Tuesday, 18 October 2016

PERADILAN PRA ISLAM DAN PERADILAN ISLAM MASA NABI-PERADILAN PRA ISLAM DAN PERADILAN ISLAM MASA NABI


PERADILAN PRA ISLAM DAN PERADILAN ISLAM MASA NABI

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Sejarah Peradilan Islam
Yang Dibimbing Oleh Ibu Siti Musawwamah











Disusun Oleh:

DIANA MERYTASARI





PRODI  AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH (AHS)
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PAMEKASAN
2016

 

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan baik. Selawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat Islam Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Sejarah Peradilan Islam yang berjudul “Peradilan Pra Islam dan Peradilan Islam Masa Nabi” guna untuk memenuhi tugas pada mata kuliah tersebut.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima masukan, koreksi dan saran yang dapat digunakan untuk perbaikan di masa mendatang.
Akhirnya, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Pamekasan, 16 Oktober  2016


Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB    I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.     Tujuan................................................................................................ 1

BAB   II    PEMBAHASAN
A.    Bagaimana Peradilan Pra Islam ......................................................... 2
B.     Bagaimana Peradilan Islam Masa Nabi.............................................. 4

BAB  III   PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................ 12
B.     Saran.................................................................................................. 12








BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar belakang
Haruslah kita ketahui walaupun agak sedikit keadaan bangsa Arab sebelum datang agama Islam, karena bangsa Arablah bangsa yang mula-mula menerima agama Islam. Sebelum datang agama Islam, mereka telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Agama baru ini pun datang membawa akhlak, hukum-hukum dan peraturan-peraturan hidup.
Jadinya agama baru ini datang kepada bangsa yang bukan bangsa baru. Maka bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah, peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian terjadilah pertarungan yang banyak memakan waktu. Pertarungan-pertarungan ini baru dapat kita dalami, kalau pada kita telah ada pengetahuan dan pengalaman sekedarnya, tentang kehidupan bangsa Arab, sebelum datangnya agama Islam.
Cara semacam ini perlu juga kita pakai, bilamana kita hendak memperkatakan masuknya agama Islam ke Indonesia, Mesir atau Siria. Kita harus mengetahui sekedarnya keadaan negeri-negeri ini sebelum datangnya agama Islam, karena pengetahuan kita tentang hal itu akan menolong kita untuk mengenal dengan jelas, betapa caranya masing-masing negeri ini menyambut kedatangan agama Islam.

b.      Rumusan masalah
1.      Bagaimana Peradilan Pra Islam?
2.      Bagaimana Peradilan Islam Masa Nabi?

c.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui Peradilan Pra Islam
2.      Untuk mengetahui Peradilan Islam Masa Nabi



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Peradilan Pra Islam
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab memiliki kebaikan alamiah tertentu yang membuat mereka menonjol di dunia, yaitu mereka menganggap kebebasan dan kehormatan berada di atas segalanya. Mereka juga rajin, berani, sopan, lugu, kuat ingatannya, bersahabat, jujur, tabah, tegas, setia, dan dapat dipercaya. Akan tetapi, mereka juga, mempunyai sifat buruk, yaitu merendahkan derajat wanita, dan mengubur anak perempuan  hidup-hidup karena adanya rasa takut ilusi kemiskinan dan rasa malu yang sangat membebani mereka, suka merampok, berjudi, dan gemar minum arak. Kehidupan bersuku-suku pun selalu bermusuhan hanya karena hal-hal sepele di antara mereka.[1]
a.       Kondisi Sosial Jazirah Arab Pra-Islam
Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang (bujur sangkar) yang berakhir di Asia Selatan. Arab dikelilingi berbagai Negara dengan batas sebelah utara Syria, sebelah timur Nejd, sebelah selatan Yaman, dan sebelah barat laut Efrit. Letaknya berada di semenanjung Asia bagian barat daya, dan luasnya paling besar di dunia, yaitu kira-kira 1.027.000 mil.
      Bangsa Arab kuno terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat kota dan masyarakat padang pasir. Ahmad Hasrori dalam kitabnya Tarikh Al-Fiqh Al-Islami menyebutkan bahwa penduduk Arab kuno (padang pasir) adalah penduduk fakir miskin yang hidup di desa terpencil. Mereka senang berperang, membunuh dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan berpegang teguh pada aturan suku atau kabilah. Adapun penduduk kota adalah penduduk yang senang melakukan perdagangan dengan sibuk dan senang bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada aturan suku atau kabilah.[2]
b.      Sejarah Peradilan Pra Islam
Peradilan telah dikenal sejak masa silam karena adanya dorongan kebutuhan akan kemakmuran dalam hidup dan keadilan. Oleh karena itu, peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak ada suatu pemerintahan pun di dunia ini, apapun bentuknya, dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan, karena tidak mungkin manusia dapat menghindari persengketaan. Oleh karena itu, peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya.
      Peradilan dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat karena setiap kehidupan manusia pada setiap masa selalu membutuhkan peraturan. Undang-undang dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Sekalipun demikian, manusia terkadang berselisih tentang makna rumusan undang-undang dan penerapan rumusan undang-undang terhadap kasus yang terjadi, baik yang berkaitan dengan makna undang-undang maupun segi lain. Bahkan, ada yang secara terang terangan menentang rumusan undang-undang atau memungkirinya. Disinilah peradilan berperan menentukan makna undang-undang secara sempurna.[3]
c.       Sistem Peradilan Bangsa Arab Pra Islam
Bangsa Arab Pra-Islam telah memiliki qadhi untuk menyelasaikan segala permasalahan, tetapi belum memiliki bentuk ataupun system peradilan yang mapan. Hal ini dikarenakan pada saat itu di Jazirah Arab tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) ataupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak memiliki undang-undang atau hukum tertentu yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masing-masing kabilah menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama yang berkaitan dengan pidana kematian jiwa sering menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan memperpanjang suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa setiap suku memiliki kecendrungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama berasal dari kalangan bangsawan.[4]
      Dalam kondisi demikian, mereka menyelesaikan masalah dengan mendatangi “dukun” (kahin) dan tukang ramal (‘arraf), yang diyakini memiliki kelebihan pengetahuan tentang rahasia-rahasia gaib, baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Dukun yang dikenal saat itu ialah Rabi’ ibn Rabi’ah ibn Al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Satih Al-Kahin.
      Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Suku Quraisy pernah memilih beberapa tokoh sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraisy, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani ‘Adi dalam perselisihan yang melibatkan Quraisy dengan suku-suku di luar mereka.
      Tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain ‘Abd Al-Mutallib, Zuhair ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Sayfi, Hajib ibn Zirarah, Qus ibn Sa’idah Al-Iyadi, ‘Amir ibn Al-Dharib Al-‘Udwani, serta Ummayah ibn Abu Salt, dan lain-lain. Dari kalangan perempuan juga terdapat nama ‘Amrah binti Zurayb. Bahkan, Nabi Muhammad SAW. Pun sebelum masa kerasulannya, pernah diminta untuk menjadi arbitrator kaum Quraisy ketika berselisih dalam menetukan kaum yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad saat penyelesaian akhir pembangunan Kabah. Akan tetapi, eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka tidak mempunyai instrument untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitrator ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Keputusan yang diambil para arbitrator hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif atau tradisi mereka, bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.[5]
      Karena alasan-alasan inilah, arbitrasi pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraisy membentuk mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudhul. Kesepakatan hilf al-fudhul dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan perbuatan aniaya kepada siapa pun, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing, serta melindung hak-hak yang terampas. Sebelum kerasulannya, pada usia 25 tahun Nabi Muhammad SAW. Ikut hadir dir umah ‘Abdullah ibn Jad’an ketika kesepakatan hilf al-fudhul tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian, setelah kenabiannya, Rasulullah SAW. Menyatakan bahwa seandainya diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudhul) pada masa Islam, beliau akan mendatanginya juga.[6]

B.     Peradilan Islam Masa Nabi
Penetapan hukum pada periode Rasulullah SAW. Berlangsung 22 tahun 2 bulan 22 hari. Periode ini telah mewariskan nas-nas hukum dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, mewariskan sejumlah asas-asas penetapan hukum yang menyeluruh serta memberi petunjuk kepada sejumlah sunber dan dalil-dalil untuk menentukan hukum. Periode ini telah meninggalkan asas-asas penetapan hukum yang sempurna.
Periode Rasulullah Saw. Terdiri atas dua fase yang masing-masing mempunyai corak dan karakteristik tersendiri. Fase Makkiyah ialah sejak Rasulullah Saw. Masih menetap di Mekah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak Nabi Muhammad dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini umat Islam masih terisolir, sedikit kuantitas dan kapasitasnya masih lemah, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga pemerintahan yang kuat. Perhatian Rasullah Saw. Pada fase ini dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah untuk proyek penamaan tauhid kepada Allah swt. Dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala. Rasulullah Saw. Tetap berusaha mewaspadai orang-orang yang selalu berusaha menghalangi jalan dakwahnya dan memperdaya orang-orang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, maka fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang-undangan, tata pemerintahan dan lain-lain. Pada surah-surah Makkiyah seperti surah Yunus, al-Ra’d, al-Furqan, Yasin dan lain-lain. Tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum-hukum aktual (amaliah), akan tetapi justru banyak membahas seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah.
Fase Madaniyah ialah sejak Rasulullah Saw. Hijrah dari Mekah ke Madinah hingga wafat tahun 11 H/632 M. pada fase ini Islam sudah kuat, kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.[7]
Keadaan seperti inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundand-undangan yang mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, mengatur perhubungan atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non muslim, baik di masa atau di masa perang. Di Madinah disyriatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian pada surah-surah Madaniyah di dalam Al Qur’an banyak memuat ayat-ayat pembahasan hukum.
Keberadaan Rasulullah saw. sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sultah tasyri’iyah), kekuasaan eksekutif (sultah tanfiziyah) dan kekuasaan yudikatif (sultah qadaiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah swt., Rasulullah saw. merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan, bahkan segala perbuatan dan ucapa Rasulullah saw. juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah saw. dapat dilihat dari pelaksanaan Rasulullah dalam menegakkan hukum-hukum Allah swt. dari berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. 
Adapun kekuasaan yudikatif Rasulullah saw. diperlukan untuk menegakkan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan. Penyatuan tiga kekuasaan sekaligus di tangan seorang Rasulullah saw. ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan kekuasaan karena jaminan kema’suman Rasulullah saw. (terjaga dari dosa) sekaligus sebagai teladan bagi umat. Sementara itu, piagam Madinah (al-Misaq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah saw. di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial politik masyarakat di Madinah dimana salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan muslim untuk saling bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum di Madinah.
Teks piagam Madinah disebutkan bahwa masing-masing orang mukmin bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi di sekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendiri. Adapun jika terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan yuridiksi berada di tangan Allah swt. dan Rasul-Nya.[8]
A.    Kewenangan/Kompetensi Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Otoritas yuridiksi yang hanya dimiliki oleh Rasululah saw. ini sangat tegas ditekankan dalam Q.S. al-Nisa’/4: 65. Terjemahnya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[9]

B.     Kitab Pedoman Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW 
Sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah saw. hanya dua yaitu al-Qur’an dan ijtihad Rasulullah saw. sendiri. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum karena terjadi perselisihan, ada peristiwa, ada pertanyaan atau permintaan fatwa, maka Allah swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw. satu atau beberapa ayat al-Qur’an untuk menjawabnya kemudian Rasulullah saw. menyampaikan wahyu tersebut kepada umat Islam dan wahyu inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.
Bila terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum, sedang Allah swt. tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah saw. berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah atau menjawab pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah saw. ini menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti. Sabda Rasulullah saw.: 
عن عبد الله بن رافع قال : سمعت أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلم بهذا الحديث قال : يختصمان في موا ريث وأشيا ء قد درست قال : إني (إنما) أقضى بينكم برأيي فيما لكم ينزل علي فيه (رواه أبو داود)

Artinya Dari Abdullah bin Rafi berkata: saya telah mendengar Ummu Salamah dari Nabi saw. dengan hadis ini dan berkata: kami perhadapkan kepada Rasulullah perkara kewarisan dan berkata: sesungguhnya aku telah memutuskan perkara diantara kamu dengan pendapat (analisis)ku sendiri terhadap apa yang belum diturunkan (diwahyukan)kepadaku.

Setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. sumbernya adalah wahyu atau ijtihad Rasulullah saw. Pembentukan hukum itu ditetapkan sesuai kebutuhan dan Rasulullah saw. bertugas menyampaikan dan menjelaskan sehubungan apa yang telah disyariatkan oleh al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama. Adapun yang berasal dari sumber kedua, yaitu ijtihad Rasulullah saw. berijtihad, Allah swt. mengilhamkan kepada Rasulullah tentang ketetapan hukumnya. Terkadang pula ijtihad Rasulullah saw. itu sebagai upaya penggalian hukum yang berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan serta jiwa perundang-undangan. Hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah tersebut sebagai pengilhaman Allah swt. kepada Rasulullah. Rasulullah saw. tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan hanya pengungkapan saja baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah atau fi’liyah).
Hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah yang bukan hasil pengilhaman Allah swt. kepadanya, melainkan semata-mata timbul dari hasil daya analisis dan daya nalar pemikiran Rasulullah saw. yang disebut ahkam nabawi (hukum-hukum Nabawi) dan Allah swt. tidak menetapkan hal ini kecuali kalau memang benar adanya. Adapun kalau Rasulullah saw. belum mendapat petunjuk tentang kebenarannya, Allah swt. akan memberi petunjuk ke arah jalan kebenaran.

C.    Alat Bukti Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah saw. mensyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara kedua belah pihak yang saling mengklaim kebenaran, keputusan tidak boleh diambil setelah qad’i (hakim) mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak. Dalam konteks ini Rasulullah saw. juga megharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Pembuktian-pembuktian di zaman Rasulullah saw. ialah bayyinah (fakta kebenaran), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat dan qur’ah (undian).[10]

D.    Sumber Hukum Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:

إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ

“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[11]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal.
Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”[12]

E.     Tingkatan Pengadilan/Putusan Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Diriwayatkan ketika Ali dihadapkan pada suatu kasus, lalu ia (Ali) berkata: 
اقضى بينكم فإن رضيتم فهوالقضاء، وإلا حجزت بعضكم عن بعض حتى تأتوارسول الله ليقضي بينكم، فلما قضى بينهم أبوا أن يتراضوا وأتواالرسول أيام الحج، وهوعند مقا م إبراهيم، وقصوا عليه ما حدث، فأجازقضاءعليوقال: هو ماقضى بينكم.

Artinya: Aku akan putuskan hukum di antara kamu, kemudian kalau kamu telah menerima (keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau menerimanya maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain (berbuat sesuatu), sampai kamu menghadap (sendiri) kepada Rasulullah saw. agar ia memutus di antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka itu dan mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya dan pergilah mereka menghadap Rasul saw. pada musim haji sedang Rasul berada di maqam Ibrahim dan berceritalah mereka kepada Rasul saw. tentang apa yang telah terjadi. Kemudian Rasul saw. membenarkan keputusan Ali dan bersabda: ikutilah apa yang ia (Ali) telah putuskan di antara kamu.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa di masa Rasulullah saw. telah dikenal adanya peninjauan kembali suatu keputusan hukum yang telah dijatuhkan karena kejadian tersebut menggambarkan semacam adanya keputusan dari pengadilan tingkat pertama di hadapan pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditinjau kembali perkara tersebut, kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, dikukuhkan atau diganti dengan keputusan baru.[13]

F.     Perangkat-perangkat Lain Dalam Sistem Peradilan Islam Masa Rasulullah SAW
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah system yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilahHisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.[14]

G.    Badan-badan Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Sejak awal Islam peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrase juga mencakup hal-hal atau lembaga lain yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus yurisprudensi Islam berkembang selain istilah qada (peradilan secara umum) dikenal pula istilah hisbah dan mazalim. H}isbah didefinisikan sebagai memerintahkan hal-hal yang baik ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah kemungkaran. Dalam perkembangan sistem peradilan Islam, hisbah menjadi sebuah lembaga (petugasnya disebut muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari pelaku kemungkaran. Menurut historis akar konsep lembaga ini sudah ada pada zaman Rasulullah saw. Sebagaimana diriwayatkan Rasulullah saw. senantiasa memeriksa kondisi berbagai sisi hidup umatnya, ketika Rasulullah saw. melakukan inspeksi di pasar, Rasulullah saw. menemukan kecurangan seorang pedagang dan kemudian menegurnya. Pengadilan h}isbah ini mulai menjadi lembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
Peradilan mazalim juga memiliki akar sejarah di zaman Rasulullah saw. Mazalim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seorang penguasa yang dalam penyelesaiannya sulit diputuskan oleh pengadilan biasa. Pengadilan ini menyelesaikan perkara suap dan tindak pidana korupsi. Orang yang menangani kasus tersebut dinamakan wali al-maz’ alim. Adapun syarat mutlak menjadi hakim di pengadilan ini adalah keberanian serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang berperkara. Dalam pelaksanaanya, bentuk pengadilan seperti ini sudah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., namun pembentukan lembaga secara khusus baru didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terutama pada masa Abdul Malik bin Marwan. Menurut al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Walayah al-Diniyah, Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang menjalankan dan mendirikan lembaga pengadilan al-mazalim dalam pemerintahannya yang kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Rasulullah saw. mencontohkan sendiri pembelaan mazalim untuk umatnya atas dirinya dengan mempersilahkan mengambil harta Rasulullah saw. bagi orang yang pernah hartanya diambil Rasulullah saw.[15]

H.    Proses Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Proses peradilan pada masa rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana. Jika ada suatu permasalahan maka segera datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. lebih bersifat fatwa dengan model tanya jawab dibandingkan dengan proses pengadilan yang dipahami saat ini.
Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi rukun-rukun al-Qada telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih (tergugat), al-mahkum ‘alaih dan al-mahkum lah (penggugat). Kebanyakan kasus-kasus yang diselesaikan Rasulullah saw. bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal di dalam suatu acara yang bersifat ad hoc juga. Meskipun pelaksanaan peradilan pada masa Rasulullah saw. terkesan tidak formal tetapi putusan-putusan Rasulullah saw. mengandung nilai kebenaran sehingga putusan itu sangat dihormati oleh semua pihak yang berperkara. Kesederhanaan peradilan pada masa Rasulullah saw. terlihat karena belum adanya gedung peradilan tersendiri, belum adanya administrasi yang memadai dan belum banyak kasus yang muncul untuk diselesaikan.
Proses persidangan pada masa Rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana tapi tetap menjunjung tinggi nilai keadilan. Rasulullah saw berpesan kepada Ali r.a agar tidak tergesa-gesa memutuskan hukum sebelum mendengar pembicaraan (keterangan) kedua belah pihak.

I.       Syarat-syarat Hakim Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW
Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga bentuk, pertama; Rasulullah saw. mengutus sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang bertindak sebagai hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua; Rasulullah saw. menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna menyelesaikan masalah tertentu, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas perkara tertentu saja. Ketiga; Rasulullah saw. terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi sahabat yang lain untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu dalam suatu daerah.
Sebelum penugasan diberikan, Rasulullah saw. terlebih dahulu menguji atau lazim dikenal fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) kepada sahabat yang ditugaskan. Ini digambarkan ketika Rasulullah saw. menanyakan kepada Mu’az bin Jabal perihal sikapnya dalam menyelesaikan perkara. Rasulullah saw. pun sangat selektif dalam memilih sahabat untuk diangkat menjadi hakim hanya yang berkualitas dan berkredibilitaslah yang terpilih.[16]






BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan
Peradilan telah dikenal sejak masa silam karena adanya dorongan kebutuhan akan kemakmuran dalam hidup dan keadilan. Oleh karena itu, peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak ada suatu pemerintahan pun di dunia ini, apapun bentuknya, dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan, karena tidak mungkin manusia dapat menghindari persengketaan. Oleh karena itu, peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya.
Bangsa Arab Pra-Islam telah memiliki qadhi untuk menyelasaikan segala permasalahan, tetapi belum memiliki bentuk ataupun system peradilan yang mapan. Hal ini dikarenakan pada saat itu di Jazirah Arab tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) ataupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak memiliki undang-undang atau hukum tertentu yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi diantara mereka.
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Suku Quraisy pernah memilih beberapa tokoh sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraisy, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani ‘Adi dalam perselisihan yang melibatkan Quraisy dengan suku-suku di luar mereka.
Peradilan pada zaman Rasulullah saw. merupakan fase penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat Rasulullah saw. merupakan pemegang otoritas yuridiksi satu-satunya. Meskipun Rasulullah saw juga pernah mendelegasikan tugas-tugas yuridiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. 
Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas yuridiksi adalah wahyu baik berupa al-Qur’an maupun sunnah secara ijtihad. 
Proses peradilan pada zaman Rasulullah saw. berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru mementingkan substansi daripada prosesi. 
Sistem peradilan saat ini memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan maz a’lim. 

b.      Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada hal-hal yang kurang tepat, baik dari penulisan, susunan kalimat, maupun isi, kami harap untuk diberikan koreksi kepada kami demi kabaikan makalah selanjutnya.




[1] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 1-2
[3] Ibid, hlm. 2-3
[4] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 3
[5] Ibid, hlm. 3-4
[6] Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAM (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 4-5



DAFTAR PUSTAKA



DAFTAR PUSTAKA


Suparman Jassin, SEJARAH PERADILAN ISLAMBandung: Pustaka Setia, 2015