Sunday, 29 May 2016

CONTOH MAKALAH “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS



MAKALAH
“KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS”
Di ajukan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
Dosen pengampu : Dr. Mohammad Thoha, M. Pd.I
Di Susun Oleh:
Dewi RaraGita Septiniarsih (18201501020014)
                                                       
 




                                                       





KELOMPOK 7

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Tahun Akademik 2015-2016
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillaahi Robbil ‘Alamiin, Puji dan Syukur kepada Allah SWT tak henti-hentinya penulis penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa terima kasih yang tidak terkira atas selesainya penulisan makalah yang penuh dengan kekurangan ini, karena dengan limpahan pertolongan, nikmat, dan kasih sayang-Nya sayaa sebagai kelompok VI dapat menyelesaikan tugas Makalah saya pada Mata Kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM” sesuai dengan tema yang telah ditentukannya, yaitu ”KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS”, yang telah saya kerjakan semampu saya, meskipun pada kenyataannya banyak terdapat hal yang masih mendekati kesalahan dan kekurangan pada makalah saya ini.
Shalawatullaahi Wasalamuhu semoga tetap tercurahkan kepada Nabi junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya menjadi masyarakat yang jauh dari sifat-sifat kejahiliyahan menuju umat yang penuh dengan gemerlap ilmu pengetahuan, semoga syafaatnya senantiasa mengalir untuk kita semua. Amin.
Dan tak lupa pula saya ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan tema tersebut yang sudah ditentukan. Namun, saya menyadari bahwa tugas yang telah saya selesaikan ini masih banyak kekurangan-kekurangan, sehingga membuat para pembaca kurang memahami. Maka dari itu, saya selaku penyusun makalah ini memohon atas kritikan dan sarannya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pamekasan, 03 Mei 2016


Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                                         ii
Daftar Isi                                                                                                                  iii
Bab I : Pendahuluan.................................................................................................1
A.    Latar Belakang.............................................................................................1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................2
C.     Tujuan Pembahasan Masalah.......................................................................2
Bab II : Pembahasan.................................................................................................3
A.    Sketsa biografi H. syed Muhammad naquib al-attas…................................3
B.     Pendidikan menurut pemikiran H. Syed Naquib Al-Attas...........................5
C.     Karya-karya dan penghargaan H. syed Muhammad naquib al-attas…... ..12
D.    Korelasi pendidikan syed Muhammad naquib al-attas…………………...12
Bab III : Penutup.....................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................14
Saran……………………………………………………………………....14
Daftar Pustaka.............................................................................................15


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Seperti yang telah kita ketahui bahwa banyak sekali Tokoh-tokoh filsafat pendidikan Islam di Dunia ini, dan salah satu tokoh yang juga terkenal diantara banyak tokoh tersebut adalah H. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang bertanah kelahiran di Bogor Jawa Barat, di mana Al-Attas ini juga berperan sebagai filosofis terkenal yang juga melibatkan pemikirannya atau gagasannya mengenai filsafat pendidikan Islam.
Gagasan Islamisasi ilmu Al-Attas, pada dasarnya adalah respon intelektualnya terhadap efek negatif ilmu modern (Barat) yang semakin tampak dan di rasakan masyarakat dunia, yang menurutnya merupakan akibat, dari adanya krisis di dalam basis ilmu modern (Barat), yakni konsepsi tentang realitas atau pandangan dunia yang melekat pada setiap ilmu yang kemudian merembet pada persoalan epistimologis, seperti sumber pengetahuan, hubungan antara konsep dan realitas, masalah kebenaran dan lainnya yang menyangkut masalah pengetahuan
Meski membawa kemajuan yang menakjubkan, pemikiran dan pengetahuan modern (Barat) ternyata juga mengandung dampak negatif yang besar. Karena diadopsi dari berbagai sumber yang beragam dan saling bertentangan serta didasarkan atas ajaran wahyu, pengetahuan Barat akhirnya melahirkan ketegangan batin dan menjauhkan manusia dari Tuhan, bahkan menjauhkan dari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. Model pengetahuan seperti itu sama sekali tidak bisa digunakan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan, apalagi problem masyarakat muslim. Karena itu, menurut Naquib, harus ada islamisasi, yakni sterilisasi ilmu dari hal-hal yang merusak untuk kemudian menuntunnya agar sesuai dengan ajaran Tuhan.




B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sketsa biografi H. Syed Naquib al-Attas?
2.      Bagaimana pandangan pendidikan islam menurut pemikiran H. Syed Naquib al-Attas?
3.      Apa sajakah karya-karya dan penghargaan H. Syed Naquib al-Attas?
4.      Apa korelasi pendidikan H. Syed Naquib al-Attas?

C.     Tujuan Masalah
1.    Mengetahui sketsa biografi H. Syed Naquib al-Attas
2.    Mengetahui pandangan pendidikan menurut pemikiran H. Syed Naquib al-Attas
3.    Mengetahui karya-karya dan penghargaan H. Syed Naquib al-Attas
4.     Mengetahui korelasi pendidikan H. Syed Naquib al-Attas














BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi H. Syed Muhammmad Naquib al-Attas
Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilacak dari garis keturunannya, al-Attas termasuk keluarga Ba’Alawi di Hadromaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Husain, cucu Rasulullah SAW. Dari Ali dan Fatimah RA. Ibunya adalah Syarifah raquan al ‘Aidrus, berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupakan ningrat Sunda di Singapura. Melihat garis keturunannya, dapat dikatakan bahwa Al-Attas merupakan bibit unggul dalam percaturan perkembangan intelektual di Indonesia dan Malaysia. Faktor intern keluarga inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya.[1]
Pada usia 5 tahun ia di bawa ke johor Malaysia, untuk dididik oleh saudara ayahnya, Encik Ahmad, kemudian Ny. Azizah, istri Engku Abd al-Aziz ibn Abd Majid. Namun, pada masa penjajahan jepang. Naquib pulang ke jawa Barat dan masuk di pesantren al-Urwah al-Wusta, Sukabumi, belajar bahasa Arab dan Agama Islam, terutama tarekat.[2]
  Setelah itu, empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1946, al-Attas kembali ke Malaysia. Setelah tinggal di rumah Engku Abd Aziz, ia juga sempat beberapa lama tinggal bersama Datuk Onn, ketua UMNO pertama. Di Negeri jiran ini ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College, di Johor Baru, dan selanjutnya masuk dinas Militer, dan karena prestasinya yang cemerlang ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chester, English, tahun 1952-1955. Namun, al-Attas rupanya lebih tertarik pada dunia akademik di banding militer, sehingga ia keluar dari dinas militer dengan perangkat terakhir Letnan. Selama di inggris, dia berusaha memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat inggris.[3]
Kegiatan inteletual al-Attas di mulai di Universitas Malaya pada pertengahan 1960-an dan ia pun telah di kirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan Study di Institute of Islamic Studiens, McGill Canada. Ia telah membangkitkan kesadaran baru akan pentingnya peranan Islam dalam sejarah, nasionalisme dan melayu. Ia telah berhasil menumbuhkan kesadaran baru tentang peranan islam kepada para mahasiswa dan masyarakat umum.
Selanjutnya ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya di school of Orental and African Studies, London University, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di perguruan tinggi ini, ia menekuni kajian teologi dan metafisika dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah Fansuri”.
Sekembalinya dari London, ia mengabdi sebagai dosen di almamaternya,Universitas of Malay, Singapura, yang tidak lama kemudian diangkat sebagai ketua jurusan sastra melayu di lembaga yang sama. Karirnya terus naik dan di lembaga ini ia merancang dasar bahasa melaysia. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk sebagai salah seorang pendiri Universitas kebangsaan, malaysia, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Guru Besar, kemudian di angkat sebagai dekan fakultas sastra dan kebudayaan Melayu di perguruan tinggi baru ini, tahun 1975. Selanjutnya, ketika didirikannya ISTAC (The Internasional institute of Islamic Thaught and Civilization), 4 Oktober 1991, ia ditunjuk sebagai direkturnya. Terakhir ia diserahi utuk memimpin Institute Internasional Pemikiran dan Olahraga Malaysia, lembaga otonom yang berada pada Universitas Antar Bangsa, Malaysia.[4]
Al-Attas pernah juga datang ke indonesia, pertengahan Januari 1987 dan terlibat ‘debat terbuka’ dengan Noercholis Madjid, yang mengangkat persoalan seklarisasi, tuhan dan Tuhan, reakturalisasi ajaran islam, konsep agama islam, ilmu pendidikan islam dan lainnya. Gagasan yang di sampaikan saat iu kemudian diperbarui pada kedatangan kedua, Oktober 1988. Tahun berikutnya, Februari 1989, al-Attas datang kembali di Jakarta untuk berbicara tentan sains dalam konferensi Asia Pasifik.[5]
B.      Pandangan Pendidikan Menurut Pemikiran H. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Di samping terkenal sebagai ahli pengkaji sejarah, kebudayaan, teologi, tasawwuf dan filsafat, Al-Attas juga di kenal sebagai pengkaji pendidikan islam yang brilian yang telah menggagas formula-formula islam seperti konsep pendidikan islam, islamisasi ilmu epistimologi islam dll. Berikut uraian secara singkat hal tersebut:
a)      Konsep Tentang Pendidikan Islam
Al-Attas memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga dalam pandangannya pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia seperti asal usul adanya manusia, siapa pencipta manusia, tercipta dari apa manusia ,untuk apa manusia dicitakan dll, disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, “tahu dari mana ia, sedang dimana ia, dan mau kemana ia kelak” jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk, apalagi terhadap Pencipta (Tuhan).
1.      Pengertian Pendidikan Menurut Syed Naquib Al-Attas
Berkaitan dengan definisi pendidikan, Al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata Atta’dib, yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budipekerti peserta didik. Orientasi kata ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Merujuk pada batasan tersebut, menurut Al-Attas, penggunaan kata atta’dib lebih cocok digunakan dalam diskursus pendidikan Islam dibandingkan dengan kata Attarbiyah dan Atta’lim. Hal ini disebabkan, karena pengertian ta’lim ditujukan pada proses pentransferan Ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya pengenalan-pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkan tarbiyah menunjukkan makna pendidikannya masih bersifat umum. Terma ini berlaku bukan saja pada proses pendidikan pada manusia, akan tetapi juga ditujukan kepada selain manusia.[6] Padahal diskursus pendidikan Islam hanya ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang dilakukan manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh, sekaligus membedakannya dengan makhluk Allah lainnya. Jadi, al-ta’dib telah mencakup kata al-tarbiyah dan al-ta’lim.
Sebagaimana telah dicantumkan di atas bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini adalah ta’dib. Jadi, adab adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia harus melakukannya dengan berhasil dan baik dalam hidup ini atau di hari kemudian. Penekanan pada adab yang mencakup amal dalam pendidikan yang menjamin bahwa ilmu dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah orang-orang bijak, di antara orang-orang Islam terdahulu telah mampu mengombinasikan ilmu, amal, adab dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dlam kenyataanya adalah ta’dib, Mengapa demikian? Karena adab, sebagaimana didefinisikan, telah mencakup konsep ilmu dan amal sekaligus.
2.      Tujuan pendidikan islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
            Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Dalam hal ini, Al-Attas mengemukakan konsepnya sebagai berikut: “Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik. “Baik” dalam konsep manusia, yang baik berarti tepat sebagai manusia, adab dan pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia”. Oleh karena itu, al-Attas menekankan tujuan akhir pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang baik, dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban Barat atau warga yang baik yang dalam perspektif ini adalah individu-individu yang beradab, bijak, yang mengenali dan mengakui segala tata tertib realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas itu. Sebagai hasilnya, mereka akan selalu beramal sesuai dengan kaidah itu sendiri.[7]
            Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan insan kamil, yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia di mana ia membawa 2 misi yaitu sebagai Abdullah (Hamba Allah) dan Kalifatullah (Wakil Tuhan). Oleh karena itu, seharusnya system pendidikan Islam merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah SAW, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas teladan Rasulullah semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dan kecakapan masing-masing.

b)      Islamisasi Pengetahuan dan Epistimologi Islam
Al-Attas memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini, yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.
Dengan sifat ilmu pengetahuan berdasar Budaya dan peradaban Barat yang memberikan ketidakpastian dan krisis yang berkepanjangan, maka itu tidak dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat dijadikan alat untuk menyebarluaskan ideologi dan peradaban. Dengan demikian maka imu tidak bebas nilai (value free) tapi taat nilai (value laden).
Sebagai jawaban untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mengembalikannya pada proporsi yang sebenarnya, maka Al-Attas memperkenalkan dan mengemukakan proses de-westernisasi dan Islamisasi sebagai langkah awal membangun paradigma pemikiran islam kontemporer.
Dalam batasan al-Attas, de-westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (substansi, roh, watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban Barat) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan. Hal ini merupakan upaya pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh Barat.[8]
Upaya de-westernisasi tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila tidak didukung oleh Islamisasi. Al-Attas memberikan pengertian Islamisasi pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari magic, mitos, animisme, tradisionalis, dan kultural dan selanjutnya dominannya sekularisme atas pikiran dan bahasanya.
Bila dilihat pernyataan Al-Attas selanjutnya bahwa pada proses de-westernisasi dan Islamisasi yang menjadi kendali utama adalah manusia. Jika melalui tafsiran alternatif pengetahuan tersebut, manusia mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hidupnya dan mengetahui itu, ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan itu walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik di mana pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi dan ditafsirkansesuai dengan suatu pandangan tertentu, dapat disebut pengetahuan yang sejati karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahui segalanya.
Berkaitan dengan pengetahuan ia menegaskan bahwa filsafat ilmu pengetahuan modern memiliki persamaan-persamaan dengan islam, terutama yang menyangkut sumber dan metode ilmu. Namun demikian Al-Attas meyakini bahwa perbedaan antara Islam dan filsafat ilmu modern adalah bahwa Islam mengenal wahyu sebagai sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir tentang ciptaan Tuhan. Ilmu pengetahuan kontemporer meniadakan peran wahyu sehingga ia hanya berkaitan dengan fenomena, yang dapat berubah disebabkan oleh perkembangan zaman. Dengan dikesampingkannya wahyu melibatkan ilmu pengetahuan hanya memahami realitas pada alam nyata yang dianggap sebagai satu-satunya realitas. Al-Attas menambahkan bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran; indera yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
Dia juga menimbangkan “tafsir dan ta’wil” sebagai kaidah memperoleh ilmu berkaitan dengan kajian dan tafsiran tentang alam thabi’i dan signifikansinya dalam konsepsi ilmu dan pendidikan sebagai kaidah yang sah.
Oleh karena itu, Al-Attas melihat pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi pengetahuan, karena ilmu pengetahuan modern tidak netral dan masuk budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label Islam pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari Barat, karena terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan falsafah Barat. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi pandangan hidup Islam (the Islamic wordl view) dan sekaligus dapat memahami budaya dan peradaban Barat.
Menurut Al-Attas, proses islamisasi ilmu pengetahuan melibatkan dua langkah utama. Pertama, proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu tersebut, dan kedua, menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Jelasnya, ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep utama asing dikeluarkan dari setiap ranting.[9]
Dengan demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan (zhann), dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi. Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan medern dari ideologi, makna dan pernyataan-pernyataan sekuler.
Al-Attas menolak bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip Islam.  Al-Attas menyifatkan islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya.
Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan agar umat islam terlindungi dari pengaruh ilmu pengetahuan yang telah terjangkit kuman unsur-unsur dan konsep Barat yang akan menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat menambah keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan kekuatan keimanan.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam harus dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan dalam rangka membangun moralitas dan akhlak manusia yang anggun untuk dapat mewujudkan kehidupan manusia yang seimbang dan integratif antara nilai-nilai ilahiyyah (spiritual), kemanusiaan (insaniyyah) dan nilai-nilai budaya.
Akibat lebih lanjut dari cara pandang dunia yang dualistik, konsep kebenaran Barat tidak dirumuskan di atas pengetahuan yang diwahyukan atau kepercayaan keagamaan, tetapi di atas tradisi kebudayaan yang diperkuat dengan dasar-dasar pendapat filosofis dan renungan-renungan yang bertalian terutama dengan kehidupan duniawi yang berpusat kepada manusia sebagai makhluk fisik dan rasional. Jelasnya, ilmu pengetahuan modern yang diproduk Barat tidak bersifat netral melainkan telah dituangi dan ‘dicemari’ oleh watak dan peradaban Barat yang dualistik, suatu watak dan peradaban yang tidak Islami karena Islam tidak mengenal dualisme dalam sesuatu.
 Bahkan, kebenaran-kebenaran agama yang fundamental hanya dipandang sebagai teori-teori belaka atau sama sekali dikesampingkan sebagai angan-angan ang sia-sia. Nilai-nilai mutlak disangkal sementara nilai-nilai nisbi dikuatkan. Tidak ada sesuatu yang pasti kecuali kepastian bahwa tidak ada sesuatu apapun yang pasti. Akibatnya, dunia fana menjadi satu-satunya perhatian manusia mengalahkan yang transenden, bahkan Tuhan sendiri, dan apa yang disebut keabadian tidak lain dari kelangsungan jenis manusia dan kebudayaannya dalam dunia.
Dalam pandangan Naquib, kebenaran hanya bisa dicapai lewat hidayah (peunjuk ilahi), bukan keraguan-keraguan pergerakan antara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan pada salah satunya. Ia merupakan keadaan tak bergerak ditengah-tengah dua yang bertentangan tanpa kecondongan hati terhadap salah satunya. Jika hati lebih condong pada yang satu, bukan yang lainnya, sementara tidak menolak yang lainnya tersebut, maka keadaan ini disebut dugaan, jika menolak yang lainnya tersebut, maka ia masuk dalam tahap kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain ini bukan merupakan tanda keraguan terhadap kebenarannya, namun merupakan pengenalan positif terhadap kesalahan atau kepalsuannya. Inilah yang dimaksud hidayah. Keraguan, baik bersifat pasti atau sementara membawa kepada dugaan atau kepada posisi ketidak-pastian yang lain dan tidak pernah kepada kebenaran.[10]
Meski demikian, bukan berarti Naquib menolak keraguan dan skeptisisme bahkan sama sekali tidak menolak keraguan dan skeptisisme, sehingga ia setuju pendapat filosof dan epistemologi muslim kenamaan, Al-Ghazali (1058-1111 M), yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa sungguh-sungguh percaya sampai ia merasa ragu, dan bahwa skeptisisme yang sehat adalah sangat penting untuk kemajuan intelektual. Yang ditolak adalah keraguan dan skeptisisme keilmuan Barat yang sampai mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai sosial dan kultural.
Berdasarkan kenyataan tersebut, persoalan pandangan dunia (persoalan realitas) dan epistemologis, adalah sesuatu yang penting. Karena itu, menurut Naquib Al-Attas, jika sarjana dan ilmuan muslim bekerja dan mengikuti sistem ilmu pengetahuan Barat berarsi sama dengan ikut mengembangkan nilai-nilai dan ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Wadah kesarjanaan dan keilmuan seperti ini tidak benar-benar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim, apalagi menyentuh akar-akar persoalan yang ada diantara mereka. Karena itu, diperlukan islamisasi ilmu atau parameter-parameter keilmuan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk memenuhi kebutuhan tersebut sekaligus mengatasi persoalan dualisme dan ketegangan batin yang ada dalam sistem keilmuan Barat. Dalam hal ini, Naquib mengartikan islamisasi ilmu sebagai upaya untuk mengenali, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur peradaban Barat yang dualistik, sekularistik dan evolusioneristik yang pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilivistik, dari tubuh pengetahuan sehingga pengetahuan bersih dari unsur-unsur tersebut. Sebab, unsur-unsur ini beserta apa pun yang dicelupinya tidak menggambarkan isi pengetahuan sejati tetapi hanya menentukan bentuk dan karakter di mana pengetahuan dikonsepkan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan pandangan dunia Barat.
C)    Karya-Karya H. Syed Muhammmad Naquib Al-Attas
Di samping seminar dan mengajar, Naquib juga rajin menulis buku. Menurut Syaiful Muzani, karya-karyanya Naquib bisa dibagi dalam dua kelompok, karya kesarjanaan (scholarly writing) dan karya-karya pemikiran. Yang pertama menggambarkan Naquib sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar), sedang kelompok kedua menggambarkannya sebagai seorang pemikir. Diantara karyanya yang terpenting adalah Islam the Concep of Religion and the Fundation of ethic and morality, Kuala lumpur, ABIM, 1976; Islam and Secularisme, Kuala Lumpur, ABIM, 1978; dan The Concep of Education in Islam A Framework to an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur, ABIM, 1980.[11]
Berkat semangat dan prestasinya dalam pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, Naquin mendapat beberapa penghargaan, antara lain, diangkat sebagai anggota American Philoshopical Assosiation, Penghargaan sebagai ‘Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran’ (Fellow of the Imperial Iranian Academi of Philosophy) dari Iran, tahun 1975, dan penghargaan dari Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran Iqbah.  
D)    Korelasi Pendidikan H. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Metode pendidikan Naquib Al-Attas yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, jika dikorelasikan dengan pendidikan saat ini masih berkaitan erat, karena pada saat ini pendidikan di Indonesia juga masih menerapkan metode seperti itu, yakni menggunakan system atau metode penanaman secara bertahap, dimulai dari hal-hal yang terlebih dahulu harus diperkenalkan atau hal-hal yang seharusnya terlebih dahulu pendidik berikan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia dan disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Atau jika dicontohkan dengan hal-hal lain seperti metode pendidikan atau pembelajaran dalam eksakta semisal matematika, sampai sekarang dalam matematika yang dipelajari terlebih dahulu pastilah dimulai dari penjumlahan dan pengurangan contoh: 1+1= 2, dan 2-1= 1, tidak langsung kepada materi Aljabar dan lainnya, ataupun jika dimisalkan kepada jenjang-jenjang pendidikan bertahap pastinya dimulai dari TK, S D, SMP, SMA, Beru perkuliahan, nah itulah yang disebut pendidikan bertahap jika dimisalkan dengan apa-apa yang ada disekitar kita, maka dengan metode bertahap seperti inilah manusia tidak akan salah langkah dan juga bisa membangkitkan semangat peserta didik yang disertai dengan rasa ingin tahu yang besar, karena jika peserta didik mulai mengetahui dasar-dasarnya (apapun itu) tentunya ia akan semakin penasaran atau semakin ingin tahu kelanjutannya.
Al-Attas menginginkan pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang mengarah pada dua dimensi yakni sebagai hamba Allah dan khalifah dimuka bumi. Karena itu, sistem pendidikan Islam harus direfleksikan pada ilmu pengetahuan dan perilaku Nabi SAW., sekaligus diarahkan dan membawa umat muslim untuk meneladani perilakunya. Salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, tugas pendidikan harus membentuk kepribadian setiap individu dengan baik, karena masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu.
Pemikiran atau konsep pendidikan yang dilontarkan oleh Al-Attas tersebuts, mempunyai keterkaitan atau korelasi dengan konsep pendidikan di STAIN, IAIN, dan UIN. Dimana disana semua pendidikan mempunyai tujuan akhir yaitu menciptakan peserta didik yang baik dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban Barat. Jadi konsep semua pendidikan, baik dari pengetahuan islam atau umum semuanya di refleksikan  kepada akhlak mulia Nabi sehingga dapat atau bisa menciptakan masyarakat yang baik atau beradab ala Rasulullah.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Al-Attas memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), yang mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga dalam pandangannya pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, “tahu dari mana ia, sedang dimana ia, dan mau kemana ia kelak” jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk, apalagi terhadap kholik.
Berkaitan dengan definisi pendidikan, Al-Attas lebih sepakat dengan menggunakan kata Atta’dib, yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budipekerti peserta didik.

A.    Saran-Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sekaligus motivasi yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah saya selanjutnya, ataupun proposal atau bahkan skipsi saya yang akan datang (amin semoga). Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin...





DAFTAR PUSTAKA

Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis (Pamekasan:Stain Pemekasan Press,2009)
A Soleh khudori, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004)
            Siswanto, filsafat dan pemikiran pendidikan islam. (Surabaya :pena Salsabila,2015)





[1] Siswanto, filsafat dan pemikiran pendidikan islam, (surabaya: salsabila putra pratama,2015), hlm.161
[2] A, khudhori soleh, wacaana baru filsafat, (yogyakarta: pustaka plajar,2004), hlm.251.
[3] Ibid, hlm.251
[4] Ibid,hlm.252
[5] Ibid. Hlm. 152
[6] Ibid.hlm.112
[7] Ibid, hlm. 114.
[8] Siswanto, pendidikan islam dalam perspektif filosofis, (pamekasan: STAIN pamekasan press,2009), hlm.115.
[9] Ibid, hlm, 117.
[10] A, khudhori soleh, wacaana baru filsafat, (yogyakarta: pustaka plajar,2004), hlm..256
[11] A, khudhori soleh, wacaana baru filsafat, (yogyakarta: pustaka plajar,2004), hlm.253