BAB II
PEMBAHASAN
- Penafsiran surah Al-mujadalah Ayat 11
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ
الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai
orang-orang yang beriman apabila kamu dikatakan kepada
kamu:”Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapanglah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:”Berdirilah kamu”, Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
a.
Mufradat
Q.S Al-Mujadalah: 11
تفسحوا : Maksudnya adalah توسعوا
yaitu saling meluaskan dan memperselisihkan.
يفسح : Maksudnya Allah akan melapangkan rahmat dan rezeki bagi
mereka.
فانشزوا : Maksudnya saling merendahkan hati untuk memberi kesempatan
kepada setiap orang yang datang.
يرفع الله الذين: Maksudnya Allah akan mengangkat derajat mereka yang telah
memuliakan dan memiliki ilmu di akhirat pada tempat yang khusus sesuai dengan
kemuliaan dan ketinggian derajatnya.
b.
Asbabul
Nuzul
Di riwayatkan oleh Ibn Abi Hitam dari Muqatil bin Hibban, ia mengatakan
bahwa suatu hari yaitu hari jum’at , Rasulullah SAW berada di shuffah
mengadakan pertemuan di tempat yang sempit, dengan maksud menghormati pahlawan
perang badar yang terjadi antara kaum muhajirin dan anshar. Beberapa pahlawan perang badar ini terlambat
datang, diantaranya Shabit dan Qais, sehingga mereka berdiri diluar ruangan.
Meraka mengucapkan salam “ Assalamu’alaikum ayyuhan nabi wabarokatu”,
lalu nabi menjawabnya. Mereka pun mengucapkan sama kepada orang-orang yang
terlebih dahulu datang, dan dijawab pula oleh mereka. Para pahlawan badar itu
tetep berdiri, menungu tempat yang disediakan bagi mereka tapi tidak ada yang
memperdulikanya.Melihat kejadian tersebut, Rasulullah menjadi kecewa lalu menyuruh
kepada orang-orang sekitarnya untuk birdiri.Diantar mereka ada yang berdiri
tetapi rasa keenganan nampak di wajah mereka.Maka orang-orang munafik
memberikan reaksi dengan maksud mencela nabi, sambil mengatakan “demi Allah,
Muhammad tidak adil, ada orang yang datang lebih dahulu datng dengan maksud
memproleh tempat duduk didekatnya, tetapi disuruh berdiri untuk di berikan
kepada orang yang datang terlambat datang”.Lalu turunlah ayat ini.[1]
c.
Munasabah
Ayat
Berkorelasi dengan ayat sebelumnya 789
d.
Penafsirat
Ayat
a.
Tafsir Kata
Kata (تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا ) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha, yakni lapang.Sedang kata (انشزوا) unsyzu terambil dari kata (نشوز) nusyuz, yakni tempat yangtinggi.Perintah tersebut pada
mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke
tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada
di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktifitas positif.
Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan lama-lama di sana,
karena boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera
beliau hadapi.
Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata ( مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk.Dalam konteks
ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW.memberi tuntunan agama ketika
itu.Tetapi, yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara
mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring.
Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar
serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun
jika Anda-wahai yang muda-duduk di bus atau di kereta, sedang dia tidak
mendapat tempat duduk, adalah wajar dan beradab jika Anda berdiri untuk
memberinya tempat duduk.
Ayat di atas
tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang
berilmu.Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derejat-derajat, yakni yang
lebih tinggi daripada yang sekedar beriman.Tidak disebutnya kata meninggikan
itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu saja,
yang dimaksud dengan ( الّذين
اوتواالعلم) alladzina utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan
adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini
berati ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang
pertama sekadar beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal
saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih
tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan
pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan
keteladanan. Ilmu yang di maksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama,
tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.
Kata ilmu
berasal dari bahasa Arab ‘Ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan lawan
kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan
bahwa kata ‘ilmu adalah bentuk masdar dari ‘alima,
ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarang buku Mu’jam Maqayis
al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu yang
dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu
adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut
al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (indrak
al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab
lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah
(kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan
kata yang paling sering digunakan.[2]
Ada dua jenis
pengetahuan yaitu:
1.
Pengetahuan
biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan,
pikiran, pengalaman, pancaindra da intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa
memerhatikan objek, cara dan kegunaanya.
2.
Pengetahuan
ilmiah merupakan keseluruhan bentuk uaya manusia untuk mengetahui sesuatu,
tetapi dengan memerhatikan objek ang ditelaah, cara yang digunakan, dan
kegunaan pengetahuan tersebut. Imu yang dimaksud disini adalah ilmu pengetahuan
atau science.[3]
b.
Tafsir kalimat
اِذَا قيل لَكُم
تفسّحوافى المجلس
“Apabila dikatakan kepadamu:Berlapang-lapanglah
dalam majelis”
maksudnya
adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di majelis Rasulullah, maka
segeralah berdiri, karena Rasulullah SAW terkadang mengamati keadaan setiap
individu, sehingga dapat diketahui sikap keagamaan orang tersebut. Berhubungan
dengan hal demikian, maka bagi orang yang datang terdahulu di majelis tersebut
tidak boleh mempersiahkan orang yang datang belakangan untuk duduk di tempat
duduknya tetapi cukup memberikan kelapangan dan mempersilahkan liwat.
يرفع الله الذين
امنوامنكم والذين اوتوالعلم درجتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat”
maksudnya
adalah bahwa setiap orang mukmin dianjurkan agar memberikan kelapangan kepada
sesama kawannya ketika berada di majeli, ketika kawannya itu datang belakangan;
atau apabila dianjurkan agar keluar meninggalkan majelis, maka segeralah
tinggalkan tempat itu, dan jangan ada prasangka bahwa perintah tersebut akan
menghilangkan haknya, melainkan
merupakan kesempatan yang dapat menambah kedekatan pada Tuhannya, karena Allah
tidak akan menyia-nyiakan setiap perbuatan yang dilakukan hamba-Nya, melainkan
akan diberikan balasan yang setimpal didunia dan akhirat.
والله بما
تعملون خبيرٌ
“Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”
maksudnya
adalah bahwa Allah mengetahui setiap perbuatan yang baik dan buruk yang
dilakukan hamba-Nya, dan akan membalasnya amal tersebut. Orang yang berbuat
baik akan dibalas dengan kebaikan, demikian pula orang yang berbuat buruk akan
dibalas dengan keburukan, atau diampuninya apabila dia bertaubat. [4]
e.
Nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam ayat
1.
Etika Dalam
Majlis
Etika atau
akhlak dalam majlis ini maksudnya adalah bahwasanya ketika berada dalam suatu
majlis,hendaklah kita memberikan kelapangan tempat duduk bagi yang baru
datang.Dalam buku pembelajaran Al-Quran Hadits dikatakan bahwasanya yang sempit
itu bukanlah tempatnya melainkan hatinya.Tabiat manusia yang mementingkan diri
sendiri, membuat enggan memberikan tempat kepada orang yang baru datang, jadi
dalam hal ini hati sangat berperan.
2.
Manfaat beriman
dan berilmu pengetahuan
Orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
akan menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana. Iman dan ilmu tersebut akan
membuat orang mantap dan agung. Tentu saja yang dimaksud dengan / yang diberi
pengetahuan.Ini berarti pada ayat tersebut membagi kaum beriman kepada dua
kelompok besar, yang pertama sekedar berimnan dan beramal saleh, dan yang kedua
beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua
ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya,
tetapi juga amal dan pengajatrannya kepada pihak lain baik secara lisan,
tulisan maupun dengan keteladanan.
3.
Contoh semangat
keilmuan
Adapun yang dapat dijadikan sebagai contoh dari
semangat keilmuan adalah
a.
Rasulullah itu
sendiri merupakan contoh teladan yang tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu,
Beliau senantiasa membaca dan menimba ilmu dari alam rasa dan yang semuanya
bersumber dari Allah SWT.
b.
Apabila ada
suatu majlis maka bergabunglah karena pasti disana akan didapatkan suatu
pengetahuan baru yang akan emnambah wawasan dan referensi sehingga kita dapat
mengaplikasikan apa yang didapatkan. Seperti contoh sahabat Nabi yang pulang
dari medan perang. Beliau tetap bergabung dalam majlis ilmu yang dilaksanakan
oleh Nabi. Dalam dunia kita saat ini yaitu seringlah mengikuti kegiatan yang
dilaksanakan oleh pihak-pihak yang peduli dengan bidang-bidang keilmuan.
c.
Ikutilah jejak para tokoh-tokoh agamawan,
ilmuan, tokoh pemikir yang selalu berupaya untuk menciptakan iklim yang baru
sehingga saat ini kita dapat menikmatinya dan dimasa mendatang.
Pada ayat tersebut juga terkandung motivasi
yang amat kuat agar orang giat menuntut ilmu pengetahuan, yaitu dengan
memberikan kedudukan tertinggi dalam pandangan Allah SWT.
2.
Penafsiran
surah Al-Zumar ayat 9
أمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ
الآخِرَةَ وَيَرْجُوا رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“(Apakahkamu hai orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah,
"Apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”
a.
Mufradat
Q.S Al-Zumar: 9
انِتٌ=
taat/beribadat يَسْتَوِى= sama
ءَانَآء=
di waktu ٱلَّذِينَ= orang-orang yang
ٱلَّيْلِ=
malam يَعْلَمُون= mereka mengetahui
سَاجِدً=
bersujud وَٱلَّذِينَ= dan orang-orang yang
وَقَآئِمًا=
dan berdiri لَا=
tidak
يَحْذَرُ=
ia takut يَعْلَمُونَ =mereka
mengetahui
ٱلأخِرَة=
akhirat إِنَّمَا =sesungguhnya hanyalah
ويرجُوا۟=
dan dia mengharapkan يَتَذَكَّرُ= mengambil pelajaran
رَحْمَةَ =
rahmat أُو۟لُوا۟=
orang-orang yangmempunyai
رَبِّهِۦ =
Tuhan nya ٱلْأَلْبَٰابِ = akal/pikiran
b.
Asbabul
Nuzul
Diriwayatkan oleh ibnu abi hatim yang bersumber dari ibnu umar,
bahwa yang dimaksud dengan امّن هو
قانت(amman huwa qanitun) dalam ayat ini ialah Ustman bin
Affan yang selalu bangun malam sujud kepada Allah SWT.
Terdapat hadist dari anas ibn malik r.a berkata “Rasulullah SAW
masuk menjeguk seorang pemuda yang sedang menghadapi sakaratul maut dan beliau
berkata, “Bagaimanaa keadaanmu?” dia menjawab,“Demi Allah wahai Rasulullah saw,
sesungguhnya aku berharap kepada allah SWT namun aku juga takut terhadap
dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah saw bersabda.” Tidak akan berhimpun dua
perkara itu dalam hati serang hamba pada kondisi seperti ini, melainkan Allah
swt, pasti akan menganugerahkannya dari apa yang diharapkannya dan menenangkannya
dari apa yang ditakutinya. (H.R. tirmizi, nasa’i, dan ibnu majah) [5]
c.
Munasabah Ayat
Berkorelasi dengan surat al-Imran ayat 190-191 yang berbunyi:
اِنُّ في خلقٍ السّموات والارض واختلف اليل والنهار لايتٍ لآولى
الباب. الّذين يذكرون الله قياماَ وقعودًاوعلى جنوبهم ويتفكّرون فى خلق السموات
والآرض ربّناماخلقت هذابطلاًسبحنك فقنا عذاب النلر.
“sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata):”ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
periharalah kami dari siksa neraka.”
Ayat diatas menjelaskan bahwasanya اولوا
الالباب (orang yang berakal) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur
yakni mengingat (Allah) dan tafakkur yakni memikirkan (ciptaan Allah).
Sementara Imam Abi al-Fida Isma’il mengatakan bahwa yang dimaksud ulu
al-abab adalah orang-orang yang akalnya sempurna dan bersih yang dengannya
dapat menemukan berbagai keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak
seperti orang yang buta dan gagu yang tidak dapat berfikir.[6] Melalui
pemahaman berfikir itu seorang dapat menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang mengantarkan orang yang berakal untuk mensyukuri dan menyakini bahwa segala
ciptaan Allah itu ternyata amat bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia.
Sedangkan keimanan yang dihasilkan melalui proses berpikir dan mengingat
tersebut akan membawa manusia untuk menemukan dasar bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
d.
Penafsiran Ayat
a.
Tafsir Kata
(Apakah orang) dibaca Amman امّن, dan
dapat dibaca Aman (yang beribadah) yang berdiri melakukan amal ketaatan, yakni
salat (di waktu-waktu malam) di saat-saat malam hari (dengan sujud dan berdiri)
dalam salat (sedangkan ia takut kepada hari akhirat) yakni takut akan azab pada
hari itu (dan mengharapkan rahmat) yakni surga (Rabbnya) apakah dia sama dengan
orang yang durhaka karena melakukan kekafiran atau perbuatan-perbuatan dosa
lainnya. Menurut qiraat yang lain lafal Amman dibaca Am Man secara terpisah,
dengan demikian berarti lafal Am bermakna Bal atau Hamzah Istifham (Katakanlah,
"Adakah sama orang-orang yong mengetahui dengan orang-orang yong tidak
mengetahui?") tentu saja tidak, perihalnya sama dengan perbedaan antara
orang yang alim dan orang yang jahil. (Sesungguhnya orang yang dapat menerima
pelajaran) artinya, man menerima nasihat (hanyalah orang-orang yang berakal)
yakni orang-orang yang mempunyai pikiran.
Kata يعلمون pada ayat diatas, ada juga ulama yang
memahaminya sebagai kata yang tidak memerlukan objek. Maksudnya siapa yang
memiliki pengetahuan-apapun pengetahuan-pasti tidak sama dengan yang
memilikinya. Yang dimaksud ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bermanfaat,
yang menjadikan seseorang mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan
amalnya dengan pengetahuannya itu.
Kata يتذكّر terambil dari kata ذكر
yakni pelajaran/peringatan. Penambahan hurufت pada kata yang digunakan ayat ini
mengisyaratkan banyaknya pelajaran yang dapat diperoleh oleh ulul albab. Ini
berati bahwa selain mereka pun dapat memperoleh pelajaran, tetapi tidak
sebanyak ulul albab.[7]
Di akhir ayat Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran, baik pelajaran dari pengalaman hidupnya atau dari
tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di langit dan di bumi serta isinya,
juga terdapat pada dirinya atau suri teladan dari kisah umat yang lalu.ﺍﻨﺎﺀﺍﻠﻴﻝ Ana’
bentuk jamak dari al-Inw atau al-an-yu atau al-ina.Artinya
pada saat diwaktu malam atau siang.Jadi kata ana al-lail artinya saat di
waktu malam apakah di permulaan, pertengahan atau di akhir malam. Orang
yang melakukan ibadah pada malam hari akan terjauh dari sifat ria, kegelapan
malam juga bisa membikin hati bisa konsentrasi kepada Allah. [8]
b.
Tasir Kalimat
هَل يستوِى
الّذين يعلموُن والّذين لا يعلموُن
“Apakah sama oaring-orang yang mengetahui
dengan orang-orang tidak mengetahui?”
Bahwa
orang-orang yang mengetahui adalah ia akan mendapatkan pahala karena ketaatan
kepada Tuhannya dan akan mendapatkan siksa yang disebabkan karena
kedurhakaannya, dengan orang-orang yang tidak mengetahui hal yang demikian itu?
Singkatnya bahwa yang petama (orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencap
derajat kebaikan; sedangkan yang kedua(orang-orang yang tidak mengetahui) akan
mendapatkan kehinaan da keburukan. [9]
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang
dapat menerima pelajaran.”
Bahwa
sesungguhnya mengetahui perbedaan antara golongan ini dengan golongan yang
sebelumnya hanya orang yang mempunyai akal, hanya Allah lah yang Maha
Mengetahui.
e.
Nilai-nilai Pendidikan yang
terkandung dalam ayat
Ayat ini
menerangkan perbedaan antara orang kafir dengan orang yang selalu taat
menjalankan ibadah kepada Allah dan takut dengan siksa Akhirat yang selalu
mengharapkan Rahmat (surga).Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan dan mengEsakan Allah, mentaati semua perintah menjauhi
larangan-Nya, yaitu Abu Bakar dan sahabatnya, dengan orang-orang yang tidak
mempunyai ilmu pengetahuan yaitu Abu Jahal dan sahabatnya.
Ayat di atas menunjukkan keutamaan ilmu daripada harta, karena
orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu
tidak mengetahui kemanfaatan ilmu.
Dan yang sangat penting dalam ayat diatas adalah:
1.
Perbandingan orang yang beruntung (selalu taat pada
Allah dan mengharapkan rahmat-Nya) dengan orang yang rugi (kafir).
2.
Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan
dengan orang bodoh
3.
Dan orang kafir yang tidak beriman, mereka hanya
menyia-nyiakan hidupnya untuk hal yang tidak bermanfaat, meskipun dirinya
mempunyai ilmu akan tetapi ilmunya tidak digunakan dengan anjuran Allah SWT
maka, mereka termasuk orang-orang yang rugi.
3.
Penafsiran Surat
al-An’am Ayat 50
قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ
وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ
مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka
apakah kamu tidak memikirkan(nya)?".
a.
Mufradat
Q.S al-an’am: 50
الله : perbendaharaan allah
ولا اعلم : dan aku tidak mengetahui
الغيب : yang gaib
ملك :
malaikat
ان اتّبع : aku
hanya mengikuti
الاّ ما يوحى : apa
yang diwahyukan
الاعمى : orang
yang buta
والبصير : dan
orang yang melihat
افلا تتفكّرون : apakah
kamu tidak memikirkannya.
b.
Asbabul
Nuzul
Tidak ada
c.
Munasabah
Ayat
Ayat diatas mempunyai kolerasi dengan surat al-isra’ ayat
100 yang berbunyi:
قل لو انتم تملكونَ خزائن رحمة ربّي اذا لآمسكتم
خشيَةٌ الانفاق وكان الانسان فتوراً
“Katakanlah : jikalau kamu mengetahui perbendaharaan-perbendaharaan
rahmat Tuhanmu, niscaya kamu tahan, karena takut membelanjakannya, itu adalah
seorang yang kikir”.
Didalam surat al-an’am ayat 50 menjelaskan bahwasannya Rasulullah SWT diperintahkan menyampaikan
perbendaharaan itu tidak berada padanya atau dalam wewenangnya sekaligus
mengecam mereka yang enggan bersyukur atas aneka nikmat Allah dan anugerah
ilahi yang sangat berharga tidak diketahui isi gudang-gudang itu oleh siapapun
kecuali pemiliknya. Dia diibaratkan dengan suatu yang disimpan rapi dalam berkas-berkas, tidak
diketahui oleh orang lain, tidak diketahui juga bagaimana pembukaannya. Gudang
atau pembendaharaan Allah tidak ada habisnya. Sedangkan dalam surat al-isra’
ayat 100 menjelaskan bahwasanya kaum musyrikin mempunyai perbendaharaan atau
gudang-gudang Allah itu. Nah, seandainya
kaum musyrikin memilikinya, pasti mereka tidak mengeluarkan sebagian darinya
karena mereka sangat kikir. Nah, jika demikian itu, maka mengapa mereka meminta
Nabi Muhammad SAW apa yang tidak dimilikinya, tidak mampu dilakukannya dan
tidak juga dibutuhkan? [10]
Jadi segala sesuatu walau
yang dinampakkan kepada wujud itu hanya sekadar memenuhi kebutuhan makhluknya.
d.
Penafsiran
Ayat
a.
Tafsir Kata
Al-khaza’inu kata jamak dari khazinah atau khizanah, yaitu tempat
menyimpan sesuatu yang dikehendaki untuk diperihara dan tidak digunakan.
Al-Ghaib yaitu sesuatu yang pengetahuannya ditutup dari manusia, karena
ketidakmungkinannya mereka menjangkau sebab-sebab untuk dapat mengetahuinya. Ia
terbagi kedalam dua bagian:
1.
Ghaib hakiki yaitu perkara
yang ghaib dari seluruh makhluk, sampai malaikat sekalipun.
2.
Ghaib idhafi yaitu perkara yang engetahuannya tertutup dari sebagian makhluk saja,
sedang sebagian lain mengetahuinya. Umpamanya, perkara yang
diketahui oleh para malaikat, seperti perkara alam mereka dan sebagainya.
Perkara itu tidak diketahui oleh manusia.
Al-a’ma wa al-bashir yang dimaksud disini adalah orang yang sesat dan orang yang mengikuti
petunjuk.
b.
Tafsir Kalimat
قُل لاَّ أَقُولُ
لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku”
Maksudnya adalah aku tidak
mengatakan kepada kalian bahwa aku yang mempunyai perbendaharaan Allah SWT. Aku tidak bisa berbuat
terhadap pa yang disimpann dan dipelihara oleh Allah di dalam pembendaharaan itu, berupa rezeki para hamba dan makhluk-makhuk.
Semua ini hanyalah hak Allah semata. Dia berbuat terhadapnya sekehendaknya. Maka,dia akan memberikan para hamba dari pembedaraannya itu, susuai dengan
kesiapan masing-masing diantara mereka, dan tidak keluar dari lingkaran sebab mushabab.
Tidak seorangpun bisa melanggar lingkaran itu untuk keluar kepada apa yang
belum diberikan kepadanya, dan belum tercapai oleh kesiapannya.
وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Dan
tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.”
Maksudnya akupun tidak mengatakan kepada kalian
bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang ghaib karena sesungguhnya
perkara yang ghaib itu hanya diketahui oleh Allah SWT saja dan aku tidak dapat
mengetahuinya kecuali apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ
“Dan
tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat.”
Maksudnya aku tidak mendakwahkan diriku bahwa
aku adalah malaikat melainkan aku hanyalah seorang manusia biasa yang diberi
wahyu oleh Allah SWT. Allah SWT, telah memuliakan diriku oleh wahyu itu
dan mengaruniakan dengannya sebagai
nikmat dari-Nya. [11]
إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا
يُوحَى إِلَيَّ
“Aku
tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
Maksudnya adalah katakanlah kepada mereka, sesungguhnya
aku tidak mengikuti dalam apa yang aku katakan dan serukan kepada kalian,
kecuali apa yang telah diwahyukan dan diturunkan Allah kepadaku. Maka aku
melaksanakan wahyu dan mengerjakan perintahnya. Sungguh, aku telah membawa
kepada kalian hujjah-hujjah yang pasti atas kebenaran yang aku katakan
susungguhnya, hal itu tidak diingkari oleh akal kalian dan tidak mustahil
adanya. Lalu, apa lagi yang kalian ingkari kepadanya.
Allah mencela mereka atas kesesatannya. Dan memerintahkan
kepada rasulnya supaya menjelaskan bahwa orang yang sesat tidaklah sama orang
yang mengikuti petunjuknya.
هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ
"Apakah
sama orang yang buta dengan yang melihat?"
Maksudnya adalah
katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mndustakan kebenaran, apakah sama
antara orang yang buta mata hatinya, yang sesat di jalan yng lurus, yang aku
serukan kepada kalian, sehingga tidak bisa membedakan antara tauhid dan syirik
dan antara sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat manusia, dengan orang yang terbuka
mata hatinya, yang mengikuti petunjuk dan berjalan secara konsisten pada jlan
lurus, dengan hujjah dan keterangan, sehinnga yang demikian itu menjadi lebih
jelas bagi mata hatinya yang terlihat oleh kedu mata dan terdengar oleh kedua
telinganya. Jadi keduanya tidak sama, sebagaimana tidak sama antara orang yang
buta kedua mata dengan orang yang buta mata hatinya. Allah mencela mereka atas
kesesatannya. Dan memerintahkan kepada rasulnya supaya menjelaskan bahwa orang
yang sesat tidaklah sama orang yang mengikuti petunjuknya.
أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
“Maka apakah
kamu tidak memikirkan(nya)?".
Maksudnya adalah apakah
kalian tidak berfikir tentang hujjah-hujjah yang aku sampaikan kepada kalian,
sehingga kalian mengetahui kebenaran yang aku katakan dan serukan kepada
kalian, dapat membedakan terhadap kesesatan syirik dengan petunjuk islam, dan
memahami bermacam-macam petunjuk dan pengetahuan dengan uslub
indah yang tidak pernah kalian ketahui sebelumnya ? [12]
e.
Nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam ayat
Yang dapat kita ambil pelajaran dalam ayat
tersebut adalah:
1. Sikap
para nabi terhadap masyarakat selalu berdasarkan kejujuran. Jika mereka
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, maka mereka akan mengatakan
yang demikian itu kepada masyarakat.
2. Memberantas
kesewenang-wenangan dan khurafat merupakan salah satu dari program-program
para nabi.
3. Adanya para pembimbing yang lembut dan tabah, serta program
pendidikan yang sesuai tidaklah cukup.
4. Diperlukan juga adanya keseiapan untuk menerima kebenaran di
pihak manusia yang menjadi sasaran dakwah.
5. Keyakinan kepada Hari Kebangkitan dan adanya
pengadilan di Hari Kiamat adalah faktor pendorong untuk menerima takwa,
dan menjadikan takwa sebagai pijakan dalam setiap amal perbuatan.
4.
Penafsiran
Surat Al-isra’ ayat 39
ذَلِكَ مِمَّا أَوْحَى
اِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ وَلا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
فَتُلْقَى فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَدْحُورًا
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu
(Muhammad) Dan janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping Allah,
nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela dan dijauhkan
(dari rahmat Allah)”.
a.
Mufradat
Q.S al-isra’:39
أوحىممّا:sebagian yang diwahyukan
منالحكمة : yang berupa hikmah
ولاتجعل : dan janganlah engkau mengadakan
فتلقى: nanti engkau dilemparkan
فيجهنّم : kedalam neraka
ملوماً : keadaan tercela
مدحورًا :
dan dijauhkan rahmat allah.
b.
Asbabul
Nuzul
Pendapat para jumhur tersebut didasarkan pada dalil:
·
Riwayat Abdullah bin Mas’ud bahwa, “
seorang laki-laki mendapat ciuman dari seorang perempuan, lalu ia mendatangi
nabi saw, dan menceritakan persoalannya. Maka Allah menurunkan (fa
anzalallah-shihgah sharih) ayat, وأقم الصلاة
طرفى النهار وزلفا من الليل إن الحسنات يذهبن السيأت)
maka laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah apakah itu untuk ku? Rasulullah
berkata, “untuk seluruh ummatku”.
·
Allah tidak menetapkan hukumNya berdasarkan
sebab nuzul ayat yang khusus, tapi bersifat umum.
c.
Munasabah
Ayat
Korelasinya terdapat dalam ayat sebelumnya
yaitu ayat 36-39 diantaranya :
Dalam ayat 36 -37 yang artinya :Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. Dan
janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau
tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.
Dijelaskan
bahwa haknya berbeda-beda tergantung keadaan, kedekatan, kebutuhan dan waktu. Dari
keumuman maknanya dapat disimpulkan, larangan berbuat curang atau menipu (ghisy)
baik pada uang yang dibayarnya, barangnya maupun pada ‘akadnya, dan perintah
memiliki sifat nus-h (tulus) serta jujur dalam bermuamalah dengan melakukan hal
tersebut, maka seorang hamba akan selamat dari pertanggungjawaban dan akan
mendapatkan keberkahan dalam hartanya.Bahkan, perhatikan dahulu keadaannya dan
pikirkan dahulu akibatnya jika engkau hendak mengucapkan atau melakukan
sesuatu. Oleh karena itu, sepatutnya seorang hamba yang mengetahui bahwa ucapan
dan perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban menyiapkan jawaban untuknya.
Hal itu tentunya dengan menggunakan anggota badannya untuk beribadah kepada
Allah, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan menjaga dirinya dari melakukan
perbuatan yang dibenci Allah SWT. Dengan menolak kebenaran dan merendahkan
manusia.Bahkan karenanya engkau menjadi seorang yang hina di sisi Allah dan di
hadapan manusia dalam keadaan dimurkai dan dibenci.Jika engkau tidak anggup
menembus bumi sampai bagian paling bawah dan menjulang setinggi gunung, maka
mengapa engkau bersikap sombong? [13]
Dalam ayat 38-39 yang artinya: Semua itu
kejahatannya sangat dibenci di sisi Tuhanmu.Itulah sebagian hikmah yang
diwahyukan Tuhan kepadamu (Muhammad). Dan janganlah engkau mengadakan tuhan
yang lain di samping Allah, nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam
keadaan tercela dan dijauhkan (dari rahmat Allah).
Maksudnya,
semua larangan yang tersebut pada ayat-ayat 22, 23, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 36,
dan 37 surat ini.
Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa hal yang diatas
karena hikmah adalah perintah melakukan perbuatan yang baik dan berakhlak
mulia, serta larangan melakukan perbuatan yang buruk dan berakhlak hina.
Perintah dan larangan yang disebutkan termasuk hikmah, di mana orang yang
diberikannya sama saja telah diberikan kebaikan yang banyak. Kemudian di akhir
ayat, Allah SWT menutup lagi dengan larangan beribadah kepada selain Allah
karena begitu besarnya perkara ini yakni memperoleh celaan dari Allah,
malaikat, dan manusia.
d.
Penafsiran
Ayat
a. Tafsir Kalimat
ذَلِكَ مِمَّا أَوْحَى اِلَيْكَ
رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَة
“Itulah sebagai hikmah yang diwahyukan Tuhan
kepadamu”
Maksud potongan ayat tersebut adalah yakni yang disampaikan melalui malaikt jibril as. Oleh Allah SWT, tuhan pemelihara dan
pembimbingmu kepadamu wahai Nabi Muhammad SWT. Apa yang diwahyukannya adalah tuntutan yang berupa hikmah.
وَلا تَجْعَلْ مَعَ
اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتُلْقَى فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَدْحُورً
“Janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di
samping Allah, nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela
dan dijauhkan (dari rahmat Allah)”.
Maksudnya adalah Bahwa jika melaksanakan
semua tuntutan itu dan janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain disamping
Allah yaitu tuhan seru sekalian Alam, yang menyebabkan engkau dilemparkan engkau
kedalam neraka dalam keadaan tercela oleh dirimu sendiri dan orang lain lagi
dijauhkan dari rahmat Allah jadi terlihat bahwa pangkalan semua aktivitas musli
dan pelabuhan tempat kehidupannya bersauh adalah keyakinan akan keesaan Allah.
Itulah yang harus dipelihara dan diamalkan. [14]
e.
Nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam ayat
Adapun beberapa
isi atau kandungan yang dapat kita ambil dari Q.S Al-Isra Ayat 39 ini ialah:
1.
Allah SWT telah mengajarkan kepada nabi Muhammad SAW sebagian
hikmah / tata krama (dalam pergaulan). Maka sepatutnyalah kita menerapkannya
dalam hidup dan kehidupan kita, sesuai dengan ajaran Allah SWT.
2.
Manusia dilarang menjadikan sesuatu apapun menjadi tuhannya,
melainkan hanya Allah lah Tuhan yang patut mereka sembah.
3.
Merugilah bagi mereka yang menyekutukan Allah, karena kelak Allah
akan mencampakkan mereka ke dalam neraka Jahannam (dalam keadaan) tercela serta
tak dirahmati.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
ayat diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Surat al-Mujadalah:11
Dalam pembelajaran harus memperhatikan etika dalam majelis karena hal
itu sebagai ketenangan, kedamaian dan ketentraman dalam majelis. Begitupun
dalam menuntut ilmu pengetahuan dikatakan apabila kalian berilmu maka Allah SWT akan
mengangkat derajat seseorang itu didunia dan akhirat.
2.
Surat al-Zumar:9
Antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui
ialah tidak sama karna hanya orang yang mengetahuilah yang bisa berfikir atau
dengan akallah mereka bisa mengetahui pengetahuan tersebut.
3.
Surat al-An’am:50
Perbedaan antara orang yang buta dengan orang yang melihat yaitu
orang yang sesat dengan orang yang dapat petunujk dari Allah.
4.
Surat al-Isra’:39
Itulah Hikmah ialah melakukan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan
menjauhi larangannya. Dan tidak ada
sesembahan selain Allah SWT dan apabila ia menyembah selain Allah SWT maka ia
akan dimasukkan dalam api neraka jahannam dan dicela oleh Allah dan sesama
manusia.
B.
Saran
Jadilah manusia
yang berilmu karena Allah SWT akan mengangkat derajat seorang yang berilmu
didunia dan akhirat kelak. Mungkin hanya itu yang kami persembahkan.Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
maka, kami mohon kritik dan saran demi kesempurnaan makalah kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata.Abuddin.
Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2012
Shihab. Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah Volume VII . Jakarta: Lentera Hati. 2002
As-Suyuti. Jalaluddin. Asbabul Nuzul. Beirut : Muassasu Al-Kutub Al-Tsaqafiqah. 2002
Al-Maraghiy. Ahmad Mushthafa. Tafsir Al-Maraghiy, jilid VII. Berut: Dar al-Fikr. 1971
[2]Ibid., halm. 79-80
[3]
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan , (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2012), halm. 156
[4]Ibid.,
halm. 154
[5]Jalaluddin
As-Suyuti, Asbabul Nuzul, (Beirut : Muassasu Al-Kutub
Al-Tsaqafiqah,2002), halm.320
[6]
Abuddin Nata, ibid., halm. 132
[7]Ibid., halm. 196
[8]Ibid., halm. 197
[9]
Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, jilid VII, (Berut: Dar
al-Fikr,), halm. 151
[10] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume VII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), halm.553-555
[11]
Ibid., halm. 552
[12] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid VII, (Semarang: CV.
Thohaputra Semarang, 1971), halm. 218-224
[13] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), halm. 464
[14] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), halm. 466