Tuesday, 8 November 2016

Makalah Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur





BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Setelah kita ketahui jenis makna, relasi makna, teori konteks, medan makna, dan perubahan makna dan tentunya kita sudah paham entah dari pengertian maupun pembagian maknanya maka, tibalah kita akan membahas dan mengkaji pembelajaran semantik yang terakhir yaitu Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
Dalam pembahsan kali ini kita akan di kaitkan dengan dua kubu yang digunakan dalam sebuah pendekatan dalam memaknai sebuah wacana. Kedua kubu itu kontroversial dalam memaknai sebuah wacana dan berbeda pendapatnya. Dua kubu tersebut adalah kubu Semantik Kondisi kebenaran dan kubu Semantik Tindak Tutur. Perbedaan dari kedua kubu tersebut disebabkan oleh perbedaan pendekatan dalam memaknai sebuah wacana.
   
      B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur?
2.      Apa saja perbedaan antara Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur?
3.      Apa pengertian dari prinsip kerjasama model Grice?
 
      C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui apa pengertian dari Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
2.      Mengetahui perbedaan antara Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
3.      Mengetahui prinsip kerjasama model Grice.






BAB II
PEMBAHASAN
      
       A  .    Pemaknaan wacana
Kontroversi pendapat, gagasan atau ide antarpakar dalam memaknai suatu fenomena, khususnya dalam fenomena kebahasaan, merupakan hal yang wajar, bahkan tampaknya sudah merupakan suatu kodrat alam. Dari adanya kontroversi ini sangat menguntungkan bagi para pakar untuk selalu kompetitif dalam mengkaji dan menemukan teori-teori yang dua kubu yang baru. Kontroversi inilah yang menurut bahasa agama disebut kontroversi yang membawa rahmat.
Dibidang semantik didapatkan dua kubu yang berbeda pendapat dalam memaknai wacana. Dua kubu yang kontroversial ini adalah kubu Semantik Kondisi kebenaran dan Semantik Tutur Kata. Perbedaan yang terjadi diantara keduanya disebabkan adanya perbedaan pendekatan dalam memaknai wacana. Secara global, kubu pertama dalam mendekati makna wacana lebih menekankan pada fakta konkret sedangkan kubu yang kedua lebih menekankan pada aspek-aspek sosio-psikologis.

1)   Semantik Kondisi Kebenaran (SKK)
Teori SKK ini diperkenalkan oleh seorang ahli logika bernama Traski. Sampai sekarang teori ini dipelajari oleh para filsuf. Dalam teori ini, Traski mengemukakan sebuah postulat, bahwa makna suatu pernyataan dapat diperikan dengan kondisi kebenaran. Dalam melogikan teorinya, Traski menggunakan rumus sebagai berikut:
a.       S benar, jika dan hanya jika P
Dimana S adalah makna kalimat dan P merupakan kondisi yang dapat menjamin kebenaran kalimat itu (Kempson, 1997).
b.      Snow is white benar, jika dan hanya jika salju itu putih
Kalimat tersebut memiliki kondisi kebenaran makna (truth codition), karena memang salju tersebut hanya berwarna putih, tidak  ada salju yang berwarna selain putih.
c.       Kuning itu warna pelangi
Kalimat (3) tersebut bila dilihat dari ‘kaca mata’ Traski, jelas tidak memiliki kebenaran makna. Hal ini karena kalimat (3) tersebut tidak memiliki kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan tersebut.
Formula atau postulat yang dikemukakan oleh Traski tersebut dianggap masih memiliki kelemahan. Kelemahan pertama berkaitan dengan kondisi yang dipakai untuk menjamin kebenaran suatu pernyataan. Kelemahan kedua terletak pada pendekatan filosofisnya. Dalam kaitannya dengan kelemahan pertama, postulat Traski ini tampaknya berputar-putar dan membingungkan, sebab pernyataan aslinya dipakai lagi sebagai kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan itu sendiri.
Berkaitan dengan kelemahan formula atau postulat kebenaran makna yang dikemukakan oleh Traski tersebut, Kempson (1997) menyempurnakan formula tersebut dengan model formula baru dengan memasukkan batas-batas kondisi wajib sehingga kebenaran suatu pernyataan tidaklah harus berupa pengulangan pernyataan itu sendiri.

2)      Semantik Tindak Tutur (STT)
Teori STT pertama kali diperkenalkan oleh Austin, seorang filusuf berkebangsaan inggris pada tahun 1962. Menurut Austin, kalimat dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai hal, dan setiap ujaran dari suatu kalimat dipengaruhi oleh konteks.
Selanjutnya Austin menegaskan bahwa terdapat banyak hal yang berbeda yang bisa dilakukan dengan kata-kata. Dalam teori ini juga dikemukakan, bahwa meskipun kalimat sering digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan, tertentu, harus dianggap sebagai suatu pelaksanaan tindakan.
Dalam kaitannya dengan teori tindak tutur ini, Austin membedakan tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah makna dasar dan referensi dari suatu ujaran, tindak ilokusi berarti daya yang ditimbulkan oleh pemakaiannya sebagai suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan sebagainya. Sementara itu, tindak perlokusi berarti dampak terhadap pendengarnya.
Selanjutnya, Searle membuat kategori tindak ilokusi menjadi lima bentuk tuturan. (a.) Asertif, yaitu keterikatan penutur pada proposisi yang diungkapkan, misalnya: menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat dan melaporkan. (b.) Direktif, yaitu bentuk tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu pengaruh di dalam melakukan suatu tindakan. (c.) Komusif yaitu bentuk tuturan yang terikat pada suatu tindakan di masa mendatang. (d.) Ekxpresif, yaitu bentuk tuturan ini berkaitan dengan pengungkapan sifat kejiwaan terhadap suatu keadaan. (e.) Deklarasi, yaitu suatu bentuk tuturan yang menghubungkan isi proposisi dengan realita.
Teori tindak tutur juga dapat di gunakan sebagai pendekatan dalam memaknai teks suci yakni al-Quran, perhatikan contoh berikut ini di kutip dalam surat al Baqorah ayat 219 :
Menurut ash- shobuni latar belakng di tulurkan ayat di atas adalah ketika para sahabat anshor bersama Umar bin khattab mendatangi Rasulullah. Mereka meminta nasehat kepada beliau tentang khamar dan judi yang benar-benar telah merusak akal dan bisa menghabiskan harta benda. Dari aspek formalnya ayat tersebut berbentuk dekralatif. Tetapi, maksud yang tersimpan dari ayat ini adalah sebuah larangan.
Wujud perlokusinya yaitu memberikan dampak kepada manusi agar meninggalkan minuman keras dan berjudi. Larangan minuman keras dan judi juga dipertegas dalam surat al maidah ayat 90 :
Contoh lain yang terkait dengan teori tindak tutur terdapat pada contoh berikut ini al Baqarah ayat 75 :
Secara fungsional ayat tersebut tidak di maksudkan untuk meminta informasi, melainkan sebuah larangan. Makna yang mendasari fungsi tersebut adalah sebuah larangan yang di latar belakangi oleh harapan yang besar dari rasulullah dan para sahabat nya kepada orang yahudi untuk memeluk agama islam.
Selanjut hamka menegaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan Allah kepada nabi Muhammad dan umatnya yang tidak mengharapkan orang yahudi masuk islam. Pendapat yang sama juga di tegaskan oleh al mahalli dan as suyuti bahwa pernyataan tersebut lil ingkar  yakni la tathmaa’uu (kamu jangan terlalu berharap).
Kondisi kesesuayan yang memperkuat pernyataan contoh di atas berfungsi untuk melarang dan dapat di lacak dari N, T dan pesar tutur atau P,S.
sebagai perbandingan contoh diatas perhatikan contoh berikut ini yang di ambil dari surat hud ayat 62 :
ajakan yang di sampaikan ayat tersebut mendapat negatif dari kaum nabi sholeh dan mereka menolak ajakan nabinya untuk menyembah tuhan. Penolakan yang di sampaikan oleh kaum ini nabi sholeh, yang berupa seruan yang benar yang di sertai dengan bukti bukti yang nyata dari tuhannya dan nabi sholeh di beri rahmat. Reaksi nabi sholeh terhadap pertanyaan kaumnya merupakan tindak perlokusi dari tindak ilokusiyang di sampaikan oleh kaumnya.
Ayat lain yang bermakna sama dapat di dekati dari sisi simantik tindaktutur adalah surah al A’raf ayat 22 :
Dalam ayat tersebut Allah berpesan kepada adam dan hawa untuk tinggal di syurga dan memakan buah buahan kecuali buah khaldi karena mereka mendapat bujukan dari syaitan akhirnya mereka memakan buah yang di larang tersebut. Sehubungan dari peristiwa adam dan hawa tersebut, Allah mencari sebab atau mengapa peristiwa itu bisa terjadi.
Dari uraian di atas ada satu hal mendasar yang perlu di catat dari penggolongan tindak tutur kedalam bentuk tuturan menurut tokoh prakmatik, yaitu bahwa berbagai tuturan tersebut dapat di gunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai maksud dapat di sampaikan dengan bentuk tuturan yang sama (leech dan levinson). Sependapat dari hal  tersebut, rahaerdi menyatakan bahwa satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Dengan demikian, satu tindaktutur berupa pertanyaan tidak selalu meminta informasi melainkan, ada tujuan dan fungsi sesuai dengan konteks yang menyertai tuturan tersebut.

3)      Semantik kondisi kebenaran versus semantik tindak tutur  
Dalam memaknai wacana dan memaknai bahasa yang benar terdapat perbedaan antara SKK dan STT.  Teori SKK dalam memaknai suatu wacana pada pola yg bersifat logis, faktual dan lebih didasarkan pada pendekatan dikotomis. SKK sebagai sebuah teori yang memberikan makna yang benar ternyata memiliki kelemahan. Banyak kalimat yang tidak bisa dilihat dari sisi teori SKK seperti: kalimat tanya, kalimat perintah, maupun ungkapan-ungkapan performatif.
Bagaimana halnya dengan teori STT? Teori ini tampaknya bisa menjelaskan makna wacana yang tidak bisa dijelaskan oleh teori SKK. Dari beberapa contoh yang sudah ada tampaknya lebih akurat apabila di dekati dengan teori STT daripada SKK. Tetapi, teori STT ini juga mempunyai kelemahan yaitu teori ini tidak boleh terbentur dengan masalah ketaksaan.
Kelemahan berikutnya yaitu bahwa teori SKK ini bertentangan dengan pendapat yang di kemukakan sendiri karena teori ini mengandung unsur lokusi. Selain itu, teori STT ini merupakan bebas makna yang bertentangan dengan dunia realita.

4)      Prinsip kerjasama Model Grice
Sehubungan dengan adanya perbedaan antara teori SKK dan teori STT dalam memaknai wacana memiliki kekurangan dan kelebihan, H. Paul Grice mengusulkan kaidah mengenai penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang efektifitas dan efisiensi suatu percakapan.
Kaidah tersebut terdiri atas dua pokok kaidah, yaitu (a) prinsip kerjasama dan (b) prinsip sopan santun percakapan. Kaidah grace ini muncul dan dipertegas bahwa dalam suatu komunikasi ada suatu persetujuan antara penutur dan pendengar yang disebut dengan prinsip kerjasama.
Empat maksim sebagai kaidah untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan komunikasi yang dikemukakan oleh Grice adalah sebagai berikut:
1.      Maksim kuantitas yaitu: Memberikan informasi yang tepat.
2.      Maksim kualitas yaitu: Usahakan agar informasinya benar.
3.      Maksim hubungan yaitu: Usahakan perkataannya harus relevansi.
4.      Maksim cara yaitu: usahakan agar mudah dimengerti.

Prinsip sopan santun terdiri atas enam maksim yaitu:
1.      Maksim kearifan/kebijaksanaan
2.      Maksim kedermawanan
3.      Maksim pujian/penghargaan
4.      Maksim kerendahan hati/kesederhanaan
5.      Maksim kesepakatan
6.      Maksim simpati

Menurut leech dan Grundy prinsip sopan santun mempunyai dua kutub, yaitu kutub negatif dan kutub positif. Dengan apa yang bsudah terjadi , penutur (pendengar atau pembaca)akan berpedoman bahwa seorang penutur dalam berkomunikasi tentu menggunakan maksin-maksin itu.
Berkaitan dengan perlunya suatu prinsip kerjasama para filusuf mengambil contoh kasus grace yang berupa seorang mahsiswa yang meminta referensi terhadap tutornya padahal itu tidak boleh karena telah melanggar maksin kuantitas. Dengan menggunakan prinsip kerjasama antara penutur (pembicara atau penulis) dan penutur (pendengar atau pembaca maka wacana dapat dimaknai dengan benar.



BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Gagasan atau ide diantara para pakar dalam memaknai fenomena kebebasan sudah merupakan hal yang wajar.
2.      Adanya suatu kontroversi yang sehat,  kerena dari masing-masing kubu yang berbeda agar bisa saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada pada setiap paradigma.
3.      Terdapat perbedaan dalam teori SKK dan STT dalam memaknai suatu wacana.
4.      Teori SKK dan teori STT memiliki kelemahan.
5.      Berhubungan dengan kelemahan teori SKK dan STT, Grace mengusulkan kaidah komunikasi yang efektif dan efisien yang disebut kerjasama.