adalah
persoalan yang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Masalaha
pendidikan secara kodrati melekat pada dalam diri manusia. Secara langsung atau
tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi
pendidikan. Dengan pendidkan, manusia melakukan kegiatan makan, minum, bekerja,
beristirahat, bermasyarakat, beragama dan sebagainya. Dengan demikian, anatara
manusia dan pendidikan terjalin hubungan kasualitas. Karena manusia, pendidikan
mutlak ada, dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai
manusia yang manusiawi.[11]
Dalam dunia yang secara nyaris sepenuhnya
telah berisi instituasi pendidikan, kajian tentang filsafat pendidikan tentu
saja menjadi kajian yang begitu penting serta fundamen. Selain membantu proses
penyelenggaraan pendidikan untuk menghindari hal-hal yang kontraprodukif,
kajian tentang filsafat pendidikan akan pula membawa kita pada temuan-temuan
mengenai formula pendidikan secara holistik tentang apa dan bagaimana sebuah
pendidikan mesti dilakukan. Dengan demikian, pendidikan benar-benar sesuatu
kegiatan yang dapat dipahami makna relevansi bagi kehidupan.[12]
Sudah merupakan suatu kenyataan dalam
proses kehidupan manusia, bahwa mereka harus melaksanakan tugas-tugas hidup
yang dilaksakan dan ditunaikan dengan baik dan sempurna, sejak zaman kehidupan
mereka yang sederhana, dihutan rimba dan digua ratu, atau ditempat lainnya,
sampai kehidupan umat abad ini. Didalam kehidupan manusia yang sederhana,
mereka bersusah payah dan penuh kesulitan yang beragam dalam menghadapi
perjuangan hidup, bersama dengan hewan dan makhluk lainnya dalam memperebutkan
makanan dan tempat tinggal. Dalam hati mereka, mungkin juga timbul pertanyaan
sebagaimana dilukiskan oleh H.V. Loon secara filosofis dalam bukunya, The Story
of Mankink, sebagi berikut:
Kita hidup dibawah bayangan suatu tanda
Tanya yang sangat besar. Siapakah kita? Dari mana kita datang? Kemana kita akan
pergi? Perlahan-lahan, tetapi dengan keberanian yang gigih kita telah berusaha
mendorong tanda tanya itu, terus dan terus kearah garis yang lebih jauh lagi,
melampaui garis ufuk, diman kita mengharapkan untuk mendapatkan jawaban
pertanyaan kita.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia secara bahasa disebut juga insan,
yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa,
dan jika dilihat dari kata dasarnya yaitu “al-uns” yang berarti jinak. Kata
insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan
jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di
sekitarnya.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat
manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan
dibahas. Pertama, aliran serba-zat. Kedua, aliran serba-ruh. Ketiga, aliran
dualisme. Dan keempat, aliran eksistensialisme.
Secara filosofis hakikat manusia merupakan
kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia,
yakni: (1) Manusia sebagai makhluk pribadi/individu, (2) Manusia sebagai
makhluk sosial, (3) Manusia sebagai makhluk susiala/moral.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung
terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga,
dilatih, dan dididik oleh orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat
kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam
pengelola kelangsungan hidupnya.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan.
Dari penjelasan diatas, kita bisa mengetahui hakikat kita sendiri dalam
pendidikan, dengan mengetahui hakikat manusia dan demensi-demensinya kita bisa
mengoptimalkan dalam kehidupan, untuk itu kami menghimbau kepada pembaca
makalah ini untuk memahami isi makalah dengan sebaik-baik mungkin, sehingga
dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Latief Juraid, Manusia,
Filsafat, dan Sejarah, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2015.
Abidin Zainal, filsafat Manusia,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Anwar
Muhammad, Filsafat Pendidikan, Jakarta, PrenadaMedia Group, 2015.
Gandhi Teguh Wangsa, Filsafat
Pendidikan, Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2016.
Ghufron Moh, Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta, Kalimedia, 2017.
Jalaluddin, Idi Abdullah, Filsafat Pendidikan, Jakarta, PT
RajaGrafindo, 2013.
Kristiawan Muhammad, Filsafat
Pendidikan, Jogjakarta, Valia Pustaka, 2016.
Triwiyanto Teguh, Pengantar
Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2014.