PERADILAN
PRA ISLAM DAN PERADILAN ISLAM MASA NABI
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Sejarah Peradilan Islam
Yang Dibimbing Oleh Ibu Siti Musawwamah
Disusun Oleh:
DIANA
MERYTASARI
PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH (AHS)
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PAMEKASAN
2016
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji
dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan baik. Selawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat Islam Nabi Muhammad
Saw, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah
memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan
rahmat dan karunia Allah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Sejarah
Peradilan Islam yang
berjudul “Peradilan Pra Islam dan Peradilan Islam Masa Nabi” guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah tersebut.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menerima masukan, koreksi dan saran yang dapat digunakan untuk
perbaikan di masa mendatang.
Akhirnya, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit
ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah
ada sebelumnya. Amin.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Pamekasan,
16 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan................................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana Peradilan Pra Islam ......................................................... 2
B.
Bagaimana Peradilan Islam
Masa Nabi.............................................. 4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 12
B. Saran.................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
Haruslah kita ketahui
walaupun agak sedikit keadaan bangsa Arab sebelum datang agama Islam, karena
bangsa Arablah bangsa yang mula-mula menerima agama Islam. Sebelum datang agama
Islam, mereka telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan
peraturan-peraturan hidup. Agama baru ini pun datang membawa akhlak,
hukum-hukum dan peraturan-peraturan hidup.
Jadinya agama baru ini
datang kepada bangsa yang bukan bangsa baru. Maka bertemulah agama Islam dengan
agama-agama jahiliah, peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan
bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian terjadilah pertarungan yang banyak memakan
waktu. Pertarungan-pertarungan ini baru dapat kita dalami, kalau pada kita
telah ada pengetahuan dan pengalaman sekedarnya, tentang kehidupan bangsa Arab,
sebelum datangnya agama Islam.
Cara semacam ini perlu juga
kita pakai, bilamana kita hendak memperkatakan masuknya agama Islam ke
Indonesia, Mesir atau Siria. Kita harus mengetahui sekedarnya keadaan negeri-negeri
ini sebelum datangnya agama Islam, karena pengetahuan kita tentang hal itu akan
menolong kita untuk mengenal dengan jelas, betapa caranya masing-masing negeri
ini menyambut kedatangan agama Islam.
b.
Rumusan masalah
1. Bagaimana Peradilan Pra Islam?
2. Bagaimana Peradilan Islam Masa Nabi?
c.
Tujuan
1. Untuk mengetahui Peradilan Pra Islam
2. Untuk mengetahui Peradilan Islam Masa Nabi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peradilan Pra Islam
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab
memiliki kebaikan alamiah tertentu yang membuat mereka menonjol di dunia, yaitu
mereka menganggap kebebasan dan kehormatan berada di atas segalanya. Mereka
juga rajin, berani, sopan, lugu, kuat ingatannya, bersahabat, jujur, tabah,
tegas, setia, dan dapat dipercaya. Akan tetapi, mereka juga, mempunyai sifat
buruk, yaitu merendahkan derajat wanita, dan mengubur anak perempuan hidup-hidup karena adanya rasa takut ilusi
kemiskinan dan rasa malu yang sangat membebani mereka, suka merampok, berjudi,
dan gemar minum arak. Kehidupan bersuku-suku pun selalu bermusuhan hanya karena
hal-hal sepele di antara mereka.[1]
a. Kondisi Sosial Jazirah Arab Pra-Islam
Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat
persegi panjang (bujur sangkar) yang berakhir di Asia Selatan. Arab dikelilingi
berbagai Negara dengan batas sebelah utara Syria, sebelah timur Nejd, sebelah
selatan Yaman, dan sebelah barat laut Efrit. Letaknya berada di semenanjung
Asia bagian barat daya, dan luasnya paling besar di dunia, yaitu kira-kira
1.027.000 mil.
Bangsa Arab kuno terbagi menjadi dua, yaitu
masyarakat kota dan masyarakat padang pasir. Ahmad Hasrori dalam kitabnya Tarikh Al-Fiqh Al-Islami menyebutkan
bahwa penduduk Arab kuno (padang pasir) adalah penduduk fakir miskin yang hidup
di desa terpencil. Mereka senang berperang, membunuh dan kehidupannya
bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan berpegang teguh pada aturan
suku atau kabilah. Adapun penduduk kota adalah penduduk yang senang melakukan
perdagangan dengan sibuk dan senang bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada
aturan suku atau kabilah.[2]
b. Sejarah Peradilan Pra Islam
Peradilan telah dikenal sejak masa silam karena adanya dorongan
kebutuhan akan kemakmuran dalam hidup dan keadilan. Oleh karena itu, peradilan
telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak ada suatu pemerintahan pun di
dunia ini, apapun bentuknya, dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan, karena
tidak mungkin manusia dapat menghindari persengketaan. Oleh karena itu,
peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya.
Peradilan dibutuhkan dalam hidup
bermasyarakat karena setiap kehidupan manusia pada setiap masa selalu
membutuhkan peraturan. Undang-undang dibutuhkan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat. Sekalipun demikian, manusia terkadang berselisih tentang makna
rumusan undang-undang dan penerapan rumusan undang-undang terhadap kasus yang
terjadi, baik yang berkaitan dengan makna undang-undang maupun segi lain.
Bahkan, ada yang secara terang terangan menentang rumusan undang-undang atau
memungkirinya. Disinilah peradilan berperan menentukan makna undang-undang
secara sempurna.[3]
c. Sistem Peradilan Bangsa Arab Pra Islam
Bangsa Arab Pra-Islam telah memiliki qadhi untuk menyelasaikan segala permasalahan, tetapi belum
memiliki bentuk ataupun system peradilan yang mapan. Hal ini dikarenakan pada
saat itu di Jazirah Arab tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa)
ataupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak memiliki
undang-undang atau hukum tertentu yang dapat dijadikan referensi dalam
menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi diantara
mereka. Tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masing-masing kabilah menjadi
pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa
dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam menjadi jalan keluar dari kasus-kasus
pidana, terutama yang berkaitan dengan pidana kematian jiwa sering menyebabkan
semakin runcingnya sebuah persoalan dan memperpanjang suatu kasus. Hal ini
diperkuat dengan kenyataan bahwa setiap suku memiliki kecendrungan fanatisme
dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku,
terutama berasal dari kalangan bangsawan.[4]
Dalam kondisi demikian, mereka menyelesaikan
masalah dengan mendatangi “dukun” (kahin)
dan tukang ramal (‘arraf), yang
diyakini memiliki kelebihan pengetahuan tentang rahasia-rahasia gaib, baik
melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin
maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Dukun yang dikenal saat itu ialah
Rabi’ ibn Rabi’ah ibn Al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Satih Al-Kahin.
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga
cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu
atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka.
Suku Quraisy pernah memilih beberapa tokoh sebagai hakim (arbitrator), misalnya
dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal
suku Quraisy, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani ‘Adi dalam perselisihan
yang melibatkan Quraisy dengan suku-suku di luar mereka.
Tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal
sebagai arbitrator antara lain ‘Abd Al-Mutallib, Zuhair ibn Abu Sulma, Aktsam
ibn Sayfi, Hajib ibn Zirarah, Qus ibn Sa’idah Al-Iyadi, ‘Amir ibn Al-Dharib
Al-‘Udwani, serta Ummayah ibn Abu Salt, dan lain-lain. Dari kalangan perempuan
juga terdapat nama ‘Amrah binti Zurayb. Bahkan, Nabi Muhammad SAW. Pun sebelum
masa kerasulannya, pernah diminta untuk menjadi arbitrator kaum Quraisy ketika
berselisih dalam menetukan kaum yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad
saat penyelesaian akhir pembangunan Kabah. Akan tetapi, eksistensi dan otoritas
para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan
“orang-orang bijak” atau arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya
mengikat karena mereka tidak mempunyai instrument untuk mengeksekusi
keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk
datang kepada para arbitrator ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus
tunduk atau menerima keputusan mereka. Keputusan yang diambil para arbitrator
hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif atau tradisi mereka, bukan
didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.[5]
Karena alasan-alasan inilah, arbitrasi
pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara
faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraisy
membentuk mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudhul. Kesepakatan hilf al-fudhul dibuat dengan tujuan
untuk mencegah perlakuan tidak adil dan perbuatan aniaya kepada siapa pun, baik
orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing, serta
melindung hak-hak yang terampas. Sebelum kerasulannya, pada usia 25 tahun Nabi
Muhammad SAW. Ikut hadir dir umah ‘Abdullah ibn Jad’an ketika kesepakatan hilf al-fudhul tersebut dibentuk.
Beberapa waktu kemudian, setelah kenabiannya, Rasulullah SAW. Menyatakan bahwa
seandainya diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudhul) pada masa Islam, beliau akan mendatanginya juga.[6]
B.
Peradilan Islam Masa Nabi
Penetapan hukum pada periode Rasulullah SAW. Berlangsung
22 tahun 2 bulan 22 hari. Periode ini telah mewariskan nas-nas hukum dalam
Al-Qur’an dan sunah Rasul, mewariskan sejumlah asas-asas penetapan hukum yang
menyeluruh serta memberi petunjuk kepada sejumlah sunber dan dalil-dalil untuk
menentukan hukum. Periode ini telah meninggalkan asas-asas penetapan hukum yang
sempurna.
Periode Rasulullah Saw. Terdiri atas dua fase yang
masing-masing mempunyai corak dan karakteristik tersendiri. Fase Makkiyah ialah
sejak Rasulullah Saw. Masih menetap di Mekah selama 12 tahun beberapa bulan,
sejak Nabi Muhammad dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase
ini umat Islam masih terisolir, sedikit kuantitas dan kapasitasnya masih lemah,
belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga pemerintahan yang
kuat. Perhatian Rasullah Saw. Pada fase ini dicurahkan kepada aktivitas
penyebaran dakwah untuk proyek penamaan tauhid kepada Allah swt. Dan meninggalkan
praktek-praktek penyembahan berhala. Rasulullah Saw. Tetap berusaha mewaspadai
orang-orang yang selalu berusaha menghalangi jalan dakwahnya dan memperdaya
orang-orang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi
seperti itu, maka fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang-undangan,
tata pemerintahan dan lain-lain. Pada surah-surah Makkiyah seperti surah Yunus,
al-Ra’d, al-Furqan, Yasin dan lain-lain. Tidak terdapat ayat-ayat yang membahas
tentang hukum-hukum aktual (amaliah), akan tetapi justru banyak membahas
seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah.
Fase Madaniyah ialah sejak Rasulullah Saw. Hijrah dari
Mekah ke Madinah hingga wafat tahun 11 H/632 M. pada fase ini Islam sudah kuat,
kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan
sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.[7]
Keadaan seperti inilah yang mendorong perlu adanya
tasyri’ dan pembentukan perundand-undangan yang mengatur perhubungan antara
individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, mengatur perhubungan atau kontak
komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non muslim, baik di masa atau
di masa perang. Di Madinah disyriatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan,
perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain.
Dengan demikian pada surah-surah Madaniyah di dalam Al Qur’an banyak memuat
ayat-ayat pembahasan hukum.
Keberadaan
Rasulullah saw. sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari
konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu
kekuasaan legislatif (sultah tasyri’iyah),
kekuasaan eksekutif (sultah tanfiziyah)
dan kekuasaan yudikatif (sultah qadaiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima
sekaligus penyampai wahyu dari Allah swt., Rasulullah saw. merupakan
satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan, bahkan segala perbuatan dan
ucapa Rasulullah saw. juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus
ditaati sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah saw. dapat dilihat dari
pelaksanaan Rasulullah dalam menegakkan hukum-hukum Allah swt. dari berbagai
aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun
kekuasaan yudikatif Rasulullah saw. diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
pemeliharaan hak-hak masyarakat yang terkadang mengalami perselisihan atau
persengketaan. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan
sistem sebuah masyarakat dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara
keseluruhan. Penyatuan tiga kekuasaan sekaligus di tangan seorang Rasulullah
saw. ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
karena jaminan kema’suman Rasulullah saw. (terjaga dari dosa) sekaligus sebagai
teladan bagi umat. Sementara itu, piagam Madinah (al-Misaq al-Madani) sebagai
undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah
saw. di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial politik
masyarakat di Madinah dimana salah satu pasalnya menegaskan kewajiban
unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan muslim untuk
saling bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum di Madinah.
Teks
piagam Madinah disebutkan bahwa masing-masing orang mukmin bertanggung jawab
atas kejahatan yang terjadi di sekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh
anaknya sendiri. Adapun jika terjadi perselisihan dan persengketaan maka
otoritas legislasi dan yuridiksi berada di tangan Allah swt. dan Rasul-Nya.[8]
A. Kewenangan/Kompetensi
Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Otoritas yuridiksi yang
hanya dimiliki oleh Rasululah saw. ini sangat tegas ditekankan dalam Q.S.
al-Nisa’/4: 65. Terjemahnya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[9]
B. Kitab
Pedoman Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Sumber hukum peradilan pada
masa Rasulullah saw. hanya dua yaitu al-Qur’an dan ijtihad Rasulullah saw.
sendiri. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum
karena terjadi perselisihan, ada peristiwa, ada pertanyaan atau permintaan
fatwa, maka Allah swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw. satu atau
beberapa ayat al-Qur’an untuk menjawabnya kemudian Rasulullah saw. menyampaikan
wahyu tersebut kepada umat Islam dan wahyu inilah yang menjadi hukum atau
undang-undang yang wajib diikuti.
Bila terjadi suatu masalah
yang memerlukan ketetapan hukum, sedang Allah swt. tidak menurunkan wahyu
tentang hal tersebut, maka Rasulullah saw. berijtihad untuk menetapkan hukum
suatu masalah atau menjawab pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum.
Hasil ijtihad Rasulullah saw. ini menjadi hukum atau undang-undang yang wajib
diikuti. Sabda Rasulullah saw.:
عن عبد الله بن رافع قال : سمعت أم سلمة عن
النبي صلى الله عليه وسلم بهذا الحديث قال : يختصمان في موا ريث وأشيا ء قد درست
قال : إني (إنما) أقضى بينكم برأيي فيما لكم ينزل علي فيه (رواه أبو داود)
Artinya Dari Abdullah bin Rafi berkata: saya
telah mendengar Ummu Salamah dari Nabi saw. dengan hadis ini dan berkata: kami
perhadapkan kepada Rasulullah perkara kewarisan dan berkata: sesungguhnya aku
telah memutuskan perkara diantara kamu dengan pendapat (analisis)ku sendiri
terhadap apa yang belum diturunkan (diwahyukan)kepadaku.
Setiap hukum yang
ditetapkan Rasulullah saw. sumbernya adalah wahyu atau ijtihad Rasulullah saw.
Pembentukan hukum itu ditetapkan sesuai kebutuhan dan Rasulullah saw. bertugas
menyampaikan dan menjelaskan sehubungan apa yang telah disyariatkan oleh
al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama. Adapun yang berasal dari sumber kedua,
yaitu ijtihad Rasulullah saw. berijtihad, Allah swt. mengilhamkan kepada
Rasulullah tentang ketetapan hukumnya. Terkadang pula ijtihad Rasulullah saw.
itu sebagai upaya penggalian hukum yang berdasarkan pada pertimbangan
kemaslahatan serta jiwa perundang-undangan. Hukum-hukum yang bersifat
ijtihadiyah tersebut sebagai pengilhaman Allah swt. kepada Rasulullah.
Rasulullah saw. tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan hanya
pengungkapan saja baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah atau
fi’liyah).
Hukum-hukum yang bersifat
ijtihadiyah yang bukan hasil pengilhaman Allah swt. kepadanya, melainkan
semata-mata timbul dari hasil daya analisis dan daya nalar pemikiran Rasulullah
saw. yang disebut ahkam nabawi (hukum-hukum Nabawi) dan Allah swt. tidak
menetapkan hal ini kecuali kalau memang benar adanya. Adapun kalau Rasulullah
saw. belum mendapat petunjuk tentang kebenarannya, Allah swt. akan memberi
petunjuk ke arah jalan kebenaran.
C. Alat
Bukti Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah saw.
mensyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara kedua belah pihak yang
saling mengklaim kebenaran, keputusan tidak boleh diambil setelah qad’i (hakim) mendengarkan keterangan
dari kedua belah pihak. Dalam konteks ini Rasulullah saw. juga megharuskan
adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan.
Pembuktian-pembuktian di zaman Rasulullah saw. ialah bayyinah (fakta
kebenaran), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat dan qur’ah (undian).[10]
D. Sumber Hukum Peradilan Islam Pada Masa
Rasulullah SAW
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi
SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan
yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang
merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam
al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang
perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS.
Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad
belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit
dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak
yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai.
Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman
ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan
putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi
SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ
عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan
pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[11]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya
tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi
sebagai penyampai tashrī``
dari Allah atau sebagai musharri`.
Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal.
Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan
perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang
tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau
engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab:
“Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak
pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak
terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada
Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa
yang diridlainya.”[12]
E. Tingkatan
Pengadilan/Putusan Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Diriwayatkan ketika Ali dihadapkan pada suatu kasus, lalu
ia (Ali) berkata:
اقضى
بينكم فإن رضيتم فهوالقضاء، وإلا حجزت بعضكم عن بعض حتى تأتوارسول الله ليقضي
بينكم، فلما قضى بينهم أبوا أن يتراضوا وأتواالرسول أيام الحج، وهوعند مقا م
إبراهيم، وقصوا عليه ما حدث، فأجازقضاءعليوقال: هو ماقضى بينكم.
Artinya: Aku akan putuskan hukum di antara kamu, kemudian kalau kamu telah menerima (keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau menerimanya maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain (berbuat sesuatu), sampai kamu menghadap (sendiri) kepada Rasulullah saw. agar ia memutus di antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka itu dan mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya dan pergilah mereka menghadap Rasul saw. pada musim haji sedang Rasul berada di maqam Ibrahim dan berceritalah mereka kepada Rasul saw. tentang apa yang telah terjadi. Kemudian Rasul saw. membenarkan keputusan Ali dan bersabda: ikutilah apa yang ia (Ali) telah putuskan di antara kamu.
Kejadian tersebut
menunjukkan bahwa di masa Rasulullah saw. telah dikenal adanya peninjauan
kembali suatu keputusan hukum yang telah dijatuhkan karena kejadian tersebut
menggambarkan semacam adanya keputusan dari pengadilan tingkat pertama di
hadapan pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditinjau kembali perkara
tersebut, kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, dikukuhkan
atau diganti dengan keputusan baru.[13]
F.
Perangkat-perangkat Lain
Dalam Sistem Peradilan Islam Masa Rasulullah SAW
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah
system yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga
mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.
Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum)
dikenal pula istilahHisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan
sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai
ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam
perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya
disebut dengan muhtasib)
yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak
istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang
mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki
akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah
senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu
ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai
kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian
menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah,
peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di
zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap
hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi
pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri
dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah
hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti
kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan
tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan
konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam
sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu
Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi
terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan
segera mengoreksinya.[14]
G.
Badan-badan Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Sejak awal Islam peradilan
merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrase
juga mencakup hal-hal atau lembaga lain yang saling mendukung satu sama lain.
Dalam diskursus yurisprudensi Islam berkembang selain istilah qada (peradilan
secara umum) dikenal pula istilah hisbah dan mazalim. H}isbah didefinisikan
sebagai memerintahkan hal-hal yang baik ketika telah mulai ditinggalkan dan
mencegah kemungkaran. Dalam perkembangan sistem peradilan Islam, hisbah menjadi
sebuah lembaga (petugasnya disebut muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran
dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan
mencari pelaku kemungkaran. Menurut historis akar konsep lembaga ini sudah ada
pada zaman Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan Rasulullah saw. senantiasa
memeriksa kondisi berbagai sisi hidup umatnya, ketika Rasulullah saw. melakukan
inspeksi di pasar, Rasulullah saw. menemukan kecurangan seorang pedagang dan
kemudian menegurnya. Pengadilan h}isbah ini mulai menjadi lembaga pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani
Umayyah.
Peradilan mazalim juga
memiliki akar sejarah di zaman Rasulullah saw. Mazalim merupakan institusi
pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seorang penguasa yang dalam
penyelesaiannya sulit diputuskan oleh pengadilan biasa. Pengadilan ini
menyelesaikan perkara suap dan tindak pidana korupsi. Orang yang menangani
kasus tersebut dinamakan wali al-maz’ alim. Adapun syarat mutlak menjadi hakim
di pengadilan ini adalah keberanian serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak
sanggup dilakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang berperkara.
Dalam pelaksanaanya, bentuk pengadilan seperti ini sudah dipraktekkan oleh
Rasulullah saw., namun pembentukan lembaga secara khusus baru didirikan pada
masa pemerintahan Bani Umayyah, terutama pada masa Abdul Malik bin Marwan.
Menurut al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Walayah
al-Diniyah, Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang menjalankan dan mendirikan
lembaga pengadilan al-mazalim dalam pemerintahannya yang kemudian dilanjutkan
pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Rasulullah saw.
mencontohkan sendiri pembelaan mazalim untuk umatnya atas dirinya dengan
mempersilahkan mengambil harta Rasulullah saw. bagi orang yang pernah hartanya
diambil Rasulullah saw.[15]
H.
Proses Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Proses peradilan pada masa
rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana. Jika ada suatu permasalahan maka
segera datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta putusan tanpa harus menunggu
waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari
putusan-putusan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. lebih bersifat fatwa dengan
model tanya jawab dibandingkan dengan proses pengadilan yang dipahami saat ini.
Meskipun pelaksanaan
peradilan pada zaman Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi rukun-rukun
al-Qada telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih (tergugat),
al-mahkum ‘alaih dan al-mahkum lah (penggugat). Kebanyakan kasus-kasus yang
diselesaikan Rasulullah saw. bersifat ad
hoc dan diselesaikan secara informal di dalam suatu acara yang bersifat ad hoc juga. Meskipun pelaksanaan
peradilan pada masa Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi putusan-putusan
Rasulullah saw. mengandung nilai kebenaran sehingga putusan itu sangat
dihormati oleh semua pihak yang berperkara. Kesederhanaan peradilan pada masa
Rasulullah saw. terlihat karena belum adanya gedung peradilan tersendiri, belum
adanya administrasi yang memadai dan belum banyak kasus yang muncul untuk
diselesaikan.
Proses persidangan pada
masa Rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana tapi tetap menjunjung tinggi
nilai keadilan. Rasulullah saw berpesan kepada Ali r.a agar tidak tergesa-gesa
memutuskan hukum sebelum mendengar pembicaraan (keterangan) kedua belah pihak.
I.
Syarat-syarat Hakim Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah
SAW
Pendelegasian tugas
yudikatif dilaksanakan dalam tiga bentuk, pertama; Rasulullah saw. mengutus
sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang
bertindak sebagai hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat.
Kedua; Rasulullah saw. menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna
menyelesaikan masalah tertentu, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas
perkara tertentu saja. Ketiga; Rasulullah saw. terkadang menugaskan seorang
sahabat dengan didampingi sahabat yang lain untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu
dalam suatu daerah.
Sebelum penugasan diberikan,
Rasulullah saw. terlebih dahulu menguji atau lazim dikenal fit and proper test
(uji kepatutan dan kelayakan) kepada sahabat yang ditugaskan. Ini digambarkan
ketika Rasulullah saw. menanyakan kepada Mu’az bin Jabal perihal sikapnya dalam
menyelesaikan perkara. Rasulullah saw. pun sangat selektif dalam memilih
sahabat untuk diangkat menjadi hakim hanya yang berkualitas dan
berkredibilitaslah yang terpilih.[16]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Peradilan telah dikenal sejak masa silam karena adanya
dorongan kebutuhan akan kemakmuran dalam hidup dan keadilan. Oleh karena itu,
peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak ada suatu
pemerintahan pun di dunia ini, apapun bentuknya, dapat berdiri tanpa menegakkan
peradilan, karena tidak mungkin manusia dapat menghindari persengketaan. Oleh
karena itu, peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat
kemajuannya.
Bangsa Arab Pra-Islam telah memiliki qadhi untuk menyelasaikan segala permasalahan, tetapi belum
memiliki bentuk ataupun system peradilan yang mapan. Hal ini dikarenakan pada
saat itu di Jazirah Arab tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa)
ataupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak memiliki
undang-undang atau hukum tertentu yang dapat dijadikan referensi dalam
menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi diantara
mereka.
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian
masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator
yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Suku Quraisy
pernah memilih beberapa tokoh sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan
menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku
Quraisy, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani ‘Adi dalam perselisihan yang
melibatkan Quraisy dengan suku-suku di luar mereka.
Peradilan pada zaman
Rasulullah saw. merupakan fase penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat
Rasulullah saw. merupakan pemegang otoritas yuridiksi satu-satunya. Meskipun
Rasulullah saw juga pernah mendelegasikan tugas-tugas yuridiksi tersebut kepada
beberapa orang sahabat secara terbatas.
Sumber hukum yang menjadi
referensi utama bagi pemegang otoritas yuridiksi adalah wahyu baik berupa
al-Qur’an maupun sunnah secara ijtihad.
Proses peradilan pada zaman
Rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun
justru mementingkan substansi daripada prosesi.
Sistem peradilan saat ini memberikan
pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan Islam yang
mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan maz
a’lim.
b.
Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada hal-hal yang
kurang tepat, baik dari penulisan, susunan kalimat, maupun isi, kami harap
untuk diberikan koreksi kepada kami demi kabaikan makalah selanjutnya.
[1] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 1-2
[3] Ibid, hlm. 2-3
[4] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), hlm. 3
[5] Ibid, hlm. 3-4
[6] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), hlm. 4-5
[7] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal
16 oktober 2016
[8] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
[9] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
[10] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
[11] https://akademiislam.wordpress.com/2009/07/13/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi-saw/ diakses tanggal 16 oktober 2016
[12] https://akademiislam.wordpress.com/2009/07/13/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi-saw/ diakses tanggal 16 oktober 2016
[13] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
[14] https://akademiislam.wordpress.com/2009/07/13/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi-saw/ diakses tanggal 16 oktober 2016
[15] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
[16] http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM, Bandung: Pustaka Setia, 2015
https://akademiislam.wordpress.com/2009/07/13/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi-saw/ diakses tanggal 16 oktober 2016
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-Rasulullah-SAW.html diakses tanggal 16 oktober 2016