Saturday 22 September 2018

Pengertian Lingkungan Bahasa.




BAB I
PEMBAHASAN
A.      Pengertian  Lingkungan Bahasa.
Lingkungan secara umum adalah suatu wilayah daerah atau kawasan serta yang tercukup di dalamnya,lingkunganitu dapat melibatkan sejumlah panca indra manusia khususnya pendengaran dan penglihatan. Batasan dan situasi seperti itu memberi gambaran bahwa lingkungan bahasa adalah situasi suatu wilayah tertentu dimana suat u bahasa tumbuh, berkembang dan digunakan oleh para penuturnya. Dengan kata lain, lingkungan bahasa mencakup situasi segala hal yang dapat didengar dan dilihat oleh penutur pada wilayah tertentu dimana suatu bahasa digunakan. Lingkungan bahasa itu adalah segala hal yang dapat didengar dan dilihat yang turut mempengaruhi proses komunikasi berbahasa. Untuk lebih jelas, yang termasuk lingkungan bahasa adalah seperti situasi di kelas saat proses pembelajaran berlangsung, di pasar, pusat perbelanjaan,
Secara umum, lingkungan bahasa dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa terbatas dua jenis, yaitu: (1) lingkungan formal dan (2) lingkungan informal. Lingkungan formal dapat dikatakan sebagai suatu lungkungan yang resmi.Lingkungan informal dapat dikatakan situasi yang terjadi begitu saja atau situasi yang tidak dibentuk secara resmi.
1.      Lingkungan Informal.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lingkungan formal adalah lingkungan  yang dibentuk secara resmi dan terencana. Adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana.Salah satu yang termasuk proses pembelajaran di ruang kelas yang dibimbingi oleh guru. Dengan demikian, dalam lingkungan formal seperti itu para pembelajar dibimbing dan diarahkan pada guru untuk dapat menguasai sistem-sistem atau kaidah-kaidah maupun aturan-aturan bahasa yang dipelajari.


2.      Lingkungan Informal.
Lingkungan Informal, Lingkungan informal sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu lingkungan atau situasi alami (natural) tanpa dibentuk secara terencana. Lingkungan informal ini pada hakikatnya terjadi begitu saja dan apa adanya tanpa rekayasa dan pembentukan secara terencana. Lingkungan informal dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam hal proses pemerolehan maupun pembelajaran, cakupan jauh lebih besar daripada lingkungan formal. Kita ataupun para pembelajar lebih banyak dihadapkan pada lingkungan informal daripada lingkungan formal. Lingkungan informal ini meliputi berbagai situasi seperti ketika berkomunikasi di rumah bersama-sama keluarga, komunikasi bersama sahabat maupun dengan orang lain,komunikasi di pasar, di kantor, atau di mana saja serta berbagai situasi lain yang terjadi secara alami.[1].

B. Perolehan Bahasa dari beberapa Bidang
1. Pemerolehan dalam bidang Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena  perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera sesudah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proposi yang ditakdirkan kecil pada manusia ini mungkin memang “dirancang” agar pertumbuhan otaknya proposional pula dengan pertumbuhan badannya.
Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal.Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang terdengar dengan jelas. Proses bunyi-bunyi seperti ini dinamakancooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000: 63). Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Darmowidjojo: 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:   C1 V1 C! V! C1 V!……papapa  mamama  bababa…..
Orang tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah mama dengan ibu meskipun apa yang ada dibenak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulori belaka. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita,mama, mami, dan sebagainya.
2. Pemerolehan Morfologi.
Pada periode kalimat dua kata, seorang anak sudah mulai membuat kalimat yang terdiri dari dua kata. Adapun kata yang digunakan pada umumnya masih berupa dua kata dasar yang dihubungkan. Hal ini, terlihat dengan belum adanya afiksasi pada kata dasar yang dapat menimbulkan perbedaan arti kata pada kalimat dalam berbagai bahasa, perubahan-perubahan pada sebuah kata dalam bentuk infleksi morfologi yang kemudian baru muncul diferensiasi morfologi, ketika seorang anak mengadakan deferensiasi pada kelas kata dan diferensiasi morfologi.
Diferensiasi morfologi meliputi tiga hal penting, yaitu :
1.      pembentukan kata jamak,
2.      pembentukan diminutuisesuffix (verkleinwood),
misalnya : kata jurk (rok orang dewasa), jurke (rok anak), dan
3.      perubahan kata kerja (schaerlaekens, 1977).
Menyinggung hal diatas, slobin (1973) dalam penilitiannya menemukan sebanyak 40 bahasa anak yang memiliki berbagai macam kesamaan dalam hukum-hukum perolehan bahasa (operating principles). Adapun hokum-hukum perolehan bahasa antara lain antara lain sebagai berikut:
Pertama, pada awal pengenalan kata, anak-anak mencari dan menemukan bahwa kata-kata itu bermacam-macam bentuknya serta bermacam-macam maknanya. Melalui bantuan konteks, konteks lambat laun seorang anak akan mengetahui bahwa contohnya kata bau dan bahu, tahu dan tau, tas  dan  pas dan lain sebagainya. Mereka mengetahui hal ini karena orang dewasa selalu memakai pasangan kata tersebut dalam situasi, kondisi serta kejadian yang berbeda-beda.
Kedua, seorang anak dapat menemukan misalnya ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu kata-kata tugas (function words) dan afiks-afiks, juga bahwa pada akhirnya (sufiks)-an,-kan dan-i selalu berhubungan kata kerja, sufiksnya dengan kata benda, ada ulangan dan lain sebagainya.
Ketiga, menghindari adanya kekecualian, dan hal ini terbukti dengan adanya kecenderungan-kecenderungan anak untuk mengaddakan generelasisasi seperti yang telah diuraikan diatas.
Keempat, memperhatikan akhiran-akhiran kata dan akhiran-akhiran kata, dan kemudia anak berkesimpulan bahwa akhiran (sufiks) itu dapat mengubah makna sebuah kata. Bahkan peranan konteks juga sangat penting dalam hal ini. Pernah ditemukan sebuah bukti dari berbagai macam bahasa bahwa seorang anak sering memperhatikan akhiran (sufiks) dan memakainya terlebih dahulu dari pada awalan (prefiks).
Kelima,  seorang anak mengamati bahwa penempatan kata dan urutan kata untuk memiliki aturan-aturan. Hal ini pada akhirnya dapat memisahkan antara awalan dan akhiran serta pemakainya, sehingga tidak terbalik atau salah dalam pemakainya.[2]


3. Pemerolehan dalam bidang Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dia pilih? Seandainya anak itu bernama Dodi dan yang ingin ia sampaikan adalah Dodi mau bubuk, dia akan memilih di (untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk (untuk bubuk)? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk. Tapi mengapa demikian?
Dalam pola pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan tentang informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi baru kepada pendengarnya. Dari tiga kata pada kalimat Dodi mau bubuk, yang baru adalah kata bubuk.  Karena itulah anak memilih buk, dan bukan di, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK anak tidak sembarangan saja memilih kata yang memberikan informasi baru.
4. Pemerolehan dalam bidang Semantik
Dari segi sintaksisnya, USK (Ujaran Satu Kata) sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu kata ini  bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /b/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
1. Ma, itu mobil.
2. Ma, ayo kita ke mobil.
3. Aku mau ke mobil.
4.  Aku minta (mainan) mobil.
5. Aku nggak mau mobil.
6. Papa ada di mobil, dan sebagainya
Kata mempunyai jalur hierarkhi semantik. Perkutut Bangkok adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu dari sekian banyak macam burung. Sementara itu, burung adalah salah satu binatang, dan binatang adalah salah satu wujud dari makhluk. Dalam hal pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang hirarkhinya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang dinamakan basic level category , yakni, suatu kategori dasar yang tidak terlalu tetapi juga tidak terlalu rendah. Dalam contoh binatang di atas, anak tidak akan mengambil binatang atau makhluk; dia juga tidak akan mengambil perkutut. Dia akan mengambil kata yang dasar, yakni, burung. Tentu saja inputnya adalah dari bahasa sang ibu tetapi bahasa sang ibu juga mengikuti prinsip ini.[3]











           








[1] Andiopenta Purba, “PERANAN LINGKUNGAN BAHASA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA”, 1 ( Juli, 2013) hlm, 15-18.
[2] Rohamnu Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, konsep dan isu umum (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 108-109.
[3] Ibid.