MAKALAH
FILSAFAT
ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I
Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur
kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya,
makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak
kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan
yang kami kuasai.
Sholawat beserta
salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena
berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang
kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti
sekarang ini.
Kami juga ucapkan
terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT
ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga
dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Dan tak lupa pula
kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu,
apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus
diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya
membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
masalah........................................................................... 1
C.
Tujuan
masalah............................................................................... 1
A.
Pengertian
filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.
Karakteristik-karakteristik
aliran irfani........................................... 3
C.
Konsep
Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara
mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari
filsafat. Ontologi atau teori hakikat membicarakan pengetahuan
itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori
pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita
memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori
nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah
kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat
islam terdapat empat aliran.
Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga,
Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah).
Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani).
Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat
karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat
supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada
penalaran rasional.
Tetapi dalam
perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan
dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada
masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat,
sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah
tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.
Apa
saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.
Bagaimana
konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.
TUJUAN
MASALAH
1.
Untuk
mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.
Untuk
mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.
Untuk
mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab
adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan)
dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang
menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani
diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah
cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang
dekat dengan spiritual
Tahapan
untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan.
Berangkat
dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya
teks.
Sumber
pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tak ternilai harganya.
Semua
pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia
apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika.
Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.
Karakteristik-karakteristik
Aliran ‘Irfani
a)
Karakteristik
Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para
sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius.
Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang
merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti
itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik
tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb).
Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara
akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena
ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini,
akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena
ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu
“menyentuh” realitas sejati.
Dalam
konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah
pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak,
anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit
bukan di permukaan air”.
Tentu
saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas
objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya
melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan
esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R.
Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang
lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki
keterbatasan-keterbatasan.
Lebih
lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah
ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu
adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori
tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan
mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah
yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal
ataupun indera.
b)
Karakter Ontologis
Aliran ‘Irfani
Dalam
komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan
beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang
berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan
substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan
dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti
Mulla Shadra.
Ibn
‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah
(al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud
sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan
wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah
itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata,
“wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu
terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan
satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan
itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan
hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran
yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa
belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan
eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama
alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula
kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang
kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala
isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali
melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada
diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada
kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di
cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di
cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata
kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli
kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas
yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)
Karakter
Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran
‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah
manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan,
sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul
kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari
manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai
tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh
sifat Tuhan.
Dengan
konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi
justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu
sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan
kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga
pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip
dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan
sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat
‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat
Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam
paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3. Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Pengetahuan
irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan
pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan;
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang
kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti
dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu
yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan
harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan
laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal,
yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla
(hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John
S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa
salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran
yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi
harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena
itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut
dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang
diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan
wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang
tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya
disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah,
sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang
disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang
ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan
irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan
kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat
diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha
untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak
dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk
mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara
sepakat”.
Kemudian
beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan
lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara
umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme,
meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat,
dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni
ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.
Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode
analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di
Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang
disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan
(qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan
diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut
telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan
metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga
menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan
sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas
imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi
mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan
masyarakat.
Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di
beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa,
rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua
itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar
(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula
dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi
maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah
sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik
metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya
pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik
sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk
pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu
pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter
ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis
dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para
sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya
struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter
kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta
ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa
keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep
Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan,
untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal
dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri
(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman
mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto,
Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.
MAKALAH
FILSAFAT
ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I
Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur
kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya,
makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak
kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan
yang kami kuasai.
Sholawat beserta
salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena
berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang
kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti
sekarang ini.
Kami juga ucapkan
terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT
ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga
dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Dan tak lupa pula
kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu,
apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus
diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya
membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
masalah........................................................................... 1
C.
Tujuan
masalah............................................................................... 1
A.
Pengertian
filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.
Karakteristik-karakteristik
aliran irfani........................................... 3
C.
Konsep
Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara
mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari
filsafat. Ontologi atau teori hakikat membicarakan pengetahuan
itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori
pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita
memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori
nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah
kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat
islam terdapat empat aliran.
Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga,
Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah).
Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani).
Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat
karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat
supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada
penalaran rasional.
Tetapi dalam
perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan
dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada
masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat,
sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah
tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.
Apa
saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.
Bagaimana
konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.
TUJUAN
MASALAH
1.
Untuk
mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.
Untuk
mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.
Untuk
mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab
adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan)
dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang
menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani
diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah
cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang
dekat dengan spiritual
Tahapan
untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan.
Berangkat
dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya
teks.
Sumber
pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tak ternilai harganya.
Semua
pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia
apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika.
Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.
Karakteristik-karakteristik
Aliran ‘Irfani
a)
Karakteristik
Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para
sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius.
Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang
merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti
itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik
tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb).
Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara
akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena
ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini,
akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena
ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu
“menyentuh” realitas sejati.
Dalam
konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah
pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak,
anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit
bukan di permukaan air”.
Tentu
saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas
objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya
melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan
esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R.
Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang
lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki
keterbatasan-keterbatasan.
Lebih
lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah
ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu
adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori
tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan
mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah
yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal
ataupun indera.
b)
Karakter Ontologis
Aliran ‘Irfani
Dalam
komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan
beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang
berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan
substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan
dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti
Mulla Shadra.
Ibn
‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah
(al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud
sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan
wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah
itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata,
“wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu
terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan
satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan
itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan
hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran
yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa
belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan
eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama
alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula
kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang
kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala
isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali
melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada
diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada
kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di
cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di
cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata
kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli
kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas
yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)
Karakter
Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran
‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah
manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan,
sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul
kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari
manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai
tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh
sifat Tuhan.
Dengan
konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi
justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu
sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan
kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga
pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip
dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan
sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat
‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat
Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam
paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3. Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Pengetahuan
irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan
pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan;
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang
kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti
dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu
yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan
harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan
laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal,
yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla
(hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John
S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa
salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran
yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi
harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena
itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut
dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang
diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan
wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang
tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya
disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah,
sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang
disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang
ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan
irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan
kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat
diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha
untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak
dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk
mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara
sepakat”.
Kemudian
beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan
lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara
umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme,
meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat,
dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni
ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.
Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode
analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di
Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang
disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan
(qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan
diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut
telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan
metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga
menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan
sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas
imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi
mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan
masyarakat.
Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di
beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa,
rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua
itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar
(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula
dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi
maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah
sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik
metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya
pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik
sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk
pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu
pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter
ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis
dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para
sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya
struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter
kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta
ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa
keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep
Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan,
untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal
dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri
(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman
mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto,
Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.
MAKALAH
FILSAFAT
ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I
Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur
kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya,
makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak
kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan
yang kami kuasai.
Sholawat beserta
salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena
berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang
kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti
sekarang ini.
Kami juga ucapkan
terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT
ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga
dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Dan tak lupa pula
kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu,
apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus
diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya
membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang................................................................................ 1
B.
Rumusan
masalah........................................................................... 1
C.
Tujuan
masalah............................................................................... 1
A.
Pengertian
filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.
Karakteristik-karakteristik
aliran irfani........................................... 3
C.
Konsep
Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara
mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari
filsafat. Ontologi atau teori hakikat membicarakan pengetahuan
itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori
pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita
memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori
nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah
kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat
islam terdapat empat aliran.
Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga,
Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah).
Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani).
Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat
karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat
supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada
penalaran rasional.
Tetapi dalam
perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan
dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada
masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat,
sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah
tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.
Apa
saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.
Bagaimana
konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.
TUJUAN
MASALAH
1.
Untuk
mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.
Untuk
mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.
Untuk
mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab
adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan)
dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham.
Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah
sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh
pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang
menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani
diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh
pengetahuan dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah
cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang
dekat dengan spiritual
Tahapan
untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan.
Berangkat
dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya
teks.
Sumber
pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran
yang tak ternilai harganya.
Semua
pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia
apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika.
Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.
Karakteristik-karakteristik
Aliran ‘Irfani
a)
Karakteristik
Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para
sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius.
Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang
merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti
itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik
tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb).
Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara
akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena
ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini,
akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena
ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu
“menyentuh” realitas sejati.
Dalam
konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah
pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak,
anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit
bukan di permukaan air”.
Tentu
saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas
objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya
melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan
esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R.
Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang
lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki
keterbatasan-keterbatasan.
Lebih
lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah
ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu
adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori
tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan
mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah
yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal
ataupun indera.
b)
Karakter Ontologis
Aliran ‘Irfani
Dalam
komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan
beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang
berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan
substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan
dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti
Mulla Shadra.
Ibn
‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah
(al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud
sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan
wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah
itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata,
“wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu
terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan
satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan
itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan
hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran
yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa
belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan
eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama
alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula
kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang
kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala
isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas
sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali
melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada
diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada
kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di
cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di
cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata
kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli
kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas
yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)
Karakter
Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran
‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah
manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan,
sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul
kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari
manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai
tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh
sifat Tuhan.
Dengan
konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi
justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu
sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan
kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga
pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip
dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan
sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat
‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat
Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam
paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3. Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Pengetahuan
irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan
pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan;
1. Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang
kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti
dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu
yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan
harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan
laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal,
yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla
(hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira
dan suka cita).
2. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John
S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa
salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious),
yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran
yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham).
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi
harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena
itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut
dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang
diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan
wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang
tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya
disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah,
sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang
disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang
ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan
irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan
kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
“Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat
diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha
untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak
dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk
mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara
sepakat”.
Kemudian
beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan
dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan
lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar
kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif
yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis
maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan
dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara
umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme,
meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat,
dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni
ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.
Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan
berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
Metode
analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di
Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang
disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan
(qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya
keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan
diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut
telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan
metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga
menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan
sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas
imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi
mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan
masyarakat.
Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di
beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa,
rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua
itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar
(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula
dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam
kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi
maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah
sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu
pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik
metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya
pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik
sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk
pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu
pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter
ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis
dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para
sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya
struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi
tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi
ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang
muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter
kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta
ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa
keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep
Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan,
untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal
dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri
(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman
mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto,
Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.