Thursday 20 September 2018

Muhammad Abduh : Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan


Muhammad Abduh : Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan
Oleh: Nurhasanah
Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
IAIN MADURA
Abstrak:
Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh ulama besar yang memiliki kualifikasi dan kompetensi keilmuan yang tidak diragukan lagi. Bahkan, kapasitas keilmuannya dapat dijadikan standar keulamaan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi dunia islam pada saat kelahiran dan besarnya Muhammad Abduh sangat memprihatinkan, karena sebagian besar masyarakat islam banyak mengenal dengan istilah taklid. Melihat keadaan masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang yang melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar Sehingga dengan kondisi seperti itu membuat Muhammad Abduh melakukan seruan untuk melakukan ijtihad yang berpacu dengan ijtihad Ibnu Taimiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam modernisasi islam terutama modernisasi di bidang pendidikan Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat islam adalah melalui pendidikan yang dapat marubah kearah yang lebih baik.
Kata Kunci: Muhammad Abduh; Ijtihad; Modernisasi

Pendahuluan:
Muhammad Abduh merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan gerakan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektualnya. Pemikirannya meninggalkan pengaruh yang luas, tidak hanya di tanah airnya yaitu Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lainnya  termasuk di Indonesia. Beliau adalah seorang pembaharu yang mampu memberikan spirit baru bagi perkembangan dan kemajuan umat Islam. Bahkan pemikiran dan perjuangan beliau, tidak dipungkiri dapat kita rasakan sampai saat ini. Muhammad Abduh merupakan seorang ulama’ dan akademisi yang patut untuk diteladani, baik pemikiran-pemikirannya maupun perjuangannya dalam memajukan islam dari keterpurukan.
Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1.       Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.       Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad?
3.       Bagaimana Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan?

Tujuan masalah
1.     Untuk Mengetahui  Biografi Muhammad Abduh
2.     Untuk Mengetahui  Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad
3.     Untuk Mengetahui  Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan












PEMBAHASAN
A.      Biografi Muhammad Abduh
Nama Lengkap Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh ) adalah muhammad bin abduh bin hasan khairullah (M Quraish Shihab,1994:11) dan lahir pada tahun 1266H/1849M di mahallat al-asr, kawasan shubrakhit, provinsi buhayrah. Muhammad abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani di daratan rendah mesir.[1]
 Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Muhammad abduh wafat pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.  Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.[2]
Orang tua Muhammad Abduh sangat menginginkan anaknya menjadi seorang yang berguna, sehingga ketika Abduh masil kecil ia sudah dikirim ke Masjid Al-Ahmadi Tanta. Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Tahta untuk belajar ilmu agama di masjid Syekh Ahmad pada tahun 1862. Kurang lebih dua tahun menuntut ilmu ia kembali lagi kekampung halamannya, karena merasa tidak mengerti dan memahami apa-apa. Maka Muhammad Abduh pun mengatakan, bahwa metode yang dipakai pada saat itu yakni metode menghafal diluar kepala, mengahafal istilah-istilah tanpa mengetahui makna dan maksudnya. Sehingga ia mengatakan metode dan sistem pembelajarannya yang salah. Di kampungnya Muhammad Abduh menjalin kehidupan sebagai seorang petani, dan pada saat usia 16 tahun Muhammad Abduh dinikahkan dengan seorang wanita dikampungnya.[3]
Muhammad abduh mengawali pendidikannya semenjak usia 10 tahun dengan membaca dan menulis bersama dengan orang tuanya sendiri sebagai gurunya. Beliau dididik oleh guru privatnya dalam membaca al-quran. Kemudian pada tahun 1862 saat usianya 13 tahun orang tuanya abbuh mengirim abduh untuk belajar di masjid ahmadi,tanta yang termasuk salah satu lembaga pendidikan terbesar di mesir guna memperdalam membaca al-Quran sampai akhirnya beliau lulus bahkan mendapat gelar Al-Qori’ dan Al-hafidz. Abduh mampu menghafal Al-Quran dalam waktu dua tahun setelah menjadi seorang hafidz yang mampu menghafal seluruh isi Al-Quran.[4]
Selanjutnya mulai tahun 1866, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877 dengan mendapat gelar kesarjanaan ‘alim, prestsi ini memberinya hak untuk mengajar di Universitas ini. Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik. Tidak hanya itu Afghani juga menyadarkan situasi politik yang tengah dialami ummat Islam.[5]
Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada 1877. Selanjutnya ia mengembangkan ilmunya dengan mengajar di Dar al ‘Ulum, di samping juga mengajar di rumahnya sendiri. Di rumahnya, ia mengajarkan buku tentang akhlak berjudul Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah karangan Ibn Khaldun dan History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh al-Thahtawi. Selain mengajar, Abduh juga terlibat aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin dalam menentang penguasa, Khadewi taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang keluar Kairo setelah sebelumnya pada 1879 Jamaluddin diusir dari Mesir. Namun setahun kemudian, Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, surat kabar mengalami kemajuan, karena banyak memuat berita tentang pentingnya nasionalisme. Setelah beberapa lama Muhammad Abduh pergi ke Paris memenuhi undangan Jamaluddin al-Afghani. Di Paris mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-‘Urwah al-Wutsqa’ (Tali yang Kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam, melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal yang menggerakkan umat Islam.
Muhammad Abduh ternyata masih memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi seorang motivasi bagi perkembangan dunia pendidikan. Dan pada tahun 1894 M, Muhammad Abduh diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Majlis A’la universitas Al-Azhar, Mesir. Ketika itulah iapun melakukan berbagai perubahan dalam Al-Azhar. Kemudian pada tahun 1899 M, Muhammad Abduh menduduiki jabatan sebagai seorang mufti Mesir. Jabatan ini dipegangnya hingga ia meninggal yakni pada tahun 1905 M.[6]
Dalam pengembaraan ilmu, Abduh tidak pernah puas terhadap salah satu lembaga kajian keislaman, hingga dia memutuskan kembali ke kampungnya. Namun demikian, sang ayah selalu mengingatkan dan memaksa untuk kembali dalam capaiannya untuk meningkatkan keintelektualan. Berbagai usaha mempertahankan idealisme pemikiran yang ditanamkan oleh ayahnya, ternyata dapat dirasakan ketika abduh menjadi dewasa. Dia juga tidak sedikitpun terpengaruh oleh kehidupan dimana abduh dilahirkan, atau desa-desa lain yang mayoritas mereka tergolong orang-orang miskin. Artinya, ketika dilacak tentang motivasi dalam pemahaman mengenai ajarannya, ternyata tidak terlepas dari seorang salaf yang punya produk intelektual masa kini seperti Ibnu Taimiyah yang meninggal tahun 1350 M, sedanghkan Abduh dan muridnya hidup pada tahun 1292-1350 M.[7]
Berdasarkan analisis sebagaimana diatas pertama muhammad abduh dapat dikategorikan sebagai ulama yang intelek atau ulama yang modernyang berupaya ingin memajukan dan mengembalikan kejayaan umat islam agar siap menghadapi tantangan zaman, dengan cara meninjau kembali pemahaman ajaran islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Terus yang kedua yaitu disamping memiliki perhatian terhadap masalah sosial dan politik muhammad abduh juga memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan islam. Ketiga gagasan dan pemikiran muhammad abduh dalam bidang pendidikan antara lain berkenan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, pembaharuan dan pengembangan kelembagaan pendidikan. Yang ke empat berbagai pemikiran muhammad abduh dalam bidang pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga pendidikan al-azhar, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Melalui berbagai karya dan tulisnya. Sedangkan gagasan dan pemikiran muhammad abduh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di berbagai negara islam terutama di indonesia.[8]
B.      Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir sama artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad, jihad, dan mujahadah. Wacana Ijtihad biasa dipakai dalam ushul fiqh dan terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa dipakai dalam fikih yang lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan agama Allah. Sedangkan mujahadah  biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan kemampuan rohaniah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha  sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan mujahadah disebut mujahid. Karena ketiga akar kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya tergantung konteks ayat Al-Qur’an.[9]
Ada Menurut bahasa ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan secara istilah ijtihad ialah suatu usaha sungguh-sungguh mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. pula yang mengartikan sebagai pencurahan kemampuan mendapatkan hukum syara’  yang bersifat operasional (amali) melalui upaya istinbat (penggalian hukum).[10]
Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam - sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.[11]
Dari penjelasan ijtihad diatas Muhammad Abduh berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam disebabkan oleh pendangan dan sikap jumud, Sikap dan pandangan seperti ini menyebabkan umat islam tidak mau menerima perubahan. Selain itu, sikap jumud ini dalam pandangan Muhammad Abduh sebagai sesuatu yang bertantangan dengan ajaran islam seperti kepatuhan yang sangat dalam kepada ulama, pemujaan berlebihan terhadap syaikh dan paham taklid. Dari fenomena inilah Muhammad Abduh ingin menghilangkan tradisi yang ada dimasyarakat, yakni lansung kembali keajaran islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan hadits. Melihat keadaan masyarakat disekitarnya, Muhammad Abduh sangat tidak menyukai taklid. Orang yang melakukan taklid, menurut Muhammad Abduh memiliki derajat yang sangat rendah, karena hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan pribadi orang yang diikutinya. Hal ini membuat perbuatan taklid menjadi tanpa dasar. Sehubungan dengan itu, Muhammad Abduh menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan ijtihad[12] yang sama dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang menyerukan bahwa ajaran islam terdiri dari dua macam yaitu: ibadah  dan mu’amalah. Al-Qu’an dan hadits telah menetapkan aturan jelas mengenai ibadah. Sedangkan ajaran islam mengenai hidup kemasyarakatan merupakan ajaran-ajaran dasar dan prinsip umum yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pandangan Muhammad Abduh sangat besar sekali mengenai ijtihad mu’amalah yang sangat perlu digunakan dalam perkembangan zaman, ijtihad bukan hanya boleh dilakukan, justru itu sebuah keharusan yang harus dilakukan.
Pendapat Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan  pemberantasan taklid, didasari dengan kepercayaannya kepada akal. Karena menurutnya akal bisa membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dengan yang tidak bermanfaat.[13]
Jadi kesimpulannya, Muhammad Abduh bersih keras untuk mengubah taklid menjadi ijtihad karena banyak alasan yang sudah diuraikan diatas.
C.      Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Modernisasi Pendidikan
Dalam kamus ilmiah popular disebutkan bahwa modernisasi memiliki arti gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan yang baru atau penerapan model-model baru. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya.
Bila dikaitkan dengan pendidikan
. Modernisasi merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada.[14]
Gerakan modernisasi islam dibidang pendidikan dengan segala bentuk dan coraknya, baik yang konservatif, reformis, sekuler, maupun yang fundamentalis, mempunyai implikasi serius bagi dilakukannya modernisasi pendidikan. Bagaimanpun juga, sebuah gerakan modernisasi akan selalu memerlukan wadah dan strategi tertentu, dalam rangka tercapainya tujuan modernisasi yang diharapkan sejak awal. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan bidang yang sangat tepat untuk dijadikan ajang dilakukannya modernisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan modernisasi Islam, terutama modernisasi di bidang pendidikan tidak terlepas dari unsur filososfis berupa cita-cita dan lembaga pendidikan yang terkait. Gerakan modernisasi pendidikan Islam di Mesir jauh sebelum Muhammad Abduh, memang cukup melelahkan. Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan selalu mendapat kendala, hambatan dan tantangan terutama yang datang dari kaum konservatif. Penglaman Turki dan Mesir kiranya cukup lengkap untuk mencerminkan kondisi bagaimana proses modernisasi pendidikan terjadi pada dunia Islam. Pada tahap yang paling awal, proses modernisasi pendidikan Islam, baik di turki maupun mesir, sebagian besar tidak diarahkan kepada modernisasi lembaga-lembaga pendidikan, yang disebut dalam berbagai literatur tentang “modernisasi” pada esensinya adalah pembaruan pemikiran dan cita-cita dengan perspektif intelektual.[15]
Di samping itu juga Muhammad Abduh,  sangat prihatin dengan kemunduran dan masalah yang dihadapi oleh umat islam, Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa cara yang terbaik untuk mengadakan pembaharuan dan meningkatkan kehidupan umat islam adalah melalui pendidikan yang dapat marubah kearah yang lebih baik. Dalam pengamatan Muhammad Abduh, di Mesir sedang terjadi dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, terdapat madrasah-madrasah yang memberikan pendidikan agama tanpa memasukkan kurikulum pendidikan umum. Di sisi lain, terdapat sekolah-sekolah umum yang dikelola pemerintah yang tidak memberikan pendidikan agama yang tidak memadai bagi murid-muridnya. Sehingga, membuat dua sistem pendidikan yang berbeda dan sulit untuk dipertemukan.[16]
Abduh memandang dualisme sistem pendidikan yang ada di mesir itu tidak baik bagi umat islam. Karena akan melahirkan dua kubu yang saling merasa unggul. Karena sistem madrasah yang lama melahirkan ulama yang kurang pengetehuannya di ilmu modern. Sedangkan sekolah umum pengetehuan agamanya sedikit. Maka dari itu perlu dimasukan kurikulum pengetahuan umum ke madrasah.








PENUTUP
Kesimpulan
Nama Lengkap Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh ) adalah muhammad bin abduh bin hasan khairullah (M Quraish Shihab,1994:11) dan lahir pada tahun 1266H/1849M di mahallat al-asr, kawasan shubrakhit, provinsi buhayrah. Muhammad abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani di daratan rendah mesir. Muhammad Abduh adalah kawan dan murid setia Jamaluddin al-Afghani. Ide-ide jamaluddin banyak yang ditransfer dan dikembangkan oleh Abduh. Muhammad abduh wafat pada 11 Juli 1905. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.  Kedua keluarga orang tua Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta’, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani banyak pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali. Selama beberapa waktu, orang tua Abduh hidup tidak menentu di tengah kesulitan. Abduh sendiri lahir dalam suasana demikian, meskipun keluarga itu kemudian kembali ke desanya.
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir sama artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad, jihad, dan mujahadah. Wacana Ijtihad biasa dipakai dalam ushul fiqh dan terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa dipakai dalam fikih yang lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan agama Allah. Sedangkan mujahadah  biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan kemampuan rohaniah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha atau sungguh-sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan mujahadah disebut mujahid. Karena ketiga akar kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya tergantung konteks ayat Al-Qur’an. Ada Menurut bahasa ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan secara istilah ijtihad ialah suatu usaha sungguh-sungguh mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sedangkan pemikiran abduh tentang modernisasi pendidikan adalah Dalam kamus ilmiah popular disebutkan bahwa modernisasi memiliki arti gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan yang baru atau penerapan model-model baru. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya dan bila dikaitkan dengan pendidikan Modernisasi merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan artikel ini masih terdapat banyak kekurangan, diantaranya adalah kurangnya referensi yang relevan dan pembahasan yang kurang mendetail. Untuk itu, penulis menyarankan bagi pembaca untuk memahami adanya kekurangan tersebut, dan bagi penulis lanjutan untuk menyempurnakan artikel ini.



Daftar Pustaka

Assegaf Abd Rahman. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. jakarta: Raja wali pers. 2013.
Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012
Jurnal Muhammad Abduh Ijtihad dan Modernisasi, blogspot, 2014
Makbuloh Dedeh. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang : PT Karya Toha Putra. 2004.
Nasution Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press. 1987.
Nata Abuddin. Pemikiran pendidikan islam dan barat.jakarta: rajawali pers. 2013.
Rouf, “Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan” dalam Jurnal blogspot, 2012
Siswanto. Filsafat Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Surabaya: Salsabila. 2015.
Tim Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim. Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press. 2009.
Uni Zaefah, “Muhammad Abduh dan Modernisme” dalam Jurnal blogspot, 2017







[1] Abd Rahman assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (jakarta: Raja wali pers, 2013) hlm.149
[2] Uni Zaefah, “Muhammad Abduh dan Modernisme” dalam Jurnal blogspot, 2017
[3] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 11.
[4] Siswanto, Filsafat Dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Surabaya: Salsabila, 2015) hlm.131
[5] Rouf, “Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan” dalam Jurnal blogspot, 2012

[6] Uni Zaefah, “Muhammad Abduh dan Modernisme” dalam Jurnal blogspot, 2017
[7] Tim Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim, Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 349-350
[8] Abuddin nata,pemikiran pendidikan islam barat,(jakarta:rajawali pers,2013),hlm.312-313
[9] Dedeh Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 207
[10]Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012

[11] Rouf, “Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan” dalam Jurnal blogspot, 2012

[12]Jurnal Muhammad Abduh Ijtihad dan Modernisasi, blogspot, 2014

[13] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004), hlm.132.

[14]Divaz, “ Pemikiran Muhammad Abduh Bidang Ijtihad Modernisasi Pendidikan.” Dalam Jurnal Wordpress, 2012
[15] Abd Rahman assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (jakarta: Raja wali pers, 2013) hlm.181-183
[16] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004), hlm.125