BAB I
PENDAHULUAN
1.
LatarBelakang
Sejarahperkembangan
pemikiran hukum Islam tidak bisa dilupakanbegitusaja.
PraktektersebutsudahdilakukansejakmasaNabi,Khulafaurrasidin,Tabi’indangenerasiumatselanjutnya.
Dalam menetapkan hukum, paraulamasepakatbahwasumber hukum Islam yang
disepakatiyakni Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’,
danQiyas.Namunperludiketahuiseiringperkembanganzamanadabanyakbermunculan sumber
hukum baru dengan alasan tidakditemukandalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.Makadariituparaulama berijtihad dalammemutuskanperkara yang
masihtetaptidakmenyimpangdariajaran
Islam.Tentunyahasilpemikiraninimasihdiperselisihkantentangkehujjahannyadikarenakanperbedaanpandangan.Salah
satusumberhukum Islam yang masihdiperselisihkan adalah hukum Istihsan.
2.
RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan Istihsan ?
2. Apasajamacam-macam dari Istihsan ?
3.
Bagaimana
kehujjahan Istihsan menurut pandangan para ulama ?
3.
TujuanPenulisan
4.
Untuk
mengetahui pengertianIstihsan.
5.
Untuk
mengetahui macam-macam dari Istihsan.Untuk mengetahui kehujjahan
6.
Istihsan
menurut pandangan para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PengertianIstihsan
1.
Pengertian
istihsan dari segi estimologi/bahasa :
Dari
segibahasaIstihsanberasaldari kata kerjabahasa Arab استحسن
– ىستحسن
menjadiاستحسانا yang berartimencarikebaikan.[1]Kalimatistihsanterdapatdalam
Al-Qur’an dandalamsunahRasul.Sepertifirman Allah SWT :
الذين
يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“ Makagembirakanlahhamba-hamba-Ku.
Yang mendengarperkataan, lalumengikutiApa yang lebihbaik di antaranya…”[2]
Di dalamhaditsRasuldisebutkan:
ماراه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
“ Apa-apa yang dianggapbaikoleh
orang-orang muslimmakadianggapsuatuhalyang baik di sisi Allah.[3]
Selaindari
Al-Qur’an danHadits, ada pula pengertianistihsanmenurutparaulama,
salahsatunyamenurut al-Sarakshi (w. 483 H) yang berarti:
طلب
الأحسن للاتباع الذي هو مأموربه
“
Berusahamendapatkan yang terbaikuntukdiikutibagisesuatumasalah yang
diperhitungkanuntukdilaksanakan.”[4]
2.
Pengertian
istihsan dari segi terminologi/istilah
Adapundarisegiistilah,
banyakpengertianistihsan yang dikemukakanolehberbagaiparaulama :
Dari golonganHanafiyah, Al
Bazdawymendefinisikanistihsandengan:
هو
العدول عن موجب قياس الي قياس اقوى منه اوهوتحصيص قياس بدليل أقوى منه.
“
Berpindahdarisuatuhasilqiyaskepadaqiyas yang lebihkuat, mentakhsiskanqiyasdengandalil
yang lebihkuatdaripadanya”.[5]
Dari golonganMalikiyah,
IbnulArabymendefinisikanistihsandenngan:
ايسارترك
مقتضى الدليل على طريق الاستثناءوالترخيص لمعارضة مايعارض به فى بعص مقتضيا ته.
"Mendahulukanditinggalkannyatuntutanadil, menurutjalanpengecualian
(istisna) dankeringanankarenabertentangannya di dalamsebagian yang
dituntutnya”.[6]
DarigolonganHanabilah,
AthThufydalamMukhtasharnyamendefinisikan:
أجودتعريف للاستحسان انه العدول بحكم المسئلة نضيرهالدليل ثىرعي خاص.
“ Definisiistihsan yang terbaikialahmemindahkan ketentuan hukum
suatumasalahdaribandingannya, karenadalilsyara’ yang khash.”[7]
Dari ulamaushulfiqhialah:
هوعدول
المحتهدعن مقتض قياس جلي إلى مقتض قياس خفي أوعن حكم كلى إلى حكم إستسنائي لدليل
انقدح فى عقله ر جع لديه هدا العدول.
“Ihtihsanialahberpindahnyaseseorangmujtahid dari hukum yang
diketahuiolehqiyasjali(terang) kepadahukum yang
dikehendakiolehqiyaskhafi(samar-samar), ataudarihukum kulli(meliputi) kepada hukum
yang bersifatpengecualian, karenadalil yang zahirpadahalnya yang menguatkanperpindahanitu”.[8]
3.
Dasar – Dasar
Istihsan
Dasar – dasar istihsan terdapat dalam
Al-Qr’an dan Snnah, antara lain :
Al-Qur’an
الذين يسثمعون القول فيتبعون أحسنه أولعك الذين هداهم
الله وأولعك هم اولو الألباب ( الزمر :)
“ orang -orang yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling bai di antaranya. Mereka itulah orang
– orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang
yang berakal “.[9]
Sunnah
فام رأى المسلمون حثنا فهو عند الله حسن ومارأوا سيئ
“ Apa yang dipandang kaum muslimin
sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik”.[10]
Ijma’
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah
berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsan, seperti:
diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga
tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.[11]
4.
Macam-MacamIhtihsan
Dari
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan istihsan terbagi pada beberapa
macam dengan memperhatikan asal perpidahannya, segi arah perpindahannya dan
sanad yang dijadikan landasan perpindahannya. Istihsan secara sederhana dapat
dikatakan pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua macam, yakni:
1.
IstihsanQiyasi
Istihsanqiyasiialahsuatubentukpengalihan
hukum dari ketentuan hukum yang didasarkankepada qiyas jalli kepada ketentuan
hukum yang didasarkankepadakhiyaskhafi, karenaadanyaalasan yang
kuatuntukmengalihkan ketentuan hukum tersebut.Alasan yang
kuatdimaksudkandisiniadalahkemaslahatan.[12]
Contoh:Menurut
Hanafiyah burungbuasdipandangnajisdan haram
dimakandagingnyakarenadiqiyaskandenganbinatangbuas.Karenaitu pula air
sisaminumannyatermasuknajis.Akan tetapi,
penetapanistihsantidakmenjadikannyasebagainajis, meskipun air
sisaminumanbinatangbuastetapnajiskarena air tersebutdipandangbercampurdengan
air liurbinatangbuas.Inikarenabinatangbuasminumdengancaralidahnya yang menjilat
air, sedangkanburungbuashanyaparuhnya yang menyedot air, sehingga air
liurnyatidaktersisapada air tersebut.[13]
2.
IstihsanIstitsna’i
Istihsan
istitsna’ialahqiyasdalambentukpengecualiandari ketentuan hukum yang
berdasarkanprinsip-prinsipumum, kepada ketentuan hukum yang
bersifatkhusus.Dalamjenisini dibagibeberapamacambagianlagi:
1.
MenurutMazhabHanafi
DalamMazhabHanafiistihsandibagikepadalimamacamyaitu:
5.
Istihsandengan
Nashsh ( الإستحسان بالنص)
Ialahpenyimpangansuatuketentuanhukumberdasarkanketetapanqiyaskepadaketentuan
hukum yang berlawanandengan yang ditetapkanberdasarkannash al-Kitabdan
Sunnah(ketentuan hukum umumkekhusus).[14]
Contohistihsanistitsna’i berdasarkannashsh
Al-Qur’an
Berlakunyaketentuanwasiatsetelahseseorangwafat,
padahalmenurutketentuanumum, ketika orang telahwafatiatidaklagiterhadaphartanya
karenatelahberalihkepadaahliwarisnya.Nyatanya,
ketentuanumumtersebutdikecualikanoleh Al-Qur’an[15],
antara lain surah an-Nisa’(4): 12:
من
بعدوصيّة يوصين بها أودين
“
Sesudahdipenuhiwasiat yang diwasiatkannyaatausesudahdibayarutangnya.”[16]
Contohistihsan istitsna’i berdasarkannashshsunnah
Tidakbatalnyapuasa orang yang
makanatauminumkarenalupa, padahalmenurutketentuanumum,
makandanminummembatalkanpuasa.Nyatanyaketentuanumumtersebutdikecualikanberdasarkanhadits.
عن
أبي هريرةرضي االله عنه قال قال رسول االله صلّى االله عليه وسلّم من نسي وهو صائم
فأكل أوثرب فاْيتمّ صومه فإنّما أطعمه االله وسقاه
“ Dari Abu Hurairahr.a, katanya,
Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa yang lupasedangiaberpuasa,
kemudianiamakanatauminum, makahendaklahiamenyempurnakanpuasanya,
karenasesungguhnya Allah sedangmemberimakandanmimunkepadanya”.[17]
6.
IstihsandenganIjma’(
الاستحسان باالإجماع )
Ialah meninggalkan keharusan
menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ijma’.Hal ini terjadi karena
adanya fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau
kaidah umum yang telah ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak
menolak apa yang dilakukan oleh
manusia(masyarakat), yang
sebetulnyaberlawanandengandasar-dasarpokok yang telahditetapkan.[18]
Contohnyabolehmelakukantransaksiistitna’(seseorangbertransaksidenganpengrajinuntukdibuatkanbarangdenganhargatertentu),
padahalmenurutketentuanumumjualbeli, dilarangmelakukantransaksiterhadapbarang
yang belumada. Rasulullah SAW, bersabda:
لاتبع
ماليس عندك
“ janganjualbelikansesuatu yang
belumadapadamu”.[19]
Hadits
lain jugamenerangkanbahwatidaksahmenjualsuatubarang yang tidakdiserahkankepada
yang membelisebabsemuaitumengandungtipudaya(kecohan).
عن
ابى هريرة نهى النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الغرر
“ Dari Abu Hurairah.Iaberkata,”Nabi
SAW, telahmelarangmemperjualbelikanbarang yang mengandungtipudaya”.( Riwayat
Muslim dan lain-lainnya)[20]
Berdasarkan hadits diatas
dapat disimpulkan bahwa transaksi
tersebut batal karena objek transaksinya belum ada.Akan tetapi istihsan
memperbolehkannya kerena sejak dulu proses tersebut sudah berlangsung dan tidak
ada larangan dari seorang ulama pun(alasannya demi memelihara kebutuhan
masyarakat, dan menghindarkan kesulitan ).
7.
IstihsanDaruratdanHajat
(الاستحسان بالضروة والحجة )
Ialah seorang mujtahid
meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena
berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang
mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan.[21]
Contohnyamenghukumkansucinya air
sumurataukolam air yang kejatuhannajisdengancaramengurasairnya.
Menurutketentuanumum, tidakmungkinmensucikan air
sumurataukolamhanyadenganmengurasnyadikarenakanmata air terusmengalir yang
akanbercampurdengan air yang najisdanalatpengurasnya. Akan tetapi, demi
kebutuhanmenghadapidarurat, berdasarkanistihsan air
sumurataukolamdipandangsucisetelahdikuras.[22]
8.
IstihsandenganUrfdanAdat
( الاستحسان
بالعرف والعادة )
Ialahpenyimpanganataupemalinganpenetapanhukum
yang berlainan (berlawanan) denganketentuanqiyas, karenaadanya ‘urf yang
sudahdipraktekkandansudahdikenaldalamkehidupanmasyarakat.[23]
Contohnyakebolehanmewaqafkanbenda
yang bergeraksepertibuku-bukudanalatmasaksebenarnyahanyaadatkebiasaan di berbagai
Negara tertentu.Padahal, menurut hukum perwaqafan, harta yang
bolehdiwaqafkanhanyalahharta yang kekaldantidakbergeraksepertitanah.[24]
9.
IstihsandenganQiyasKhafi (الاستحسان
بالقياس الخفى)
Ialah memalingkan suatu masalah
dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan hukum qiyas yang
samar-samar dan tidak jelas kepada ketentuan
hukum qiyas yang samar-samar dan tidak jelas, tetapi keberadaannya lebih kuat
dan lebih tepat untuk diamalkan.[25]
Contohnya sesungguhnya aurat wanita itu ialah mulai dari ujung kepala
sampai kedua ujung kakinya, kemudian dibolehkan bagian tubuhnya sekedar
dibutuhkan seperti melihat kebaikannya.Hal seperti ini terdapat perlawananan
diantara dua qiyas.[26]
2. Menurut Mazhab Maliki
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Abdul
Wahab Khalaf bahwa ulama dari kalangan mazhab maliki membagi istihsan kepada
tiga macam. Ketiga macam istihsan ini yakni :
1.
Istihsan yang
disandarkan kepada A ( استحسان سنده العرف)
Sebagai
contoh yang dikemukakan oleh mazhab Maliki terhadap istihsan jenis ini ialah
seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging kalau ia makan daging ikan,
maka tidaklah dianggap melanggar sumpah, walaupun di dalam Al-Qur’an dijelaskan
bahwa ikan sama dengan daging.[27]
... ومن كل
تأكلون لحم طريا
“
Dan dari masing-masing laut tersebut kamu dapat memakan daging yang segar”.
2.
Istihsan yang
disandarkan kepada Maslahat ( استحسان سنده المصلحة)
Yang
dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah mengenyampingkan pemberlakuan
ketentuan hukum qiyas karena pertimbangan maslahat yang lebih penting.[28]
3.
Istihsan yang
disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan-kesulita ( استحسان
سنده رفع الحرخ)
Yang
dimaksud dengan istilah ini ialah didasarkan pada meninggalkan kesulitan yang
dihadapi. Sebetulnya hamper tidak ada bedanya dengan jenis istihsan yang kedua.
Umumnya istihsan ini banyak berkisar pada masalah muamalah dan ibadah, sebagai
upaya menghilangkan kesulitan.[29]
5.Kehujjahan Istihsa
Memperhatikan kehujahan istihsan dan
menggunakannya sebagai dalil dalam istinbat hukum, memang menimbulkan
perdebatan di kalangan mazhab. Adapun serangan
dan kritik yang hebat dalam menolak istihsan.
2.
Kelompok yang
menerima istihsan sebagai dalil hukum
Madzhab Hanafi, Maliki dan Madzhab
Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan
hukum. Alasan mereka :
1.
Firman Allah
dalam surat Al-Zumar ayat 55 :
واتبعوا
أحسن ماأنزل إليكم من ربكم
“ Dan ikutilah sebaik-baik apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[30]
2.
Hadits Nabi
riwayat Abdullah Ibn Mas’ud :
ماراه
المسلمون حسنا فهو عند الله سن
“ Sesuatu yang dipandang baik oleh
umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah”.[31]
3.
Bahkan seperti
yang dijelaskan oleh Abu Zahrah istihsan bagi mazhab Maliki adalah merupakan
Sembilan per sepuluh ilmu( الاستحسان تسعة أعسار العلم ) . Mazhab Maliki menggunakan kaidah-kaidah :
درؤ
المفاسد وجلب المصالح
“ Menolak kerusakan dan meraih
kemaslahatan “.[32]
3.
Kelompok yang
menolak istihsan sebagai dalil hukum
Golongan yang menolak istihsan
yaitu dipelopori tokoh popular yang menentang istihsan sebagai hujjah dan dalil
adalah Imam Syafi’i.
Imam Syafi’I tidak menerima istihsan
sebagai landasan hukum. Baginya, menetapakan suatu hukum dengan jalan istihsan
sama saja dengan membuat-buat syari’at baru dengan hawa nafsu.[33]Alasannya :
1.
QS. An-Nisa’
ayat 59 :
يأيها
الذين ءامنو اأطيعو االله وأطيعو اارسول وأولي الأمر منكم فاتنزعتم في سىء فردوه الى الله وارسول...
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya)...”.
2.
QS. Al-Qiyamah ayat 36 :
أيحسب
الإنسان أن يترك سدى
“ Apakah manusia mengira, bahwa ia
akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)”.[35]
3.
Dalam kitabnya
al-Risalah, Imam syafi’I dengan tegas menyatakan :
ليس لإحددون رسول الله أن يقول
بالاستد لال ول يقول بما استحسن فإن اقول بما استحسن ثيئ يحدسه لا على مسال سبق.
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah
menetapkan sesuatu hukum tanpa alas an (dalil) dan tidak seorang pun pantas
menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik. Sesungguhnya menetapkan hukum
dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan
yang telah digariskan sebelumnya”.[36]
4.
Hubungan
Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan Dalam Ushul Fikih Maliki dan
Hanafi
1.
Hubungan
Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan dalam Ushul Fikih Maliki
Dari uraian
terdahulu dapat diketahui bahwa istihsan dalam Ushul Fiqih Maliki berarti
beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat yang mengakibatkan
ditinggalkannya kehendak suatu dalil dengan jalan pengecualian dan dispensasi
karena kehendak dalil itu bertentangan dengan apa yang ingin dicapainya pada
beberapa masalah. Istihsan dalam Ushul Fiqih. Istihsan dalam ushul fiqih Maliki
dibagi empat macam, yaitu meninggalkan suatu dalil karena ada
‘urf,ijma’,mewujudkan maslahat, dan dalam masalah-masalah kecil yang tidak
begitu berarti guna menghilangkan kesukaran dan kesulitan. Dengan demikian maka
istihsan menurut mereka berarti beramal dengan ijmak, atau dengan al-maslahat
al-mursalat, atau dengan urf atau dengan kaidah raf’ al-harj ketika berhadapan
dengan dalil umum atau kias.[37]
Ijma’, al-maslahat
al-mula’imat, dan kaidah raf’ al haraj merupakan dalil-dalil syara’ yang diakui
oleh Al-Syafi’i, karena ijma’ dan al-maslahat al-mula’imat menurutnya dapat
dijadikan hujjah. Adapun kaidah raf’ al-haraj adalah suatu kaidah yang diambil
dari induksi syariat yang memberi faedah qath’i. Dengan demikian kaidah
merupakan kaidah syara’ yang berpegang kepada induksi.Sedangkan ‘urf, meskipun
Al-Syafi’i tidak tegas menjadikannya sebagai hujjah, akan tetapi ia tidak
pernah menolaknya.[38]
Berdasar uraian
diatas, jelaslah bahwa istihsan berarti beramal dengan dalil-dalil.Dan bila
demikian halnya, maka Al-Syafi’i tidak berbeda pendapat dalam masalah ini
secara mutlak. Dalam hal ini Al-Syatibi, setelah mengatakan bahwa jika begitu
pengertian istihsan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, maka jelas istihsan
tidak keluar dari dalil-dalil syara’, karena dalil-dalil itu sebagiannya
kembali kepada sebagian yang lain dan sebagiannya mentakhsiskan sebagian yang
lain seperti pada dalil-dalil sunnah bersama Al-Qur’an. Dan yang demikian itu
tidak ditolak oleh Al-Syafi’i.[39]
2.
Hubungan
Istihsan yang Dikritik Al-Syafi’I dengan Istihsan dalam Ushul Fikih Hanafi
Dari uraian
terdahulu dapat diketahui bahwa istihsan dalam ushul fiqih Hanafi berarti
berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah kepada hukum
yang lain karena ada segi tinjauan yang lebih kuat yang menghendaki
perpalingan.Dan mereka membagi istihsan kepada empat macam, yaitu istihsan
dengan nash, ijma’, qiyas khafi, dan darurat. Dengan demikian, maka istihsan
meurut meraka berarti beramal dengan nash, atau ijma’, qiyas khafi, atau dengan
darurat.[40]
Nash, ijma’, dan
darurat merupakan dalil-dalil syara’ yang diakui oleh Al-Syafi’i karena nash,
ijma’, dan darurat menurutnya dapat dijadikan hujjah. Adapun qiyas khafi,
adalah satu macam qiyas.Dan qiyas secara umum diakui oleh Al-Syafi’i sebagai
salah satu dalil syara’.Pengutamaan qiyas khafi yang demikian itu tentu tidak
mungkin ditolak oleh Al-Syafi’i.Justru, sebagaimana telah dijelaskan Al-Syafi’i
qiyas syabh yang merupakan pengembangan dari qiyas.Qiyas syabh Al-Syafi’i itu
ternyata mempunyai kemiripan dengan istihsan dengan qiyas khafi.Dalam hal ini
Al-Taftazani mengatakan, sebagian ulama menolak beramal dengan istihsan hanya
karena tidak mengerti.[41]
Dengan demikian
tidak perlu diragukan lagi bahwa istihsan itu merupakan salah satu cara
istinbath hukum yang bisa dijadikan hujjah dan menjadi dalil syara’.
Dan
dari contoh-contoh masalah yang ditetapkan hukumnya dengan istihsan terlihat
bahwa hukuman yang ditetapkan dengan istihsan lebih mengayomi dan lebih mampu
merealisasi maslahat dan kepentingan masyarakat yang ingin dipelihara oleh syara’
melalui ketentuan-ketentuannya yang umum.[42]
5.
Perbandingan
dan Perbedaan Global Antara Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah
1.
Qiyas Kepada
Prinsip yang Sudah Ada, Memotong Perselisihan
Dalam perbandingan antara qiyas dan istihsan, tampak qiyas
senantiasa menurut AS-Syafi’i berlandaskan hukum pada dasar-dasar yang mapan,
sementara istihsan tidak berlandaskan pada seperti itu.Sejalan dengan konsepsi
ini, tampak oleh As-Syafi’i seolah-olah qiyas menghindari timbulnya perbedaan.
Oleh karena itu ia sering membicarakannya sebagai teks yang mirip dengan ijma’,
sementara ia selalu mengkaitkannya istihsan dengan timbulnya perbedaan yang
tidak disukai. Apbila qiyas memang benteng perselisihan, maka sebaliknya
istihsan adalah pemicu perselisihan.Tidak lain, ini karena qiyas senantiasa
berlandaskan kepada prinsip (asal) yang mapan, yaitu Al-Kitab atau Sunnah.[43]
Apabila pemahaman
mengenai pertentangan antara qiyas dan istihsan berangkat dari sikap ideologis
yang jelas, maka sikap ini merefleksikan suatu pandangan terhadap dunia dan
manusia: bahwa manusia senantiasa terbelenggu dengan setumpuk
ketentuan-ketentuan yang apabila dijauhi, maka dianggap sebagai keluar dari
kemanusiaannya.[44]
2.
Perbedaan
Global antara Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah
Qiyas
Peristiwa hukum yang ditetapkan hukumnya dengan qiyas adalah suatu
peristiwa hukum yang tak ditetapkan hukumnya oleh nash, dan ijma’ yang
dihubungkan dengan peristiwa hukum yang ditetapkan oleh nash atau ijma’.[45]Pada qiyas
terdapat dua kasus. Kasus yang pertama belum ditetapkan hukumnya kerena tidak
ada nash yang secara tegas dapat dijadikan dasar hukum.[46]
Istihsan
Yang dalam memindahkan ketentuan
hukum dari petunjuk dalil yang jelas, disebabkan terdapatnya sandaran/sanad
tempat bertopangnya pemindahan ini.[47]Adapun
istihsan hanya ada satu kasus, dan kasus itu telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash.
Kemudian, nash lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pindah ke hukum
lain, sekalipun hukum yang pertama berdasarkan dalil yang nyata (kuat) dan
hukum yang kedua berdasarkan dalil yang samar-samar.[48]Kalau
istihsan didukung secara sistematis oleh teks-teks wahyu, lalu apa yang
membedakannya dari qiyas?yang membedakannya adalah bukti tekstual menghasilkan
sebuah kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang telah dicapai melalui
qiyas.[49]
Ishtihlah
Peristiwa hukum yang ditetapkan hukumnya
dengan ishtihlah adalah suatu peristiwa hukum yang tak ditetapkan hukumnya oleh
nash, ijma’ ataupun oleh qiyas, lalu oleh mujtahid ditetapan hukumnya untuk
mewujudkan kemaslahatan yang jelas.[50]
6.
Perkembangan
Istihsan dari Masa ke Masa
1.
Masa Lampau
Penggunaaan istihsan tidak ditegaskan secara ekslisit dan
terperinci dalam nash Al-Qur’an ataupun Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan
aplikasinya tidak ditemukan pada masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in.
Dan akan ditemukan penggunaan istihsan di kalangan para sahabat dan tabi’in
secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan logika di kalangan mereka.
DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarakah dengan menggunakan
ishtinbath hukum istihsan pada masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian
sahabat mengikutsertakan saudara kandun ( seibu-sebapak ) mayit bersama saudara
seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika
seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara
seibu dan beberapa saudara sekandung.[51]
Demikianlah hingga
akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin didengar,
terutama dari Imam Abu Hanifah.Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan
sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “secara qiyas
seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsan.[52]
Secara faktual, pemikiran Abu Hanifah sangat mendalam dan rasional.
Istihsan, sebagai teori yang dimunculkan oeh Abu Hanifah, bukanlah sesuatu di
luar ketentuan nash. Artinya, ia tidak bertentangan dengan nash.[53]
2.
Masa Kini
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh
sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang beraku secara konvensional,
seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa
dilakukan. Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang
(tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam
keadaan demikian, para mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai
alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konensional tersebut. Pendekatan
yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihat yang disebut “istihsan”.[54]Jadi masih
banyak ditemukan penetapan hukum istihsan di masa kini demi kemaslahatan
manusia.
3.
Masa
Mendatang/Masa Depan
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang
permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama (konensional) yang digunakan ulama
terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua
permasalah tersebut dengan baik (tepat). Karena itu si mujtahid harus mampu
menemukan pendekatan atau dalil alternatif diluar pendekatan lama, meskipun
dengan berat untuk meninggalkan pendekatan lama yang selama ini ia gunakan dan
ia dipertahankan dengan setia. Oleh karena kecenderungan untuk menggunakan
istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dari dorongan tantangan persoalan
hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan
semakin kompleks.[55]
7.
Relevansi
Istihsan dengan Pembaharuan Hukum Islam
Untuk melihat relevansi istihsan dengan pembaharuan hukum Islam
perlu ditegaskan kembali bahwa pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad
menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik
menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau
menetapkan hukum baru
untuk menggantikan ketentuan hukum
lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa
sekarang
Islam sama sekali tidak menghambat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam mengarahkan dan menyalurkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi ke arah kebaikan dan kemaslahatan umat manusia itu
sendiri.Rangsangan dan perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menguasai
teknologi juga bertujuan untuk menuntut imu pengetahuan dan menguasai teknologi
juga bertujuan untuk memberikan kebahagiaan hidup bagi umat umatnya.Jadi ilmu
pengetahuan dan teknologi memberikan manfaat bagi umat manusia yang dalam
bahasa syariat disebut dengan maslahat.Dan maslahat itu merupakan tujuan
syariat (maqshid al-syari’at).[56]
8.
Cakupan
Ketentuan Hukum Istihsan Terhadap Peristiwa Hukum Lain
Golongan Hanafiyah menetapkan bahwa :
1.
Ketentuan hukum
yang ditetapkan dengan istihsan yang sanadnya qiyas khafi boleh diterapkan
terhadap peristiwa hukum lain dengan perantara qiyas.
Contohnya pembeli
dan penjual yang berselisihan tentang jumlah harga barang sebelum timbaang
terima harus disumpah keduanya.Diqiyaskan daripadanya, terhadap para ahli waris
mereka, yaitu jika sebelum terjadi timbang terima barang, kedua pembeli dan
penjual meninggal dunia, maka kedua ahli waris mereka disumpah juga tentang
jumlah harga, bila mereka masih berselisih.Selanjutnya ketentuan istihsan itu
diterapkan pula terhadap peristiwa hukum sewa menyewa, yaitu keduanya disumpah
apabila antara keduanya terjadi pertikaian tentang jumlah sewa sebelum
dilunasinya.[57]
2.
Ketentuan hukum
yang ditetapkan dengan istihsan yang sanadnya nash, urf atau dharurat, hanya
terbatas pada kasus itu saja.
Terhadap iipun
perlu dikoreksi karena yang sanadnya nash yang ma’qulul ma’na boleh melampaui
pada peristiwa hukum lain yang juga terdapat ‘illat-nya. Oleh karena itu
apabila di dalam nash diberikan rukhsah pada jual beli ‘araya yang illatnya
adalah tuntutan hajat orang banyak, maka rukhsah inipun berlaku terhadap jual
beli anggur yang masih di batang dengan anggur yang masak apabila hajat manusia
pun menuntutnya seperti dalam hal jual beli ‘araya. Sebenarnya seperti yang
telah dikemukakan dalam pembahasan qiyas, bahwa melampaui ketentuan hukum yang
ditetapkan dengan qiyas itu kepada peristiwa hukum lain, asasnya adalah
terdapatnya ‘illat hukum, baik ditetapkan sebagai hukum baru ataupun sebagai
pengecualian.[58]
9.
Pengaruh
Istihsan Dalam Masalah Fiqih
Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh
istihsan dalam masalah fiqih :
1.
Lelaki yang Menghadap
Perempuan Dalam Sholat
Berdasarkan sunnah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan
perempuan melakukan shalat berjama’ah, maka perempuan berada di barisan
belakang laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat, mengenai seorang perempuan
yang melaksanakan shalat berjama’ah tepat berada pada barisan perempuan.
Abu
Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang
Laki-laki yang menghadap (berada dibelakang) perempuan, dan tidak dianggap
rusak shalat perempuan yang menghdap (berada dibelakang) laki-laki. Dalam kitab
Bidayah Al-Mubtadi (255: 1), ia mengatakan bahwa apabila dihadapan laki-laki
itu terdapat seorang perempuan dan keduanya shalat, maka shalat laki-laki itu
adalah fasad (rusak) jika ia bertekad/niat menjadikannya (perempuan) sebagai
imam. Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengumpamakab rusaknya
shalat seorang laki-laki yang berhadapan dengan seorang perempuan adalah
istihsan.Alasan istihsan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk
mendahulukan laki-laki dan mengakhiri perempuan dalam shalat.[59]
Imam yang tiga ( Malik, As-Syafi’i dan Ahmad ), berpendapat bahwa
shalat tersebut adalah makruh, namun shalt salah satu diantara mereka tidaklah
rusak. Dalam Syarh Al-Kabir (331: 1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki-laki
yang berada diantara barisan perempuan atau sebaliknya adalah makruh.Dan dalam
kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (di
belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (di belakang) laki-laki
adalah makruh.Alasan mereka menyatakan shalatnya makruh adalah menganalogikan
keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi di luar shalat, maka shalatnya
tidaklah batal menurut ijma’.Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat,
sementara Aisyah tertidur di hadapannya.[60]
2.
Zakat Seluruh
Harta Tanpa Niat
Para ulama sepakat
bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat untuk
memisahkan ukuran yang wajib dizakat.Akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh
hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau
tetap berada tanggung jawabnya ?
As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak
gugur.Dalam kitab Al-Majmu’ (191: 6) dikatakan bahwa jika seseorang
menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat,
maka zakat tersebut tidak gugur. Alasan mereka karena orang tersebut belum berniat
dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib/fardhu.[61]
Ibnu
Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (377: 2), mengatakan bahwa walaupun hukum
seseorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunnah, tetapi jika ia tidak
berniat zakat, maka ia tetap tidak mendapatkan pahala zakat.[62]
Abu Hanifah dan rekan-rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut
adalah gugur.Ia menyatakan bahwa barang siapa yang berzakat seluruh hartanya,
tetapi ia tidak menyertai dengan niat zakat maka gugurlah kewajibannya. Alasan
mereka adalah istihsan.Kerena setelah jelasnya kewajiban tentang bagian dari
seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tersebut merupakan ketentuan dari
keseluruhan.Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penentuan lagi,
karena adanya fardhu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefardhuan
itu sendiri untuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan
bagian yang lainnnya.[63]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari rumusan masalah dan pembahasan diatas maka dengan ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1.
Dari segi
bahasa Istihsan berasal dari kata kerja bahasa Arab استحسن
– ىستحسن
menjadi استحسانا yang berarti mencari kebaikan. Kalimat istihsan terdapat dalam
Al-Qur’an dan dalam sunah Rasul.Seperti firman Allah SWT :
الذين
يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“ Makagembirakanlahhamba-hamba-Ku.
Yang mendengarperkataan, lalumengikutiApa yang lebihbaik di antaranya…
Di dalamhaditsRasuldisebutkan:
ماراه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
“ Apa-apa yang dianggapbaikoleh
orang-orang muslimmakadianggapsuatuhalyang baik di sisi Allah.
Selain
dari Al-Qur’an dan Hadits masih banyak lagi pengertian istihsan menurut para
ulama, entah itu pengertian secara etimologi maupun terminologi. Tetapi dari
uraian diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa inti dari hukum istihsan
adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan
atas adanya dalil syar’i.
2.
Telas
disinggung sebelumnya bahwa istihsan dapat disimpulkan istihsan terbagi pada
beberapa macam dengan memperhatikan asal perpidahannya, segi arah
perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan perpindahannya. Istihsan
secara sederhana dapat dikatakan pada hakikatnya istihsan terdiri dari dua
macam, yakni istihsan qiyasi dan istisna’i.
3.
Dalam
penggunaan istihsan ada golongan yang menerima maupun yang menolaknya. Golongan-golongan
tersebut saling berargumen dan menguatkan pendapatnya masing-masing dengan
dalil dan realita. Golongan yang setuju dintaranya empat Imam kecuali Imam
Syafi’i yang secara tegas menolak kehujjahan istihsan.
4.
Saran
penulisan makalah ini, kami menyadari masih belum dari kata
sempurna. Untuk itu, kami Memberikan saran kepada :
1.
Kepada Pembaca
penulis mengharap
kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya yang bersifat
membangun untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Dan bisa dijadikan
acuan sebagai penilaian terhadap diri sendiri.
2.
Kepada Penulis
Lanjutan
Dalam penulisan karya ilmiah salah satunya makalah, sebaiknya
menggunakan referensi buku sebanyak mungkin.Karena semakin banyak referensi
buku yang kita gunakan, maka semakin meyakinkan kepada pembaca tentang
kebenaran dari makalah tersebut.
Daftar Pustaka/Rujukan
1.
Abdullah,
Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan Dan Fleksibelitasnya. Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
2.
Abu Zayd, Nasr
Hamid. Imam as- Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah;Imam Syafi’i
Moderatisme Eklektisme Arabisme,terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta:
LkiS, 1997.
3.
Bakri, Nasar. Fiqh
dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2003.
4.
Dahlan, Abd
Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
5.
Hallaq, Wael B.
A History of Islamic Legal Theoritis; Sejarah Teori Hukum Islam,terj.E
Kusnadiningrat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
6.
Hefni, Moh.
Sejarah Pemikiran Hukum Islam Di Dunia Islam. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press,
2006.
7.
Ishomuddin,
Koto. Ushul Fiqh Pengantar Teori Hukum Islam. Pamekasan: STAIN Pamekasan
Press, 2010.
8.
Koto, Alaiddin.
Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
9.
Rasyid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo,1994.
10.
SA, Romli. Muqaranah
Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
11.
Sabri,
Fahruddin Ali. Ushul Fiqih 1. Surabaya: Pena Salsabila, 2013.
12.
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
13.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
14.
Umam Chairul,
dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
15.
Usman,
Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1994.
Lembar Kerja
(LK) dari kelompok 6
Kelompok 1 :
Apa pendapat
Imam Al-Ghazali mengenai Istihsan ?
dalam kaitannya dengan ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan yang
dikemukakan Imam Al-Karakhi ada empat bentuk. Sebutkan dan jelaskan empat
bentuk tersebut......!
Kelompok 2 :
Berikanlah
contoh hukum istihsan yang diterapkan pada masa kini/sekarang....!
Kelompok 3 :
Apa maksud dari
ayat yang tertulis di bawah ini....!
من استحسن فقد
سرع
Kelompok 4 :
Menurut
kelompok 4! Apakah istihsan dapat dijadikan hujjah atau menolaknya?(ya/tidak)
besertakan dengan alasan yang kuat.
Kelompok 5
Dalam pembagian
istihsan, menurut Imam Maliki dan Hanafi ada perbedaan di dalam
pengelompokannya.Tetapi perlu diketahui dalam pengelompokan tersebut ada
persamaan di antara ke duanya. Sebut dan jelaskan persamaan pembagian istihsan
dari keduanya….!
Kelompok 6
(Master of
ceremony)
Kelompok 7
Simaklah
peristiwa di bawah ini:
Pada musim
kemarau Anton melihat ada seekor burung elang yang sedang minum air di tempat
penampungan air(tandon). Anton terkejut dan berhati-hati dalam memutuskan
sesuatu pada peristiwa tersebut.
Dari peristiwa
di atas! Menurut kelompok 7 apa yang seharusnya dilakukan oleh Anton terhadap
air yang terdapat pada tandon tersebut ?
KATA PENGANTAR
بسم الله
الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirobbil alamin segala
puja dan puji syukur kami panjatkan
kehadiran ilahirobbi yang mana pada kesempatan
ini telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Ushul Fiqh yang berjudul: Penetapan Hukum
Istihsan Melalui Istinhbat’ Hukum
Shalatullah wasala muhu
mudah-mudahan tetap tercurah limpahkan
kepada sang refolusioner dunia kita yakni Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana
beliaulah yangtelah mengangkis kita dari jurang-jurang kemaksiatan dari lumpur-lumpur
kehinaan menuju alam yang terang manderang yakni adanya pengetahuan iman, islam
dan ihsan.
Disini penulis menyadari bahwa
terselesainya makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karna itu penulis
mengharap kepada semua pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya yang
bersifat membangun untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik
Penulis,
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul........................................................................................ . i
Kata Pengantar.......................................................................................... . ii
Daftar isi..................................................................................................... . iii
BAB I
Pendahuluan................................................................................... 1
1.
Latar Belakang................................................................................. 1
2.
Rumusan Masalah............................................................................ 1
3.
Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II
Pembahasan.................................................................................. 2
1.
Pengertian Istihsan........................................................................... 2
1.
Pengertian Istihsan Dari Segi
estimologi………………………..... 2
2.
Pengertian Istihsan Dari Segi
Terminologi……………………....... 2
3.
Dasar-Dasar Istihsan..................................................................... 3
1.
Al-Qur’an………………………………………………………..... 3
2.
Sunnah…………………………………………………………..... 4
3.
Ijma……………………………………………………………...... 4
4.
Macam-Macam
Istihsan……………………………………..…… 4
1.
Istihsan Qiyasi………………………………………………… 4
2.
Istihsan
Istitsna’……………………………………………….. 5
1.
Menurut Mazhab Hanafi………………………..…………. 5
2.
Menurut Mazhab Maliki………………………………….. 8
iii
3.
Kehujjahan Istihsan
……………………………………………. 9
1.
Kelompok yang Menerima Istihsan
sebagai dalil hukum…… 9
2.
Kelompok yang Menerima Istihsan
sebagai dalil hukum…… 9
3.
Hubungan Istihsan yang Dikritik
Al-Syafi’I dengan Istihsan
Dalam Ushul Fikih Maliki dan
Hanafi………………………… 10
4.
Perbandingan dan Perbedaan Global
Antara
Istihsan, Qiyas dan Ishtihlah…………………………………… 12
5.
Perkembangan Istihsan dari Masa ke
Masa………………….. 13
6.
Relevansi Istihsan dengan
Pembaharuan Hukum Islam…….. 14
7.
Cakupan Ketentuan Hukum Istihsan
Terhadap Peristiwa
Hukum Lain……………………………………………………. 15
8.
Cakupan Ketentuan Hukum Istihsan
Terhadap Peristiwa
Hukum Lain……………………………………………………. 16
BAB
III Penutu………………………………………………………...... 18
1.
Kesimpulan...................................................................................... 18
2.
Saran ………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 20
Lembar
Kerja……………………………………………………………. 21
iii
PENETAPAN
HUKUM ISTIHSAN
MELALUI
ISHTINBATH HUKUM
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas
USHUL FIQH
DosenPengampu
: MOCH. CHOLID WARDI, M.HI
Oleh:
Imam
Bustomi
Muhamad
Bakiruddin
Dwi Hendra
Kurniawan
Ghofron
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
GENAP
2015-2016
[1]ChairulUmam, UshulFiqih
1 (Bandung: PustakaSetia, 1998), hlm. 117.
[2]Departemen
Agama, al-Qur’an danterjemahnya (Jakarta: t.p, 1971), hlm. 748.
[3]Umam,UshulFiqih
1, hlm. 118.
[4]Romli SA, MuqaranahMazahibFilUshul
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 138.
[5]Sulaiman
Abdullah, SumberHukum Islam PermasalahandanFleksibilitasnya( Jakarta:
SinarGrafika, 2004), hlm. 127
[6]Ibid. hlm. 128.
[7]Ibid. hlm 129.
[8]NazarBakri, FiqhdanUshulFiqh(
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), hlm. 234.
[9]Abbadi
Ishomuddin, Ushul Fiqh Pengantar Teori Hukum Islam (Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2010) hlm. 62.
[10]Fahruddin Ali
Sabri, Ushul Fiqh 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 95.
[11]
Ibid.
[12]Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh ( Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 198.
[13]Umam, Ushul
Fiqh 1, hlm. 127.
[14]Romli SA, Muqaranah,
hlm. 144.
[15] Dahlan, Ushul
Fiqh, hlm. 200.
[16] Departemen
Agama, al-Qur’an dan terjemahnya
[17] Dahlan,
Ushul Fiqh, hlm. 201
[18] Romli SA, Muqaranah,
hlm. 145.
[19]Dahlan, UshulFiqh,
hlm. 201.
[21]Romli SA, Muqaranah,
hlm. 145 – 146.
[22]Ibid. 146.
[23]Ibid.
[24]AbbadiIshomuddin,
UshulFiqhPengantarTeoriHukum Islam (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press,
2010), hlm. 64
[25]Romli SA, Muqaranah,
hlm. 146 – 147.
[26]Ibid. hlm 147.
[27]Ibid.
[28]Ibid. hlm. 148.
[29] Ibid.
[30]Agama,
Al-Qur’an, hlm. 754.
[31]Umam, Ushul
Fiqh 1, hlm. 131.
[32] Romli, Muqaranah, hlm.
153.
[33]Ishomuddin, hlm. 65.
[34]Agama, Al-Qur’an, hlm .58.
[35]Ibid. hlm. 1000.
[36]Romli, Muqaranah, hlm.
154.
[37] Iskandar Usman, Istihsan dan
Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 99
– 100.
[38]Ibid. Hlm 100.
[39]Ibid. hlm. 101.
[40] Ibid.
[41]Ibid. hlm 101 – 102.
[42] Ibid.
[43]Nasr Hamid Abu Z, Al-Imam as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah
al-Wasathiyah; Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme, terj. Khoiron
Nahdliyin (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 1997), hlm. 87 – 89.
[44]Ibid. hlm. 89.
[45]Abdullah, Sumber, hlm.
126.
[46]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2006), hlm. 105.
[47]Abdullah, Sumber,
hlm. 126.
[48]
Koto, Ilmu,hlm. 105.
[49]
Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories; Sejarah Teori Hukum
Islam, terj., E Kusnadingrat dkk (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),
hlm.159 – 160.