BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai bangsa yang menyatakan kemerdekaannya sejak lebih setengah abad silam, sebenarnya telah memiliki dan terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain. Sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Realitas sosial masyarakat Indonesia semacam itu sangat sulit dipungkiri dan diingkari. Untuk itu, keragaman, atau mutikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang.
Penelitian terhadap konsep pendidikan multikultural perlu dilakukan, karena konsep tersebut belum dikenal oleh pakar pendidikan islam saat ini. Boleh jadi konsep tersebut sudah ada sejak Nabi Muhammada SAW yang diutus menjadi Rasul melalui Piagam Madinah yang terkenal itu.Azyumardi azra (2004:15-166), menjelaskan bahwa pendidikan multikultural berawal dari perkembangannya gagasan dan kesadaran tentang interkulturalisme sesuai Perang Dunia.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu pendidikan islam berbasis multikultural?
b. Bagaimana Konsep Dasar Pendidikan Islam Multikultural zaman Al-Ma�mun?
c. Apakah nilai-nilai utama yang terdapat dalam pendidikan islam multikultural?
C. Tujuan Masalah
Dengan diadakannya penulisan makalah ini kami bertujuan ingin mengetahui tentang pendidikan islam berbasis multikultural, Konsep Dasar Pendidikan Islam Multikultural zaman Al-Ma�mun , dan nilai-nilai utama yang terdapat dalam pendidikan islam multikultural tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Pendidikan multikultural berasal dari kata kebudayaan dalam bahasa Belanda yang disebut cultur dalam bahasa Inggris disebut culture sedangkan didalam bahasa Arab disebut tsaqafah, selain itu dalam pengertiannya yang berasal dari perkataan latin artinya mengolah mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembanglah arti culture sebagai �segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[1]
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan kederajatan dalam perbedaan kebudayaan-kebudayaan.[2]Dari dasar penegertian ini dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan atau latar belakang siswa.
Pendidikan islam multikultural adalah salah satu pendekatan yang menekankan terhadap pengenalan siswa dan menghargai budaya yang berbeda dari budaya asal mereka. Dalam cakupan yang lebih luas, dalam sistem pendidikan nasional merupakan salah satu solusi bagi keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Menurut para ahli, pendidikan multikultural adalah:
Azyumardi Azra, mendefinisikan multikultural sebagai pendidikan tentang keragamaan kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Hariansyah, dari sudut pandang psikologis, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memandang manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan keberagamaan manusia itu sendiri. Keberagamaan itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, pola pikir, kebutuhan, keinginan, dan tingkat intelektualitas.
Pada sisi lain dirasakan perlunya mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorintasi pada pengembangan aspek universal rabbaniyah.Sehingga dapat memupuk jiwa toleransi beragama dan membudayakan hidup rukun antar umat beragama, serta dapat meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan berakhlaqul karimah.
B. Konsep Dasar Pendidikan Islam Multikultural zaman Al-Ma�mun
Bila ditelusuri pada institusi pendidikan islam ternya ditemukan konsep dasar pendidikan multikultural yaitu ketika al-ma;mun menjadi khalifah (813-833 M) dari bani Abbas di Bayt Al Hikmah yaitu institusi pendidikan tinggi islam pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah Al-Ma�mun.[3]
Berikut ini dapat digambarkan dengan jelas adanya konsep dasar multikultural pada institusi Bayt Al-Hikmah:
a. Nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi, dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan penerjemah buku-buku sains dari yunani untuk melengkapi institusipendidikan bayt Al-Hikmah yang didirikan Al-Ma�mun. Al-Ma�mun telah memberikan kebebsan berekspresi, keterbukaan dan kesetaraan kepada serjana muslim dan non muuslim serta memberikan penghargaan yang sama kepada kedua kelompok serjana tersebut dalam membbentuk menbayar mahal kepada para penerjemah setara bobot emas.
b. Perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan melakukan penerjemahan. Kepada penerjemah yang memiliki etnik kultural dan agama, diantaranya Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht (Persia), Yuhana bin Masuya (Syria), Qutha bin Luqa (Kristen Yocabite), Abu Bisr Matta ibn Yunus (Kristen Nsetorian).
Adapun konsep dasar multikulturalisme yang terkandung selain di Bayt Al-Hikmah, seperti institusi pendidikan islam maktab/kuttab,masjid,ribath,halaqoh yaitu :
� Nilai-nilai kebebasan dan kesetaran tergambar dalam proses belajar mengajar di institusi pendidikan islam yaitu di mesjid. Murid mempunyai kebebasan dalam memilih materi pelajaran dan gurunya. Masjid-masjid memberikan kebebasan kepada murid untuk mengadakan halaqoh-halaqoh.Murid-murid bebas memilih guru, memilih materi pelajaran dan tempat belajar yang mereka sukai dan yang mereka anggap paling baik.
� Nilai-nilai keadilan,kemiskinan dan keterbelakangan kelompok minoritas tampak pada proses rekrutmen murid. Murud-murid yang tidak mampu murid-murid yang yatim diberikan kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Murid-murid yang miskin juga mendapat fasilitas yang luar biasa dari lembbaga waqaf.Ini artinya telah melaksanakan konsep demokrasi tanpa adanya deskriminasi.
� Nilai-nilai keadilan dan hubun gan yang harmonis tergambar dalam hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Guru memberikan perlakuan yang sama kepada semua muridnya dan memberikan perhatian yang penuh kepada mereka. Situasi ini berdampak kepada tingginya minat murid yang untuk belajar dan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak puncak peradaban islam zaman keemasan dalam islam disebabkan kaena institusi pendidikan islam yang ada telah menerapkan konsep pendidikan berbasis multikultural. Nilai-nilai multikultural yang aktual dikembangkan saat itu adalah ttoleransi, keterbukaan, kesederajatan, kebebeasan, keadilan, kemiskinan, keragaman dan demokrasi. Pesatnya peradaban dan peerkembangan ilmu juga didukung oleh tokoh-tokoh pendidik yang memiliki visi dan misi yang berbasis multikultural, seperti :
1. Khalifah Al-Ma�mun (813-833 M) Nama asli Al-Ma�mun adalah Abdul Abbas Abdullah Al-Ma�mun (783-833 M). Ia seorang khalifah abbasiyah, putra Harun Al-Rasyid. Ia dikenal sebagai tokoh pendiddik multikultural karena ia sangat toleran terhadap masyarakat yang berbeda agama yaitu Kristen, serta ia lebih familiar terhadap peradaban yang berbeda-berda seperti Rusia, Pagan dan lain-lain.
2. Muhammad ibn Musa Al-hawarizmi (780-850 M)
Beliau ahli tentang aljabar dan astronomi, direktur perpustakaan Bayt Al-Hikmah atau pusat study dan riset astronomi dan matematika. Beliau seorang pendidik multukultural karena ikut menciptakan suasana bebas, terbuka, toleran, dan sederajat dalam mengelola Bayt Al-Hikmah dan upaya menerjemahkan buku-buku warisan Hellenisme dari Yunani kedalam bahasa Arab.
3. Al-Kindi (809-866 M) Ia adalah ilmuan dan filsuf muuslim pertama yang dikenal sebagai pendidik multikultural karena ia dikenal adalah sosok yang humanis dan orang yang prtama kali mengajak kaum muslimin untuk hidup saling memahami dan menyelaraskan pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda.[4]
C. Nilai-Nilai Utama Dalam Pendidikan Islam Multikultural
Nilai-nilai utama dalam pendidikan islam multikultural meliputi beberapa aspek :
a. Tauhid yaitu mengesakan tuhan. Pandangan hidup manusia bertujuan untuk merealisasi konsep keesaan tuhan dalam hubungan antar sesama manusia.Tuhan merupakan sumber utama bagi umat manusia, karenanya sesama manusia adalah bersaudara (ukhuwah basyariyah).
b. Ummah : Hidup bersama. Semua orang memiliki akses yang sama untuk tinggal di jagad raya ini, saling berdampingan, dan mengikat hubungan sosial dalam sebuah kelompok, komunitas, masyarakat, atau bangsa.
c. Rahmah : Kasih sayang, yakni perwujudan sifat-sifat tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia yang di ciptakan oleh tuhan untuk berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain atas dasar semangat saling mengasihi dan peduli.
d. Al-musawah, taqwa (egalitarianism) : bahwa semua manusia adalah bersaudara dan mendapat perlakuan yang sama dihadapan Allah SWT. Meskipun berbeda jenis kelamin, gender, ras, warna kulit dan agama.
Berikut beberapa penerapan nilai multikultural dalam Islam :
1) Ta�ruf (saling mengenal dan berbuat baik) yaitu kesadaran dan keinginan untuk tinggal bersama, berdampingan dengan yang lain yang berbeda budaya, etnis dan agama, agar dicapai wawasan etnis yang luas, saling bekerja sama, saling memberi dan menerima, serta siap berkurban.
2) Tafahum (saling memahami) yaitu kesadaran bahwa nilai-nilai mereka adalah berbeda.bahwa kita saling melengkapi satu sama lain dan memberi kontribusi dan hubungan yang dinamis terhadap pihak lain.
3) Fastabiqul khairot (berlomba-lomba dalam kebaikan) yaitu persamaan dan perbedaan dapat mendukung terjalinnya komunikasi dan kompetisi antar individu dan kelompok untuk memperoleh harga diri dan mutu pada semua aspek kehidupan sosial.
4) Amanah, saling mempercayai: untuk menjaga sikap mempercayai dalam hubungan antarsesama manusia.
5) Husnuzhan. Agar memiliki pikiran positif berarti haruslah awas dalam menghakimi seseorang dalam suatu permasaalahan.
6) Tasamuh, toleransi Artinya menerima kebebasan beragam dan berekspresi serta menghormati keragaman dalam agama, budaya, dan etnis.
7) �afw, maghfiroh yaitu memberikan maaf yang berarti melupakan semua bentuk penyiksaan, kejahatan, dan perbuatan salah.Pemberi ampunan berarti dua hal, yakni memaafkan pada saat kita punya kekuatan untuk membalas dendam, dan meminta maaf disaat kita tak punya untuk membalas.
8) Takrim, saling menghormati artinya saling menghormati merupakan nilai-nilai universal yang ada di dalam semua agama dan budaya dimana kita dapat mempersiapkan diri kita untuk mendengarkan pendapat dan perspektif yang berbeda, juga untuk menghormati nama baik (kemuliaan) dari berbagai individu maupun kelompok.
9) Sulh, perdamaian atau rekonsiliasi yakni jalan yang terpilih untuk mengumpulkan konsep kebenaran, ampunan dan keadilan setelah kekerasan terjadi.
10) Islah atau resolusi konflik yaitu penekanan pada kekuatan hubungan antara dimensi psikologis dan kehidupan politik masyarakat melalui kesaksian bahwa penderitaan individu atau kelompok tentulah akan tumbuh dengan cepat bilamana kita tidak memahami, mengampuni, dan menyelesaikan konflik.
Berikut tujuan mempelajari nilai-nilai utama dalam pendidikan islam multukultural :
� Silah, yakni membangun perdamaian, menjaga perdamaian dan membuat perdamaian.
� Layyin, yakni lemah lembut atau budaya anti kekerasan. Yakni perilaku , perkataan, sikap, serta berbagai struktur dan sistemyang memelihar dan menjag fisik, mental sosial, dan menjadi aman dan damai.
� �adl atu keadilan, yaitu membuat keseimbangan yang membuat ras peduli, saling berbagi, serta sikap moderat dalam merespon perbedaan, jujur dan terbuka dalam segala sudut pandang atau perbuatan.[5]
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami secara pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk.Sebaliknya negara tidak hanya mengembangkan kebudayaan nasional tunggal.Satu hal yang penting dicatat, keragaman itu hendaklah tidak dinterpretasikan secara tunggal.lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat dan negara bangsa (nation state) tidaklah berarti relatifisme kultural, ketercerabutan destruksi sosial atau konflik berkepanjangan.
Secara sederhana pendidikan adalah usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam pengertian yang luas pendidikan sama dengan hidup, dalam arti, segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan juga bisa diartikan sebagai keseluruhan pengalaman berlajar setiap oarang sepanjang hidupnnya. Sehingga pendidikan tidak berlansung dalam usia tertentu tetapi sepanjang hidup manusia.
Pendidikan multikultiral diharapkan dapat menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi di masyarakat, atau paling tidak mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukanlah suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Pendidikan harus mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap toleran menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetya Tri Joko, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT. Rineka cipta, 2009
Suparlan Parsudi, Multikulturalisme Sebagai Modal Dasar Bagi Aktualisasi Kesejahteraan Rakyat Indonesia.
Asar, Pendidkan Tinggi Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2005
Assegaf Rahcman Abd., filasafat pendidikan islam, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2011
[1] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta : PT. Rineka cipta, 2009), hlm 28
[2]Parsudi Suparlan, Multikulturalisme Sebagai Modal Dasar Bagi Aktualisasi Kesejahteraan Rakyat Indonesia. hlm. 14.
[3] Asar, Pendidkan Tinggi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994 ), hlm 109
[4] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2005) hlm 30-33
[5] Abd. Rahcman Assegaf, filasafat pendidikan islam, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. 313-314