Friday, 13 May 2016

Contoh Makalah FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI-FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI-FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI




MAKALAH
FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I




Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
HOLIFATUS SYAMSIYAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016























KATA PENGANTAR
            Segala puji syukur kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami kuasai.
            Sholawat beserta salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti sekarang ini.
            Kami juga ucapkan terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
            Dan tak lupa pula kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu, apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.


Pamekasan, 11 Mei  2016

                                                                                                Penulis


 


















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan masalah............................................................................... 1      
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.     Karakteristik-karakteristik aliran irfani........................................... 3
C.     Konsep Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN ............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
 


















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat.  Ontologi atau teori  hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat islam terdapat empat aliran. Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga, Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah). Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani). Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada penalaran rasional.
Tetapi dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat, sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.      Apa saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.      Bagaimana konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.      Untuk mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.      Untuk mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.         
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan  berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.      Karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
a)   Karakteristik Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb). Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini, akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu “menyentuh” realitas sejati.
Dalam konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak, anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit bukan di permukaan air”.
Tentu saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R. Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Lebih lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal ataupun indera.
b)   Karakter Ontologis Aliran ‘Irfani
Dalam komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti Mulla Shadra.
Ibn ‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata, “wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)   Karakter Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran ‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan.
Dengan konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat ‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3.       Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

1.      Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
2.      Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3.      Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhansehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
  Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.



























DAFTAR PUSTAKA

Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto, Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.



[1]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
[2]Edi Susanto, Filsafat Islam, (Stain Pamekasan_press, 2009), hlm. 55-62
[3]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.









MAKALAH
FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I



Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
HOLIFATUS SYAMSIYAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016























KATA PENGANTAR
            Segala puji syukur kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami kuasai.
            Sholawat beserta salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti sekarang ini.
            Kami juga ucapkan terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
            Dan tak lupa pula kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu, apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.


Pamekasan, 11 Mei  2016

                                                                                                Penulis


 

















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan masalah............................................................................... 1      
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.     Karakteristik-karakteristik aliran irfani........................................... 3
C.     Konsep Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN ............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
 

















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat.  Ontologi atau teori  hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat islam terdapat empat aliran. Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga, Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah). Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani). Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada penalaran rasional.
Tetapi dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat, sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.      Apa saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.      Bagaimana konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.      Untuk mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.      Untuk mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.         
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan  berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.      Karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
a)   Karakteristik Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb). Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini, akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu “menyentuh” realitas sejati.
Dalam konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak, anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit bukan di permukaan air”.
Tentu saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R. Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Lebih lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal ataupun indera.
b)   Karakter Ontologis Aliran ‘Irfani
Dalam komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti Mulla Shadra.
Ibn ‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata, “wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)   Karakter Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran ‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan.
Dengan konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat ‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3.       Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

1.      Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
2.      Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3.      Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhansehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
  Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.



























DAFTAR PUSTAKA

Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto, Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.



[1]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
[2]Edi Susanto, Filsafat Islam, (Stain Pamekasan_press, 2009), hlm. 55-62
[3]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.








 

MAKALAH
FILSAFAT ISLAM ALIRAN ‘IRFANI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu:
Bapak Suwantoro, M.Pd.I



Disusun Oleh kelompok 1:
IKIWATI
IKSAN TOHIR
HOLIFATUS SYAMSIYAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015-2016























KATA PENGANTAR
            Segala puji syukur kami haturkan kahadirat Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, makalah ini dapat terselasaikan walaupun di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan, yang disebabkan karena minim dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami kuasai.
            Sholawat beserta salam semoga senantiasa mengalir deras keharibaan Nabi Muhammad Saw, karena berkat perjuangan dan kesabaran beliau kita dapat tereleminasi dari jurang kebodohan menuju dataran keilmuan seperti apa yang kita rasakan seperti sekarang ini.
            Kami juga ucapkan terima kasih kepada dosen kami khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT ISLAM, yang telah banyak memberikan ilmunya dan bimbingan kepada kami. Sehingga dalam proses penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
            Dan tak lupa pula kepada para pembaca bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Karena itu, apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan atau sesuatu yang harus diperbaiki. Maka kami sebagai penulis mengharap sebuah kritik yang sifatnya membangun dan akan menjadi penulisan ini selanjutnya menjadi lebih baik.


Pamekasan, 11 Mei  2016

                                                                                                Penulis


 

















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar belakang................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan masalah............................................................................... 1      
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian filsafat islam aliran ‘irfani............................................. 2
B.     Karakteristik-karakteristik aliran irfani........................................... 3
C.     Konsep Filsafat Islam Aliran Irfani................................................ 5
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN ............................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 11
 

















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara mengenai Filsafat Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari bahasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ketiganya merupakan tiga cabang besar dari filsafat.  Ontologi atau teori  hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri. Membicarakan apa sebenarnya dari sesuatu. Epistemologi atau teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh suatu pengetahuan. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan. Sedangkan yang terakhir, Aksiologi atau teori nilai membicarakan apa manfaat atau guna dari pengetahuan yang sebelumnya telah kita ketahui hakikat dan cara memperolehnya.
Dalam filsafat islam terdapat empat aliran. Pertama, Peripatisme (Masysya’iyah), kedua, Iluminisme (Isyraqiyyah), ketiga, Teosofi (‘Irfaniyah), dan keempat filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah). Namun, pada materi kali ini akan menjelaskan tentang aliran Teosofi (‘Irfani). Aliran ‘Irfani atau tasawuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat karena dalam aktivitasnya tasawuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional, sedangkan filsafat sendiri dalam aktivitasnya beryumpu pada penalaran rasional.
Tetapi dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Ibn Khaldun menyatakan, naik ilmunkalam atau tasawuf pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan masalah-masalah filsafat, sehingga cukup sulit untuk dibedakan. Dua cabang ilmu yang bersifat naqliyah tersebut telah bergeser ke wilayah ‘aqaliyah.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani?
2.      Apa saja karakteristik-karakteristik Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
3.      Bagaimana konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani?
C.    TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat islam Aliran ‘Irfani
2.      Untuk mengetahui karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
3.      Untuk mengetahui konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filsafat Islam Aliran ‘Irfani
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui.Seakar pula dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.         
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir dan  berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
2.      Karakteristik-karakteristik Aliran ‘Irfani
a)   Karakteristik Metodologis (Epistemologis) Aliran ‘Irfani
Para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti itu dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb). Persepsi intuisi berbeda dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara” dalam mengenal objeknya.
Karena ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani ini, akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu “menyentuh” realitas sejati.
Dalam konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak, anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit bukan di permukaan air”.
Tentu saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan esensial antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R. Inilah pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang lebih mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Lebih lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu adalah paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori tentang cinta yang telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalamiya secara langsung. Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah yang lebih dapat diandalkan sebagai alat memperolrh pengetahuan, bukan akal ataupun indera.
b)   Karakter Ontologis Aliran ‘Irfani
Dalam komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan dapat dianggap sebagai wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti Mulla Shadra.
Ibn ‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud sejati tersebut yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah” dengan “gambar”wajah itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn ‘Arabi berkata, “wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan satu itu tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan itu Esa, tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki pelajaran yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita bisa belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama alam semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula kehadiran Tuhan di alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang kesejatian keberadaan Tuhan dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn ‘Arabi memberikan alegori yang jelas sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
Ø Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali melalui cermin. Tetapi, satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada diri kita bukan yang terpantul dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita yang terlihat adalah yang ada di cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita bahwa wajah yang di cerminlah yang sejati.
Ø Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata kepala kita, namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli kita yang tidak dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas yang hak, dalam arti ada secara sejati.
c)   Karakter Kosmologi Aliran ‘Irfani
Aliran ‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul kemudian oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkat manusia, yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan.
Dengan konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam, tetapi justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu sendiri. Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan kata lain Tuhan adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga pada sisi lain, Tuhan adalah transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip dasar dan syarat bagi keberadaan alam semesta, yang berbeda darinya.
Dengan sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran filsafat ‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam paham theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
3.       Konsep Filsafat Islam Aliran ‘Irfani

1.      Persiapan
Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
a. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
b. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya apakah sesuatu tersebut halal atau haram (subhât),
c. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia,
d. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
f. Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
g. Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
2.      Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.
3.      Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhansehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman;
Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.
Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf  tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan. Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahâttersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.
  Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik[3].



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara etimologis kata ‘irfani berasal dari bahasa arab adalah bentuk masdhar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (kebijakan) dan Ma’rifat (pengetahuan).
Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi maknanya dapat dilihat bahwasanya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian.
Karakteristik metodologis (epistemologis) Aliran ‘Irfani, para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman religius-religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang merupakan produk pengalaman intelektual. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada akal, pengenalan sufistik bertitik pada hati (intuisi/qalb).
Karakter ontologis Aliran ‘Irfani, dalam konteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan berbeda, tetapi sebagaimana telah kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran mereka yang sama. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd al-qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran Wahdat al-Wujudnya sedemikian berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof terkemuka pasca Ibn Rusyd.
Kararakter kosmologi Aliran ‘Irfani, berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang Wujud Sejati.
Konsep Aliran ‘Irfani ada tiga yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.Pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengatahuan seseorang harus menempuh jenjang-jenjang spiritual, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridha. Kedua, penerimaan, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara Iluminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. ketiga, pengungkapan, pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan termasuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak dapat dikomunikasikan maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.



























DAFTAR PUSTAKA

Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto, Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.



[1]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
[2]Edi Susanto, Filsafat Islam, (Stain Pamekasan_press, 2009), hlm. 55-62
[3]Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.