Muhammad Abduh : Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan
Oleh: Nurhasanah
Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam
IAIN
MADURA
Abstrak:
Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh ulama
besar yang memiliki kualifikasi dan kompetensi keilmuan yang tidak diragukan
lagi. Bahkan, kapasitas keilmuannya dapat dijadikan standar keulamaan di
tengah-tengah masyarakat. Kondisi dunia islam pada saat kelahiran dan besarnya
Muhammad Abduh sangat memprihatinkan, karena sebagian besar masyarakat islam
banyak mengenal dengan istilah taklid. Melihat keadaan masyarakat disekitarnya,
Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang yang
melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat
rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa
memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi
tanpa dasar Sehingga dengan
kondisi seperti itu membuat Muhammad Abduh melakukan
seruan untuk melakukan ijtihad yang berpacu dengan ijtihad Ibnu Taimiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam modernisasi
islam terutama modernisasi di bidang pendidikan Muhammad Abduh berkeyakinan
bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan
umat islam adalah melalui pendidikan yang dapat marubah kearah yang lebih baik.
Kata Kunci: Muhammad
Abduh; Ijtihad; Modernisasi
Pendahuluan:
Muhammad Abduh merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan
gerakan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektualnya. Pemikirannya meninggalkan pengaruh yang luas,
tidak hanya di tanah airnya yaitu Mesir dan dunia
Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia. Beliau adalah seorang pembaharu yang mampu
memberikan spirit baru bagi perkembangan dan kemajuan umat Islam. Bahkan
pemikiran dan perjuangan beliau, tidak dipungkiri dapat kita rasakan sampai
saat ini. Muhammad Abduh merupakan seorang ulama’ dan akademisi yang patut
untuk diteladani, baik pemikiran-pemikirannya maupun perjuangannya dalam
memajukan islam dari keterpurukan.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana
Biografi Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana
Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad?
3.
Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh
Tentang Modernisasi Pendidikan?
Tujuan
masalah
1. Untuk
Mengetahui Biografi
Muhammad Abduh
2. Untuk
Mengetahui Pemikiran
Muhammad Abduh Tentang Ijtihad
3. Untuk
Mengetahui Pemikiran
Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Nama Lengkap Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh )
adalah muhammad bin abduh bin hasan khairullah (M Quraish Shihab,1994:11) dan
lahir pada tahun 1266H/1849M di mahallat al-asr, kawasan shubrakhit, provinsi
buhayrah. Muhammad abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani di daratan
rendah mesir.[1]
Muhammad Abduh
adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak
yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Muhammad abduh wafat pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan
Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab. Kedua
keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada
akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani
banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa
waktu, orang tua Abduh hidup
tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian,
meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.[2]
Orang tua Muhammad Abduh sangat menginginkan anaknya menjadi seorang yang berguna, sehingga ketika
Abduh masil kecil ia sudah dikirim ke Masjid Al-Ahmadi Tanta. Muhammad
Abduh dikirim oleh ayahnya ke Tahta untuk belajar ilmu agama di masjid Syekh
Ahmad pada tahun 1862. Kurang lebih dua tahun menuntut ilmu ia kembali lagi
kekampung halamannya, karena merasa tidak mengerti dan memahami apa-apa. Maka
Muhammad Abduh pun mengatakan, bahwa metode yang dipakai pada saat itu yakni
metode menghafal diluar kepala, mengahafal istilah-istilah tanpa mengetahui
makna dan maksudnya. Sehingga ia mengatakan metode dan sistem pembelajarannya
yang salah. Di kampungnya Muhammad Abduh
menjalin kehidupan sebagai seorang petani, dan pada saat usia 16 tahun Muhammad
Abduh dinikahkan dengan seorang wanita dikampungnya.[3]
Muhammad abduh mengawali pendidikannya semenjak usia 10
tahun dengan membaca dan menulis bersama dengan orang tuanya sendiri sebagai
gurunya. Beliau dididik oleh guru privatnya dalam membaca al-quran. Kemudian
pada tahun 1862 saat usianya 13 tahun orang tuanya abbuh mengirim abduh untuk
belajar di masjid ahmadi,tanta yang termasuk salah satu lembaga pendidikan
terbesar di mesir guna memperdalam membaca al-Quran sampai akhirnya beliau
lulus bahkan mendapat gelar Al-Qori’ dan Al-hafidz. Abduh mampu
menghafal Al-Quran dalam waktu dua tahun setelah menjadi seorang hafidz
yang mampu menghafal seluruh isi Al-Quran.[4]
Selanjutnya mulai tahun 1866,
Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan
berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877 dengan mendapat gelar
kesarjanaan ‘alim, prestsi ini memberinya hak untuk mengajar di
Universitas ini. Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh
bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said
Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah
Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al
Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk
memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik. Tidak
hanya itu Afghani juga menyadarkan situasi politik yang tengah dialami ummat
Islam.[5]
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877.
Selanjutnya ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar al ‘Ulum, di
samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku
tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq
karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan
Ibn Khaldun dan History of Civilization
in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahtawi. Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia
membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khadewi taufiq. Akibatnya, Abduh
dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada 1879 Jamaluddin diusir dari Mesir.
Namun setahun kemudian, Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi
redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I
al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, surat kabar mengalami
kemajuan, karena banyak memuat berita tentang pentingnya nasionalisme. Setelah beberapa lama Muhammad Abduh pergi ke Paris memenuhi undangan
Jamaluddin al-Afghani. Di Paris mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan
membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa’
(Tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari
perpecahan dan cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan
jurnal yang menggerakkan umat Islam.
Muhammad Abduh ternyata masih memiliki peluang yang
cukup besar untuk menjadi seorang motivasi bagi perkembangan dunia pendidikan.
Dan pada tahun 1894 M, Muhammad Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah
seorang anggota Majlis A’la universitas Al-Azhar, Mesir. Ketika
itulah iapun melakukan berbagai perubahan dalam Al-Azhar. Kemudian pada tahun
1899 M, Muhammad Abduh menduduiki jabatan sebagai seorang mufti Mesir.
Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal yakni pada tahun 1905 M.[6]
Dalam pengembaraan ilmu, Abduh
tidak pernah puas terhadap salah satu lembaga kajian keislaman, hingga dia
memutuskan kembali ke kampungnya. Namun demikian, sang ayah selalu mengingatkan
dan memaksa untuk kembali dalam capaiannya untuk meningkatkan keintelektualan.
Berbagai usaha mempertahankan idealisme pemikiran yang ditanamkan oleh ayahnya,
ternyata dapat dirasakan ketika abduh menjadi dewasa. Dia juga tidak sedikitpun
terpengaruh oleh kehidupan dimana abduh dilahirkan, atau desa-desa lain yang
mayoritas mereka tergolong orang-orang miskin. Artinya, ketika dilacak tentang
motivasi dalam pemahaman mengenai ajarannya, ternyata tidak terlepas dari
seorang salaf yang punya produk intelektual masa kini seperti Ibnu Taimiyah
yang meninggal tahun 1350 M, sedanghkan Abduh dan muridnya hidup pada tahun
1292-1350 M.[7]
Berdasarkan analisis sebagaimana
diatas pertama muhammad abduh dapat dikategorikan sebagai ulama yang intelek
atau ulama yang modernyang berupaya ingin memajukan dan mengembalikan kejayaan
umat islam agar siap menghadapi tantangan zaman, dengan cara meninjau kembali
pemahaman ajaran islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Terus yang kedua
yaitu disamping memiliki perhatian terhadap masalah sosial dan politik muhammad
abduh juga memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan islam. Ketiga
gagasan dan pemikiran muhammad abduh dalam bidang pendidikan antara lain
berkenan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, pembaharuan dan pengembangan
kelembagaan pendidikan. Yang ke empat berbagai pemikiran muhammad abduh dalam
bidang pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga pendidikan al-azhar, mulai
dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Melalui berbagai karya dan
tulisnya. Sedangkan gagasan dan pemikiran muhammad abduh tersebut memiliki
pengaruh yang cukup besar di berbagai negara islam terutama di indonesia.[8]
B.
Pemikiran
Muhammad Abduh Tentang Ijtihad
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir sama
artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad,
jihad, dan mujahadah. Wacana Ijtihad biasa dipakai dalam
ushul fiqh dan terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa
dipakai dalam fikih yang lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan
agama Allah. Sedangkan mujahadah biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan
kemampuan rohaniah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir
sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut
berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri. Orang yang melakukan ijtihad disebut
mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan mujahadah disebut
mujahid. Karena ketiga akar kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya
tergantung konteks ayat Al-Qur’an.[9]
Ada Menurut
bahasa ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya
bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja
semaksimal mungkin. Sedangkan secara istilah ijtihad ialah suatu usaha
sungguh-sungguh mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk
mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari suatu masalah hukum yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. pula yang mengartikan sebagai
pencurahan kemampuan mendapatkan hukum syara’ yang
bersifat operasional (amali) melalui upaya istinbat (penggalian hukum).[10]
Abduh sangat menghargai para mujtahid dari
madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan
kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas
serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal
yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang
dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut
dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja,
tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman
berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad
ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya
benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah
kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus
dilakukan oleh umat Islam - sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang
biasanya terdapat dalam masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki ilmu
pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib
melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini
ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan
mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam
perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi
yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa
pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu
selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan
bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga juga
mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.
Bagi kelompok kedua yang awam,
sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka
percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang
diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar
kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan
secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya taklid.
Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya
pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.[11]
Dari penjelasan ijtihad diatas
Muhammad Abduh berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam
disebabkan oleh pendangan dan sikap jumud, Sikap dan pandangan
seperti ini menyebabkan umat islam tidak mau menerima perubahan. Selain itu,
sikap jumud ini dalam pandangan Muhammad Abduh sebagai sesuatu
yang bertantangan dengan ajaran islam seperti kepatuhan yang sangat dalam
kepada ulama, pemujaan berlebihan terhadap syaikh dan paham taklid. Dari fenomena inilah Muhammad
Abduh ingin menghilangkan tradisi yang ada dimasyarakat, yakni lansung kembali
keajaran islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan hadits. Melihat keadaan
masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang
yang melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat
yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya,
tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar. Sehubungan dengan itu, Muhammad Abduh menyerukan kepada masyarakat
untuk melakukan ijtihad[12] yang
sama dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang menyerukan bahwa ajaran islam terdiri
dari dua macam yaitu: ibadah dan mu’amalah. Al-Qu’an dan
hadits telah menetapkan aturan jelas mengenai ibadah. Sedangkan ajaran islam
mengenai hidup kemasyarakatan merupakan ajaran-ajaran dasar dan prinsip umum
yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pandangan Muhammad Abduh sangat besar sekali mengenai ijtihad mu’amalah
yang sangat perlu digunakan dalam perkembangan zaman, ijtihad bukan
hanya boleh dilakukan, justru itu sebuah keharusan yang harus dilakukan.
Pendapat Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan
pemberantasan taklid, didasari dengan kepercayaannya kepada akal.
Karena menurutnya akal bisa membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang
bermanfaat dengan yang tidak bermanfaat.[13]
Jadi kesimpulannya, Muhammad
Abduh bersih keras untuk mengubah taklid menjadi ijtihad karena banyak alasan
yang sudah diuraikan diatas.
C. Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan
Dalam
kamus ilmiah popular disebutkan bahwa modernisasi memiliki arti gerakan untuk
merombak cara-cara kehidupan yang baru atau penerapan model-model baru.
Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang
terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya.
Bila dikaitkan dengan pendidikan. Modernisasi merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada.[14]
Bila dikaitkan dengan pendidikan. Modernisasi merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada.[14]
Gerakan modernisasi islam dibidang
pendidikan dengan segala bentuk dan coraknya, baik yang konservatif, reformis,
sekuler, maupun yang fundamentalis, mempunyai implikasi serius bagi
dilakukannya modernisasi pendidikan. Bagaimanpun juga, sebuah gerakan
modernisasi akan selalu memerlukan wadah dan strategi tertentu, dalam rangka
tercapainya tujuan modernisasi yang diharapkan sejak awal. Dalam konteks ini,
pendidikan merupakan bidang yang sangat tepat untuk dijadikan ajang dilakukannya
modernisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan modernisasi Islam,
terutama modernisasi di bidang pendidikan tidak terlepas dari unsur filososfis
berupa cita-cita dan lembaga pendidikan yang terkait. Gerakan modernisasi
pendidikan Islam di Mesir jauh sebelum Muhammad Abduh, memang cukup melelahkan.
Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan selalu mendapat kendala, hambatan dan
tantangan terutama yang datang dari kaum konservatif. Penglaman Turki dan Mesir
kiranya cukup lengkap untuk mencerminkan kondisi bagaimana proses modernisasi
pendidikan terjadi pada dunia Islam. Pada tahap yang paling awal, proses
modernisasi pendidikan Islam, baik di turki maupun mesir, sebagian besar tidak
diarahkan kepada modernisasi lembaga-lembaga pendidikan, yang disebut dalam
berbagai literatur tentang “modernisasi” pada esensinya adalah pembaruan
pemikiran dan cita-cita dengan perspektif intelektual.[15]
Di samping itu juga Muhammad
Abduh, sangat prihatin dengan kemunduran
dan masalah yang dihadapi oleh umat islam, Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa
cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat
islam adalah melalui pendidikan yang dapat marubah kearah yang lebih baik. Dalam pengamatan Muhammad Abduh,
di Mesir sedang terjadi dualisme sistem
pendidikan. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang
memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi
lain, terdapat sekolah-sekolah umum yang dikelola pemerintah yang tidak
memberikan pendidikan agama yang tidak memadai bagi murid-muridnya. Sehingga,
membuat dua sistem pendidikan yang berbeda dan sulit untuk dipertemukan.[16]
Abduh memandang dualisme sistem pendidikan yang ada di
mesir itu tidak baik bagi umat islam. Karena akan melahirkan dua kubu yang
saling merasa unggul. Karena sistem madrasah yang lama melahirkan ulama yang
kurang pengetehuannya di ilmu modern. Sedangkan sekolah umum pengetehuan
agamanya sedikit. Maka dari itu perlu dimasukan kurikulum pengetahuan umum ke
madrasah.
PENUTUP
Kesimpulan
Nama Lengkap Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh )
adalah muhammad bin abduh bin hasan khairullah (M Quraish Shihab,1994:11)
dan lahir pada tahun 1266H/1849M di mahallat al-asr, kawasan shubrakhit,
provinsi buhayrah. Muhammad abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani
di daratan rendah mesir. Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin
al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh
Abduh. Muhammad abduh wafat pada 11
Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan
tokoh besar Islam, Umar bin Khattab. Kedua keluarga orang tua Abduh
sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad
Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani banyak pajak yang tinggi oleh
pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir
dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir sama
artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad,
jihad, dan mujahadah. Wacana Ijtihad biasa dipakai dalam
ushul fiqh dan terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa
dipakai dalam fikih yang lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan
agama Allah. Sedangkan mujahadah biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan
kemampuan rohaniah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha atau
sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya
berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang
yang jihad dan mujahadah disebut mujahid. Karena ketiga
akar kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya tergantung konteks ayat
Al-Qur’an. Ada
Menurut bahasa ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya
bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja
semaksimal mungkin. Sedangkan secara istilah ijtihad ialah suatu usaha
sungguh-sungguh mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk
mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari suatu masalah hukum yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sedangkan pemikiran abduh tentang modernisasi pendidikan
adalah Dalam kamus
ilmiah popular disebutkan bahwa modernisasi memiliki arti gerakan untuk merombak
cara-cara kehidupan yang baru atau penerapan model-model baru. Modernis adalah
orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan
sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya
dan bila dikaitkan dengan pendidikan Modernisasi merupakan suatu upaya untuk
merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru
yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
artikel ini masih terdapat banyak kekurangan, diantaranya adalah kurangnya
referensi yang relevan dan pembahasan yang kurang mendetail. Untuk itu, penulis
menyarankan bagi pembaca untuk memahami adanya kekurangan tersebut, dan bagi
penulis lanjutan untuk menyempurnakan artikel ini.
Daftar Pustaka
Assegaf Abd Rahman. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam.
jakarta: Raja wali pers. 2013.
Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad
Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012
Jurnal Muhammad Abduh Ijtihad dan Modernisasi, blogspot, 2014
Makbuloh Dedeh. Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011.
Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang : PT
Karya Toha Putra. 2004.
Nasution Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press. 1987.
Nata Abuddin. Pemikiran pendidikan islam dan
barat.jakarta: rajawali pers. 2013.
Rouf, “Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan” dalam
Jurnal blogspot, 2012
Siswanto. Filsafat Dan Pemikiran Pendidikan Islam.
Surabaya: Salsabila. 2015.
Tim Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim. Pendidikan Islam.
Malang: UIN Malang Press. 2009.
Uni Zaefah, “Muhammad Abduh dan
Modernisme” dalam Jurnal blogspot, 2017
[3] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
(Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 11.
[4]
Siswanto, Filsafat Dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Surabaya: Salsabila,
2015) hlm.131
[7] Tim Dosen
UIN Maulana Malik Ibrahim, Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009),
hlm. 349-350
[10]Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad
Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012
[12]Jurnal Muhammad Abduh Ijtihad dan Modernisasi,
blogspot, 2014
[14]Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad
Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012
[15] Abd Rahman
assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (jakarta: Raja wali pers,
2013) hlm.181-183