PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.
PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen
Pengampu : Abdul Jalil, M. HI
Di
Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL
MA’MUN
UMMUL
KARIMAH
SIFA
PUJIANTI
TOYYIBATUL
ANNIYAH
SARIFATUL
JANNAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Istishab
mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari
kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pamekasan,
01 Mei 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
BAB II ISI ................................................................................................................ 2
A.
Pengertia
Istishab.......................................................................................... 2
B.
Dasar Hukum................................................................................................ 3
C.
Penerapannya................................................................................................ 5
D.
Kedudukan
istishab....................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................. 11
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 11
B.
Saran.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang
membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang
lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat
memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke
waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan
dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat
dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur”
proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa
hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan
dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum
jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya
adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara
menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1]
Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf)
dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala,
yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa
sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba
sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah,
Istishab dalam hadis
bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul
Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
ini ada
beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan
keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah
al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang
telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang
mengubahnya.
Sedangkan al-Ghazali
mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena
tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau
penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan
dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada
dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan
hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak
adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada
berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang
dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah
menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.
B. Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang
Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak
bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum
itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan
oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk
mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru
muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah
secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak
masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan
tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka
dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri
baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas
dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan
beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang
terjadi kemudian dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang
mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan,
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang
satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan
keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti
makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai
ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A
adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan,
maka selama kita tidak menemukan ada
dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan
dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang
atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum
di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
C. Penerapan
Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya
adalah yang paling diyakini. Contoh
kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak
sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua.
Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu
masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila
salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa
ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia
benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin
dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau
terciumnya bau (kentut)”.
Hadis
yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat
tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya
yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan
dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan
pada keraguan, dan
ini merupakan hakikat dari konsep istishab
yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada
sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,
bahwa sanya keyakinan
tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan
ibnu Hazm merumuskan kaidah
serupa dengan menyatakan ”setiap
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan
menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana
dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin
dengan menyatakan “bahwa
sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang
kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum
keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya,
seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan
haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat
memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum
haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan
tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan
hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum.
D. Kedudukan
Istishab
masalah istishab
di jadikan hujjah syari’ah atau tidak
pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan
kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang
tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan
argumentasinya.
Kubu penerima
(pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain,
al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah
syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak
(kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada
juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah
syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima
(pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.
Telah nyata
terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak
semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila
seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih
mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus
dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum
wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut.
Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.
Para ahli pikir
dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada
masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka
menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis
dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi
prinsip istishab. Kalau bukan atas
dasar istishab, tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang
demikian.
c.
Aturan hukum
syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup
sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif
aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku
tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya
keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada
kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah
setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut
termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.
Keadaan ragu
yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu
ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan
ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki
(suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu
apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus
tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada
(eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan
keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh
atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak
(kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.
Telah ada ijma’
bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka
keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan
dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.
Eksisnya hukum
pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan
hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.
Dalam fiqih
mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah
dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.
E. Implikasi
Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat
sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan
diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Penolakan sumpah
oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia
menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu
dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut?
Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan
putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata;
tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum
menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang
meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si
tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan
argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar
(sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan
ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan
“menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak
bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian
bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan;
maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti
dan valid.
2.
Hak kewarisan
orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama
berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang
mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi
sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang
kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus
dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan
ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka
kemukakan jelas berupa dalil istishab,
yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya
ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang
kematiannya.
Golongon ulma
Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup
ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas
harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi
dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama
Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu
akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu
selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh
diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya
memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang
meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup,
dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
devinisi istishab berbeda pendapat dari
beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa
Istishhab
adalah
penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya.
Contoh kasusus:
si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur
pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal
ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan
dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada,
belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu
cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai
terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain,
seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas,
apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum
asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila
hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria
dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
B.
Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah
ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa
membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyantno. Dasar-Dasar
Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:
55282.
As-Syafi’i,
al-Umm. Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,
1993.
Asnawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.
[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah
,ibid,p.817.
[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.
[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.
[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah
fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.