BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lingkungan Bahasa.
Lingkungan
secara umum adalah suatu wilayah daerah atau kawasan serta yang tercukup di
dalamnya,lingkunganitu dapat melibatkan sejumlah panca indra manusia khususnya
pendengaran dan penglihatan. Batasan
dan situasi seperti itu memberi gambaran bahwa lingkungan bahasa adalah situasi
suatu wilayah tertentu dimana suat
u
bahasa tumbuh, berkembang dan digunakan oleh para penuturnya. Dengan kata lain,
lingkungan bahasa mencakup situasi segala hal yang dapat didengar dan dilihat
oleh penutur pada wilayah tertentu dimana suatu bahasa digunakan. Lingkungan
bahasa itu adalah segala hal yang dapat didengar dan dilihat yang turut
mempengaruhi proses komunikasi berbahasa. Untuk lebih jelas, yang termasuk
lingkungan bahasa adalah seperti situasi di kelas saat proses pembelajaran
berlangsung, di pasar, pusat perbelanjaan,
Secara
umum, lingkungan bahasa dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa terbatas
dua jenis, yaitu: (1) lingkungan formal dan (2) lingkungan informal. Lingkungan
formal dapat dikatakan sebagai suatu lungkungan yang resmi.Lingkungan informal
dapat dikatakan situasi yang terjadi begitu saja atau situasi yang tidak
dibentuk secara resmi.
1.
Lingkungan
Informal.
Sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa lingkungan formal adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.
Adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.Salah satu yang
termasuk proses pembelajaran di ruang kelas yang dibimbingi oleh guru. Dengan demikian,
dalam lingkungan formal seperti itu para pembelajar dibimbing dan diarahkan
pada guru untuk dapat menguasai sistem-sistem atau kaidah-kaidah maupun aturan-aturan bahasa yang
dipelajari.
2. Lingkungan Informal.
Lingkungan
Informal, Lingkungan informal sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya
yaitu lingkungan atau situasi alami (natural) tanpa dibentuk secara terencana.
Lingkungan informal ini pada hakikatnya terjadi begitu saja dan apa adanya
tanpa rekayasa dan pembentukan secara terencana. Lingkungan informal dalam
kaitannya dengan bahasa, baik dalam hal proses pemerolehan maupun pembelajaran,
cakupan jauh lebih besar daripada lingkungan formal. Kita ataupun para
pembelajar lebih banyak dihadapkan pada lingkungan informal daripada lingkungan
formal. Lingkungan informal ini meliputi berbagai situasi seperti ketika
berkomunikasi di rumah bersama-sama keluarga, komunikasi bersama sahabat maupun
dengan orang lain,komunikasi di pasar, di kantor, atau di mana saja serta
berbagai situasi lain yang terjadi secara alami.[1].
B.
Perolehan Bahasa dari beberapa Bidang
1. Pemerolehan dalam
bidang Fonologi
Pada
waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini
berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan
inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera sesudah lahir,
sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proposi
yang ditakdirkan kecil pada manusia ini mungkin memang “dirancang” agar
pertumbuhan otaknya proposional pula dengan pertumbuhan badannya.
Pada
umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan
bunyi konsonan atau vokal.Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya
karena memang terdengar dengan jelas. Proses bunyi-bunyi seperti ini
dinamakancooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000:
63). Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada
sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga
membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang
telah diterjemahkan menjadi celotehan (Darmowidjojo: 2000: 63). Celotehan
dimulai dengan konsonan dan diikuti diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang
keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya
adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan
adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti
berikut: C1 V1 C! V! C1 V!……papapa mamama bababa…..
Orang
tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah mama dengan ibu meskipun apa
yang ada dibenak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu
hanyalah sekedar latihan artikulori belaka. Konsonan dan vokalnya secara
gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita,
dita,mama, mami, dan sebagainya.
2. Pemerolehan Morfologi.
Pada periode kalimat dua kata, seorang anak sudah
mulai membuat kalimat yang terdiri dari dua kata. Adapun kata yang digunakan
pada umumnya masih berupa dua kata dasar yang dihubungkan. Hal ini, terlihat
dengan belum adanya afiksasi pada kata dasar yang dapat menimbulkan perbedaan arti
kata pada kalimat dalam berbagai bahasa, perubahan-perubahan pada sebuah kata
dalam bentuk infleksi morfologi yang kemudian baru muncul diferensiasi
morfologi, ketika seorang anak mengadakan deferensiasi pada kelas kata dan
diferensiasi morfologi.
Diferensiasi morfologi meliputi tiga hal penting,
yaitu :
1. pembentukan kata jamak,
2. pembentukan diminutuisesuffix (verkleinwood),
misalnya : kata jurk
(rok orang dewasa), jurke (rok
anak), dan
3. perubahan kata kerja (schaerlaekens, 1977).
Menyinggung hal diatas, slobin (1973) dalam
penilitiannya menemukan sebanyak 40 bahasa anak yang memiliki berbagai macam
kesamaan dalam hukum-hukum perolehan bahasa (operating principles). Adapun
hokum-hukum perolehan bahasa antara lain antara lain sebagai berikut:
Pertama, pada
awal pengenalan kata, anak-anak mencari dan menemukan bahwa kata-kata itu
bermacam-macam bentuknya serta bermacam-macam maknanya. Melalui bantuan
konteks, konteks lambat laun seorang anak akan mengetahui bahwa contohnya kata bau dan bahu, tahu dan tau, tas
dan pas dan lain sebagainya.
Mereka mengetahui hal ini karena orang dewasa selalu memakai pasangan kata
tersebut dalam situasi, kondisi serta kejadian yang berbeda-beda.
Kedua,
seorang anak dapat menemukan misalnya ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu
kata-kata tugas (function words) dan afiks-afiks, juga bahwa pada akhirnya
(sufiks)-an,-kan dan-i selalu
berhubungan kata kerja, sufiksnya dengan kata benda, ada ulangan dan lain
sebagainya.
Ketiga, menghindari
adanya kekecualian, dan hal ini terbukti dengan adanya
kecenderungan-kecenderungan anak untuk mengaddakan generelasisasi seperti yang
telah diuraikan diatas.
Keempat, memperhatikan
akhiran-akhiran kata dan akhiran-akhiran kata, dan kemudia anak berkesimpulan
bahwa akhiran (sufiks) itu dapat mengubah makna sebuah kata. Bahkan peranan
konteks juga sangat penting dalam hal ini. Pernah ditemukan sebuah bukti dari
berbagai macam bahasa bahwa seorang anak sering memperhatikan akhiran (sufiks)
dan memakainya terlebih dahulu dari pada awalan (prefiks).
Kelima, seorang anak mengamati bahwa penempatan kata
dan urutan kata untuk memiliki aturan-aturan. Hal ini pada akhirnya dapat
memisahkan antara awalan dan akhiran serta pemakainya, sehingga tidak terbalik
atau salah dalam pemakainya.[2]
3. Pemerolehan dalam
bidang Sintaksis
Dalam
bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau
bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi
karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil
satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana
yang dia pilih? Seandainya anak itu bernama Dodi dan yang ingin ia sampaikan
adalah Dodi mau bubuk, dia akan
memilih di (untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk (untuk bubuk)?
Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk. Tapi mengapa demikian?
Dalam
pola pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan
tentang informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk
memberikan informasi baru kepada pendengarnya. Dari tiga kata pada
kalimat Dodi mau bubuk, yang baru adalah
kata bubuk. Karena itulah anak memilih buk, dan
bukan di, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam
ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK anak tidak sembarangan saja memilih
kata yang memberikan informasi baru.
4. Pemerolehan dalam
bidang Semantik
Dari
segi sintaksisnya, USK (Ujaran Satu Kata) sangatlah sederhana karena memang
hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia
hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah
kompleks karena satu kata ini bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak
yang mengatakan /b/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
1.
Ma, itu mobil.
2.
Ma, ayo kita ke mobil.
3.
Aku mau ke mobil.
4.
Aku minta (mainan) mobil.
5.
Aku nggak mau mobil.
6.
Papa ada di mobil, dan sebagainya
Kata
mempunyai jalur hierarkhi semantik. Perkutut Bangkok adalah satu jenis
perkutut, dan perkutut adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu
dari sekian banyak macam burung. Sementara itu, burung adalah salah satu
binatang, dan binatang adalah salah satu wujud dari makhluk. Dalam hal
pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang hirarkhinya terlalu
tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang dinamakan basic
level category , yakni, suatu kategori dasar yang tidak terlalu tetapi
juga tidak terlalu rendah. Dalam contoh binatang di atas, anak tidak akan
mengambil binatang atau makhluk; dia juga tidak akan mengambil perkutut. Dia
akan mengambil kata yang dasar, yakni, burung. Tentu saja inputnya
adalah dari bahasa sang ibu tetapi bahasa sang ibu juga mengikuti prinsip ini.[3]