Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang di riwayatkan oleh dua perawi lebih tinggi tingkatannya. Dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi dan seterusnya. Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tinkatannya dari pada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awalnya Rasulullah S.A.W melarang untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisnya dengan Al-qur�an.
Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alsory untuk membukakan hadits.
Sedangkan Ulama� yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah. Akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shohih dengan yang dha�if, dan pkataan para sahabat).
Pembagian hadits yang ternyata di lihat dari berbagai tinjauan dan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Dan dalam makalah ini akan di kemukakan pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas sanadnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian klasifikasi hadits ?
2. Bagaimana cara mengklasifikasikan hadits?
3. Apa saja klasifikasi hadits yang di tinjau dari segi kualitas sanadnya?
C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui pengertian klasifikasi hadits
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengklasifikasikan hadits
3. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi hadits yang di tinjau dari segi kualitas sanadnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS DI TINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang di riwayatkan oleh dua perawi lebih tinggi tingkatannya. Dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tinkatannya dari pada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatannya.{1}[1]
Dari segi kualitas sanad hadits terbagi atas 3 macam yaitu Hadits shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dha�if.
A) Hadits Shahih
1). Pengertian hadits shohih
Hadits shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Shahih menurut istilah ilmu hadits adalah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir. Disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang baik dan sempurna (dhabit).serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih percaya darinya dan tidak ada ilat yang berat.
Para ulama� mendefinisikam hadits shahih yaitu hadits yang bersambung sanadnya, yang di riwayatkan oleh rawi yang adil dan dabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal dan tidak mengandung cacat (illat).{2}[2]
2). Syarat-Syarat Hadits Shahih
Menurut muhadditsin, suatu hadits dapat di nilai shahih apabila memenuhi criteria sebagai berikut;{3}[3]
1. sanadnya berambung {4}[4]
Yang dimaksud dengan bersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Jadi satu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila
a. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
b. Antara masing-masing rawi terdekat sebelumnyadalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul al hadits.
2. perawinya bersifat adil
Maksudnya adalah orang yang lurus agamanya, baik budi pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperawiannya.
Beberapa criteria perawi hadits dinyatakan adil : (1)Beragama islam, (2)baligh (3)berakal, (4)takwa, (5)memelihara harga diri (muru�ah), (6)teguh dalam agama, (7)tidak berbuat dosa besar, (8) tidakberbuat maksiat, (9) tidak berbuat bid�ah, (10) tidak berbuat fasik.
Cara mengetahui �adil tidaknya perawi hadits
1. Melalui popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadits.
2. Penilaian dari para kritikus perawi hadits.
3. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta�dil.
3. Perawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya degan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkan kembali ketika meriwayatkannya.
Kalau seorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup di keluarkan kapan saja, orang itu dinamakan dhabtu shadri, sedangkan kalau apa yang disampaikan itu berdasarkan buku catatan disebut dhabti kitab. Rawi yang adil dan sekaligus dhabit disebut tsiqah
4. Tidak syadz (janggal)
Maksudnya syadz adalah kondisi dimana seorang perawi berbeda dengan perawi lain yang lebih kuatposisinya. Keadaan semacam ini di pandang janggal/rancu karena ia berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka yang banyak sehingga di unggulkan.
5. Tidak ada yang cacat {5}[5]
Cacat (illat) berarti sesuatu sebab tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadits. Dengan demikian maka yang di maksud hadits yang tidak ber illat ialah hadits-hadits yang di dalamnya tidak ada kesamaran atau keragu-raguan.
C. klasifikasi hadits shahih
Para ulama� hadits membagi hadits shahih menjadi dua macam yaitu ;
1. Shahih li dzatihi , yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas.
Contohnya;{6}[6]
Artinya;�Bukhari brkata, �Abdullah bin yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.� (H.R Bukhari)
Hadits di atas di terima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf menerima dari malik, Malik menerimanya dari Nafi�, Nafi� menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat nabi yang mendengar Nabi SAW bersabda seperti tercantum di atas. Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil,dhabit, dan benar-benar bersambung. Tidak cacat, baik pada sanad maupun matan. Dengan demikian hadits di atas termasukhadits shahih li zatihi.
2. Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadihadits shahih karena di oerkuat oleh hadits-hadits lain. Sekiranya hadits yang memperkuat itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan. Hadits shahih li ghairihi hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan karena dirinya sendiri). Hadits di bawah ini merupakan contoh hadits hasan li dzatih yang naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairihi:{7}[7]
Artinya; �andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan ku perintah bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat�. (H.R Bukhari dan Turmudzi)
D. istilah pengarang hadits yangdi terapkan pada hadits shahih
Hadits yang mempunyai rentetan sanad yang lebih shahih. Martabat hadits ini sangat tinggi. Karenanya harus di utamakan dari pada yang lain.
Sanad hadits ini perlu di selidiki lebih lanjut, disebabkan di antara sanadnya terdapat orang yang di perdebatkan tentang keadaan dan kelakuannya.
Hadits ini shahih sanadnya, namun belum tentu shahih matannya.
Hadits ini muttasil sanadnya, serta melengkapi segala syarat hadits shahih
Hadis ini di sepakati kesahihan sanadnya oleh Imam Muslim, sehingga keduanya meriwayatkanhadits ini meskipun dengan gaya bahasa yang berbeda.
Para perawi dari hadits terdapat dalam kitab sahih Bukhari atau Muslim, kendati keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut.
Hadits ini mempunyai dua sanad , hasan dan shahih
Menurut ibnu shalah dan Al Bulqini istilah ini sama dengan istilah hadza haditsun shahihun. Ibnu Hajar menyangkal bahwa tidaklah tepat apabila hadits shahih itu muradlif dengan hadits jayyid, kecuali kalau hadits semula hasan lidzatihi, kemudian naik menjadi shahih lighairihi. Dengan demikian hadits yang di sifati dengan jayyid itu lebih rendah dari pada hadits shahih itu sendiri.
Pengarang kitab At-Tadrib menjelaskan bahwa istilah ini dapat di terapkan penggunaannya pada hadits shahih dan hasan.
B). Hadits Hasan
1). Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus, sedangkan menurut istilah artinya hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, di ceritakan oleh orang-orang yang adil, kurang dhabitnya, serta tidak ada syadz dan ilat yang berat.
Dengan demikian, yang di maksud hadits Hasan ialah hadits yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shahih sebagaimana di sebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, pada hadits shahih daya ingatannya perawinya kurang sempurna atau sebagiannya kedhabitannya lebih rendah di banding kedhabitan perawi hadits shahih.
2). Klasifikasi hadits hasan
sebagaimana hadits shahih terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighayrihi. Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya sndiri, yakni karena matan dan perawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dzabit).
Contohnya hadits hasan lidzatihi hadits ini di riwayatkan oleh At-Tirmidzi ,Ibnu Majah, dan Ibnu Hibbahdari Al Hassan bin Urfah Al Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi bersabda:{8}[8]
Artinya: �usia umatku sekitar 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu�.
Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammadbin Amr dia adalah shaqud (sangat benar). Oleh para ulama� hadits nilai ta�dil shaqud tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah mencapai ke adilan, kedhabitannya kurang sedikit jika di bandingkan dengan kedhabitan shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
Sedangkan hadits hasan lighairihi adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ketingkatan hadits hasan, karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan lighairihi adalah hadits dha�if yang karena di kuatkan oleh hadits lain, meningkat menjadi hadits hasan.
Contoh hadits hasan lighairihi, hadits ini di riwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Al Hakam bin Abdul malik dari Qatadah dari sa�id bin Al musayyab dari Aisyah, Nabi bersabda:{9}[9]
Artinya: �Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram�.
Hadits di atas dha�if karena Al Hakam bin Abdul Malik seorang dha�if tetapi dalam sanad lain riwayat ibn Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di kalangan thabi�in (mutabi�) melalui syu�bah dari Qatadah. Maka ia naik derajatnya menjadi hasan li ghairih.
3). Istilah pengarang hadits yang di terapkan pada hadits hasan
�??? ???? ???????�
Hadits ini hanya sanadnya saja yang hasan, tidak sampai mencangkup kepada kehasanan matannya. Hadits hasan yang demikian ini, lebih rendah nilainya dari pada hadits yang di nilai dengan �??????????� "??????? ??? ????menurut ibnu shalah berarti hadits yang mempunyai dua sanad hasan dan shohih"??????? ??? ????" menurut at turmudzi suatu hadits yang berkumpul di dalamnya dua sifat; hasan dan gharib."??????? ??? ???" diartikan dengan hadits yang maknanya sangat menarik hati. �???????? ???? ?? ?????? ????� kedua istilah ini khusus terdapat dalam kitab Al Mashabih karya Baghawi
1) Shahih; segala hadits yang tercantum dalam kedua kitab shahih Bukhari dan Muslim.
2) Hisan: Hadits yang tercantum dalam kitab-kitab sunan.�??????? ????� di dalam kitab sunan Abu daud, nilai hadits-hadits itu terbagi kepada hadits shahih, musyabih(yang menyerupai)muqarib (lemah sekali). Di samping itu masih ada hadits yang tidak di tentukan nilainya di beri nama dengan hadits shahih.
Hadits shalih ini menurut pendapatnya dapat di jadikan hujjah apabila di sokong oleh hadits lain. Kalau tidak ada penyokongnya, hanya dapat di gunakan sebagai I�tibar saja. "??????? ????" Hadits yang mendekati hadits Hasan.
C. Hadits Dha�if
1. Pengertian Hadits Dha�if
Secara bahasa adalah berarti hadits yang lemah.{10}[10]secara istilah hadits dha�if adalah hadits yang hilang salah satunya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau hadits hasan). Contoh hadits Dha�if;{11}[11]?? ??? ????? ????????? ?????? ??? ??? ?????????? ??? ???? Artinya ; Barang siapa yang mendatangi seorang wanita menstruasi(haid) atau pada seseorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW�.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-tirmidzi melalui jalan hakim al atsram dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Dalam sanad itu terdapat seorang dha�if yaitu Hakim Al Atsram yang di nilai dha�if oleh para ulama�.
2). Klasifikasi hadits Dha�if
Para ulama� muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadits dari sanad:{12}[12]
1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik entang ke adilan atau ke adhabitannya.
2) Ketidak bersambungan sanad, dikarenakan seorang rawi atau lebih yang di gugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun kecacatan rawi itu antara lain:dusta,tertuduh dusta,fasik,banyak salah, lengah dalam menghafal, melayani riwayat orang kepercayaan,banyak waham(purbasangka), tidak di ketahui identitasnya, penganut bid�ah� tidak baik hafalannya.{13}[13]
Klasifikasinya hadits dha�if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi antara lainL{14}[14]
1) Hadits maudhu� (hadits yang di nisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta)
2) Hadits Matruk (hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta)
3) Hadits Munkar (haidits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahan,banyak lengah, tanpa fasik)
4) Hadits Syadz (hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul,yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun yang lebih tinggi daya hafalannya) sedangkan klasifikasi hadits dha�if berdasarkan gugurnya rawi. Yaitu:{15}[15]
1) Hadits mu�allaq (hadits yang seorang atau lebih rawinya gugur pada awal sanad secara berurutan)
2) Hadits Mu�dhal (hadits yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan)
3) Hadits Mursal (hadits yang gugur rawinya dari sanadnya setelah tabi�in)
4) Hadits munqhati (hadits yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berurutan)
5) Hadits Mudallas (hadits yang diriwayatkan menurut cara yang di perkirakan bahwa hadits itu tidak bernoda).
B. KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH DAN HASAN
Para ulama� sependapat bahwa seluruh hadits shahih baik shahih li dzatih maupun shahih li ghairih dapat di jadikan hujjah. Mereka juga sependapat bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, dapat di jadikan hujjah. Hanya saja mereka berbeda pandangan dalam soal penempatan rutbah, yang di sebabkan oleh kualitasnya masing-masing, ada ulama� yang membedakan kualitas kehujjahan, baik antara shahih lidzatih maupun shahih li ghairih, maupun antara hadits shahih dan hadits hasan itu sendiri. Namun ada juga ulama� yang mencoba memasukkan hadits-hadits dalam satu kelompok tanpa membedakan kualitas antara satu dengan yang lainnya, yakni dalam kelompok hadits shahih, pendapat ini antara lain di anut oleh Al Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah.
Para ulama� tang berusaha membedakan kehujjahan hadits berdasarkan perbedaan rutbah hadits-hadits tersebut berdasarkan perawinya, yaitu berikut ini.{16}[16]
Pada urutan pertama, mereka menempatkan hadits-hadits riqayat mutafaq alaih (hadits yang di sepakati oleh Bukhari Muslim).
Urutan kedua, hadits-hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari.
Urutan ke tiga, hadits-hadits yang di riwayatkan oleh Muslim
Urutan ke empat, hadits-hadits di riwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim (sahih �ala syart al bukhari wa muslim).
Urutan ke lima, hadits-hadits yang di riwayatkan menurut syarat-syarat bukhari(sahih �ala syart al bukhari) sedang ia sendiri tidak meriwayatkannya.
Urutan ke enam, hadits-hadits yang di riwayatkan menurut syarat-syarat muslim (sahih �ala syart muslim) dan ia sendiri tidak meriwayatkannya.
Urutan ke tujuh, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu syarat dari bukhari atau muslim.
Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas akan terliahat kegunaannya ketika terlihat adanya pertentangan(ta�arud) antara dua hadits. Hadits-hadits yang menempati urutan pertama di nilai lebih kuat dari pada hadits-hadits yang menempati urutan ke dua atau ketiga, begitu juga seterusnya.
Kemungkinan hadits Dha�if menjadi Hasan
Hadits dha�if dapat naik derajatnya menjadi hadits hasan (li ghairi) bila satu riwayat dengan yang lainnya sama �sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat mutlaq karena ketentuan ini bagi para perawi yang lemah hafalannya, akan tetapi kemudian ada hadits dha�if lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sederajat pula, maka hadits tersebut bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan.{17} [17]
Sementara bila ke-dha�if-an sebuah hadits karena perawinya disifati fisq dan tertunduh dusta maka ke dha�if an tadi tidak bisa terangkat. Contoh haditsnya sebagai berikut;{18][18]
Artinya:�bersegeralah melakukan amal-amal (soleh) sebelum datangnya tujuh perkara: yaitu kamu menunggu datangnya penyakit yang merusak, maka tua yang renta (menyebabkan pikun), kekayaan yang menjadikan mu suka menyeleweng, emiskinan yang menjadikan lupa, kematian yang begitu cepat datangnya, atau djajjal yang merupakankejahatan yang di nantikan kedatangannya,atau hari kiamat, sedangkan hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit�
Hadits tersebut dha�if, di riwayatkan oleh tirmidzi(III/257),Al uqaili dalam adh dhu�afa (425), dan ibnu adi (I/341), dari mahraz bin Harun, dia berkata, saya mendengar al a�raj menginformasikan dari abu hurairahsecara marfu�. Al uqaili berkata �Al Bukhari berkata tentang mahraz bin harun, �mungkar haditsnya� hadits ini jug di riwayatkan dengan isnad yang lain dari jalan yang lebih layak dari pada ini� tirmidzi berkata �hadits ini hasan gharib�. Demikianlah yang di katakannya. Barangkali yang di maksud ialah hasan li ghairih karena jalan periwayatan yang di isyaratkan oleh al uqaili itu, yaitu yang diriwayatkan oleh hakim (IV/321) dai jalan Abdullah, dari Mamar, dari Sa�id al maqbari, dari abu hurairah, dari nabi SAW, beliau bersabda,
�Tidaklah seseorang dari kamu melainkan menantikan masa kaya yang menyebabkan penyelewengan �
Tanpa menggunakan perkataan baadirru bil a�maali sab�an. �Bersegeralah kamu melakukan amal shaleh sebelum datangnya tujuh perkara�. Dia berkata �sahih menurut syarat syaikhaini�. Perkataan ini di setujui oleh adz zahabi dilihat dari zahir sanad, memang seperti apa yang mereka katakana itu. Akan tetapi, saya menjumpai cacat yang samar karena Abdullah yang meriwayatkannya dari Ma�mar itu adalah Abdullah ibnul Mubarok yang telah meriwayatkan dalam kitabnya, az zuhud, dan al baghawi meriwayatkannya darinya dalam syarhus sunnah kepada isnad ini. Hanya saja dia mengatakan, �Telah di beritahukan kepada kami oleh ma�mar bin rasyid, dari seseorang yang mendengar al maqbari menginformasikan dari abu hurairah� dengan demikian , jelaslah bahwa hadits ini tidak di riwayatkan oleh ma�mar dari al maqbari, tetapi di antara mereka terdapat seseorang yang tidak di sebutkan namanya. Hal ini di perkuat dengan ke adaan bahwa para ahli hadits tidak menyebut ma�mar dalam jajaran guru ma�mar al maqbari, tetapi di antara mereka terdapat seseorang yangtidak di sebutkan namanya, orang yang tak di kenal(majhul) inilah yang menjadi cacat sanad ini.
B. KEHUJJAHAN HADITS DHA�IF
Para ulama� berbeda pendapat tentang pengamalan hadits dha�if, yang di rangkum menjadi tiga pendapat {19}[19]
Menurut abu dawud dan imam ahmad, hadits dha�if bisa di �amalkan secara mutlak. Alasannya adalah hadits dha�if lebih kuat dari pada akal perorangan (qiyas) .
Menurut ibnu hajar, hadits dha�if bisa digunakan dalam masalah fadha�il al-a�mal (ke utamaan amal), mawa�iz, atau yang sejenisnya jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Kedha�ifannya tidak terlalu, tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan.
b) Hadits dha�if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa di amalkan.
c) Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia ber status kuat, tetapi sekedar ber hati-hati.
Hadits dha�if tidak bisa di amalkan secara mutlak, baik mengenai fadha�il maupun hukum-hukum (ahkam). Demikian pendapat ibn �arabi, imam al bukhari, imam muslim, ibn hazm,dll.
Menurut Muhammad �ajaj al-khatib dalam bukunya m.noor sulaiman, pendapat ketigalah yang paling aman. Ia memberikan alasan bahwa kita memiliki hadits-hadits shahih tentang fadha�il, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib(ancaman yang menakutkan) yang merupakan sabda nabi SAW yang sangat padat dan berjumlah besar. Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak perlu menggunakan dan meriwayatkan hadits dha�if dan sejenisnya.
Contoh hadits sebagai berikut:{20}[20]
Artinya ; � Barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi dia tidak mau menikah, maka dia tidak termasuk golongan ku.�
Hadits tersebut di atas adalah dha�if.
Diriwayatkan oleh ibnu abi syaibah dalam al mushannaf (VII/I/2), ath Tabrani dalam al ausath (I/62/I), al baihaqy dalam as sunan (VII/78) dan dalam syu�abul iman (II/134/2), dan al wahidi dalam al Wasith (III/114/1) dari ibnu juraij, dari umar bin mughallis, dari abu najih secara marfu�.
Muhammad nashiruddin al albani
Menyatakan alasan kedha�ifan hadits tersebut dalam bukunya silsilah hadits dha�if dan maudhu� ,sebagai berikut:
Pertama, mursal, karena abu najih itu seorang tabi�in yang dapat di percaya, amanya yasar.
Kedua, kelemahan umar bin mughallis, dia di masukkan oleh al uqaili dalam adh dhu�afa (hlm.317) seraya berkata,�Dia meriwayatkan dari hariz bin utsman, dari abdur rahman bin jubair, dan tidak ada yang mendukungnya, dan hadits itu tidak di kenal kecuali melalui dia. Dan dengan cacat yang di muka itulah al baihaqi mencatat hadits ini dengan mengatakan �(hadits) ini mursal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan, ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits.
Para ulama� hadits menentukan kualitas hadits ditinjau dari segi kualitas sanadnya di bagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih hadits dha�if, dan hadits hasan. Dan hadits shahih maupun hadits hasan terbagi menjadi dua yaitu lidzatihi dan li ghairihi , sedangkan pengklasifikasian hadits dha�if berdasarkan cacat pada ke adilan dank e dhabitan rawi antara lain; hadits maudhu�, hadits matruk, hadits munkar, hadits syadz. Dan klasifikasi hadits dha�if berdasarkan gugurnya rawi, terbgagi menjadi hadits mu�allaq, hadits mu�dhal, hadits mursal, hadits munqhathi,hadits mudallas.
DAFTAR PUSTAKA
Al Albani, Muh. Nashiruddin. 2001.silsilah hadits dha�if dan Maudhu�. Di terjemahkan oleh As�ad Yasin. Jakarta: Gema Insani
Ahmad, muh. Dan M. Mudzakir. 2000,ulumul hadits.Bandung:CV. Pustaka setia
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul Hadits, Semarang:Gaya Media Pratama,1997
As-Shalihin, Subhi,membahas ilmu-ilmu hadits,Jakarta:Pustaka Firdaus,2009
Khon, Abdul Majid.2008.ulumul hadits Jakarta:Amzah
Mudasir.2010. ilmu hadits.Bandung:CV Pustaka Setia.
Muhammad Ahmad, Drs,.H,Mudzakir,Drs,.M,ulumul hadits,Bandung:CV Pustaka Setia, 2000
Sholahuddin,M dan Agus Suryadi.2009.ulumul hadits.Bandung:
CV Pustaka Setia.
Sulaiman,M. Noor.2008.Antologi ilmu hadits.Jakarta:gaung Persada press.
Suparta, Munzier.2002.ilmu hadits. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
[1]Muhammad Ahmad, Drs, h,Mudzakir,Drs,M, Ulumul hadis, CV Pustaka setia, Bandung, 2000 Hal,75-76
[2]Muhammad Ahmad, Drs, H, Mudzakir, Drs, M, Ulumul hadis, CV Pustaka setia, Bandung, 2000 Hal,101
[3]Munzier Suparta, Ilmu hadis ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002) Hal. 142
[4]Ibid; Hal.143
[5]Al-Khatib, ajjaj,ushul Al-HAdits, Gaya Media Pratama, Semarang 1997, Hal,276
[6]Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: CV,Pustaka Setia,2000),Hal,106
[7]Mudasir, ilmu hadits (Bandung; CV, Pustaka Setia,2010),Hal.145-149
[8]Abdul majid Khon,Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah,2008), Hal 160
[9]Ibid.,Hal 161
[10]Ibid.,Hal,163
[11]Ibid.,Hal,164
[12]M. sholahuddin, ulumul hadits (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), Hal 148
[13]Ibid.,Hal 149
[14]Ibid.,Hal 150
[15]Ibid.,Hal 151-154
[16]Mudasir, ilmu hadis, hal, 155-156
[17]Munzier Supatra, ilmu hadis,hal 171-172
[18]Muhammad Nashiruddin Al Albani, silsilah hadits Dha�if dan maudhu� (Jakarta: Gema insane,2001),hal,150
[19][19]M. Noor Sulaiman, Antologi ailmu ahdits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), Hal 112-113
[20]Ibid.,Hal,411