Secara terminologis, tafsir berarti ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut Az-Zarkasyibdan Al-Burhan, tafsir adalah ilmu yang berusaha menyingkap kandungan-kandungan Al-Qur�an dengan beberapa aspeknya dengan kadar kemampuan intelektual manusia untuk mengetahuinya. Menurut Al-Shabuniy, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur�an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai kemampuan manusia.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai umat islam, kita menyakini bahwa Al-Qur�an adalah rujukan bagi setiap disiplin ilmu yang berbau keislaman. Al-Qur�an kita yakini pula sebagai petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan guna menuntun kita melalui jalan-jalan yang haq dalam kehidupan dunia ini. Dari sumber yang satu ini, karena digunakan dalam setiap aspek kehidupan manusia (umat islam khususnya), menyebabkan munculnya disiplin-disiplin ilmu yang beragam. Salah satunya adalah disiplin ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah tafsir.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Qur�an merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek-aspek kehidupan manusia. Ia merupakan pembendaharaan ilmu dan hikmah yang tak pernah kering, kendati telah ditimbah dan digali oleh manusia selama berabad-abad lamanya. Dalam menggali semua itu diperlukan upaya pemahaman yang biasa dikenal dengan istilah tafsir.[1]
Tafsir merupakan kunci pembuka perbendaharaan ilmu dan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur�an. Tanpa tafsir, tidak mungkin terungkap berbagai mutiara ajaran Al-Qur�an yang sabgat dibutuhkan oleh manusia.
Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemuliaan sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya. Sedangkan tafsir membahas firma-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, terkadang juga membahasakidah, fiqih dan akhlak. Disamping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur�an kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.
Dengan demikian, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur�an agar kita mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ilmu Tafsir?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir?
3. Apa Saja Kaidah Tafsir?
4. Bagaimana Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir?
5. Apa Itu Terjemah Al-Qur�an?
C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan Pengertian Ilmu Tafsir
2. Menjelaskan Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir
3. Menjelaskan Kaidah Tafsir
4. Menjelaskan Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir
5. Menjelaskan Terjemah Al-Qur�an
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR, TAKWIL DAN TERJEMAH
A. Pengertian Ilmu Tafsir
Secara etimologi kata tafsir merupakan bentuk masdar. Kata kerjanya adalah �fassara� yang searti dengan �bayyana� dan �wadldlaha� yakni menjelaskan dan menerangkan. Dengan demikian kata tafsir searti dengan kata �tabyin� dan �taudlih� yakni penjelasan.[2]
Secara terminologis, tafsir berarti ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[3]
Menurut Az-Zarkasyibdan Al-Burhan, tafsir adalah ilmu yang berusaha menyingkap kandungan-kandungan Al-Qur�an dengan beberapa aspeknya dengan kadar kemampuan intelektual manusia untuk mengetahuinya.
Menurut Al-Shabuniy, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur�an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai kemampuan manusia.
Pengertian takwil menurut sebagian ulama, sama dengan tafsir. Namun, ulama lain membedakannya, bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.[4]
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Al-Qur�an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah. Sedangkan takwil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Al-Qur�an berdasarkan alasan-alasan tertentu.[5]
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir
Sejarah Tafsir Al-Qur'an Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. [6]
Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra�y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW. Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas�ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka�ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy�ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi�in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka�ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka�ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas�ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di�amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani. Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.[7]
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
C. Kaidah Tafsir
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1985), kata kaidah diartikan dengan rumusan asas-asas yang menjadi hokum, aturan tertentu, patokan atau dalil. Kaidah adalah ketetapan yang dapat diterapkan pada kebanyakan bagian-bagiannya.[8]
Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Al-Qur�an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kaidah tafsir adalah ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna atau pesan-pesan Al-Qur�an dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan-kandungan ayatnya.
Macam-macam Tafsir
1. Berdasarkan Sumbernya, tafsir dibagi menjadi dua bagian, yaitu Tafsir bi Al-Ma�tsur dan Tafsir bi Al-Ra�yi.
a. Tafsir bi Al-Ma�tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur�an atau Sunnah sebagai sumber penafsiran.[9]Contohnya :
1) Tafsir Al-Qur�an Al-�Azhim, karangan Abu Al-Fida� Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir.
2) Tafsir Jami� Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur�an, karangan Abu Ja�far Muhammad bin Jarir Al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary.
3) Tafsir Ma�alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul, karangan Al-Imam Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas�ud bin Muhammad bin Al-Farra� Al-Baghawy Al-Syafi�i, dikenal dengan sebutan Imam Al-Baghawy.
4) Tafsir Tanwin Al-Miqyas Min Tafsir Ibn �Abbas, karangan Majd Al-Din Abu Al-Thahir Muhammad bin Ya�qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar Al-Syairazi Al-Fairuzabadi, dikenal dengan sebutan Al-Fairuzabadi.
5) Tafsir Al-Bahr, karangan Al-�Allamah Abu Al-Layts Al-Samarqandi.
b. Tafsir bi Al-Ra�yi adalah tafsir yang menggunakan rasio atau akal sebagai sumber penafsirannya.[10]Contohnya :
1) Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2) Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi.
3) Al-Kasysyaf �an Haqa�iq Al-Tanzil wa �Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta�wil, karangan Al-Zamakhsyari.
2. Berdasarkan Corak Penafsirannya, tafsir dibedakan menjadi lima bagian, yaitu diantaranya :
a. Tafsir Tasawwufi, yaitu upaya menafsirkan Al-Qur�an yang mempunyai warna tasawwuf dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran tasawwuf. Contohnya :
1) Tafsir Al-Qur�an Al-Adzim karya Al-Tasturiy.
2) Haqaiqut Tafsir karya As-Sulamiy.
3) Ara�isul Bayan fi Haqa�iqil Qur�an karya Al-Syairazi.
b. Tafsir Fiqhiy, yaitu menafsirkan Al-Qur�an dengan menitikberatkan pada ayat-ayat hokum beserta kandungannya. Contohnya :
1) Ahkamul Qur�an karya Ibnu Arabi.
2) Ahkamul Qur�an Al-Jashshas.
3) Al-Jami�il Ahkamil Qur�an karya Al-Qurtubi.
4) Al-Ikli fi Istimbat karya At-Ta�wil karya Suyuti.
5) Ahkamul Qur�an karya Kiyya Al-Harasi.
6) Kanzul Irfan fi Fiqhil Qur�an karya Miqdad Al-Sayuri.
c. Tafsir Falsafiy, yaitu menafsirkan Al-Qur�an dengan pembahasan-pembahasan filsafat atau secara pendekatan falsufiy. Contohnya :
1) Mafatikhul Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi.
2) Al-Mizan karya At-Thaba�thaba�i.
d. Tafsir Ilmi, yaitu penafsiran Al-Qur�an dengan pendekatan ilmiah baik dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan seperti, fisika, kimia, biologi ataupun dengan ilmu-ilmu yang lain. Contohnya :
1) Al-Jawahir fi Tafsir Qur�an Al-Kharim buah karya Thantawi Jauhari.
e. Tafsir Adabiy Itjima�iy, yaitu suatu usaha penafsiran dengan karakteristik kesastraan dan kemasyarakatan. Contohnya :
1) Tafsir Al-Mannar karya Rasyid Ridlo.
2) Tafsir Al-Maraghi karya Mustafa Al-Maraghi.
3. Berdasarkan Metodenya, Tafsir dibagi menjadi empat bagian, antara lain :[11]
a. Metode Tahlili (Metode Analisis)
Metode Tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur�an secara analitis memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsikansesuai dengan bidang kealian mufasir tersebut. Uraiannya antara lain menyangkut kosa kata (makna mufradat), keserasian redaksi dan keindahan bahasanya (fashhah dan balaghah), keterkaitan makna ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya (munasabah Al-ayat) dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab Al-nuzul). Demikian pula penafsiran dengan metode ini melihat keterkaitan makna ayat yang ditafsirkannya dengan penjelasan yang pernah diberikan oleh Nabi, para Sahabat, Tabi�in dan para ulama ayat tersebut. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini pada umumnya memerlukan volume kitab yang sangat besar,berjilid-jilid sampai 30 jilid banyaknya.[12]
b. Metode Ijmali (Metode Global)
Metode Ijmali yaitu penafsiran Al-Qur�an secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tetapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufasir hanya menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait secara langsung tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat. Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna mufradat kalimat-kalimat yang gharib dalam Al-Qur�an. Tafsir yang masuk metode ini adalah Tafsir Al-Jalain, Tafsir Al-Wajiz karya Al-Wahidiy dan juga Tafsir Qur�an Al-Karim karya M.Farid Wajdi.[13]
c. Metode Muqaran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Metode Muqaran adalah menafsirkan Al-Qur�an dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Qur�an, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingan tersebut.
d. Metode Maudhu�i (Metode Tematik)
Metode Maudhu�I adalah menjelaskan konsep Al-Qur�an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur�an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa kata, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek lainnya yang dipandang penting. Ciri-ciri metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema, baik yang ada dalam Al-Qur�an itu sendiri maupun tema yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan serta dapat memberikan jawaban dengan konsep Al-Qur�an terhadap berbagai persoalan umat manusia.[14]
Setidak-tidaknya dikalangan mufasirin dikenal adanya tiga sistematika dalam penyusunan tafsir, yaitu [15]
1. Sistematika Tartib Mushafiy, yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tartib susunan ayat-ayat dan surat-surat yang ada dalam Al-Qur�an (mushaf). Dalam sistematika ini mufasir memulai penafsiran dari surat Al-Fatikha, Al-Baqarah, Ali Imran kemudian diakhiri surat An-Nas.
2. Sistematika Tartib Nuzuliy atau Tartib Zamaniy, yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berdasarkan kronologis turunnya surat-surat dalam Al-Qur�an. Mufasir yang memakai sistematika ini adalah Muhammad Izzah Darwazah dalam tafsirnya At-Tafsir Al-Hadits. Dalam sistematika ini seorang mufasir memulai dengan pertamakali menafsirkan surat Al-Alaq dan diakhiri surat An-Nasr.
3. Sistematika maudlu�iy, yaitu menafsirkan Al-Qur�an dengan berdasarkan topic-topik tertentu yang akan dibahas oleh mufassir. Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dikaji dikumpulkan kemudian ditafsirkan.
D. Urgensi Mempelajari Ilmu Tafsir
Urgensi berasal dari bahasa latin�urgere� (kata kerja) yang berarti mendorong. Dalam bahasa inggris �urgent� (kata sifat), dalam bahasa Indonesia �urgensi� (kata benda). Istilah urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong kita dan memaksa kita untuk menyelesaikannya. Urgensi bisa juga berarti �pentingnya�.[16]
Dalam urgensi tafsir ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardhu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fiqih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini mengandung tujuan mulia tetapi karena pokok kajiannya adalah kalamullah.[17]
Alasasan utamanya perlu mempelajari ilmu tafsir adalah karena Allah telah menurunkan Al-Qur�an sebagai sebuah kitab untuk membimbing manusia. Manusia ingin beribadah kepada Allah untuk mencari keridhaan-Nya dengan beribadah menurut cara yang diperintahkan Allah. Manusia akan melaksanakan perintah Allah hanya bila ia telah paham makna dan akibat-akibatnya.
E. Terjemah Al-Qur�an
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah al-qur�an adalah seperti yang dikemukakan oleh ash-shabuni; memindahkan al-qur�an ke bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah. [18]
Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua arti :
1. Terjemah Maknawiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat pembicaraaan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan klimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan aslinya.
2. Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah harfiyyah dibagi menjadi dua:
a) Terjemah Harfiyyah bil-misli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan sinonimnya (murodifnya) ke dalam bahasa baru dan terikat bahasa aslinya.
b) Terjemah harfiyyah bidzuni al-mitsli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli ke dalam beberapa bahasa lain dengan memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya. Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dicapai dengan baik. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian kalimat-kalimatnya. Contoh, jumlah fi�liyyah dalam bahasa arab dimulai dengan fi�il kemudian fa�il, baik dalam kalimat tanya maupun yang lainnya, mudlaf didahulukan atas mudhof ilaihi, dan mausuf atau sifat, kecuali dengan idhofah tasybih. Yang mana hal itu tidak dimilki oleh bahasa lain. Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya.
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut.
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.[19]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara etimologi kata tafsir merupakan bentuk masdar. Kata kerjanya adalah �fassara� yang searti dengan �bayyana� dan �wadldlaha� yakni menjelaskan dan menerangkan. Dengan demikian kata tafsir searti dengan kata �tabyin� dan �taudlih� yakni penjelasan.
Secara terminologis, tafsir berarti ilmu untuk mengetahui kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pengertian takwil menurut sebagian ulama, sama dengan tafsir. Namun, ulama lain membedakannya, bahwa takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Sejarah Tafsir Al-Qur'an Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1985), kata kaidah diartikan dengan rumusan asas-asas yang menjadi hokum, aturan tertentu, patokan atau dalil. Kaidah adalah ketetapan yang dapat diterapkan pada kebanyakan bagian-bagiannya.
Alasasan utamanya perlu mempelajari ilmu tafsir adalah karena Allah telah menurunkan Al-Qur�an sebagai sebuah kitab untuk membimbing manusia. Manusia ingin beribadah kepada Allah untuk mencari keridhaan-Nya dengan beribadah menurut cara yang diperintahkan Allah. Manusia akan melaksanakan perintah Allah hanya bila ia telah paham makna dan akibat-akibatnya.
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah al-qur�an adalah seperti yang dikemukakan oleh ash-shabuni; memindahkan al-qur�an ke bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah.
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan, pedoman serta motivasi untuk kita semua. Namun, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya agar lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Bisri. Dirasat Islamiyyah II Ilmu Tafsir dan Hadits. Surabaya: CV. Anika Bahagia Offset, 1993.
Al-Qardawi, Yusuf. Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001.
Hermawan, Acep. �Ulumul Qur�an. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2011.
Shihab, M.Quraish. Kaidah Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati, 2010.
Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur�an.Bandung: Mizan, 2004.
[1] Bisri Affandi,Dirasat Islamiyyah II Ilmu Tafsir dan Hadits(Surabaya:CV. Anika Bahagia Offset,1993),hlm.35.
[2] Bisri Affandi,Dirasat Islamiyyah II Ilmu Tafsir dan Hadits(Surabaya:CV. Anika Bahagia Offset,1993),hlm.35.
[3]Acep Hermawan,�Ulumul Qur�an(Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset,2011),hlm.113.
[4]Ibid.113.
[5]Ibid.114.
[6] Ibid.114
[7] Ibid.115
[8]M.Quraish Shihab,Kaidah Tafsir(Tanggerang: Lentera Hati,2010),hlm.6.
[9]Acep Hermawan,�Ulumul Qur�an(Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset,2011),hlm.114.
[10] Bisri Affandi,Dirasat Islamiyyah II Ilmu Tafsir dan Hadits(Surabaya:CV. Anika Bahagia Offset,1993),hlm.38-39.
[11]Acep Hermawan,�Ulumul Qur�an(Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset,2011),hlm.117-119.
[12] Ibid.117
[13] Ibid.118
[14] Ibid.118.
[15] Bisri Affandi,Dirasat Islamiyyah II Ilmu Tafsir dan Hadits(Surabaya:CV. Anika Bahagia Offset,1993),hlm.39.
[16]Yusuf Al-Qardawi,Ilmu Pengetahuan dan Peradaban(Yogyakarta:PT Tiara Wacana,2001),hlm.44.
[17]M.Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur�an(Bandung:Mizan,2004),hlm.25.
[18] Ibid.27.
[19] Ibid.29.