Thursday 2 June 2016

CONTOH Makalah Istihsan, Istishab, dan Maslahah Mursalah




BAB I
PENDAHULUAN
1.        LatarBelakang

          Sejarahperkembangan pemikiran hukum Islam tidak bisa dilupakanbegitusaja. PraktektersebutsudahdilakukansejakmasaNabi,Khulafaurrasidin,Tabi’indangenerasiumatselanjutnya. Dalam menetapkan hukum, paraulamasepakatbahwasumber hukum Islam yang disepakatiyakni Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, danQiyas.Namunperludiketahuiseiringperkembanganzamanadabanyakbermunculan sumber hukum baru dengan alasan tidakditemukandalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Makadariituparaulama berijtihad dalammemutuskanperkara yang masihtetaptidakmenyimpangdariajaran Islam.Tentunyahasilpemikiraninimasihdiperselisihkantentangkehujjahannyadikarenakanperbedaanpandangan.Salah satusumberhukum Islam yang masihdiperselisihkan adalah hukum Istihsan.

2.        RumusanMasalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Istihsan ?
2.      Apasajamacam-macam dari Istihsan ?
3.      Bagaimana kehujjahan Istihsan menurut pandangan para ulama ?

3.        TujuanPenulisan
4.                  Untuk mengetahui pengertianIstihsan.
5.                  Untuk mengetahui macam-macam dari Istihsan.Untuk mengetahui kehujjahan
6.                  Istihsan menurut pandangan para ulama.







BAB II
PEMBAHASAN
1.        PengertianIstihsan
1.         Pengertian istihsan dari segi estimologi/bahasa :
Dari segibahasaIstihsanberasaldari kata kerjabahasa Arab استحسن – ىستحسن menjadiاستحسانا yang berartimencarikebaikan.[1]Kalimatistihsanterdapatdalam Al-Qur’an dandalamsunahRasul.Sepertifirman Allah SWT :
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“ Makagembirakanlahhamba-hamba-Ku. Yang mendengarperkataan, lalumengikutiApa yang lebihbaik di antaranya…”[2]
Di dalamhaditsRasuldisebutkan:
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
“ Apa-apa yang dianggapbaikoleh orang-orang muslimmakadianggapsuatuhalyang baik di sisi Allah.[3]
Selaindari Al-Qur’an danHadits, ada pula pengertianistihsanmenurutparaulama, salahsatunyamenurut al-Sarakshi (w. 483 H) yang berarti:
طلب الأحسن للاتباع الذي هو مأموربه
“ Berusahamendapatkan yang terbaikuntukdiikutibagisesuatumasalah yang diperhitungkanuntukdilaksanakan.”[4]



2.         Pengertian istihsan dari segi terminologi/istilah

Adapundarisegiistilah, banyakpengertianistihsan yang dikemukakanolehberbagaiparaulama :
Dari golonganHanafiyah, Al Bazdawymendefinisikanistihsandengan:
هو العدول عن موجب قياس الي قياس اقوى منه اوهوتحصيص قياس بدليل أقوى منه.

“ Berpindahdarisuatuhasilqiyaskepadaqiyas yang lebihkuat, mentakhsiskanqiyasdengandalil yang lebihkuatdaripadanya”.[5]
Dari golonganMalikiyah, IbnulArabymendefinisikanistihsandenngan:
ايسارترك مقتضى الدليل على طريق الاستثناءوالترخيص لمعارضة مايعارض به  فى بعص مقتضيا ته.
"Mendahulukanditinggalkannyatuntutanadil, menurutjalanpengecualian (istisna) dankeringanankarenabertentangannya di dalamsebagian yang dituntutnya”.[6]
DarigolonganHanabilah, AthThufydalamMukhtasharnyamendefinisikan:
أجودتعريف للاستحسان انه العدول بحكم المسئلة نضيرهالدليل ثىرعي خاص.
“ Definisiistihsan yang terbaikialahmemindahkan ketentuan hukum suatumasalahdaribandingannya, karenadalilsyara’ yang khash.”[7]
Dari ulamaushulfiqhialah:
هوعدول المحتهدعن مقتض قياس جلي إلى مقتض قياس خفي أوعن حكم كلى إلى حكم إستسنائي لدليل انقدح فى عقله ر جع لديه هدا العدول.
“Ihtihsanialahberpindahnyaseseorangmujtahid dari hukum yang diketahuiolehqiyasjali(terang) kepadahukum yang dikehendakiolehqiyaskhafi(samar-samar), ataudarihukum kulli(meliputi) kepada hukum yang bersifatpengecualian, karenadalil yang zahirpadahalnya yang menguatkanperpindahanitu”.[8]
3.        Dasar – Dasar Istihsan

   Dasar – dasar istihsan terdapat dalam Al-Qr’an dan Snnah, antara lain :
Al-Qur’an
الذين يسثمعون القول فيتبعون أحسنه أولعك الذين هداهم الله وأولعك هم اولو الألباب ( الزمر :)
         “ orang -orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling bai di antaranya. Mereka itulah orang – orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal “.[9]

Sunnah
فام رأى المسلمون حثنا فهو عند الله حسن ومارأوا سيئ
“ Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik”.[10]

Ijma’
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsan, seperti: diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.[11]


4.        Macam-MacamIhtihsan

          Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan istihsan terbagi pada beberapa macam dengan memperhatikan asal perpidahannya, segi arah perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan perpindahannya. Istihsan secara sederhana dapat dikatakan pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam, yakni:
1.         IstihsanQiyasi
Istihsanqiyasiialahsuatubentukpengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkankepada qiyas jalli kepada ketentuan hukum yang didasarkankepadakhiyaskhafi, karenaadanyaalasan yang kuatuntukmengalihkan ketentuan hukum tersebut.Alasan yang kuatdimaksudkandisiniadalahkemaslahatan.[12]
Contoh:Menurut Hanafiyah burungbuasdipandangnajisdan haram dimakandagingnyakarenadiqiyaskandenganbinatangbuas.Karenaitu pula air sisaminumannyatermasuknajis.Akan tetapi, penetapanistihsantidakmenjadikannyasebagainajis, meskipun air sisaminumanbinatangbuastetapnajiskarena air tersebutdipandangbercampurdengan air liurbinatangbuas.Inikarenabinatangbuasminumdengancaralidahnya yang menjilat air, sedangkanburungbuashanyaparuhnya yang menyedot air, sehingga air liurnyatidaktersisapada air tersebut.[13]
2.         IstihsanIstitsna’i
Istihsan istitsna’ialahqiyasdalambentukpengecualiandari ketentuan hukum yang berdasarkanprinsip-prinsipumum, kepada ketentuan hukum yang bersifatkhusus.Dalamjenisini dibagibeberapamacambagianlagi:
1.             MenurutMazhabHanafi
DalamMazhabHanafiistihsandibagikepadalimamacamyaitu:
5.              Istihsandengan Nashsh   (  الإستحسان بالنص)
Ialahpenyimpangansuatuketentuanhukumberdasarkanketetapanqiyaskepadaketentuan hukum yang berlawanandengan yang ditetapkanberdasarkannash al-Kitabdan Sunnah(ketentuan hukum umumkekhusus).[14]
Contohistihsanistitsna’i berdasarkannashsh Al-Qur’an
Berlakunyaketentuanwasiatsetelahseseorangwafat, padahalmenurutketentuanumum, ketika orang telahwafatiatidaklagiterhadaphartanya karenatelahberalihkepadaahliwarisnya.Nyatanya, ketentuanumumtersebutdikecualikanoleh Al-Qur’an[15], antara lain surah an-Nisa’(4): 12:
من بعدوصيّة يوصين بها أودين
Sesudahdipenuhiwasiat yang diwasiatkannyaatausesudahdibayarutangnya.”[16]
Contohistihsan istitsna’i berdasarkannashshsunnah
Tidakbatalnyapuasa orang yang makanatauminumkarenalupa, padahalmenurutketentuanumum, makandanminummembatalkanpuasa.Nyatanyaketentuanumumtersebutdikecualikanberdasarkanhadits.
عن أبي هريرةرضي االله عنه قال قال رسول االله صلّى االله عليه وسلّم من نسي وهو صائم فأكل أوثرب فاْيتمّ صومه فإنّما أطعمه االله وسقاه
“ Dari Abu Hurairahr.a, katanya, Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa yang lupasedangiaberpuasa, kemudianiamakanatauminum, makahendaklahiamenyempurnakanpuasanya, karenasesungguhnya Allah sedangmemberimakandanmimunkepadanya”.[17]

6.              IstihsandenganIjma’( الاستحسان باالإجماع )
       Ialah meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ijma’.Hal ini terjadi karena adanya fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang telah ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan oleh
manusia(masyarakat), yang sebetulnyaberlawanandengandasar-dasarpokok yang telahditetapkan.[18]
Contohnyabolehmelakukantransaksiistitna’(seseorangbertransaksidenganpengrajinuntukdibuatkanbarangdenganhargatertentu), padahalmenurutketentuanumumjualbeli, dilarangmelakukantransaksiterhadapbarang yang belumada. Rasulullah SAW, bersabda:
لاتبع ماليس عندك
“ janganjualbelikansesuatu yang belumadapadamu”.[19]
        Hadits lain jugamenerangkanbahwatidaksahmenjualsuatubarang yang tidakdiserahkankepada yang membelisebabsemuaitumengandungtipudaya(kecohan).
عن ابى هريرة نهى النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الغرر
“ Dari Abu Hurairah.Iaberkata,”Nabi SAW, telahmelarangmemperjualbelikanbarang yang mengandungtipudaya”.( Riwayat Muslim dan lain-lainnya)[20]
        Berdasarkan hadits diatas dapat disimpulkan bahwa transaksi  tersebut batal karena objek transaksinya belum ada.Akan tetapi istihsan memperbolehkannya kerena sejak dulu proses tersebut sudah berlangsung dan tidak ada larangan dari seorang ulama pun(alasannya demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan ).



7.              IstihsanDaruratdanHajat (الاستحسان بالضروة والحجة )
       Ialah seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan.[21]
Contohnyamenghukumkansucinya air sumurataukolam air yang kejatuhannajisdengancaramengurasairnya. Menurutketentuanumum, tidakmungkinmensucikan air sumurataukolamhanyadenganmengurasnyadikarenakanmata air terusmengalir yang akanbercampurdengan air yang najisdanalatpengurasnya. Akan tetapi, demi kebutuhanmenghadapidarurat, berdasarkanistihsan air sumurataukolamdipandangsucisetelahdikuras.[22]

8.              IstihsandenganUrfdanAdat ( الاستحسان بالعرف والعادة )
       Ialahpenyimpanganataupemalinganpenetapanhukum yang berlainan (berlawanan) denganketentuanqiyas, karenaadanya ‘urf yang sudahdipraktekkandansudahdikenaldalamkehidupanmasyarakat.[23]
Contohnyakebolehanmewaqafkanbenda yang bergeraksepertibuku-bukudanalatmasaksebenarnyahanyaadatkebiasaan di berbagai Negara tertentu.Padahal, menurut hukum perwaqafan, harta yang bolehdiwaqafkanhanyalahharta yang kekaldantidakbergeraksepertitanah.[24]

9.              IstihsandenganQiyasKhafi  (الاستحسان بالقياس الخفى)
       Ialah memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan hukum qiyas yang samar-samar dan tidak jelas kepada     ketentuan hukum qiyas yang samar-samar dan tidak jelas, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.[25]
Contohnya sesungguhnya aurat wanita itu ialah mulai dari ujung kepala sampai kedua ujung kakinya, kemudian dibolehkan bagian tubuhnya sekedar dibutuhkan seperti melihat kebaikannya.Hal seperti ini terdapat perlawananan diantara dua qiyas.[26]
2.  Menurut Mazhab Maliki
            Sebagaimana telah dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa ulama dari kalangan mazhab maliki membagi istihsan kepada tiga macam. Ketiga macam istihsan ini yakni :
1.               Istihsan yang disandarkan kepada A ( استحسان سنده العرف)
        Sebagai contoh yang dikemukakan oleh mazhab Maliki terhadap istihsan jenis ini ialah seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging kalau ia makan daging ikan, maka tidaklah dianggap melanggar sumpah, walaupun di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging.[27]
... ومن كل تأكلون لحم طريا
         Dan dari masing-masing laut tersebut kamu dapat memakan daging yang segar”.
2.               Istihsan yang disandarkan kepada Maslahat ( استحسان سنده المصلحة)
        Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah mengenyampingkan pemberlakuan ketentuan hukum qiyas karena pertimbangan maslahat yang lebih penting.[28]
3.               Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan-kesulita ( استحسان سنده رفع الحرخ)
        Yang dimaksud dengan istilah ini ialah didasarkan pada meninggalkan kesulitan yang dihadapi. Sebetulnya hamper tidak ada bedanya dengan jenis istihsan yang kedua. Umumnya istihsan ini banyak berkisar pada masalah muamalah dan ibadah, sebagai upaya menghilangkan kesulitan.[29]
5.Kehujjahan Istihsa
         Memperhatikan kehujahan istihsan dan menggunakannya sebagai dalil dalam istinbat hukum, memang menimbulkan perdebatan di kalangan mazhab. Adapun serangan dan kritik yang hebat dalam menolak istihsan.
2.            Kelompok yang menerima istihsan sebagai dalil hukum
Madzhab Hanafi, Maliki dan Madzhab Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum. Alasan mereka :
1.         Firman Allah dalam surat Al-Zumar ayat 55 :
واتبعوا أحسن ماأنزل إليكم من ربكم
“ Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[30]

2.         Hadits Nabi riwayat Abdullah Ibn Mas’ud :
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله سن
“ Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah”.[31]
3.         Bahkan seperti yang dijelaskan oleh Abu Zahrah istihsan bagi mazhab Maliki adalah merupakan Sembilan per sepuluh ilmu( الاستحسان تسعة أعسار العلم ) . Mazhab Maliki menggunakan kaidah-kaidah :
درؤ المفاسد وجلب المصالح
“ Menolak kerusakan dan meraih kemaslahatan “.[32]

3.         Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum
               Golongan yang menolak istihsan yaitu dipelopori tokoh popular yang menentang istihsan sebagai hujjah dan dalil adalah Imam Syafi’i.
Imam Syafi’I tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Baginya, menetapakan suatu hukum dengan jalan istihsan sama saja dengan membuat-buat syari’at baru dengan hawa nafsu.[33]Alasannya :
1.                  QS. An-Nisa’ ayat 59 :
يأيها الذين ءامنو اأطيعو االله وأطيعو اارسول وأولي الأمر منكم  فاتنزعتم في سىء فردوه الى الله وارسول...
“ Hai orang-orang yang  beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)...”.
2.                  QS. Al-Qiyamah ayat 36 :
        أيحسب الإنسان أن يترك سدى
“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)”.[35]

3.                  Dalam kitabnya al-Risalah, Imam syafi’I dengan tegas menyatakan :
ليس لإحددون رسول الله أن يقول بالاستد لال ول يقول بما استحسن فإن اقول بما استحسن ثيئ يحدسه لا على مسال سبق.
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alas an (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik. Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.[36]

4.         Hubungan Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan Dalam Ushul Fikih Maliki dan Hanafi

1.            Hubungan Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan dalam Ushul Fikih Maliki
            Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa istihsan dalam Ushul Fiqih Maliki berarti beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat yang mengakibatkan ditinggalkannya kehendak suatu dalil dengan jalan pengecualian dan dispensasi karena kehendak dalil itu bertentangan dengan apa yang ingin dicapainya pada beberapa masalah. Istihsan dalam Ushul Fiqih. Istihsan dalam ushul fiqih Maliki dibagi empat macam, yaitu meninggalkan suatu dalil karena ada ‘urf,ijma’,mewujudkan maslahat, dan dalam masalah-masalah kecil yang tidak begitu berarti guna menghilangkan kesukaran dan kesulitan. Dengan demikian maka istihsan menurut mereka berarti beramal dengan ijmak, atau dengan al-maslahat al-mursalat, atau dengan urf atau dengan kaidah raf’ al-harj ketika berhadapan dengan dalil umum atau kias.[37]

            Ijma’, al-maslahat al-mula’imat, dan kaidah raf’ al haraj merupakan dalil-dalil syara’ yang diakui oleh Al-Syafi’i, karena ijma’ dan al-maslahat al-mula’imat menurutnya dapat dijadikan hujjah. Adapun kaidah raf’ al-haraj adalah suatu kaidah yang diambil dari induksi syariat yang memberi faedah qath’i. Dengan demikian kaidah merupakan kaidah syara’ yang berpegang kepada induksi.Sedangkan ‘urf, meskipun Al-Syafi’i tidak tegas menjadikannya sebagai hujjah, akan tetapi ia tidak pernah menolaknya.[38]
            Berdasar uraian diatas, jelaslah bahwa istihsan berarti beramal dengan dalil-dalil.Dan bila demikian halnya, maka Al-Syafi’i tidak berbeda pendapat dalam masalah ini secara mutlak. Dalam hal ini Al-Syatibi, setelah mengatakan bahwa jika begitu pengertian istihsan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, maka jelas istihsan tidak keluar dari dalil-dalil syara’, karena dalil-dalil itu sebagiannya kembali kepada sebagian yang lain dan sebagiannya mentakhsiskan sebagian yang lain seperti pada dalil-dalil sunnah bersama Al-Qur’an. Dan yang demikian itu tidak ditolak oleh Al-Syafi’i.[39]

2.            Hubungan Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan dalam Ushul Fikih Hanafi
            Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa istihsan dalam ushul fiqih Hanafi berarti berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah kepada hukum yang lain karena ada segi tinjauan yang lebih kuat yang menghendaki perpalingan.Dan mereka membagi istihsan kepada empat macam, yaitu istihsan dengan nash, ijma’, qiyas khafi, dan darurat. Dengan demikian, maka istihsan meurut meraka berarti beramal dengan nash, atau ijma’, qiyas khafi, atau dengan darurat.[40]
            Nash, ijma’, dan darurat merupakan dalil-dalil syara’ yang diakui oleh Al-Syafi’i karena nash, ijma’, dan darurat menurutnya dapat dijadikan hujjah. Adapun qiyas khafi, adalah satu macam qiyas.Dan qiyas secara umum diakui oleh Al-Syafi’i sebagai salah satu dalil syara’.Pengutamaan qiyas khafi yang demikian itu tentu tidak mungkin ditolak oleh Al-Syafi’i.Justru, sebagaimana telah dijelaskan Al-Syafi’i qiyas syabh yang merupakan pengembangan dari qiyas.Qiyas syabh Al-Syafi’i itu ternyata mempunyai kemiripan dengan istihsan dengan qiyas khafi.Dalam hal ini Al-Taftazani mengatakan, sebagian ulama menolak beramal dengan istihsan hanya karena tidak mengerti.[41]
            Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa istihsan itu merupakan salah satu cara istinbath hukum yang bisa dijadikan hujjah dan menjadi dalil syara’.


            Dan dari contoh-contoh masalah yang ditetapkan hukumnya dengan istihsan terlihat bahwa hukuman yang ditetapkan dengan istihsan lebih mengayomi dan lebih mampu merealisasi maslahat dan kepentingan masyarakat yang ingin dipelihara oleh syara’ melalui ketentuan-ketentuannya yang umum.[42]
5.         Perbandingan dan Perbedaan Global Antara Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah

1.            Qiyas Kepada Prinsip yang Sudah Ada, Memotong Perselisihan
            Dalam perbandingan antara qiyas dan istihsan, tampak qiyas senantiasa menurut AS-Syafi’i berlandaskan hukum pada dasar-dasar yang mapan, sementara istihsan tidak berlandaskan pada seperti itu.Sejalan dengan konsepsi ini, tampak oleh As-Syafi’i seolah-olah qiyas menghindari timbulnya perbedaan. Oleh karena itu ia sering membicarakannya sebagai teks yang mirip dengan ijma’, sementara ia selalu mengkaitkannya istihsan dengan timbulnya perbedaan yang tidak disukai. Apbila qiyas memang benteng perselisihan, maka sebaliknya istihsan adalah pemicu perselisihan.Tidak lain, ini karena qiyas senantiasa berlandaskan kepada prinsip (asal) yang mapan, yaitu Al-Kitab atau Sunnah.[43]
            Apabila pemahaman mengenai pertentangan antara qiyas dan istihsan berangkat dari sikap ideologis yang jelas, maka sikap ini merefleksikan suatu pandangan terhadap dunia dan manusia: bahwa manusia senantiasa terbelenggu dengan setumpuk ketentuan-ketentuan yang apabila dijauhi, maka dianggap sebagai keluar dari kemanusiaannya.[44]
2.            Perbedaan Global antara Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah
Qiyas
      Peristiwa hukum yang ditetapkan hukumnya dengan qiyas adalah suatu peristiwa hukum yang tak ditetapkan hukumnya oleh nash, dan ijma’ yang dihubungkan dengan peristiwa hukum yang ditetapkan oleh nash atau ijma’.[45]Pada qiyas terdapat dua kasus. Kasus yang pertama belum ditetapkan hukumnya kerena tidak ada nash yang secara tegas dapat dijadikan dasar hukum.[46]
Istihsan
Yang dalam memindahkan ketentuan hukum dari petunjuk dalil yang jelas, disebabkan terdapatnya sandaran/sanad tempat bertopangnya pemindahan ini.[47]Adapun istihsan hanya ada satu kasus, dan kasus itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Kemudian, nash lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pindah ke hukum lain, sekalipun hukum yang pertama berdasarkan dalil yang nyata (kuat) dan hukum yang kedua berdasarkan dalil yang samar-samar.[48]Kalau istihsan didukung secara sistematis oleh teks-teks wahyu, lalu apa yang membedakannya dari qiyas?yang membedakannya adalah bukti tekstual menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang telah dicapai melalui qiyas.[49]
Ishtihlah
      Peristiwa hukum yang ditetapkan hukumnya dengan ishtihlah adalah suatu peristiwa hukum yang tak ditetapkan hukumnya oleh nash, ijma’ ataupun oleh qiyas, lalu oleh mujtahid ditetapan hukumnya untuk mewujudkan kemaslahatan yang jelas.[50]


6.         Perkembangan Istihsan dari Masa ke Masa

1.            Masa Lampau
            Penggunaaan istihsan tidak ditegaskan secara ekslisit dan terperinci dalam nash Al-Qur’an ataupun Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan logika di kalangan mereka. DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarakah dengan menggunakan ishtinbath hukum istihsan pada masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandun ( seibu-sebapak ) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.[51]
            Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah.Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsan.[52]

Secara faktual, pemikiran Abu Hanifah sangat mendalam dan rasional. Istihsan, sebagai teori yang dimunculkan oeh Abu Hanifah, bukanlah sesuatu di luar ketentuan nash. Artinya, ia tidak bertentangan dengan nash.[53]
2.            Masa Kini
            Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang beraku secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, para mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konensional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihat yang disebut “istihsan”.[54]Jadi masih banyak ditemukan penetapan hukum istihsan di masa kini demi kemaslahatan manusia.
3.            Masa Mendatang/Masa Depan
            Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konensional) yang digunakan ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalah tersebut dengan baik (tepat). Karena itu si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif diluar pendekatan lama, meskipun dengan berat untuk meninggalkan pendekatan lama yang selama ini ia gunakan dan ia dipertahankan dengan setia. Oleh karena kecenderungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dari dorongan tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.[55]

7.         Relevansi Istihsan dengan Pembaharuan Hukum Islam
                        Untuk melihat relevansi istihsan dengan pembaharuan hukum Islam perlu ditegaskan kembali bahwa pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru

untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang
 Islam sama sekali tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam mengarahkan dan menyalurkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah kebaikan dan kemaslahatan umat manusia itu sendiri.Rangsangan dan perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi juga bertujuan untuk menuntut imu pengetahuan dan menguasai teknologi juga bertujuan untuk memberikan kebahagiaan hidup bagi umat umatnya.Jadi ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan manfaat bagi umat manusia yang dalam bahasa syariat disebut dengan maslahat.Dan maslahat itu merupakan tujuan syariat (maqshid al-syari’at).[56]

8.         Cakupan Ketentuan Hukum Istihsan Terhadap Peristiwa Hukum Lain

         Golongan Hanafiyah menetapkan bahwa :
1.            Ketentuan hukum yang ditetapkan dengan istihsan yang sanadnya qiyas khafi boleh diterapkan terhadap peristiwa hukum lain dengan perantara qiyas.
            Contohnya pembeli dan penjual yang berselisihan tentang jumlah harga barang sebelum timbaang terima harus disumpah keduanya.Diqiyaskan daripadanya, terhadap para ahli waris mereka, yaitu jika sebelum terjadi timbang terima barang, kedua pembeli dan penjual meninggal dunia, maka kedua ahli waris mereka disumpah juga tentang jumlah harga, bila mereka masih berselisih.Selanjutnya ketentuan istihsan itu diterapkan pula terhadap peristiwa hukum sewa menyewa, yaitu keduanya disumpah apabila antara keduanya terjadi pertikaian tentang jumlah sewa sebelum dilunasinya.[57]
2.            Ketentuan hukum yang ditetapkan dengan istihsan yang sanadnya nash, urf atau dharurat, hanya terbatas pada kasus itu saja.
            Terhadap iipun perlu dikoreksi karena yang sanadnya nash yang ma’qulul ma’na boleh melampaui pada peristiwa hukum lain yang juga terdapat ‘illat-nya. Oleh karena itu apabila di dalam nash diberikan rukhsah pada jual beli ‘araya yang illatnya adalah tuntutan hajat orang banyak, maka rukhsah inipun berlaku terhadap jual beli anggur yang masih di batang dengan anggur yang masak apabila hajat manusia pun menuntutnya seperti dalam hal jual beli ‘araya. Sebenarnya seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan qiyas, bahwa melampaui ketentuan hukum yang ditetapkan dengan qiyas itu kepada peristiwa hukum lain, asasnya adalah terdapatnya ‘illat hukum, baik ditetapkan sebagai hukum baru ataupun sebagai pengecualian.[58]
9.         Pengaruh Istihsan Dalam Masalah Fiqih

                     Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh istihsan dalam masalah fiqih :
1.            Lelaki yang Menghadap Perempuan Dalam Sholat
            Berdasarkan sunnah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan shalat berjama’ah, maka perempuan berada di barisan belakang laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat, mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjama’ah tepat berada pada barisan perempuan.
            Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang Laki-laki yang menghadap (berada dibelakang) perempuan, dan tidak dianggap rusak shalat perempuan yang menghdap (berada dibelakang) laki-laki. Dalam kitab Bidayah Al-Mubtadi (255: 1), ia mengatakan bahwa apabila dihadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad/niat menjadikannya (perempuan) sebagai imam. Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengumpamakab rusaknya shalat seorang laki-laki yang berhadapan dengan seorang perempuan adalah istihsan.Alasan istihsan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki-laki dan mengakhiri perempuan dalam shalat.[59]
            Imam yang tiga ( Malik, As-Syafi’i dan Ahmad ), berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, namun shalt salah satu diantara mereka tidaklah rusak. Dalam Syarh Al-Kabir (331: 1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki-laki yang berada diantara barisan perempuan atau sebaliknya adalah makruh.Dan dalam kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (di belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (di belakang) laki-laki adalah makruh.Alasan mereka menyatakan shalatnya makruh adalah menganalogikan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi di luar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut ijma’.Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat, sementara Aisyah tertidur di hadapannya.[60]
2.            Zakat Seluruh Harta Tanpa Niat
            Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakat.Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau tetap berada tanggung jawabnya ?
            As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur.Dalam kitab Al-Majmu’ (191: 6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat tersebut tidak gugur. Alasan mereka karena orang tersebut belum berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib/fardhu.[61]
            Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (377: 2), mengatakan bahwa walaupun hukum seseorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunnah, tetapi jika ia tidak berniat zakat, maka ia tetap tidak mendapatkan pahala zakat.[62]
            Abu Hanifah dan rekan-rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur.Ia menyatakan bahwa barang siapa yang berzakat seluruh hartanya, tetapi ia tidak menyertai dengan niat zakat maka gugurlah kewajibannya. Alasan mereka adalah istihsan.Kerena setelah jelasnya kewajiban tentang bagian dari seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tersebut merupakan ketentuan dari keseluruhan.Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penentuan lagi, karena adanya fardhu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefardhuan itu sendiri untuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan bagian yang lainnnya.[63]




BAB III
PENUTUP
1.         Kesimpulan
         Dari rumusan masalah dan pembahasan diatas maka dengan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.                  Dari segi bahasa Istihsan berasal dari kata kerja bahasa Arab استحسن – ىستحسن menjadi استحسانا yang berarti mencari kebaikan. Kalimat istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam sunah Rasul.Seperti firman Allah SWT :
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“ Makagembirakanlahhamba-hamba-Ku. Yang mendengarperkataan, lalumengikutiApa yang lebihbaik di antaranya…
Di dalamhaditsRasuldisebutkan:
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
“ Apa-apa yang dianggapbaikoleh orang-orang muslimmakadianggapsuatuhalyang baik di sisi Allah.
              Selain dari Al-Qur’an dan Hadits masih banyak lagi pengertian istihsan menurut para ulama, entah itu pengertian secara etimologi maupun terminologi. Tetapi dari uraian diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa inti dari hukum istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan atas adanya dalil syar’i.
2.                  Telas disinggung sebelumnya bahwa istihsan dapat disimpulkan istihsan terbagi pada beberapa macam dengan memperhatikan asal perpidahannya, segi arah perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan perpindahannya. Istihsan secara sederhana dapat dikatakan pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam, yakni istihsan qiyasi dan istisna’i.
3.                  Dalam penggunaan istihsan ada golongan yang menerima maupun yang menolaknya. Golongan-golongan tersebut saling berargumen dan menguatkan pendapatnya masing-masing dengan dalil dan realita. Golongan yang setuju dintaranya empat Imam kecuali Imam Syafi’i yang secara tegas menolak kehujjahan istihsan.
4.         Saran
                 penulisan makalah ini, kami menyadari masih belum dari kata sempurna. Untuk itu, kami Memberikan saran kepada :
1.                  Kepada Pembaca
   penulis mengharap kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Dan bisa dijadikan acuan sebagai penilaian terhadap diri sendiri.
2.                  Kepada Penulis Lanjutan
   Dalam penulisan karya ilmiah salah satunya makalah, sebaiknya menggunakan referensi buku sebanyak mungkin.Karena semakin banyak referensi buku yang kita gunakan, maka semakin meyakinkan kepada pembaca tentang kebenaran dari makalah tersebut.














Daftar Pustaka/Rujukan

1.         Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan Dan Fleksibelitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
2.         Abu Zayd, Nasr Hamid. Imam as- Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah;Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme,terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LkiS, 1997.
3.         Bakri, Nasar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2003.
4.         Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
5.         Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theoritis; Sejarah Teori Hukum Islam,terj.E Kusnadiningrat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
6.         Hefni, Moh. Sejarah Pemikiran Hukum Islam Di Dunia Islam. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006.
7.         Ishomuddin, Koto. Ushul Fiqh Pengantar Teori Hukum Islam. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010.
8.         Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
9.         Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo,1994.
10.     SA, Romli. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
11.     Sabri, Fahruddin Ali. Ushul Fiqih 1. Surabaya: Pena Salsabila, 2013.
12.     Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
13.     Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
14.     Umam Chairul, dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
15.     Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.





Lembar Kerja (LK) dari kelompok 6

Kelompok 1 :

Apa pendapat Imam  Al-Ghazali mengenai Istihsan ? dalam kaitannya dengan ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan yang dikemukakan Imam Al-Karakhi ada empat bentuk. Sebutkan dan jelaskan empat bentuk tersebut......!
Kelompok  2 :
Berikanlah contoh hukum istihsan yang diterapkan pada masa kini/sekarang....!
Kelompok 3 :
Apa maksud dari ayat yang tertulis di bawah ini....!
من استحسن فقد سرع
Kelompok 4 :
Menurut kelompok 4! Apakah istihsan dapat dijadikan hujjah atau menolaknya?(ya/tidak) besertakan dengan alasan yang kuat.
Kelompok 5
Dalam pembagian istihsan, menurut Imam Maliki dan Hanafi ada perbedaan di dalam pengelompokannya.Tetapi perlu diketahui dalam pengelompokan tersebut ada persamaan di antara ke duanya. Sebut dan jelaskan persamaan pembagian istihsan dari keduanya….!
Kelompok 6
(Master of ceremony)
Kelompok 7
Simaklah peristiwa di bawah ini:
Pada musim kemarau Anton melihat ada seekor burung elang yang sedang minum air di tempat penampungan air(tandon). Anton terkejut dan berhati-hati dalam memutuskan sesuatu pada peristiwa tersebut.
Dari peristiwa di atas! Menurut kelompok 7 apa yang seharusnya dilakukan oleh Anton terhadap air yang terdapat pada tandon tersebut ?

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirobbil alamin segala puja dan  puji syukur kami panjatkan kehadiran ilahirobbi yang mana pada kesempatan  ini telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Ushul Fiqh yang berjudul: Penetapan Hukum Istihsan Melalui Istinhbat’ Hukum
Shalatullah wasala muhu mudah-mudahan  tetap tercurah limpahkan kepada sang refolusioner dunia kita yakni Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana beliaulah yangtelah mengangkis kita dari jurang-jurang kemaksiatan dari lumpur-lumpur kehinaan menuju alam yang terang manderang yakni adanya pengetahuan iman, islam dan ihsan.
Disini penulis menyadari bahwa terselesainya makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karna itu penulis mengharap kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik


               Penulis,

Kelompok 6




ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul........................................................................................ .             i
Kata Pengantar.......................................................................................... .             ii
Daftar isi..................................................................................................... .             iii
BAB I Pendahuluan...................................................................................               1
1.                  Latar Belakang.................................................................................               1
2.                  Rumusan Masalah............................................................................               1
3.                  Tujuan Penulisan..............................................................................               1
BAB II Pembahasan..................................................................................               2
1.                  Pengertian Istihsan...........................................................................               2
1.                  Pengertian Istihsan Dari Segi estimologi……………………….....   2
2.                  Pengertian Istihsan Dari Segi Terminologi…………………….......   2
3.                  Dasar-Dasar Istihsan.....................................................................               3
1.                  Al-Qur’an……………………………………………………….....               3
2.                  Sunnah………………………………………………………….....               4
3.                  Ijma……………………………………………………………......               4
4.                  Macam-Macam Istihsan……………………………………..……             4
1.                  Istihsan Qiyasi…………………………………………………                    4
2.                  Istihsan Istitsna’………………………………………………..                    5
1.                  Menurut Mazhab Hanafi………………………..………….              5
2.                  Menurut Mazhab Maliki…………………………………..               8
iii
3.                  Kehujjahan Istihsan …………………………………………….                9
1.                  Kelompok yang Menerima Istihsan sebagai dalil hukum……                       9
2.                  Kelompok yang Menerima Istihsan sebagai dalil hukum……                       9
3.                  Hubungan Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan
 Dalam Ushul Fikih Maliki dan Hanafi…………………………               10
4.                  Perbandingan dan Perbedaan Global Antara
Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah……………………………………                12
5.                  Perkembangan Istihsan dari Masa ke Masa…………………..                13

6.                  Relevansi Istihsan dengan Pembaharuan Hukum Islam……..                 14
7.                  Cakupan Ketentuan Hukum Istihsan Terhadap Peristiwa
Hukum Lain…………………………………………………….                 15
8.                  Cakupan Ketentuan Hukum Istihsan Terhadap Peristiwa
Hukum Lain…………………………………………………….                 16

BAB III Penutu………………………………………………………......               18
1.                  Kesimpulan......................................................................................               18
2.                  Saran ……………………………………………………………….                         19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................               20
Lembar Kerja……………………………………………………………. 21


iii



PENETAPAN HUKUM ISTIHSAN
MELALUI ISHTINBATH HUKUM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas
USHUL FIQH
DosenPengampu : MOCH. CHOLID WARDI, M.HI




Logo STAIN PMK






Oleh:
Imam Bustomi
Muhamad Bakiruddin
Dwi Hendra Kurniawan
Ghofron


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
GENAP 2015-2016



[1]ChairulUmam, UshulFiqih 1 (Bandung: PustakaSetia, 1998), hlm. 117.
[2]Departemen Agama, al-Qur’an danterjemahnya (Jakarta: t.p, 1971), hlm. 748.
[3]Umam,UshulFiqih 1, hlm. 118.
[4]Romli SA, MuqaranahMazahibFilUshul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 138.
[5]Sulaiman Abdullah, SumberHukum Islam PermasalahandanFleksibilitasnya( Jakarta: SinarGrafika, 2004), hlm. 127
[6]Ibid. hlm. 128.
[7]Ibid. hlm 129.
[8]NazarBakri, FiqhdanUshulFiqh( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), hlm. 234.
[9]Abbadi Ishomuddin, Ushul Fiqh Pengantar Teori Hukum Islam (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010) hlm. 62.
[10]Fahruddin Ali Sabri, Ushul Fiqh 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 95.
[11] Ibid.
[12]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh ( Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 198.
[13]Umam, Ushul Fiqh 1, hlm. 127.
[14]Romli SA, Muqaranah, hlm. 144.
[15] Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 200.
[16] Departemen Agama, al-Qur’an dan terjemahnya
[17] Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 201
[18] Romli SA, Muqaranah, hlm. 145.
[19]Dahlan, UshulFiqh, hlm.  201.
[20]SulaimanRasyid, Fiqh Islam (Bandung: SinarBaruAlgensindo, 1994), hlm. 280 – 281.


6
[21]Romli SA, Muqaranah, hlm. 145 – 146.
[22]Ibid. 146.
[23]Ibid.
[24]AbbadiIshomuddin, UshulFiqhPengantarTeoriHukum Islam (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010), hlm. 64
[25]Romli SA, Muqaranah, hlm. 146 – 147.
[26]Ibid. hlm 147.
[27]Ibid.
[28]Ibid. hlm. 148.
[29] Ibid.
[30]Agama, Al-Qur’an, hlm.  754.
[31]Umam, Ushul Fiqh 1, hlm. 131.
[32] Romli, Muqaranah, hlm. 153.
[33]Ishomuddin, hlm. 65.
[34]Agama, Al-Qur’an, hlm .58.
[35]Ibid. hlm. 1000.
[36]Romli, Muqaranah, hlm. 154.
[37] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 99 – 100.
[38]Ibid. Hlm 100.
[39]Ibid. hlm. 101.
[40] Ibid.
[41]Ibid. hlm 101 – 102.
[42] Ibid.
[43]Nasr Hamid Abu Z, Al-Imam  as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah; Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1997), hlm. 87 – 89.
[44]Ibid. hlm. 89.
[45]Abdullah, Sumber, hlm. 126.
[46] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), hlm. 105.
[47]Abdullah, Sumber, hlm. 126.
[48] Koto, Ilmu,hlm. 105.
[49] Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories; Sejarah Teori Hukum Islam, terj., E Kusnadingrat dkk (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001), hlm.159 – 160.