“KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYED
MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS”
Di ajukan untuk memenuhi tugas individu mata
kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
Dosen pengampu : Dr. Mohammad Thoha, M. Pd.I
Di Susun Oleh:
Dewi RaraGita Septiniarsih (18201501020014)
KELOMPOK 7
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Tahun Akademik 2015-2016
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillaahi Robbil ‘Alamiin, Puji dan
Syukur kepada Allah SWT tak henti-hentinya penulis penulis panjatkan sebagai
ungkapan rasa terima kasih yang tidak terkira atas selesainya penulisan makalah
yang penuh dengan kekurangan ini, karena dengan limpahan pertolongan, nikmat,
dan kasih sayang-Nya sayaa sebagai kelompok VI dapat menyelesaikan tugas Makalah
saya pada Mata Kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM” sesuai dengan tema yang telah
ditentukannya, yaitu ”KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYED
MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS”, yang telah saya kerjakan semampu saya, meskipun pada
kenyataannya banyak terdapat hal yang masih mendekati kesalahan dan kekurangan
pada makalah saya ini.
Shalawatullaahi Wasalamuhu semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa umatnya menjadi masyarakat yang jauh dari sifat-sifat kejahiliyahan
menuju umat yang penuh dengan gemerlap ilmu pengetahuan, semoga syafaatnya
senantiasa mengalir untuk kita semua. Amin.
Dan tak lupa pula saya ucapkan banyak terima
kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan tema tersebut yang
sudah ditentukan. Namun, saya menyadari bahwa tugas yang telah saya selesaikan
ini masih banyak kekurangan-kekurangan, sehingga membuat para pembaca kurang
memahami. Maka dari itu, saya selaku penyusun makalah ini memohon atas kritikan dan sarannya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pamekasan,
03 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi
iii
Bab I :
Pendahuluan.................................................................................................1
A. Latar
Belakang.............................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan
Masalah.......................................................................2
Bab II :
Pembahasan.................................................................................................3
A.
Sketsa biografi
H. syed Muhammad naquib al-attas…................................3
B.
Pendidikan menurut pemikiran H. Syed
Naquib Al-Attas...........................5
C.
Karya-karya dan penghargaan H. syed
Muhammad naquib al-attas…... ..12
D.
Korelasi
pendidikan syed Muhammad naquib al-attas…………………...12
Bab III :
Penutup.....................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................14
Saran……………………………………………………………………....14
Daftar Pustaka.............................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa banyak sekali Tokoh-tokoh filsafat pendidikan
Islam di Dunia ini, dan salah satu tokoh yang juga terkenal diantara banyak
tokoh tersebut adalah H. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang bertanah kelahiran
di Bogor Jawa Barat, di mana Al-Attas ini juga berperan sebagai filosofis
terkenal yang juga melibatkan pemikirannya atau gagasannya mengenai filsafat pendidikan
Islam.
Gagasan
Islamisasi ilmu Al-Attas, pada dasarnya adalah respon intelektualnya terhadap
efek negatif ilmu modern (Barat) yang semakin tampak dan di rasakan masyarakat
dunia, yang menurutnya merupakan akibat, dari adanya krisis di dalam basis ilmu
modern (Barat), yakni konsepsi tentang realitas atau pandangan dunia yang
melekat pada setiap ilmu yang kemudian merembet pada persoalan epistimologis,
seperti sumber pengetahuan, hubungan antara konsep dan realitas, masalah
kebenaran dan lainnya yang menyangkut masalah pengetahuan
Meski
membawa kemajuan yang menakjubkan, pemikiran dan pengetahuan modern (Barat)
ternyata juga mengandung dampak negatif yang besar. Karena diadopsi dari
berbagai sumber yang beragam dan saling bertentangan serta didasarkan atas
ajaran wahyu, pengetahuan Barat akhirnya melahirkan ketegangan batin dan
menjauhkan manusia dari Tuhan, bahkan menjauhkan dari nilai-nilai
kemanusiaannya sendiri. Model pengetahuan seperti itu sama sekali tidak bisa
digunakan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan, apalagi problem masyarakat
muslim. Karena itu, menurut Naquib, harus ada islamisasi, yakni sterilisasi
ilmu dari hal-hal yang merusak untuk kemudian menuntunnya agar sesuai dengan
ajaran Tuhan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sketsa biografi H. Syed Naquib al-Attas?
2. Bagaimana
pandangan pendidikan islam menurut pemikiran H. Syed Naquib al-Attas?
3. Apa
sajakah karya-karya dan penghargaan H. Syed Naquib al-Attas?
4. Apa
korelasi pendidikan H. Syed Naquib al-Attas?
C. Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
sketsa biografi H. Syed Naquib al-Attas
2. Mengetahui
pandangan pendidikan menurut pemikiran H. Syed Naquib al-Attas
3. Mengetahui
karya-karya dan penghargaan H. Syed Naquib al-Attas
4. Mengetahui korelasi pendidikan H. Syed Naquib
al-Attas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
H. Syed Muhammmad Naquib al-Attas
Al-Attas
dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilacak
dari garis keturunannya, al-Attas termasuk keluarga Ba’Alawi di Hadromaut
dengan silsilah yang sampai pada Imam Husain, cucu Rasulullah SAW. Dari Ali dan
Fatimah RA. Ibunya adalah Syarifah raquan al ‘Aidrus, berasal dari Bogor, Jawa
Barat yang merupakan ningrat Sunda di Singapura. Melihat garis keturunannya, dapat
dikatakan bahwa Al-Attas merupakan bibit unggul dalam percaturan perkembangan
intelektual di Indonesia dan Malaysia. Faktor intern keluarga inilah yang
selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya.[1]
Pada
usia 5 tahun ia di bawa ke johor Malaysia, untuk dididik oleh saudara ayahnya,
Encik Ahmad, kemudian Ny. Azizah, istri Engku Abd al-Aziz ibn Abd Majid. Namun,
pada masa penjajahan jepang. Naquib pulang ke jawa Barat dan masuk di pesantren
al-Urwah al-Wusta, Sukabumi, belajar bahasa Arab dan Agama Islam, terutama
tarekat.[2]
Setelah
itu, empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1946, al-Attas kembali ke Malaysia. Setelah tinggal di
rumah Engku Abd Aziz, ia juga sempat beberapa lama tinggal bersama Datuk Onn, ketua UMNO
pertama. Di Negeri jiran ini ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern,
English College, di Johor Baru, dan selanjutnya masuk dinas Militer, dan
karena prestasinya
yang cemerlang ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chester,
English, tahun 1952-1955. Namun, al-Attas rupanya lebih tertarik pada dunia
akademik di banding militer, sehingga ia keluar dari dinas militer dengan
perangkat terakhir Letnan. Selama di inggris, dia berusaha memahami aspek-aspek
yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat inggris.[3]
Kegiatan
inteletual al-Attas di mulai di Universitas Malaya pada pertengahan 1960-an dan
ia pun telah di kirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan Study di
Institute of Islamic Studiens, McGill Canada. Ia telah membangkitkan kesadaran
baru akan pentingnya peranan Islam dalam sejarah, nasionalisme dan melayu. Ia
telah berhasil menumbuhkan kesadaran baru tentang peranan islam kepada para
mahasiswa dan masyarakat umum.
Selanjutnya
ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya di school of Orental and
African Studies, London University, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai
pusat kaum orientalis. Di perguruan tinggi ini, ia menekuni kajian teologi dan
metafisika dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah
Fansuri”.
Sekembalinya
dari London, ia mengabdi sebagai dosen di almamaternya,Universitas of Malay,
Singapura, yang tidak lama kemudian diangkat sebagai ketua jurusan sastra
melayu di lembaga yang sama. Karirnya terus naik dan di lembaga ini ia
merancang dasar bahasa melaysia. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk sebagai
salah seorang pendiri Universitas kebangsaan, malaysia, dan dua tahun kemudian
ia diangkat sebagai Guru Besar, kemudian di angkat sebagai dekan fakultas
sastra dan kebudayaan Melayu di perguruan tinggi baru ini, tahun 1975.
Selanjutnya, ketika didirikannya ISTAC (The Internasional institute of
Islamic Thaught and Civilization), 4 Oktober 1991, ia ditunjuk sebagai
direkturnya. Terakhir ia diserahi utuk memimpin Institute Internasional
Pemikiran dan Olahraga Malaysia, lembaga otonom yang berada pada Universitas
Antar Bangsa, Malaysia.[4]
Al-Attas
pernah juga datang ke indonesia, pertengahan Januari 1987 dan terlibat ‘debat
terbuka’ dengan Noercholis Madjid, yang mengangkat persoalan seklarisasi, tuhan
dan Tuhan, reakturalisasi ajaran islam, konsep agama islam, ilmu pendidikan
islam dan lainnya. Gagasan yang di sampaikan saat iu kemudian diperbarui pada
kedatangan kedua, Oktober 1988. Tahun berikutnya, Februari 1989, al-Attas
datang kembali di Jakarta untuk berbicara tentan sains dalam konferensi Asia
Pasifik.[5]
B. Pandangan Pendidikan
Menurut Pemikiran H. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Di
samping terkenal sebagai ahli pengkaji sejarah, kebudayaan, teologi, tasawwuf
dan filsafat, Al-Attas
juga di kenal sebagai pengkaji pendidikan islam yang brilian yang telah
menggagas formula-formula islam seperti konsep pendidikan islam, islamisasi
ilmu epistimologi islam dll. Berikut uraian
secara singkat hal tersebut:
a) Konsep
Tentang Pendidikan Islam
Al-Attas
memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik
(manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan
kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga
dalam pandangannya pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan
pengetahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia seperti asal usul adanya manusia, siapa pencipta
manusia, tercipta dari apa manusia ,untuk apa manusia dicitakan
dll, disusul pengetahuan-pengetahuan
lainnya.
Dengan
demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, “tahu dari mana ia, sedang
dimana ia, dan mau kemana ia kelak” jika ia tahu jati dirinya maka ia akan
selalu ingat dan sadar serta mampu memposisikan dirinya, baik terhadap sesama
makhluk, apalagi terhadap Pencipta (Tuhan).
1.
Pengertian
Pendidikan Menurut Syed Naquib Al-Attas
Berkaitan
dengan definisi pendidikan, Al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata Atta’dib,
yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan
penyempurnaan akhlak atau budipekerti peserta didik. Orientasi kata ta’dib
lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Merujuk pada batasan tersebut, menurut Al-Attas, penggunaan kata atta’dib
lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam dibandingkan dengan kata
Attarbiyah dan Atta’lim. Hal ini disebabkan, karena pengertian ta’lim
ditujukan pada proses pentransferan Ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya
pengenalan-pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan
tarbiyah menunjukkan makna pendidikannya masih bersifat umum. Terma ini berlaku
bukan saja pada proses pendidikan pada manusia, akan tetapi juga ditujukan
kepada selain manusia.[6] Padahal
diskursus pendidikan Islam hanya ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang
dilakukan manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh, sekaligus
membedakannya dengan makhluk Allah lainnya. Jadi, al-ta’dib telah
mencakup kata al-tarbiyah dan al-ta’lim.
Sebagaimana telah dicantumkan di atas bahwa pendidikan adalah
meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini adalah ta’dib. Jadi, adab
adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia harus melakukannya dengan
berhasil dan baik dalam hidup ini atau di hari kemudian. Penekanan pada adab
yang mencakup amal dalam pendidikan yang menjamin bahwa ilmu dipergunakan
secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah orang-orang bijak, di
antara orang-orang Islam terdahulu telah mampu mengombinasikan ilmu, amal, adab
dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dlam
kenyataanya adalah ta’dib, Mengapa demikian? Karena adab, sebagaimana
didefinisikan, telah mencakup konsep ilmu dan amal sekaligus.
2.
Tujuan
pendidikan islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam
berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Dalam
hal ini, Al-Attas mengemukakan konsepnya sebagai berikut: “Tujuan mencari
pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai
diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang
baik. “Baik” dalam konsep manusia, yang baik berarti tepat sebagai manusia,
adab dan pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material
dan spiritual manusia”. Oleh
karena itu, al-Attas menekankan tujuan akhir pendidikan Islam akan menghasilkan
manusia yang baik, dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban Barat atau
warga yang baik yang dalam perspektif ini adalah individu-individu yang
beradab, bijak, yang mengenali dan mengakui segala tata tertib realitas
sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Sebagai hasilnya, mereka
akan selalu beramal sesuai dengan kaidah itu sendiri.[7]
Konsep pendidikan Islam
pada dasarnya berusaha mewujudkan insan kamil, yakni sesuai
dengan fungsi diciptakannya manusia di mana ia membawa 2 misi yaitu sebagai Abdullah
(Hamba Allah) dan Kalifatullah (Wakil Tuhan). Oleh karena itu,
seharusnya system pendidikan Islam merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku
Rasulullah SAW, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan
kualitas teladan Rasulullah semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dan
kecakapan masing-masing.
b) Islamisasi
Pengetahuan dan Epistimologi Islam
Al-Attas
memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini, yaitu dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar
dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh peradaban Barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran
kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan
kehancuran di muka bumi.
Dengan
sifat ilmu pengetahuan berdasar Budaya dan peradaban Barat yang memberikan
ketidakpastian dan krisis yang berkepanjangan, maka itu tidak dapat diterapkan
dalam kehidupan umat Islam. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat dijadikan
alat untuk menyebarluaskan ideologi dan peradaban. Dengan demikian maka imu
tidak bebas nilai (value free) tapi taat nilai (value laden).
Sebagai
jawaban untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mengembalikannya pada proporsi
yang sebenarnya, maka Al-Attas memperkenalkan dan mengemukakan proses de-westernisasi
dan Islamisasi sebagai langkah awal membangun paradigma pemikiran islam kontemporer.
Dalam
batasan al-Attas, de-westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan
mengasingkan unsur-unsur sekuler (substansi, roh, watak dan kepribadian
kebudayaan serta peradaban Barat) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah
bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan. Hal ini
merupakan upaya pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh Barat.[8]
Upaya
de-westernisasi tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila
tidak didukung oleh Islamisasi. Al-Attas memberikan pengertian Islamisasi
pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari magic, mitos, animisme,
tradisionalis, dan kultural dan selanjutnya dominannya sekularisme atas pikiran
dan bahasanya.
Bila
dilihat pernyataan Al-Attas selanjutnya bahwa pada proses de-westernisasi dan
Islamisasi yang menjadi kendali utama adalah manusia. Jika melalui tafsiran
alternatif pengetahuan tersebut, manusia mengetahui hakikat dirinya serta
tujuan sejati hidupnya dan mengetahui itu, ia mencapai kebahagiaannya, maka
pengetahuan itu walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan
bentuk karakteristik di mana pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi dan
ditafsirkansesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut pengetahuan
yang sejati karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam
mengetahui segalanya.
Berkaitan
dengan pengetahuan ia menegaskan bahwa filsafat ilmu pengetahuan modern
memiliki persamaan-persamaan dengan islam, terutama yang menyangkut sumber dan
metode ilmu. Namun demikian Al-Attas meyakini bahwa perbedaan antara Islam dan
filsafat ilmu modern adalah bahwa Islam mengenal wahyu sebagai sumber ilmu
tentang realitas dan kebenaran terakhir tentang ciptaan Tuhan. Ilmu pengetahuan
kontemporer meniadakan peran wahyu sehingga ia hanya berkaitan dengan fenomena,
yang dapat berubah disebabkan oleh perkembangan zaman. Dengan dikesampingkannya
wahyu melibatkan ilmu pengetahuan hanya memahami realitas pada alam nyata yang
dianggap sebagai satu-satunya realitas. Al-Attas menambahkan bahwa ilmu datang
dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran; indera yang sehat, laporan
yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
Dia
juga menimbangkan “tafsir dan ta’wil” sebagai kaidah memperoleh
ilmu berkaitan dengan kajian dan tafsiran tentang alam thabi’i dan
signifikansinya dalam konsepsi ilmu dan pendidikan sebagai kaidah yang sah.
Oleh
karena itu, Al-Attas melihat pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi
pengetahuan, karena ilmu pengetahuan modern tidak netral dan masuk budaya dan
filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman
manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label Islam
pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari Barat, karena
terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan falsafah Barat. Dengan demikian
Islamisasi ilmu pengetahuan membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi
pandangan hidup Islam (the Islamic wordl view) dan sekaligus dapat
memahami budaya dan peradaban Barat.
Menurut
Al-Attas, proses islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua langkah utama. Pertama,
proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu
tersebut, dan kedua, menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama
Islam ke dalamnya. Jelasnya, ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan
konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep utama asing dikeluarkan dari
setiap ranting.[9]
Dengan
demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk),
dugaan (zhann), dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran
mengenai realitas spiritual dan materi. Islamisasi akan membebaskan ilmu
pengetahuan medern dari ideologi, makna dan pernyataan-pernyataan sekuler.
Al-Attas
menolak bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan labelisasi ilmu
dengan prinsip-prinsip Islam. Al-Attas
menyifatkan islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh jasmaninya dan proses
ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan
fitrahnya.
Islamisasi
ilmu pengetahuan bertujuan agar umat islam terlindungi dari pengaruh ilmu
pengetahuan yang telah terjangkit kuman unsur-unsur dan konsep Barat yang akan
menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang
hakiki yang dapat membangunkan pikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat
menambah keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan
akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan kekuatan keimanan.
Oleh
sebab itu, pendidikan Islam harus dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyyah)
dan kemanusiaan dalam rangka membangun moralitas dan akhlak manusia yang anggun
untuk dapat mewujudkan kehidupan manusia yang seimbang dan integratif antara
nilai-nilai ilahiyyah (spiritual), kemanusiaan (insaniyyah) dan
nilai-nilai budaya.
Akibat
lebih lanjut dari cara pandang dunia yang dualistik, konsep kebenaran Barat
tidak dirumuskan di atas pengetahuan yang diwahyukan atau kepercayaan keagamaan,
tetapi di atas tradisi kebudayaan yang diperkuat dengan dasar-dasar pendapat
filosofis dan renungan-renungan yang bertalian terutama dengan kehidupan
duniawi yang berpusat kepada manusia sebagai makhluk fisik dan rasional.
Jelasnya, ilmu pengetahuan modern yang diproduk Barat tidak bersifat netral
melainkan telah dituangi dan ‘dicemari’ oleh watak dan peradaban Barat yang
dualistik, suatu watak dan peradaban yang tidak Islami karena Islam tidak
mengenal dualisme dalam sesuatu.
Bahkan, kebenaran-kebenaran agama yang
fundamental hanya dipandang sebagai teori-teori belaka atau sama sekali
dikesampingkan sebagai angan-angan ang sia-sia. Nilai-nilai mutlak disangkal
sementara nilai-nilai nisbi dikuatkan. Tidak ada sesuatu yang pasti kecuali
kepastian bahwa tidak ada sesuatu apapun yang pasti. Akibatnya, dunia fana
menjadi satu-satunya perhatian manusia mengalahkan yang transenden, bahkan
Tuhan sendiri, dan apa yang disebut keabadian tidak lain dari kelangsungan
jenis manusia dan kebudayaannya dalam dunia.
Dalam
pandangan Naquib, kebenaran hanya bisa dicapai lewat hidayah (peunjuk
ilahi), bukan keraguan-keraguan pergerakan antara dua hal yang saling
bertentangan tanpa ada kecenderungan pada salah satunya. Ia merupakan keadaan
tak bergerak ditengah-tengah dua yang bertentangan tanpa kecondongan hati
terhadap salah satunya. Jika hati lebih condong pada yang satu, bukan yang
lainnya, sementara tidak menolak yang lainnya tersebut, maka keadaan ini
disebut dugaan, jika menolak yang lainnya tersebut, maka ia masuk dalam tahap
kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain ini bukan merupakan tanda keraguan
terhadap kebenarannya, namun merupakan pengenalan positif terhadap kesalahan
atau kepalsuannya. Inilah yang dimaksud hidayah. Keraguan, baik bersifat
pasti atau sementara membawa kepada dugaan atau kepada posisi ketidak-pastian
yang lain dan tidak pernah kepada kebenaran.[10]
Meski
demikian, bukan berarti Naquib menolak keraguan dan skeptisisme bahkan sama
sekali tidak menolak keraguan dan skeptisisme, sehingga ia setuju pendapat
filosof dan epistemologi muslim kenamaan, Al-Ghazali (1058-1111 M), yang
menyatakan bahwa seseorang tidak bisa sungguh-sungguh percaya sampai ia merasa
ragu, dan bahwa skeptisisme yang sehat adalah sangat penting untuk kemajuan
intelektual. Yang ditolak adalah keraguan dan skeptisisme keilmuan Barat yang
sampai mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai sosial dan kultural.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, persoalan pandangan dunia (persoalan realitas) dan
epistemologis, adalah sesuatu yang penting. Karena itu, menurut Naquib
Al-Attas, jika sarjana dan ilmuan muslim bekerja dan mengikuti sistem ilmu pengetahuan
Barat berarsi sama dengan ikut mengembangkan nilai-nilai dan ketegangan batin
dari kebudayaan dan peradaban Barat. Wadah kesarjanaan dan keilmuan seperti ini
tidak benar-benar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim, apalagi
menyentuh akar-akar persoalan yang ada diantara mereka. Karena itu, diperlukan
islamisasi ilmu atau parameter-parameter keilmuan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam, untuk memenuhi kebutuhan tersebut sekaligus mengatasi
persoalan dualisme dan ketegangan batin yang ada dalam sistem keilmuan Barat.
Dalam hal ini, Naquib mengartikan islamisasi ilmu sebagai upaya untuk
mengenali, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur peradaban Barat yang
dualistik, sekularistik dan evolusioneristik yang pada dasarnya bersifat relativistik
dan nihilivistik, dari tubuh pengetahuan sehingga pengetahuan bersih dari
unsur-unsur tersebut. Sebab, unsur-unsur ini beserta apa pun yang dicelupinya
tidak menggambarkan isi pengetahuan sejati tetapi hanya menentukan bentuk dan
karakter di mana pengetahuan dikonsepkan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai
dengan pandangan dunia Barat.
C) Karya-Karya
H. Syed Muhammmad Naquib Al-Attas
Di
samping seminar dan mengajar, Naquib juga rajin menulis buku. Menurut Syaiful
Muzani, karya-karyanya Naquib bisa dibagi dalam dua kelompok, karya kesarjanaan
(scholarly writing) dan karya-karya pemikiran. Yang pertama
menggambarkan Naquib sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar), sedang
kelompok kedua menggambarkannya sebagai seorang pemikir. Diantara karyanya yang
terpenting adalah Islam the Concep of Religion and the Fundation of ethic
and morality, Kuala lumpur, ABIM, 1976; Islam and Secularisme, Kuala
Lumpur, ABIM, 1978; dan The Concep of Education in Islam A Framework to an
Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur, ABIM, 1980.[11]
Berkat
semangat dan prestasinya dalam pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam
dunia Melayu dan Islam, Naquin mendapat beberapa penghargaan, antara lain,
diangkat sebagai anggota American Philoshopical Assosiation, Penghargaan sebagai
‘Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran’ (Fellow of the Imperial Iranian
Academi of Philosophy) dari Iran, tahun 1975, dan penghargaan dari
Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran
Iqbah.
D) Korelasi
Pendidikan H. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Metode
pendidikan Naquib Al-Attas yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman
secara bertahap, jika dikorelasikan dengan pendidikan saat ini masih berkaitan
erat, karena pada saat ini pendidikan di Indonesia juga masih menerapkan metode
seperti itu, yakni menggunakan system atau metode penanaman secara bertahap,
dimulai dari hal-hal yang terlebih dahulu harus diperkenalkan atau hal-hal yang
seharusnya terlebih dahulu pendidik berikan kepada peserta didik berupa
pengetahuan tentang manusia dan disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Atau
jika dicontohkan dengan hal-hal lain seperti metode pendidikan atau
pembelajaran dalam eksakta semisal matematika, sampai sekarang dalam matematika
yang dipelajari terlebih dahulu pastilah dimulai dari penjumlahan dan
pengurangan contoh: 1+1= 2, dan 2-1= 1, tidak langsung kepada materi Aljabar
dan lainnya, ataupun jika dimisalkan kepada jenjang-jenjang pendidikan bertahap
pastinya dimulai dari TK, S D, SMP, SMA, Beru perkuliahan, nah itulah yang
disebut pendidikan bertahap jika dimisalkan dengan apa-apa yang ada disekitar
kita, maka dengan metode bertahap seperti inilah manusia tidak akan salah
langkah dan juga bisa membangkitkan semangat peserta didik yang disertai dengan
rasa ingin tahu yang besar, karena jika peserta didik mulai mengetahui
dasar-dasarnya (apapun itu) tentunya ia akan semakin penasaran atau semakin
ingin tahu kelanjutannya.
Al-Attas
menginginkan pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang mengarah pada dua
dimensi yakni sebagai hamba Allah dan khalifah dimuka bumi. Karena itu, sistem
pendidikan Islam harus direfleksikan pada ilmu pengetahuan dan perilaku Nabi
SAW., sekaligus diarahkan dan membawa umat muslim untuk meneladani perilakunya.
Salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, tugas pendidikan harus
membentuk kepribadian setiap individu dengan baik, karena masyarakat merupakan
kumpulan dari individu-individu.
Pemikiran
atau konsep pendidikan yang dilontarkan oleh Al-Attas tersebuts, mempunyai
keterkaitan atau korelasi dengan konsep pendidikan di STAIN, IAIN, dan UIN.
Dimana disana semua pendidikan mempunyai tujuan akhir yaitu menciptakan peserta
didik yang baik dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban Barat. Jadi konsep
semua pendidikan, baik dari pengetahuan islam atau umum semuanya di
refleksikan kepada akhlak mulia Nabi
sehingga dapat atau bisa menciptakan masyarakat yang baik atau beradab ala
Rasulullah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Al-Attas
memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik
(manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan
kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga dalam
pandangannya pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan
kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya
dengan benar, “tahu dari mana ia, sedang dimana ia, dan mau kemana ia kelak”
jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu
memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk, apalagi terhadap kholik.
Berkaitan
dengan definisi pendidikan, Al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata Atta’dib,
yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan
penyempurnaan akhlak atau budipekerti peserta didik.
A.
Saran-Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sekaligus motivasi
yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah saya
selanjutnya, ataupun proposal atau bahkan skipsi saya yang akan datang (amin
semoga). Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin...
DAFTAR
PUSTAKA
Siswanto, Pendidikan Islam Dalam
Perspektif Filosofis (Pamekasan:Stain Pemekasan Press,2009)
A
Soleh khudori, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004)
Siswanto,
filsafat dan pemikiran pendidikan islam. (Surabaya :pena Salsabila,2015)
[1] Siswanto, filsafat dan pemikiran pendidikan islam, (surabaya: salsabila putra pratama,2015), hlm.161
[5] Ibid. Hlm. 152
[7] Ibid, hlm. 114.
[8] Siswanto, pendidikan islam dalam perspektif filosofis, (pamekasan: STAIN pamekasan press,2009), hlm.115.
[9] Ibid, hlm, 117.