Monday, 16 May 2016

CONTOH MAKALAH USHUL FIQIH PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM






PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.








PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.











PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.







PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.









PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.







PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.









PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.







PENGERTIAN ISTISHAB, DASAR HUKUM DAN PENERAPANNYA
MAKALAH 
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUshulFiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, M. HI



 


 




Di Susun Oleh :
Kelompok 7
KHAIRUL MA’MUN
UMMUL KARIMAH
SIFA PUJIANTI
TOYYIBATUL ANNIYAH
SARIFATUL JANNAH




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Istishab mata kuliah Ushul Fiqh. Dosen pegampu Abdul Jalil, M. HI.
Penulis menyadari bahwa jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan , maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.





Pamekasan, 01 Mei 2016


Penyusun







                                                                DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................      i
DAFTAR ISI............................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................      1
A.    Latar belakang................................................................................................      1
BAB II ISI ................................................................................................................      2
A.     Pengertia Istishab..........................................................................................      2
B.     Dasar Hukum................................................................................................      3
C.     Penerapannya................................................................................................      5
D.     Kedudukan istishab.......................................................................................      6
BAB III PENUTUP.................................................................................................      11
A.    Kesimpulan....................................................................................................      11
B.     Saran..............................................................................................................      12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................      13




 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.  Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.
Bahwasanya istishab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini. Terhadap persoalan- persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Ta’rif Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Istishab adalah kata kerja enam huruf (fi’l sulasi mazid bi salasati ahruf) dari kata istashaba, yastashibu, istishaban dengan timbangan istaf’ala, yastaf’ilu, istif’alan. Bentuk sulatsi mujaradnya adalah sahaba yashabu suhbatan wa sahabatan yang berarti menemani, berkawan dengan, menjadikan kawan. Istashaba sendiri dimaknakan dengan bersikap ramah, Istishab dalam hadis bermakna menjaga, memelihara atau melindungi.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah: Definisi al-Asnawy menyatakan bahwa “Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut”.
Menurut Muhammad Ubaidillah al-As’adi, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, dan dipandang tetap berlaku sampai adanya dalil lain yang mengubahnya.
 Sedangkan al-Ghazali mendefinisikannya dengan, berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istishab adalah berlakunya hukum mengenai sesuatu berdasarkan dalil yang telah ada sebelumnya, baik dalil akal maupun syara’ selama tidak ada dalil lain yang membatalkannya.
Menurut Syihabuddin al-Zanjani adalah penetapan hukum berdasarkan atas argument ketiadaan dalil/indikasi yang menunjukkan tidak adanya suatu hukum; atau penetapan hukum dengan meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan suatu dalil/indikasi. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh
Istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya suatu pada masa terkini berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah berlalu. Demikian devinisi yang dikemukakan oleh al-Asnawi.[2]
Istishab adalah menetapan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya sehingga ada  dalil yang menunjukkan atas perubahan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap ada pada keadaannya itu sehingga ada dalil yang menetapkan perubahannya.

B.     Dasar hukum
Perbedaan Pendapat Tentang Kehujahan Istishab Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya. Penutup Secara historis, istishab sudah mempunyai embrio sejak masa Rasul. Hal ini terlihat dari nash-nash yang telah disebutkan. Sahabat dan tabi’in juga telah menggunakan istishab dalam arti hakikat, pada saat mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan. Namun konstruksi istishab itu sendiri baru dibangun pada abad kelima hijrah disertai dengan pembagiannya secara jelas dan rinci. Dari istishab ini, para ulama fiqh belakangan kemudian menetapkan beberapa kaedah umum yang dianggap sebagai patron rujukan berbagai kaus yang terjadi kemudian dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.








C.    Penerapan Istishab Dalam Hukum Islam
Dalam hal pilihan hukumnya adalah yang paling diyakini. Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Rasul menyatakan apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu pada perutnya kemudian merasa ragu apakah sudah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia benar-benar mendengar “suara” atau mencium “bau” yakni ia benar-benar yakin dengan keluarnya sesuatu dengan terdengarnya suara yang keluar (angin) atau terciumnya bau (kentut)”.
Hadis yang dijelaskan di atas, terdapat indikasi bahwa istishab dalam arti hakikat tanpa nama, sudah ada sejak masa Rasul, demikian pula pada masa berikutnya yakni masa sahabat dan tabi’in. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad sahabat mengandung arti luas yakni tidak terbatas pada qiyas, istihsan dan maslahat, namun juga mencakup sad az-zara’i, ‘urf dan istishab. Ketika seseorang dihadapkan pada keraguan, dan ini merupakan hakikat dari konsep istishab yaitu dengan berpegang pada hukum yang sudah ada sebelumnya yakni keadaan suci telah berwudhu,  bahwa sanya keyakinan tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.
Sedangkan ibnu Hazm merumuskan kaidah serupa dengan menyatakansetiap sesuatu yang ditetapkan berdasarkan hukum yang yakin, maka hukum itu tidak akan menjadi batal karena berdasarkan pada dugaan.
Sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti menyatakan keharusan berpegang pada hukum yang yakin dengan menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan hukum yakin, maka hukum itu tidak akan hilang kecuali ada keyakinan baru yang menghapuskannya. Sesuatu yang jelas hukum keharamannya akan tetap pada hukum haram kecuali ada dalil yang membolehkannya, seperti dalam keadaan darurat atau dengan berubahnya sifat yang menyebabkan haram seperti minuman arak yang berubah menjadi cuka sehingga sifat memabukannya hilang.Hilangnya sifat memabukkan sebagai alasan pendasaran hukum 'illah al-hukum, maka hilanglah hukum haram tersebut. Hal ini sesuai kaidah fikih: hukum itu berputar pada ada dan tidaknya 'illah dan sebab yang mendasarinya. Dengan demikian, maka perubahan hukum asal memungkinkan bergerak dinamis sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjadikan perubahan pada 'illah suatu hukum. 
D.    Kedudukan Istishab
masalah istishab di jadikan hujjah syari’ah atau tidak  pandangan ulama terjadi perdebatan terbelah dua kelompok, pro dan kontra, ada ulama yang merperbolehkan istishab dijadikan hujjah, ada ulama yang tidak memperbolehkan dijadikan hujjah syari’ah, Masing-masing menegahkan argumentasinya.
Kubu penerima (pro) yang disponsori oleh ulama garda depan Syafi’iyyah, antara lain, al-Muzani, al-Shairafi, dan al-Ghazali berpandangan bahwa istishab merupakan hujjah syaria’ah atau dalil bagi struktur hukum islam.
Kubu penolak (kontra) yang dipelopori oleh mayoritas ulama Hanafiyahmberpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadika hujjah syariah.
Akan tetapi, ada juga ulama dari kalangan kubu ini yang membolehkan istishab diposisikan sebagai hujjah syari’ah ketika melakukan tarjih.[3]
Kubu penerima (pro) mengajukan argumentasinya.[4]
a.       Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu, apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau belum maka ia ditetapkan masih mepunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian, keadaan awal (semula) harus dijadikan patokan; kalau mempunyai wudhu, keadaan ini yang berlaku; kalau belum wudhu, keadaan ini yang berlaku, sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu bertentangan dengan ijma’ tersebut. Cara menetapkan hukum seperti demikian merupakan manifestasi dari istishab.
b.      Para ahli pikir dan ahli ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi/spesifikasi tertentu, membolehkan penetapan putusan/hukum pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka, mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadi’ah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan aplikasi prinsip istishab. Kalau bukan atas dasar istishab,  tentu tidaka akan muncul penetapan hukum yang demikian.
c.       Aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup sesudahmasa beliau; jadi, kita juga terkena taklif aturan-aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada/berlaku tetap diakui ada/berlaku sebagaimana adanya. Sekiranya istishab tidak menunjukkan dugaan kuat akan adanya keterusberlakuan, tentu aturan-aturan hukum syara’ masa Nabi tidak di-taklif-kan kepada kita karena ada kemungkinan aturan tersebut telah dinaskah. Padahal, kemungkinan adanya naskah setara dengan kemungkinan adanya keterusberlakuan. Selain itu, hal tersebut termasuk tarjih tanpa adanya murajjih.
d.      Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang lelaki (suami) itu ragu apakah telah berakad atas atas si perempuan itu ataukah tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak mengimplikasikan haramnya si laki-laki (suami) bersetubuh terhadap sang perempuan (istri), sang laki-laki (suami) ragu apakah telah bertalak si perempuan (istri) itu ataukah tidak. Dalam dua kasus tersebut, sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (ketiadaan akad) sebelum timbul keragua; sedangkan pada kasus kedua, terjadi istishab terhadap kondisi yang ada (eksisnya akad) sebelum timbul keraguan. Sekiranya istishab itu tidak menunjukkan adanya dugaan kuat akan keterusberlakuan, tentu hukum dari kedua kasus itu sama, yakni haram bersetubuh atau kebolehan bersetubuh;dan ini jelas tidak logic sama sekali.
Kubu penolak (kontra) mengajukan argumentasi sebagai berikut.[5]
a.       Telah ada ijma’ bahwa keterangan/bukti yang bersifatmenetapkan harus dipriotaskan daripada keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan. Maksudnya, sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan/bukti yang bersifat mengingkari/menegaskan itu karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut haruslah lebih layak untuk dipriotaskan.
b.      Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil; dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali merupakan kesiasian; oleh karena itu, istishab bukanlah hujjah syari’ah.
c.       Dalam fiqih mazhab syafi’I, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak yang hilang, tidak sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu,tentu tindakan membayar kafarah yang demikian itu sah hukumnya.

E.     Implikasi Dari Perbedaan Pandangan
Terdapat sejumlah produk ijtihad yang merupakan implikasi dari perbedaan pandangan diatas, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.   Penolakan sumpah oleh tergugat[6]
Apabila si tergugat diminta bersumpah, lalu ia menolak, enggan bersumpah; apakah dengan demikian gugatan yang diajukan itu dapat diterima/ditetapkan dengan semata-mata penolakan sumpah tersebut? Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, pengambilan putusan oleh hakim tidak boleh didasarkan kepada penolakan sumpah itu semata; tetapi sumpah juga harus dibebankan kepada penggugat. Sebab, kaidah umum menyatakan bahwa putusan yang diambil oleh hakim harus berdasarkan bukti yang meyakinkan, bukan dugaan/sangkaan. Maka, kalau penggugat enggan bersumpah, si tergugat harus diputuskan “menang”, sesuai dengan dalil istishab bi al-bara’ah al-asliyyah. Selain itu, mereka mengajukan argument berupa fakta bahwa Nabi SAW ketika meenagani kasus al-qasamah meminta sejumlah orang Ashar (sebagai tergugat) bersumpah. Jadi, Nabi tidak langsung menjatuhkan putusan ketikaketika tergugat menolak bersumpah.
Golongan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa putusan “menang” untuk menggugat harus diambil hakim ketika si tergugat menolak bersumpah. Mereka berargumen dengan hadits yang riwayatkan al-Bukhori.
Mereka juga mengemukakan argument bahwa kesaksian bertujuan membuktikan gugatan, sedang sumpah bertujuan mengingkari gugatan; maka, apabila si tergugat menolak bersumpah, tentu gugatan itu menjadi terbukti dan valid.
2.   Hak kewarisan orang yang hilang (mafqud)[7]
Para ulama berbeda pendapat perihal orang yang hilang, apakah ia dihukumi sebagai orang mati sehingga hartapeninggalannya menjadi hak ahli warisnya; apakah ia dihukumi sebagai orang hidup dan karenanya menjadi ahli waris apabila salah seorang kerabatnya tersebut?
Kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut harus dihukumi sebagai orang hidup sehingga hartanya tidak tidak boleh diwarisi dan ia berhak atas harta pusaka dari orang yang mewariskannya. Argument yang mereka kemukakan jelas berupa dalil istishab, yakni bahwa orang tersebut sebelum menghilang masih hidup maka status hidupnya ini tetap terus diakui/diyakini hingga terdapat bukti yang meyakinkan tentang kematiannya.
Golongon ulma Hanafiyah berpandangan bahwa orang yang hilang (mafqud) tersebut tidak dapat dihukumi, baik sebagai orang hidup ataupun orang mati, dan hartanya tidak boleh diwarisi dan tidak berhak atas harta pusaka dari orag yang mewaeiskannya. Mereka memandang istishab tidak layak menjadi dalil/sandaraan bagi perolehan hak harta kekayaan, termasuk hak kewarisan.
Golongan ulama Hanabilah membedakan dari segi kondisi hilangnya. Apabilabila hilangnya itu akibat encana dahsyat yang biasanya memakan banyak korban maka harus ditunggu selama 4 tahun, dan apabila tidak ada kabar tentang dirinya, hartanya boleh diwarisi. Sebaliknya, apabila hilangnya itu akibat bencana kecil yang biasanya memakan sedikit korban maka hartanya tidak boleh diwarisi hingga ada bukti yang meyakinkan tentang kematiannya atau hingga melewati standar usia harapan hidup, dan semua itu ditetapkan melalui kepurtusan hakim.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa devinisi  istishab berbeda pendapat dari beberapa kalangan ulama’ tapi intinya sama bedanya hanya penyusunan kata saja bahwa Istishhab adalah penetapan keberlakukan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut melainkan setelah dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh kasusus: si A pada pagi hari telah berwudhu. Pada tengah hari, si A hendak sholat Zuhur pergi ke masjid, tetapi ia ragu apakah wudhunya itu masih sah/ada, belum batal ataukah sudah batal/tiada, apakah ia keluar sesuatu dari jalan dua. Berdasarkan dalil istishab, dapat dapat ditetapkan bahwa si A wudhunya itu masih sah/ada, belum batal melihat asal mulanya telah berwudhu.
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan bebas antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan. 


B.     Saran
Alangkah baiknya dalam membaca makalah ini dibaca dengan cermat agar bisa mengerti isinya. Dan juga diharapkan bisa membaca dari buku atau sumber lain yang lebih jelas dan lengkap pembahasannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Suyantno. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jogjakarta:  55282.
As-Syafi’i, al-Umm. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Asnawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2013.















[1]Ahmad warson munawwi, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawir indah ,ibid,p.817.

[2] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.: Mu’assah al-Risalah, t.th,) , hlm,542.
[3] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[4] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,542.

[5] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,544.
[6] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 447-448.

[7] Mustafa Sa’id al-Khinn, atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id alUsuliyyah fiIkhtilaf al-Fuqaha’, hlm,548-549.