BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kurikulum
Secara
etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
artinya pelari dan curare yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah
kurikulum berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang
mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start
sampai garis finish.
Dalam
bahasa Arab, kata kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti
jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Kemudian,
pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata
pelajaran (subject) yang harus
ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk
memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dengan kata lain, kurikulum
dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik karir dari suatu
perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
Dari
pengertian tersebut, dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu (1) adanya
mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya yaitu
untuk memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasi terhadap praktik pengajaran
yaitu setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan
menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan.
Keberhasilan
siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya dan
biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh setelah mengikuti suatu tes
atau ujian. Sedangkan, kurikulum itu
pendidikan
(manhaj al-dirasah) dalam kamus Tarbiyah adalah seperangkat
perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Pengertian
kurikulum seperti yang disebutkan di atas dianggap pengertian yang sempit atau
sangat sederhana. Sedangkan pengertian kurikulum secara luas itu tidak terbatas
hanya pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman
belajar (learning experiences) yang
dialami siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Kurikulum tidak
dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja, tetapi mencakup juga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa di luar siswa.
Setelah
dipaparkan pengertian kurikulum secara etimologi, akan disebutkan pengertian
secara terminologi atau biasa disebut dengan pengertian secara istilah.
Pengertian kurikulum menurut para ahli inilah pengertian kurikulum secara
terminologi. Ada banyak sekali para ahli yang berpendapat mengenai pengertian
kurikulum, diantaranya yaitu :
1. Pengertian Kurikulum
Menurut Kerr, J. F (1968): Kurikulum adalah semua
pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan secara individu ataupun secara
kelompok, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
2. Pengertian Kurikulum
Menurut Inlow (1966): Kurikulum adalah usaha
menyeluruh yang dirancang oleh pihak sekolah untuk membimbing murid memperoleh
hasil pembelajaran yang sudah ditentukan.
3. Pengertian Kurikulum
Menurut Neagley dan Evans (1967): kurikulum adalah semua
pengalaman yang dirancang dan dikemukakan oleh pihak sekolah.
4. Pengertian Kurikulum
Menurut Beauchamp (1968): Kurikulum adalah
dokumen tertulis yang mengandung isi mata pelajaran yang diajar kepada peserta
didik melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu, rumusan masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pengertian Kurikulum Menurut Good V. Carter (1973): Kurikulum
adalah kumpulan kursus ataupun urutan pelajaran yang sistematik.
6. Pengertian Kurikulum
Menurut UU No. 20 Tahun 2003: Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.[1]
Pendidikan Inklusif itu sendiri adalah sistem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin
dalam O’Neil 1994).
Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980).
Sekolah
inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah
inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan dan
kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.[2]
B. Jenis kurikulum pendidikan inklusif
Kurikulum
yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya
menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian
karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat
bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka
dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi
(penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim
pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari:
kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus,
konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
Dasar Pengembangan
Kurikulum untuk melakukan modifikasi dan pengembangan kurikulum dalam program
inklusif harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi
kurikulum dalam program inklusif, antara lain sebagai berikut.
1. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya :
a) Pasal 5 ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
b) Pasal 5 ayat (2) : Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
c) Pasal 5 ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang, serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus.
d) Pasal 5 ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
e) Pasal 6 ayat (1) Setiap warganegara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
f) Pasal 12 ayat (1.b) : Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya.
g) Pasal 36 ayat (1) : Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
h) Pasal 36 ayat (2) : Kurikulum pada semua jenjang dan
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, serta peserta didik.
i) Penjelasan Pasal 15 : Pendidikan
khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusiff atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
2. Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, khususnya:
a) Pasal 1 ayat (13) : Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b) Pasal 1 ayat (15) : Kurikulum tingkat
satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
c) Pasal 17 ayat (1) : Kurikulum tingkat
satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTS/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK/ atau bentuk
lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta
didik.
d) Pasal 17 ayat (2) : Sekolah dan komite
sekolah atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan
standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi Dinas Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dan
Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs,
MA, dan MAK.
3. Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Peraturan Mendiknas No. 23/2006
tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah.
5. Peraturan Mendiknas No. 24/2006 tanggal 2 Juni 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Mendiknas No. 22/2006 dan No. 23/2006.[3]
C. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai
dengan kebutuhannya.
2.
Membantu
mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3.
Membantu
meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah.
4.
Menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta
ramah terhadap pembelajaran.
5.
Memenuhi amanat
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ‘’Setiap
warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ‘’Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps.
5 ayat 1 yang berbunyi ‘’Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya
Ps. 51 yang berbunyi ‘’Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa.
D. Model
kurikulum pendidikan inklusif
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) perlu memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
Hal ini dikarenakan mengingat mereka memiliki hambatan internal antara lain
fisik, kognitif dan sosial emosional. Pendidikan bagi anak tersebut dapat di
lakukan baik dalam system segregatif di sekolah luar biasa (SLB) maupun system
inklusif pada sekolah umum atau regular yang menyelenggarakan pendidikan
inklusif.
Kategori ABK
disini adalah peserta didik yang mengalami hambatan visual impairments, hearing
impairment, mental retardation, physical and health disabilities, communication
disorders, slow learner, learning disabilities, gifted and talented, ADHD,
autis dan multiply handicapped.
Pendidikan inklusif memiliki ciri-ciri antara
lain:
1. ABK belajar
bersama-sama dengan anak rata-rata lainnya
2. Setiap anak
memperoleh layanan pendidikan yang layak, menantang dan bermutu
3. Setiap anak
memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
4. Sistem
pendidikan menyesuaikan dengan kondisi anak.
Pendidikan inklusif memiliki keuntungan antara
lain:
1. Dapat memenuhi hak pendidikan bagi
semua orang (education for all);
2. Mendukung proses wajib belajar.
3. Pembelajaran emosi-sosial bagi ABK.
4. Pembelajaran emosi-sosial-spiritual
bagi anak rerata lainnya.
5. Pendidikan ABK lebih efisien.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum
bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
a. Duplikasi Kurikulum
Yakni
ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata
atau regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra,
tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut
tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses,
yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara
menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
b. Modifikasi Kurikulum
Yakni
kurikulum siswa rata-rata atau regular disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan atau potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada
peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk
peserta didik gifted and talented.
c. Substitusi Kurikulum
Yakni
beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang
kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan
kondisinya.
d.Omisi Kurikulum
Yaitu
bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total,
karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak
rata-rata.
Sedangkan
model pendidikan inklusif itu sendiri pada dasarnya
memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full
inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk
menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model
inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan
peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung
di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan
bantuan guru pendamping khusus.
Model
lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie
Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang
mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini,
peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik
berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya
memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta
didik normal.
Model
inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model
ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan
jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian
seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak
dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan
inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang
mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.
Model
pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model
pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu: Pendidikan
inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini
dikenal dengan model mainstreaming.
Model
pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan
pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam
kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.
Filosofinya
tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan
ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1. Bentuk kelas
reguler penuh
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2. Bentuk kelas
reguler dengan cluster
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus.
3. Bentuk kelas
reguler dengan pull out
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun
dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk
belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull
out
Anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
5. Bentuk kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian
Anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas
reguler.
6. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah
reguler
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas
khusus pada sekolah reguler.
Dengan
demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan
semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua
mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak
berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan
gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang
gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas
khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi
kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah
biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah
sakit).
1. Model kurikulum pada pendidikan inklusi
dapat dibagi tiga, yaitu :
a) Model kurikulum
reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan
khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di
dalam kelas yang sama.
b) Model kurikulum
reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada
strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya
dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model
ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI.
c) Model
kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang
dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan
khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.Kurikulum
PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP)
merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep
pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya
penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka
PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M.Stephens
menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta
didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang
diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.
2. Perbedaan
Perbedaan dari ketiganya
sudah nampak pada pengertiannya, yakni:Model kurikulum regular penuh, Peserta
didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler ,sama seperti
teman-teman lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan
kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajar.
Model kurikulum regular
dengan modifikasi, kurikulum regular dimodifikasi oleh guru dengan mengacu
pada kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.Model kurikulum PPI, kurikulum
disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang melibatkan berbagai pihak. Guru
mempersiapkan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang dikembangkan bersama
tim pengembang Kurikulum Sekolah. Model ini diperuntukan bagi siswa yang tidak
memungkinkan mengikuti kurikulum reguler.
3. Keunggulan dan
kelemahan.
a) Model kurikulum regular
penuh.
Keunggulan:Peserta didik
berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. (Freiberg,
1995).
Kelemahan:Peserta didik berkebutuhan khusus harus
menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada
saat-saat tertentu kondisi ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya saat siswa
diwajibkan mengikuti mata pelajaran menggambar. Karena memiliki hambatan
penglihatan, tentu saja siswa disability tidak bisa menggambar. Tapi karena
mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang ketat, tidak fleksibel, tidaklah
dimungkinkan bagi guru maupun siswa disability untuk melakukan adaptasi atau
subsitusi untuk mata pelajaran menggambar tersebut.
b) Model kurikulum regular dengan
modifikasi
Keunggulan:Peserta didik berkebutuhan khusus dapat diberi
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelemahannya:Tidak semua guru di sekolah regular paham
tentang ABK. Untuk itu perlu adanya sosialisasi mengenai ABK dan kebutuhannya.
c) Model kurikulum PPI
Keunggulan:Peserta didik mendapatkan layanan pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan.